You are on page 1of 27

REFERAT PARU

BRONKHITIS INDUSTRI

Disusun Oleh:
Wan Renny Febrianti
Npm. 61109034
Pembimbing:
dr. Antonius Sianturi, Sp. P
dr. Widya Sri Hastuti, Sp. P

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM


KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KEDOKTERAN PARU
RSUD EMBUNG FATIMAH BATAM
2014

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena


atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
Bronkhitis Industri sebagai rangkaian

kegiatan

Kepaniteraan

Klinik Ilmu

Kedokteran Paru Periode 6 Januari 2014 8 Februari 2014 di Rumah Sakit


Umum Daerah Embung Fatimah Kota Batam.
Dengan ketulusan hati penulis juga ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada :
1. dr. Antonio Sianturi, Sp. P selaku konsulen kami yang telah banyak
memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan referat ini.
2. dr. Widya Sri Hastuti, Sp. P selaku konsulen kami yang telah banyak
memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada kami untuk
menyelesaikan referat ini.
3. Segenap staf Instalasi Kedokteran Paru RSUD Embung Fatimah Batam.
4. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya referat ini.
Penulis

menyadari bahwa referat ini tentu tidak terlepas dari

kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka


sangat diperlukan masukkan dan saran yang membangun. Semoga referat ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Batam, Januari 2013
Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................... ii
Daftar Tabel ......................................................................................................... iii
Daftar Singkatan....................................................................................................iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ..........................................................................1
1.2 Batasan Masalah .......................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................2
1.4 Metode Penulisan......................................................................2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BRONKHITIS
2.1.1 Definisi Bronkhitis..........................................................3
2.1.2 Etiologi Brokhitis.............................................................3
2.1.3 Klasifikasi Bronkhitis......................................................3
2.1.4 Patofisiologi Bronkhitis Industri......................................4
2.1.5 Diagnosis Bronkhitis........................................................6
2.1.6 Diagnosis banding bronkhitis.........................................12
2.1.7 Penatalaksanaan bronkhitis............................................12

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................21
3.2 Saran........................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

NO

Halaman

1. Gambar 1. Perbandingan bronkus normal dengan bronkus pada


bronkhitis............................................................................................... 5

DAFTAR SINGKATAN
APD
APE
CO2
FEV
Hb
Ht
KVP
LABA
LTRA
PaO2
PPOK
SOPT
TB
VEP
WHO

: Alat Pelindung Diri


: Arus Puncak Ekspirasi
: Carbon dioksida
: Forced Expiration Volume
: Haemoglobin
: Haemotokrit
: Kapasitas Vital Paksa
: Long acting 2 Agonist
: Leukotriene Receptor Antagonist
: Partial Pressure of Arterial Oxygen
: Penyakit Paru Obstruktif Kronik
: Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis
: Tuberkulosis
: Volume Ekspirasi Paksa
: World Health Organization

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bronkitis adalah peradangan dari satu atau lebih pada saluran pernapasan
(bronkus). Peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor seperti bakteri,
alergi, zat kimiawi dan lainnya.1
Bronkitis Industri adalah bronkitis yang disebabkan oleh debu, uap atau
gas berbahaya yang terhirup pekerja di tempat kerja. bronkitis dapat terjadi
akibat pajanan zat seperti serat, debu, dan gas yang timbul pada proses
industrialisasi. Bronkitis industri ternyata merupakan penyebab utama
ketidakmampuan, kecacatan, kehilangan hari kerja dan kematian pada
pekerja.2,3
Di Amerika Serikat, menurut National Center for Health Statistics, kirakira ada 14 juta orang menderita bronkitis. Lebih dari 12 juta orang menderita
bronkitis akut pada tahun 1994, sama dengan 5% populasi Amerika Serikat.
Bronkitis merupakan masalah dunia. Frekuensi bronkitis lebih banyak pada
populasi dengan status ekonomi rendah dan pada kawasan industri. Bronkitis
lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding wanita.3
Beberapa faktor atau zat iritan yang dapat menyebabkan bronkitis
industri adalah Ukuran debu atau partikel, Jumlah dan lama pajanan,
Kelembapan udara, Toksisitas, merokok. Berbagai debu industri seperti debu
yang berasal dari pembakaran arang batu, semen, keramik, besi,
penghancuran logam dan batu, asbes dan silika dengan ukuran 3-10 mikron
akan ditimbun di paru dan akan menyebabkan bronkitis pada pekerjanya.3
Zat-zat iritan tersebut akan mengiritasi jalan nafas dan mengakibatkan
hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang konstan ini,
kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat
jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang dihasilkan.
Maka bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat. Alveoli yang
berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis,

mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting


dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian
menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih
lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan
napas. hipersekresi mukus pada saluran napas besar, hipertropi kelenjar
submukosa pada trakea dan bronki. Ditandai juga dengan peningkatan sekresi
sel goblet di saluran napas kecil, bronki dan bronkiole, menyebabkan
produksi mukus berlebihan, sehingga akan memproduksi sputum yang
berlebihan. 3
Atas dasar tersebut, maka perlu pengkajian terhadap bronkitis industri
yang saat ini masih menjadi masalah pada banyak pekerja di industri,
khususnya di daerah batam yang mayoritas penduduknya adalah pekerja
industri.
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang Bronkitis Industri
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui penyakit Bronkitis Industri.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bronkhitis
2.1.1 Definisi Bronkhitis
Bronkitis adalah peradangan dari satu atau lebih pada saluran
pernapasan (bronkus). Peradangan ini disebabkan oleh banyak faktor
seperti bakteri, alergi, zat kimiawi dan lainnya.1
Bronkitis Industri adalah bronkitis yang disebabkan oleh debu, uap
atau gas berbahaya yang terhirup pekerja di tempat kerja. bronkitis
dapat terjadi akibat pajanan zat seperti serat, debu, dan gas yang timbul
pada proses industrialisasi. Bronkitis industri ternyata merupakan
penyebab utama ketidakmampuan, kecacatan, kehilangan hari kerja dan
kematian pada pekerja.2,3
2.1.2 Etiologi Bronkhitis
Faktor-fakor penyebab tersering pada Bronkitis adalah: asap rokok
(tembakau), debu dan asap industri, polusi udara. Disebutkan pula
bahwa Bronkitis kronis dapat dipicu oleh paparan berbagai macam
polusi industri dan tambang, diantaranya: batubara, fiber, gas, asap las,
semen dan lain-lain.3
2.1.3 Klasifikasi Bronkhitis
Bronkhitis dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Bronkhitis Akut
Bronkhitis akut adalah serangan bronkhitis dengan perjalanan
penyakit yang singkat dan berat, disebabkan oleh karena terkena
dingin, penghirupan bahan-bahan iritan, atau oleh infeksi akut dan
ditandai dengan demam, nyeri dada (terutama disaat batuk), dyspnea,
dan batuk.4
2. Bronkhitis Kronik

Bronkhitis kronik adalah bentuk peradangan yang lama dan


berkesinambungan akibat serangan berulang, minimal 3 bulan dan
ditandai dengan batuk, ekspektorasi serta perubahan sekunder
jaringan paru.4
2.1.4 Patofisiologi Bronkhitis Industri
Beberapa faktor atau zat iritan yang dapat menyebabkan bronkitis
industri adalah ukuran debu atau partikel, Jumlah dan lama pajanan,
Kelembapan udara, Toksisitas dan diperburuk dengan merokok.
Berbagai debu industri seperti debu yang berasal dari pembakaran arang
batu, semen, keramik, besi, penghancuran logam dan batu, asbes dan
silika dengan ukuran 3-10 mikron akan ditimbun di paru dan akan
menyebabkan bronkitis pada pekerjanya.4
Zat-zat iritan tersebut akan mengiritasi jalan nafas dan
mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi. Karena iritasi yang
konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet
meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir
yang dihasilkan. Maka bronkiolus dapat menjadi menyempit dan
tersumbat. Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi
rusak dan membentuk fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi
makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan
partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan
terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi
sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas.
hipersekresi mukus pada saluran napas besar, hipertropi kelenjar
submukosa pada trakea dan bronki. Ditandai juga dengan peningkatan
sekresi sel goblet di saluran napas kecil, bronki dan bronkiole,
menyebabkan produksi mukus berlebihan, sehingga akan memproduksi
sputum yang berlebihan.4

