You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

Pembangunan yang gencar dilakukan oleh pihak pemerintah maupun


swasta belakangan ini adalah tidak lain demi meningkatkan seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Pembangunan yang dilaksanakan ini memiliki dampak
yang tidak hanya terbatas pada bidang sosial, ekonomi dan budaya saja, namun
juga memiliki dampak pada lingkungan hidup (Soemarno, 2007).
Contoh pembangunan yang memiliki dampak pada lingkungan hidup
sehingga menyebabkan kerugian baik pada manusia maupun lingkungan adalah
pembangunan Waduk Wonogiri yang direncanakan akan bertahan 100 tahun
tetapi gagal dan hanya bertahan 27 tahun akibat erosi (Maridi, 2012). Gagalnya
Waduk Wonogiri hanya salah satu contoh dari sekian banyak pembangunan yang
tidak memperhatikan lingkungan hidup. Maka dari itu diperlukan suatu studi yang
mengkaji mengenai dampak pada lingkungan hidup pada saat dilakukan
perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan yang melibatkan lingkungan hidup.
Studi tersebut dikenal dengan istilah AMDAL (Soemarno, 2007).
Analisis masalah dampak lingkungan hidup (AMDAL) merupakan kajian
mengenai dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan
(PP no 27 tahun 1999) (Adisasmito, 2015).
Analisis masalah dampak lingkungan hidup (AMDAL) di Indonesia
diberlakukan berdasarkan PP 51 tahun 1993 (sebelumnya PP 29 tahun 1986)
sebagai realisasi pelaksanaan UU No. 4 tahun tentang Lingkungan Hidup yang
saat ini telah direvisi menjadi UU No. 23 tahun 1997. Selain itu AMDAL juga
dimuat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang "Izin Lingkungan
Hidup" yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 dan UU No 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Djamin, 2007).
Tujuan dan sasaran dilakukannya studi AMDAL adalah menjaga dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak

negatifnya menjadi serendah mungkin. AMDAL juga dapat menjamin suatu usaha
dan/atau kegiatan yang beroperasi dapat berkelanjutan secara layak tanpa merusak
lingkungan hidup. Selain itu melalui AMDAL juga dapat meminimalkan dampak
negatif yang mungkin timbul, dan memanfaatkan serta mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia secara efisien (Adisasmito, 2015).
Mengingat pentingnya memperhatikan komponen-komponen lingkungan
hidup sebelum melakukan suatu pembangunan agar kualitas lingkungan dapat
ditingkatkan dan pencemaran lingkungan dapat ditekan, maka studi AMDAL
sangat penting untuk diketahui dan diterapkan, sehingga dampak negatif suatu
pembangunan dapat ditekan serendah mungkin dan manfaat pembangunan dapat
dirasakan oleh masyarakat dalam waktu yang lama.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1

Definisi AMDAL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) merupakan suatu kajian

dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, dibuat pada tahap
perencanaan, dan digunakan untuk pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji
dalam proses AMDAL antara lain adalah aspek fisik-kimia, ekologi, sosialekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan masyarakat sebagai pelengkap studi
kelayakan suatu rencana usaha atau kegiatan. AMDAL adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting untuk pengambilan keputusan suatu usaha atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha atau kegiatan (Peraturan
Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).
Agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran
yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan.
Peraturan pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL
adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib
mempertimbangkan

hasil

studi

AMDAL

sebelum

memberikan

ijin

usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang


penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan. (Soemarno, 2007)
Dokumen AMDAL terdiri dari:
1. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KAAMDAL).
2. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
3. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL).
4. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
Tiga dokumen (AMDAL, RKL dan RPL) diajukan bersama-sama untuk
dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil penilaian inilah yang menentukan
apakah rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut layak secara lingkungan atau
tidak dan apakah perlu direkomendasikan untuk diberi ijin atau tidak. Dalam
3

pelaksanaannya, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: (Soemarno,


2007)
1. Penentuan

kriteria

wajib

AMDAL,

saat

ini,

Indonesia

menggunakan/menerapkan penapisan 1 langkah dengan menggunakan


daftar kegiatan wajib AMDAL (one step scoping by pre request
list). Daftar kegiatan wajib AMDAL dapat dilihat di Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006.
2. Apabila kegiatan tidak tercantum dalam peraturan tersebut, maka wajib
menyusun UKL-UPL, sesuai dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 86 Tahun 2002.
3. Penyusunan AMDAL menggunakan Pedoman Penyusunan AMDAL
sesuai dengan Permen LH NO. 08/2006.
4. Kewenangan Penilaian didasarkan oleh Permen LH no. 05/2008.

