Professional Documents
Culture Documents
ABSTRAK
Isu lingkungan di sektor pertanian menjadi topik pembicaraan setelah Revolusi Hijau digulirkan pada akhir
1960-an. Sejak program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) dideklarasikan oleh
pemerintah, masalah lingkungan merupakan isu yang perlu diangkat dengan pengelolaan yang tepat. Di antara
masalah-masalah lingkungan yang dominan di lahan pertanian, ada tiga dampak utama akibat kegiatan manusia,
yaitu: 1) dampak penggunaan sarana input produksi terhadap produksi pertanian dan lingkungan, 2) dampak
sistem pertanian terhadap emisi gas rumah kaca, dan 3) dampak kegiatan industri dan perluasan perkotaan di
lahan pertanian. Penggunaan pupuk yang berlebihan terutama pupuk nitrogen, pestisida, dan sisa bahan kimia
dari industri merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan di lahan
sawah beririgasi. Residu nitrat di dalam air (termasuk air irigasi) di 85% lahan sawah beririgasi telah mencapai
5,40 ppm (maksimum nilai yang diperbolehkan 4,50 ppm). Penggunaan pestisida menyebabkan meningkatnya
resistensi organisme pengganggu tanaman, ketidakseimbangan keragaman hayati, keracunan pada manusia, dan
menurunnya kualitas produk pertanian. Di Indonesia, lahan sawah (sekitar 8 juta ha atau 6,50% dari luas lahan
sawah dunia) merupakan sumber emisi gas rumah kaca terutama metana (CH4), N 2O, dan CO2. Logam berat
seperti Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, dan Mn merupakan bahan-bahan utama yang dihasilkan industri yang telah
mencemari
lahan pertanian. Faktor biofisik lain yang menyebabkan rusaknya kondisi lingkungan pertanian adalah degradasi
lahan, yang meliputi pemasaman, kegaraman (salinization), alkalinitas/sodisitas (alkalinization/sodification),
erosi, penggurunan (desertification), penurunan jumlah hara, hilangnya bahan organik, pemadatan, penurunan
muka tanah, kekeringan, dan banjir. Pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk mengatasi masalah lingkungan
di lahan pertanian dengan mempublikasi peraturan penggunaan pupuk dan pestisida, karantina tumbuhan dan
hewan, serta kebijakan untuk mengatasi masalah lingkungan melalui program penelitian dan pengembangan.
Kata kunci:
pertanian
Degradasi
lingkungan,
pengelolaan
lingkungan,
pembangunan
ABSTRACT
Environmental issues and management in agricultural revitalization
Environmental problems in agricultural areas have been raised since the Green Revolution was introduced to
fulfill the need of increasing rice production in 1960s. Since the agriculture, fisheries and forestry revitalization
was declared by the Government of Indonesia, environmental problem is a critical issue to be raised up with
correct management. Among various environmental problems in agricultural areas, there are three major
impacts of human activities on agricultural environment, including: 1) impact of the use of agro-input on
agricultural production and environment, 2) impact of agricultural system on greenhouse gas emission, and 3)
impact of industrial activity and the extend of urban areas on agriculture land. Overuse of fertilizers especially
nitrogen fertilizer, pesticide, and residual of chemical materials from industrial sector have been identified to be
the major factors deteriorating the environmental condition of irrigated rice areas. Nitrate residue in water
(including irrigation water) in more than 85% of rice fields has reached 5.40 ppm (the maximum level is 4.50
ppm). The use of pesticide has caused an increase of resistance of crop disturbance organisms, imbalance of
biodiversity, toxicity, and declining of agricultural product quality. In Indonesia, rice fields (approximately 8
million ha or 6.50% of the world rice fields) have been claimed as a source of greenhouse gas emission especially
methane (CH4), N2O, and CO2. Heavy metals such as Hg, Fe, Cd, Cu, Zn, and Mn are the major materials resulted
from industry that have entered to agricultural areas. Other major biophysical factors causing damage of
environmental condition in agricultural areas are those caused by land degradation which can be due to acidification,
salinization, alkalinization/sodification, erosion, desertification, nutrient depletion, loss of organic matter,
compaction, subsidence, water shortage, and flood. The Government of Indonesia has come up with policy to
face the environmental problems in agricultural areas by introducing regulations of fertilizer and pesticide
utilization, quarantine, and the policy in handling the problems through research and development programs.
Keywords: Environmental degradation, environmental management, agricultural development
106
ISU LINGKUNGAN
PERTANIAN
The Earth Summit (KTT Bumi) 1992 di
Rio de Janeiro merupakan indikator
utama semakin besarnya perhatian dan
kepedu- lian dunia internasional terhadap
masalah lingkungan serta semakin
mencuatkan pentingnya pembangunan
berkelanjutan. Isu lingkungan di sektor
pertanian
sudah
menjadi
topik
pembicaraan setelah Revolusi Hijau
digulirkan pada akhir 1960- an. Selain
karena
perhatian
dan
kepedulian
masyarakat dunia semakin besar, disadari
pula bahwa beberapa inovasi teknologi
muatan dari Revolusi Hijau berpotensi
merusak atau mengganggu lingkungan.