Gambar 1. Perbandingan bronkus normal dengan bronkus pada bronkhitis

Gambar 1. Perbandingan bronkus normal dengan bronkus pada bronkhitis


Sumber : http://www.allinahealth.org/mdex/en135139.jpg
2.1.5 Diagnosis Bronkhitis
Diagnosis pasti bronkhitis dapat ditegakkan apabila telah ditemukan
adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus dengan prosedur
pemeriksaan bronkografi dan melihat bronkogram yang didapat.
Bronkografi tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien
bronkhitis, karena terikat adanya indikasi, kontraindikasi, syarat-syarat
kapan melakukannya, oleh karena pasien bronkhitis umumnya
memberikan gambaran klinis yang dapat dkenal, penegakan diagnosis
bronkhitis dapat ditempuh melewati proses diagnostik yang lazim
dikerjakan dibidang kedokteran, meliputi: 4
1. Anamnesis
2.

Pemeriksaan fisis

3.

Pemeriksaan penunjang pada bronkus.

2.1.5.1 Gejala Klinis


Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkhitis tergantung
pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya, dan ada tidaknya
komplikasi lanjut. Ciri khas pada penyakit ini adalah adanya batuk

kronik disertai produksi sputum, adanya haemaptoe dan pneumonia


berulang. Gejala dan tanda klinis dapat demikian hebat pada penyakit
yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang
ringan. 3
Bronkhitis yang mengenai bronkus pada lobis atas sering dan
memberikan gejala : 3
A. Batuk
Batuk pada bronkhitis mempunyai ciri antara lain batuk produktif
berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkhitis
kronis, jumlah seputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak
terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau
bangun dari tidur. Kalau tidak ada infeksi skunder sputumnya
mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya
purulen, dapat memberikan bau yang tidak sedap. Apabila terjadi
infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan menimbulkan sputum
sangat berbau, pada kasus yang sudah berat, misalnya pada saccular
type bronkhitis, sputum jumlahnya banyak sekali, puruen dan
apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah menjadi tiga
bagian, yaitu:3
a) Lapisan teratas agak keruh
b) Lapisan tengah jernih, terdiri atas saliva (ludah)
c) Lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan
nekrosis dari bronkus yang rusak (celluler debris).
B. Hemaptoe
Hemaptoe terjadi pada 50 % kasus bronkhitis, kelainan ini terjadi
akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh
darah (pecah) dan timbul perdarahan. Perdarahan yang timbul
bervariasi mulai dari yang paling ringan (streaks of blood) sampai
perdarahan yang cukup banyak (massif) yaitu apabila nekrosis yang
mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai
cabang arteri broncialis (daerah berasal dari peredaran darah
sistemik). .3
Pada dry bronkhitis (bronkhitis kering), haemaptoe justru gejala
satu-satunya karena bronkhitis jenis ini letaknya dilobus atas paru,
drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan kurang