2. 2 Manfaat AMDAL
Berikut merupakan penjelasan mengenai manfaat AMDAL: (Djamin, 2007)
a. Bagi masyarakat
Masyarakat dapat mengetahui rencana pembangunan di daerahnya,
sehingga

dapat

mempersiapkan

diri

di

dalam

penyesuaian

kehidupannya apabila diperlukan;


Masyarakat dapat mengetahui perubahan lingkungan di masa sesudah
proyek dibangun sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang dapat
menguntungkan dirinya dan menghindarkan diri dari kerugian-kerugian
yang dapat diderita akibat adanya proyek tersebut;
Masyarakat dapat ikut berpartisipasi di dalam pembangunan di
daerahnya sejak dari awal, khususnya di dalam memberikan informasiinformasi ataupun ikut langsung di dalam membangun dan menjalankan
proyek.
Masyarakat dapat memahami hal-ihwal mengenai proyek secara jelas
sehingga kesalahfahaman dapat dihindarkai dan kerja sama yang
menguntungkan dapat digalang.
4

Masyarakat dapat mengetahui hak den kewajibannya di dalam


hubungannya dengan proyek tersebut khususnya hak dan kewajiban di
dalam ikut dan mengelola lingkungan.
b. Bagi pemilik proyek
Proyek terhindar dari perlanggaran terhadap undang-undang atau
peraturan yang berlaku.
Proyek terhindar dari tuduhan pelanggaran pencemaran atau perusakan
lingkungan.
Pemilik proyek dapat melihat masalah-masalah lingkungan yang akan
dihadapi di masa yang akan datang.
Pemilik proyek dapat mempersiapkan cara-cara pemecahan masalah di
masa yang akan datang.
Analisis dampak lingkungan merupakan sumber informasi lingkungan
di sekitar lokasi proyeknya secara kuantitatif, termasuk informasi sosial
ekonomi dan sosial budaya.
Analisis dampak lingkungan merupakan bahan penguji secara
komprehensif dari perencanaan proyeknya, sehingga dapat diketahui
kelemahan-kelemahannya

untuk

segera

dapat

dilakukan

penyempurnaannya.
Dengan adanya analisis dampak lingkungan, pemilik proyek dapat
mengetahui keadaan lingkungan yang membahayakan (misalnya banjir,
tanah longsor, gempa bumi dan lain-lain) sehingga dapat dicari keadaan
lingkungan yang aman bagi proyek.
c. Bagi pemerintah
Untuk mencegah agar potensi sumberdaya alam yang dikelola tersebur
tidak rusak (khusus untuk sumberdaya alam yang dapat diperbaharui).
Untuk mencegah rusaknya sumberdaya alam lainnya yang berada di
luar lokasi proyek baik yang dioleh oleh proyek lain, diolah masyarakat
atau yang belum diolah.

Untuk menghindari perusakan lingkungan hidup seperti timbulnya


pencemaran air, pencemaran udara, kebisingan dan lain sebagainya,
sehingga tidak mengganggu kesehatan, kenyamanan dan keselamatan
masyarakat;
Untuk

menghindari

terjadinya

pertentangan-pertentangan

yang

mungkin timbul khususnya dengan masyarakat dan proyek-proyek


lainnya;
Untuk menjamin agar proyek yang dibangun sesuai dengan rencana
pembangunan daerah, nasional ataupun internasional serta tidak
mengganggu proyek lain;
Untuk menjamin agar proyek tersebut mempunyai manfaat yang jelas
bagi negara dan masyarakat;
Analisis dampak lingkungan diperlukan bagi pemerintah sebagai alat
pengambil keputusan.