Pencemaran
Input
Agrokimi
a
Residu
INOVASI TEKNOLOGI
DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN
PERTANIAN
Sebagai salah satu negara anggota KTT
Bumi, Indonesia yang ikut meratifikasi
hasil konferensi tersebut mempunyai
komitmen yang kuat untuk mengatasi
masalah lingkungan, termasuk di
sektor pertanian. Terkait dengan ketiga
isu utama lingkungan di sektor
pertanian, pemerin- tah melalui
Departemen
Pertanian
telah
menetapkan beberapa kebijakan, yang
dibedakan atas dua pilihan utama.
Pertama,
kebijakan
dalam
pembangunan atau pengembangan
pertanian. Kedua, kebijakan yang
bersifat regulasi, penga- wasan, dan
pertanian yang mengombinasikan
teknologi tradisional dengan teknologi
modern. Jika penggunaan pupuk
organik dianggap sebagai teknologi
tradisional dan penggunaan pupuk
anorganik sebagai teknologi modern
maka konsep pengelolaan hara terpadu
yang mengom- binasikan pemupukan
organik dengan an- organik sudah
memenuhi kriteria per- tanian
berkelanjutan.
Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR)
sebagai induk organisasi lembagalembaga penelitian internasional mendukung
gagasan
pertanian
berkelanjutan, tetapi tidak sepakat
dengan
pengertian
pertanian
berkelanjutan yang diidentik- kan
dengan pertanian organik. CIMMYT
mengartikan
sustainable
dengan
support- able, yaitu memacu kenaikan
produksi dengan tetap menjaga
kelestarian ling- kungan.
Pengembangan
Pertanian
Organi
k
Pengembangan Sistem
Pertanian Berkelanjutan
Brown dan Hock (1999) mengemukakan
bahwa selain produktivitas, setidaknya
ada enam komponen yang menjadi tolok
ukur dari pembangunan pertanian berkelanjutan, yaitu: 1) kepunahan spesies,
2) kerusakan hutan, 3) erosi tanah, 4)
emisi karbon, 5) jumlah ikan yang
ditangkap, dan 6) laju kelahiran manusia
dibanding laju kematian. Oleh karena
itu, keenam tolok ukur tersebut juga
dijadikan acuan pengelolaan lingkungan
terutama dalam konteks pengelolaan
pembangunan yang bersih (clean
development management), seperti isu
keragaman hayati (biodiver- sity),
ecolabelling dan penebangan hu- tan,
mitigasi gas rumah kaca, dan polusi.
Mengacu kepada pengalaman penerapan Revolusi Hijau I, pembangunan
pertanian ke depan memerlukan reorientasi pendekatan, terutama dalam
pengem- bangan sistem produksi padi
dan tanaman pangan pada umumnya.
Beberapa kom- ponen dan pendekatan
Revolusi Hijau I masih cukup relevan,
namun ada beberapa aspek yang perlu
diperbaiki dan disemDi Indonesia, sebagai negara agraris
yang beriklim tropis basah dengan
sumber daya bahan organik yang
melimpah, pengem-
Sustainable
Agriculture,
LISA).
Sasaran
utamanya
adalah
menghasilkan produk dan lingkungan
(tanah dan air) yang bersih dan sehat
(ecolabelling attri- butes). Sistem ini
lebih
mengutamakan
nilai
gizi
(nutritional attributes), kesehat- an, dan
ekonomi produk, yang konsumen- nya
adalah kalangan tertentu (eksklusif),
dan
kurang
mengutamakan
produktivitas.
Kedua,
pertanian
organik
rasional (POR) atau pertanian
semiorganik sebagai sistem pertanian
yang menggunakan bahan organik
sebagai salah satu masuk- an yang
berfungsi sebagai pembenah tanah
dan suplemen pupuk buatan (kimia
anorganik). Pestisida dan herbisida
digu- nakan secara selektif dan
terbatas,
atau
menggunakan
biopestisida. Landasan utamanya
adalah sistem pertanian modern (GAP)
yang mengutamakan produktivitas,
efisiensi sistem produksi, keamanan,
serta kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan.