menimbulkan reflek batuk, pasien tanpa batuk atau batukya


minimal. Pada tuberculosis paru, bronkhitis (sekunder) ini
merupakan penyebab utama komplikasi haemaptoe.3
C. Sesak nafas (dispneu)
Pada sebagian besar pasien ( 50 % kasus ) ditemukan keluhan sesak
nafas. Timbul dan beratnya sesak nafas tergantung pada seberapa
luasnya bronkhitis kronik yang terjadi dan seberapa jauh timbulnya
kolap paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat
infeksi berulang seperti ISPA yang biasanya menimbulkan fibrosis
paru dan emfisema yang menimbulkan sesak nafas. Kadang
ditemukan juga suara mengi (wheezing), akibat adanya obstruksi
bronkus. Wheezing dapat local atau tersebar tergantung pada
distribusi kelainannya.3
D. Demam berulang
Bronkhitis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering
mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pada paru,
sehingga sering timbul demam (demam berulang).3
Gejala klinis bronkhitis berdasarkan klasifikasinya adalah: 3
A. Bronkhitis Akut
a. Batuk (berdahak ataupun tidak berdahak)
b. Demam (biasanya ringan), rasa berat dan tidak nyaman di dada
c. Sesak napas, rasa berat bernapas
d. Kadang batuk darah
B. Bronkhitis Kronik
a. Batuk dengan dahak atau batuk produktif dalam jumlah yang
banyak. Dahak makin banyak dan berwarna kekuningan
(purulen) pada serangan akut kadang dapat dijumpai batuk
darah.
b. Sesak napas. Sesak bersifat progresif (makin berat) saat
beraktifitas.
c. Adakalanya terdengar suara mengi (Wheezing)
Pada pemeriksaan auskultasi terdengar suara ronkhi basah kasar
terutama saat inspirasi yang menggambarkan adanya mucus.
2.1.5.2 Pemeriksaan fisik.3
Bronkhitis dini umumnya tidak ada kelainan

Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal

sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena

jugularis di leher dan edema tungkai


Penampilan blue bloater
Palpasi
Biasanya fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke
bawah
Auskultasi
suara napas vesikuler normal, atau melemah
terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
ekspirasi memanjang
bunyi jantung terdengar jauh
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki
basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.3
Pursed - lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan
ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh
untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.3

2.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang 3


a. Pemeriksaan rutin
Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 %
-

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk

menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.


Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%.

Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
-

gunakan APE meter.


Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau
APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200

ml
Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

Darah rutin
- Hb, Ht, leukosit
Radiologi
- Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan
-

penyakit paru lain


Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

2.1.5.4 Kelainan faal paru4


Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital (KV) dan
kecepatan aliran udara ekspirasi satu detik pertama (FEV1),

terdapat tendensi penurunan, karena terjadinya obstruksi airan


udara pernafasan. Dapat terjadi perubahan gas darah berupa
penurunan PaO2 ini menunjukan abnormalitas regional ( maupun
difus ) distribusi ventilasi, yang berpengaruh pada perfusi paru.
Tingkatan beratnya penyakit:
a. Bronkhitis ringan.
Ciri klinis : batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi
sesudah demam, ada haemaptoe ringan, pasien tampak sehat
b.

dan fungsi paru norma, foto dada normal. 4


Bronkhitis sedang
Ciri klinis : batuk produktif terjadi setiap saat, sputum timbul
setiap saat, (umumnya warna hijau dan jarang mukoid, dan bau
mulut meyengat), adanya haemaptoe, umumnya pasien masih
Nampak sehat dan fungsi paru normal. Pada pemeriksaan paru
sering ditemukannya ronchi basah kasar pada daerah paru yag

terkena, gambaran foto dada masih terlihat normal. 4


c. Bronkhitis berat
Ciri klinis : batuk produktif dengan sputum banyak, berwarna
kotor dan berbau. Sering ditemukannya pneumonia dengan
haemaptoe dan nyeri pleura. Bila ada obstruksi nafas akan
ditemukan adanya dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru.
Umumnya pasien mempunyai keadaan umum kurang baik,
sering ditemukan infeksi piogenik pada kulit, infeksi mata,
pasien mudah timbul pneumonia, septikemi, abses metastasis,
amiloidosis. Pada gambaran foto dada ditemukan kelianan:
bronkovascular marking, multiple cysts containing fluid levels.
Dan pada pemeriksaan fisis ditemukan ronchi basah kasar pada
daerah yang terkena. 4
2.1.7 Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding dari bronkhitis adalah sebagai berikut: 5
a) Asma
b) SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
c) Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada
penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
d) Pneumotoraks

e) Gagal jantung kronik


f) Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal :
bronkiektasis, destroyed lung.
2.1.8 Penatalaksanaan Bronkhitis 5
A. Penatalaksanaan umum
Tujuan penatalaksanaan : 5
1.
2.
3.
4.