2. 3 Tujuan AMDAL
AMDAL bertujuan untuk: (Soemarno, 2007)
a. Mengidentifikasikan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilakukan
terutama yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup.
b. Mengidentifikasikan komponen-komponen lingkungan hidup yang akan
terkena dampak besar dan penting.
c. Memprakirakan dan mengevaluasi rencana usahan dan atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup.
d. Merumuskan RKL dan RPL.

2. 4 Pihak-pihak terkait AMDAL


2. 4. 1 Penyusun Kegiatan
Dokumen AMDAL harus disusun oleh pemrakarsa suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan. Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa dapat meminta
jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen
6

AMDAL harus telah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan ahli di


bidangnya. Ketentuan standar minimal cakupan materi penyusunan AMDAL
diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.
2. 4. 2 Pelaku Kegiatan
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL adalah Komisi Penilai
AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan. Komisi Penilai
AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL. Di tingkat
pusat berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi
berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Propinsi, dan di
tingkat

Kabupaten/Kota

lingkungan

hidup

berkedudukan

Kabupaten/Kota.

di

Bapedalda/lnstansi

Unsur

pemerintah

pengelola

lainnya

yang

berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili


di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi
Penilai AMDAL ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup,
sementara

anggota-anggota

Komisi

Penilai

AMDAL

di

propinsi

dan

kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Pemrakarsa


adalah orang atau badan hukum yang bertanggungjawab atas suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Masyarakat yang berkepentingan
adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses
AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak
tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor
pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor
pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan
dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan
masyarakat pemerhati.

2. 5 Waktu Penggunaan AMDAL


Setiap rencana kegiatan yang mempunyai dampak besar dan penting, wajib
dibuat AMDAL Hal ini mengacu pada pasal 3 ayat 1 PP 27 tahun 1999
yaitu;(Djamin, 2007)

Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.

Eksploitasi SDA baik yang dapat diperbaharui/tidak dapat diperbaharui.

Proses dan kegiatan

yang secara potensial dapat menimbulkan

pemborosan, kerusakan, pemerosotan dalam pemanfaatan SDA, cagar


budaya.

Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, jasad renik.

Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati.

Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk


mempengaruhi lingkungan.

Kegiatan yang mempunyai tinggi dan mempengaruhi pertahanan negara


Meskipun AMDAL secara resmi diperkenalkan ke Indonesia pada tahun

1982, sebagian besar praktisi mengetahui asal muasal sebenarnya untuk beranjak
dari Peraturan No. 29/19869 yang menciptakan berbagai elemen penting dari
proses AMDAL. Sepanjang awal era 1990 didirikan suatu badan perlindungan
lingkungan pusat (BAPEDAL) terlepas dari Kementerian Negara Lingkungan,
dengan mandat meningkatkan pelaksanaan. (Horas, 2004)
AMDAL dan kendali atas polusi, didukung oleh tiga kantor daerah. Kajian
dan persetujuan atas berbagai dokumen AMDAL pada saat ini ditangani oleh
Komisi Pusat atau Komisi Daerah, sesuai dengan skala proyek dan sumber
pendanaan. Lebih dari 4000 AMDAL dikaji sampai dengan 1992 dimana menjadi
lebih jelas bahwa berbagai elemen dari proses tersebut terlalu kompleks dan
terlalu banyak didasarkan pada AMDAL gaya barat. Legislasi AMDAL yang
baru yang diberlakukan pada tahun 1993 yang memiliki efek pembenahan atas
prosedur

penapisan,

mempersingkat

jangka

waktu

pengkajian,

dan

memperkenalkan status format EMP yang distandardisasi (UKL/UPL) untuk


proyek dengan dampak yang lebih terbatas. Lebih dari 6000 AMDAL nasional
dan propinsi diproses berdasarkan peraturan ini termasuk sejumlah kecil AMDAL
daerah di bawah suatu komisi pusat yang didirikan di dalam BAPEDAL.
(Soemarno dan Djamin, 2007)
Dengan diundangkannya Undang-undang Pengelolaan Lingkungan yang
baru (No. 23/1997) berbagai reformasi lanjutan atas regulasi AMDAL menjadi
perlu. Peraturan 27/1999 diperkenalkan dengan simplifikasi lebih lanjut. Komisi
8