Berbeda dengan pupuk kimia
buatan (anorganik) yang hanya
menyediakan satu sampai beberapa
jenis hara saja, pupuk organik
mempunyai peran penting dalam
memperbaiki sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah. Meskipun kadar hara
yang dikandung pupuk organik relatif
rendah,
fungsi
kimianya
jauh
melebihi pupuk kimia buatan. Fungsi
kimia tersebut antara lain adalah: 1)
menyediakan hara makro (N, P, K, Ca,
Mg, dan S) dan mikro (Zn, Cu, Mo,
Co, B, Mn, dan Fe), 2) mencegah kahat
unsur hara mikro pada tanah
marginal atau tanah yang telah
diusahakan secara intensif dengan
pemupukan yang kurang seimbang, 3)
meningkatkan kapasitas tukar kation
(KTK) tanah, dan 4) membentuk
senyawa kompleks dengan ion logam
beracun seperti Al, Fe, dan Mn
sehingga logam- logam tersebut tidak
meracuni tanaman.
Fungsi fisika pupuk organik
antara lain adalah: 1) memperbaiki
struktur tanah, karena bahan organik
dapat mengikat partikel tanah
menjadi agregat yang mantap, 2)
memperbaiki distribusi ukuran pori
tanah sehingga daya pegang air
(water holding capacity) tanah
hara
tanaman,
namun
tidak
menyediakan senyawa karbon yang
berfungsi memper- baiki sifat fisik dan
biologi tanah, serta (kecuali untuk
pupuk
buatan
tertentu)
tidak
Sistem
Pertanian
Ekologis
Budi
Daya
Untuk
tanaman
pangan,
khususnya padi, pengembangan
pertanian organik
Pengelolaan
Terpadu
Tanaman
Inovasi
Mitigasi
GRK
Pertanian
Teknologi
Lahan
KELEMBAGAAN DAN
PERANGKAT
KEBIJAKAN
Kebijakan Kekarantinaan
Dalam upaya melindungi keseimbangan
ekologis serta kemungkinan masuknya
organisme asing dan produk yang tidak
higienis (bebas pestisida) ke dalam
negeri, Departemen Pertanian telah
sejak lama menerapkan sistem karantina
per- tanian yang diselenggarakan oleh
Badan Karantina Pertanian. Badan
tersebut tidak hanya mengawasi
pemasukan
tanaman
dan
benih
pertanian, tetapi juga produk- produk
pertanian seperti buah-buahan, sayuran,
dan ternak. Dalam Permentan No.
299/Kpts/OT.140/7/2005 pasal 153
ditegaskan pula bahwa Badan Karantina
Pertanian bertugas melakukan pengawasan keamanan hayati terhadap hewan,
produk hewan, tumbuhan, dan produk
tumbuhan yang diimpor, diekspor, dan
antararea.
Berbagai regulasi, peraturan, dan
perundang-undangan telah dikeluarkan
dan ditetapkan oleh pemerintah melalui
Pengendalian
Terpadu
Hama
KESIMPULAN
Dampak pembangunan pertanian terhadap lingkungan telah teridentifikasi,
dan pencemaran lingkungan oleh bahan
agrokimia (pupuk dan pestisida) merupakan salah satu dampak yang nyata.
Selain itu, kesalahan pengelolaan lahan
di masa lampau telah menyebabkan
rusaknya sebagian lahan pertanian, yang
DAFTAR
PUSTAKA
Agus, F. 2002. Multifunctionality and sustainability of paddy fields in Citarum river basin,
West Java. Paper presented in Seminar
Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan
Sawah, Jakarta 25 Oktober 2002.
Anonim. 1991. Carbofuran. (http://ww w.hcsc . gc .c a /e hp/e hd/c a ta l ogue /bhc _pubs /
dwgsup.doc/carbofur.pdf).
Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, and E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residue at West Java.
Proceedings of Greenhouse Gases Emission
Research and Increasing Rice Productivity
in Lowland Rice. Research Station for
Agricultural Environment Preservation,
Jakenan.
ronmental
Thailand.
Management,
Khon
Kaen,
Tabel Lampiran 1. Kandungan residu pestisida pada beberapa produk pertanian, tanah, dan air.
Sampel
Residu pestisida
Referensi
Padi/beras
Ardiwinata (1996)
Ardiwinata et al. (1997)
Ardiwinata et al. (1999)
Jatmiko et al. (1999)
Harsanti et al. (1999)
Ismaya (1996)
Kedelai
Susu
Telur
Ashari (1986)
Buah-buahan
Arvina (1998)
Syahbirin et al. (2001)
Sayuran
Karindah (1995)
Laksanawati et al. (1994)
Tanah
Lahan sawah
Sulaksono (2001)
Ardiwinata (1996)
Ohsawa et al. (1985)
Air sungai
Khlororganik
Air sumur
Lindan, endosulfan
Air laut
Khlororganik
Sapi
Endosulfan, khlorpirifos
Nuraini (2002)
Ikan
Daging kambing
Nuraini (2002)
Telur burung
Khlororganik
Ginoga (1999)
Indraningsih et al. (1988)