Mengurangi gejala
Mencegah eksaserbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum:

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Edukasi
Obat - obatan
Terapi oksigen
Ventilasi mekanik
Nutrisi
Rehabilitasi

Bronkhitis terkadang progresif dan nonreversibel, sehingga penatalaksanaan


bronkhitis terbagi atas:
(1) penatalaksanaan pada keadaan stabil.
(2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.

1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
bronkhitis.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi bronkhitis diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit

gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan
di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang
khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat
mengurangi kecemasan pasien bronkhitis, memberikan semangat hidup
walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien bronkhitis.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat
penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita. 4 Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
1. Pengetahuan dasar tentang penyakit
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktivititas
Edukasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : 5
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis bronkhitis
ditegakkan.
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu atau
kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya.
Tanda eksaserbasi : 5
- Batuk atau sesak bertambah

- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit :
Ringan
-

Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel


Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara

lain berhenti merokok


Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
- Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
- Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan
- Penggunaan oksigen di rumah

2. Obat - obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow
release ) atau obat berefek panjang ( long acting ). 5
Macam - macam bronkodilator :
- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2

Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah


penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak ( pelega napas ), bentuk suntikan bolus atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. 5
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250
mg.5
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : 5
- Lini I : amoksisilin, makrolid
- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru
Perawatan di Rumah Sakit : 5
- Amoksilin dan klavulanat
- Sefalosporin generasi II & III injeksi
- Kuinolon per oral

ditambah dengan yang anti pseudomonas


- Aminoglikose per injeksi
- Kuinolon per injeksi
- Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan
asetilsistein.
d. Mukolitik
e. Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
Diberikan dengan hati - hati

2.1.9 PENCEGAHAN
Pencegahan sangat penting dalam bidang penyakit paru kerja. Dalam kaitan
ini dikenal pencegahan primer, sekunder dan tersier.
A. Pencegahan Primer
Pencegahan primer artinya mengurangi faktor risiko sebelum
terserang penyakit. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain :
1. Ada Undang-Undang atau Peraturan yang mengatur tentang masalah
Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Di Indonesia terdapat berbagai
macam Undang-undang dan Peraturan tentang hal tersebut antara
lain.6
- UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-undang ini adalah sebagai undang-undang pokok yang
memuat aturan-aturan dasar atau ketentuan-ketentuan umum tentang

keselamatan kerja di semua tempat kerja baik di darat, dalam tanah, di


permukaan air maupun di udara yang berada di wilayah kekuasaan
hukum Republik Indonesia. Undang-undang ini memuat tentang
syarat-syarat keselamatan kerja dan separuhnya (50%) merupakan
syarat-syarat kesehatan kerja. 6
Pada pasal 8 disebutkan kewajiban untuk :
a. Memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan
fisik tenaga kerja yang akan diterima maupun yang akan
dipindahkan, sesuai dengan sifat pekerjaan yang akan diberikan
kepada pekerja.
b. Memeriksakan kesehatan semua tenaga kerja yang berada di bawah
pimpinannya secara berkala ( periodik ) pada dokter yang ditunjuk
oleh pengusaha dan dibenarkan (disahkan) oleh Direktur.
- UU No. 14/1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja
Pada Bab IV Pasal 9 dan 10 Undang-undang tersebut disebutkan :
Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan,
kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang
sesuai dengan martabat dan moral agama. Pemerintah membina
perlindungan kerja yang mencakup :
a. Norma Keselamatan Kerja
b. Norma Kesehatan Kerja
c. Norma Kerja
d. Pemberian ganti rugi, perawatan dan rehabilitasi dalam hal
kecelakaan kerja.
Pasal ini sebenarnya dapat dipakai untuk mempertahankan hak
tenaga kerja yang terkena penyakit. Pemberi kerja (pemerintah atau
pengusaha) wajib memberi perlindungan bagi tenaga kerja, tidak
boleh memberhentikan begitu saja dan juga wajib memberi
pengobatan serta upah yang menjadi hak mereka dan masih banyak