sektoral dibubarkan dan dikonsolidasikan ke dalam suatu komisi pusat tunggal,


sementara komisi propinsi diperkuat. Ketentuan yang lebih spesifik dan lengkap
atas keterlibatan publik juga diperkenalkan, sebagaimana halnya juga dengan
suatu rangkaian arahan teknis pendukung. Namun demikian PP 27/1999 ternyata
tidak tepat waktu, gagal untuk secara memadai merefleksikan berbagai perubahan
politis yang pada saat itu lebih luas yang akhirnya mengarah kepada desentralisasi
politik dan administratif. Analisis mengenai dampak lingkungan, yang sering di
singkat dengan AMDAL, lahir dengan di undangkannya undang-undang
tentang lingkungan hidup di Amerika Serikat, National Environmental Policy
Act (NEPA), pada tahun 1969. NEPA 1969 mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1970. Pasal 102 (2) (C) dalam undang-undang ini menyatakan, semua usulan
legislasi dan aktifitas pemerintah federal yang besar di perkirakan akan
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan diharuskan disertai laporan
Environmental Impact Assessment (Analisis Dampak Lingkungan) tentang usulan
tersebut.
NEPA 1969 merupakan suatu reaksi terhadap kerusakan lingkungan oleh
aktifitas manusia yang makin meningkat, antara lain tercemarnya lingkungan oleh
pestisida serta limbah industri dan transpor, rusaknya habitat tumbuhan dan
hewan langka, serta menurunnya nilai estetika alam. Misalnya, sejak permulaan
tahun 1950-an Los Angeles di negara bagian Kalifornia, Amerika Serikat, telah
terganggu oleh asap-kabut atau asbut (smog = smoke + fog), yang menyelubungi
kota, mengganggu kesehatan dan merusak tanaman. Asbut berasal dari gas limbah
kendaraan

dan

pabrik

yang

mengalami

fotooksidasi

dan

terdiri

atas

ozon, peroksiasetil nitrat (PAN), nitrogenoksida, dan zat lain lagi. (Djamin, 2007)
AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) adalah instrumen yang
sifatnya formal dan wajib (control and command) yang merupakan kajian bagi
pembangunan proyek-proyek kegiatan-kegiatan pasal 17a yang kemungkinan
akan menimbulkan dampak besar dari penting terhadap lingkungan hidup.
(Soemarno, 2007)
Dalam PP No.27 Tahun 1999 dinyatakan bahwa dampak besar dan penting
adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh

suatu usaha dan atau kegiatan. Selanjutnya pada pasal 5 PP tersebut dinyatakan
bahwa kriteria dari dampak besar dan periting dari suatu usaha atau kegiatan
terhadap lingkungan antara lain:
a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak.
b. Luas wilayah persebaran dampak.
c. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung.
d. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak.
e. Sifat kumulatif dampak.
f. Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (ireversible).
Dasar hukum dan prosedur pelaksanaan AMDAL diatur dalam PP No.27
tahun 1999 beserta beberapa KEPMEN yang terkait dan dikeluarkan oleh
Kementrian Negara Lingkungan Hidup. AMDAL dibuat sebelum kegiatan
berjalan atau operasi proyek dilakukan. Karena itu AMDAL merupakan salah satu
persyaratan keluarnya perizinan.