lagi Undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang kesehatan


dan keselamatan kerja.
2. Substitusi.7,8
Mengganti bahan yang berbahaya dengan bahan yang tidak
berbahaya atau kurang berbahaya. Sebagai contoh adalah serat asbes
yang dapat menimbulkan asbestosis, kanker paru dan mesotelioma,
digantikan oleh serat buatan manusia. Contoh lain adalah debu silika
yang diganti dengan alumina.
3. Modifikasi proses produksi untuk mengurangi pajanan sampai tingkat
yang aman.7
4. Metode basah.9
Melakukan proses produksi dengan cara membasahi tempat
produksi sehingga tidak menghasilkan debu dengan kadar yang tinggi.
5. Mengisolasi proses produksi.8
Bila bahan yang berbahaya tidak dapat dihilangkan, pajanan
terhadap pekerja dapat dihindari dengan mengisolasi proses produksi.
Teknik ini telah digunakan dalam menangani bahan radioaktif dan
karsinogen, dan juga telah berhasil digunakan untuk mencegah asma
kerja akibat pemakaian isosianat dan enzim proteolitik.
6. Ventilasi keluar. 8
Bila proses isolasi produksi tidak bisa dilakukan, maka masih ada
kemungkinan untuk mengurangi bahan pajanan dengan ventilasi
keluar ( exhaust ventilation ). Metode ventilasi keluar telah berhasil
digunakan untuk mengurangi kadar debu di industri batubara dan
asbes.
7. Alat Pelindung Diri ( APD ).8,10
Alat pelindung diri di sini bukan hanya sekedar masker, namun
yang terbaik adalah respirator. Respirator adalah suatu masker yang
menggunakan filter sehingga dapat membersihkan udara yang dihisap.
Ada dua macam respirator, yaitu yang half-face respirator, di sini
berfungsi hanya sebagai penyaring udara, dan full-face respirator,
yaitu sekaligus berfungsi sebagai pelindung mata. Pemakaian

respirator adalah usaha terakhir, bila usaha lain untuk mengurangi


pajanan tidak memberikan efek yang optimal. Untuk menggunakan
respirator, seseorang harus melalui evaluasi secara medis. Hal ini
penting karena respirator tidak selalu aman bagi setiap orang.
Pemakaian respirator dapat berakibat jantung dan paru bekerja lebih
keras sehingga pemakaian respirator dapat menjadi tidak aman bagi
penderita asma, gangguan jantung atau orang yang mempunyai
masalah dengan saluran napasnya. Pelatihan bagi pekerja yang akan
menggunakan respirator sangat penting. Dengan pelatihan tersebut
pekerja diberi pemahaman tentang jenis respirator, cara memilih
respirator yang cocok, cara pemakaian serta cara perawatan agar tidak
mudah rusak. Pemakaian alat pelindung diri mempunyai beberapa
kelemahan :8
- Tergantung kepatuhan pekerja
- Tidak 100% efisien
- Memerlukan ketrampilan dan perawatan teratur
-

Disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis dari masing-masing


pemakai

- Dapat mengganggu kemampuan melakukan pekerjaan


B. Pencegahan Sekunder
Melakukan deteksi dini penyakit dan deteksi dini pajanan zat yang
dapat menimbulkan penyakit. Dilakukan pemeriksaan berkala pada
pekerja yang terpajan zat yang berisiko tinggi terjadinya gangguan
kesehatan. Pemeriksaan berkala dilakukan sejak tahun pertama bekerja dan
seterusnya.9 Surveilans medik adalah kegiatan yang sangat mendasar,
bertujuan untuk mendeteksi efek pajanan yang tidak diinginkan sebelum
menimbulkan gangguan fungsi pernapasan pekerja dan selanjutnya
dilakukan usaha-usaha untuk mencegah perburukan. Tanpa usaha-usaha
tersebut, surveilans hanya berperan mencatat besar angka kesakitan
daripada

pencegahan

sekunder.