2. 6 Prosedur AMDAL
Terdapat empat prosedur dalam penyusunan AMDAL. Prosedur AMDAL terdiri
dari :
1. Proses penapisan (screening) wajib AMDAL.
Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi kegiatan wajib
AMDAL, yaitu menentukan apakah suatu rencana kegiatan wajib menyusun
AMDAL atau tidak.
2. Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan
Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib mengumumkan
rencana kegiatannya selama waktu yang ditentukan dalam peraturan tersebut,
menanggapi masukan yang diberikan, dan kemudian melakukan konsultasi
kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
3. Penyusunan dan penilaian Keranga acuan-analisis masalah dampak
lingukungan (KA-ANDAL)

10

Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL adalah proses


untuk menentukan lingkup permasalahan yang akan dikaji dalam studi
ANDAL (proses pelingkupan). Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai
disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi
Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, lama waktu maksimal
untuk penilaian KA-ANDAL adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan
oleh

penyusun

untuk

memperbaiki

atau

menyempurnakan

kembali

dokumennya.
4. Penyusunan dan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL,
dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati
(hasil penilaian Komisi AMDAL). Proses penilaian ANDAL, RKL, dan RPL.
Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL
dan RPL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan
peraturan, lama waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL
adalah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk
memperbaiki atau menyempurnakan kembali dokumennya.
Pada kasus di atas, analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) sangat
diperlukan. Dengan adanya AMDAL masyarakat dapat ikut memberikan masukan
terhadap pembangunan. Masyarakat yang merasa dirugikan harus mengetahui
dampak positif maupun dampak negatif, baik dampak yang dirasakan saat
pembangunan ataupun dampak yang dapat timbul setelah pembangunan jembatan.
Selain itu, solusi apa yang dilakukan bila dampak negatif tersebut timbul. Dengan
adanya AMDAL yang dibuat oleh komisi AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat
yang berkepentingan akan meningkatkan dampak positif pembangunan jembatan
dan menekan dampak negatif yang timbul.

2.7

AMDAL di Indonesia
Analisis

mengenai

dampak

lingkungan

(AMDAL)

di

Indonesia

diberlakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 51 tahun 1993 (sebelumnya


PP 29 tahun 1986) sebagai realisasi pelaksanaan UU no. 4 tahun 1982 tentang

11

Lingkungan Hidup yang saat ini telah direvisi menjadi UU no. 23 tahun 1997.
AMDAL merupakan instrumen pengelolaan lingkungan yang diharapkan dapat
mencegah kerusakan lingkungan dan menjamin upaya-upaya konservasi. Hasil
studi AMDAL merupakan bagian penting dari perencanaan pembangunan proyek
itu sendiri (Hendartomo, 2000; Adisasmito, 2015).
Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif,
AMDAL

harus dibuat pada tahap paling dini dalam perencanaan kegiatan

pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan pengesahan AMDAL


merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini, proyekproyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di sisi lain,
studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya-upaya untuk
meningkatkan dampak positif dari proyek tersebut (Hendartomo, 2000).
Dalam PP 51 Tahun 1993 ditetapkan 4 jenis studi AMDAL, yaitu
(Hendartomo, 2000):
1. AMDAL Proyek, yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang
berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya, rencana
kegiatan pabrik tekstil yang mempunyai kewenangan memberikan ijin dan
mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.
2. AMDAL Terpadu/Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu
rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya
keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta
berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih
dari satu instansi. Contohnya, satu kesatuan kegiatan pabrik pulp dan
kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek hutan tanaman industri
(HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, pembangkit tenaga listrik uap
(PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi
produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi,
yaitu Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen
Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
3. AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada satu rencana
kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatuan hamparan

12

ekosistem dan menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya, rencana


kegiatan pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini, masing-masing
kegiatan di dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya, karena
sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.
4. AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukkan bagi rencana
kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal
perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan
kewenangan lebih dari satu instansi, berada dalam satu kesatuan
ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum
Tata Ruang Daerah. Contohnya, pembangunan kota-kota baru.
Secara teknis, instansi yang bertanggung jawab dalam merumuskan dan
memantau penyusunan AMDAL di Indonesia adalah BAPEDAL (Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP 51 tahun
1993, kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi-instansi sektoral serta
BAPEDALDA Tingkat I. Dengan kata lain, BAPEDAL Pusat hanya menangani
studi-studi AMDAL yang dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada
tahun 1999, diterbitkan lagi penyempurnaan ini adalah untuk memberikan
kewenangan proses evaluasi AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini
adalah diberikannya kemungkinan partisipasi masyarakat di dalam proses
penyusunan AMDAL (Hendartomo, 2000).
Sebagaimana telah dievaluasi oleh banyak pihak, proses AMDAL di
Indonesia memiliki banyak kelemahan, yaitu (Hendartomo, 2000):
1. AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan satu
rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak terdapat kejelasan apakah
AMDAL dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui satu rencana
kegiatan pembangunan.
2. Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM
telah dilibatkan dalam sidang-sidang komisi AMDAL, akan tetapi
suaranya belum sepenuhnya diterima didalam proses pengambilan
keputusan.