Dalam

prakteknya

berdasarkan surveilans adalah untuk mencegah pajanan.7

pencegahan

C. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier berguna untuk mencegah penyakit bertambah buruk
dan penyakit menjadi menetap. Bila diduga telah terjadi penyakit atau
diagnosis telah ditegakkan, perlu secepat mungkin menghindarkan diri
dari pajanan lebih lanjut.7 Pajanan dari tempat kerja dan lingkungan yang
diduga atau diketahui mempunyai efek sinergi terhadap terjadinya kanker
paru seperti merokok harus dihentikan. Contoh lain pencegahan tersier
adalah pencegahan terhadap penyakit TB pada pekerja yang terpajan debu
silika.7

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Bronkhitis dapat disebabkan oleh berbagai macam zat-zat iritan yang
banyak terdapat pada daerah industri.
2. Tindakan pencegahan terhadap zat-zat iritan terhadap pekerja adalah hal
terpenting sebagai langkah dalam menurunkan angka kejadian penyakit
bronkhitis industri.
3.2 Saran
1. Pentingnya bagi seluruh masyarakat khususnya para pekerja dan warga
yang bertempat tinggal didaerah industri agar dapat memahami tindak
pencegahan dan pemahaman terhadap penyakit bronkhitis yang
disebabkan oleh polutan-polutan yang dihasilkan dari pabrik industri.

2. Pentingnya pengetahuan bagi seluruh masyarakat khususnya para pekerja


dan warga yang bertempat tinggal didaerah industri agar dapat memahami
gejala-gejala bronkhitis agar dapat dideteksi sedini mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arif, M. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Mansjoer, Arif


(Eds). Jakarta: Penerbit Media Aesculapius FK. UI; 2008
2. Yunus F. Diagnosis beberapa penyakit paru kerja. Dalam: Yunus F,
Muchtaruddin M. Editor. Diagnosis Beberapa Penyakit Paru Kerja.
Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia; 1997. h. 37-42.
3. Mangunnegoro H, Yunus F. Diagnosis penyakit paru kerja. Dalam:
Mangunnegoro H, Yunus F, Hudoyo A, Mulawarman J, Swidarmoko B.
Pulmonologi Klinik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 1992. h. 205-14.
4. Honig E.G, Ingram R.H. Jr. Chronis Bronchitis, Empysema and Airways
Obstruction: Wald E.B, Fauci A.S, Kasper D.L, Hauser S.L, Longo D.L,
Janeson J.L, editor: Principles of Internal Medicine. Vol III. 15th ed.
Boston. Mc Graw Hill; 2003. p.1491-99

5. Persatuan dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK):


Pedoman diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia; 2003. h. 6-11
6. Kumpulan Peraturan Perundangan Pemerintah Mengenai Jaminan Sosial
Tenaga Kerja. Jakarta, Jamsostek; 2000. h. 86-94.
7. Blanc PD. Environmental and Lung Disorders : General Principles and
Diagnostic Approach. In : Murray JF, Nadel JA. Textbook of Respiratory
Medicine. 3rd Ed. Philadelphia: W.B.Saunders Co : 1803-9
8. Seaton A. Prevention of Occupational Lung Diseases. In : Occupational
Lung Diseases. 3rd Ed. Morgan WKC, Seaton A. Eds. Philadelphia :
W.B.Sauders Co. 1995 :9-17
9. Corbet K, Green F. Occupational Lung Disease : Exposure to Air
Contminant; 2005.
10. Chan J, Harrison R. Wood dust and Occupational Asthma. Occupational
Health Branch, California Department of Health Services. Center for
Occupational and Environmental Health, School of Public Health,
University of California, Berkeley; 2006

You might also like