13

3. Terdapatnya berbagai kelemahan didalam penerapan studi-studi AMDAL.


Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang
muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh
pihak pemrakarsa.
4. Masih lemahnya metode-metode penyusunan AMDAL, khususnya aspek
sosial-budaya, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi
sosial-budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama.

2.8

Faktor Penghambat AMDAL


AMDAL merupakan teknologi pembuatan perencanaan dan keputusan

yang berasal dari barat, negara industri yang demokratis dengan kondisi budaya
dan sosial berbeda, sehingga ketika program ini diterapkan di negara berkembang
dengan kondisi budaya dan sosiopolitik berbeda, kesulitan pun muncul
(Hendartomo, 2000).
AMDAL di Indonesia telah lebih dari 15 tahun diterapkan. Meskipun
demikian, berbagai hambatan atau masalah selalu muncul dalam penerapan
AMDAL, seperti juga yang terjadi pada penerapan AMDAL di negara-negara
berkembang lainnya. Hambatan tersebut cenderung terfokus pada faktor-faktor
teknis, seperti (Hendartomo, 2000):
a. Tidak memadainya aturan dan hukum lingkungan
b. Kekuatan institusi
c. Pelatihan ilmiah dan profesional
d. Ketersediaan data
Karakter budaya serta perilaku sosial dan politik orang Indonesia sangat
mempengaruhi bentuk penerapan AMDAL. Inisiatif program dan kebijakan
lingkungan di Indonesia sangat bersifat top down oleh pemerintah sendiri.
Inisiatif top down tersebut muncul bukan karena adanya kebutuhan
penganalisisan dampak, tetapi sebagai tanggapan terhadapa perkembangan barat.
Tekanan perkembangan barat untuk menanggapi masalah lingkungan terutama
melalui konferensi lingkungan internasional di Stockholm tahun 1972 dan Rio De
Janiero tahun 1992. Berbeda dengan di negara barat, program dan kebijakan

14

lingkungan dibuat karena adanya kebutuhan masyarakat, sehingga inisiatif


bersifat bottom up (Hendartomo, 2000).
Penerapan AMDAL di Indonesia tidak semudah di negara barat, karena
kondisi masyarakat yang berbeda, yang tidak dapat sepenuhnya memberi
dukungan terhadap tindakan pemerintah. Walaupun banyak isu lingkungan dalam
agenda sosial, tetapi isu tersebut masih dianggap kurang penting. Masyarakat juga
cenderung lebih mempertahankan hidup dengan menggantungkan pada sumber
daya alam daripada melakukan tindakan untuk melindungi kehidupan liar, spesies
langka dan keanekaragaman hayati. Agenda sosial untuk perlindungan lingkungan
tersebut juga lemah dan mempunyai sedikit kesempatan untuk diangkat menjadi
agenda politik. Kemiskinan, buta huruf, kurangnya informasi, sangat berkuasanya
elit politik dan ekonomi, rejim politik yang terlalu mengontrol dan otoriter,
merupakan faktor adanya situasi tersebut (Hendartomo, 2000).
Pengelolaan lingkungan sebenarnya merupakan kegiatan yang dilakukan
antar instansi, karena mencakup multi disiplin. Untuk efektifitas AMDAL,
seharusnya instansi lingkungan dan sektoral pemerintah harus melakukan
koordinasi, berbagi informasi dan bekerjasama untuk menerapkan AMDAL dalam
siklus proyek, melakukan evaluasi terhadap usaha penilaian dan perencanaan
lingkungan, serta mneyusun rekomendasi (Hendartomo, 2000).
Kerjasama ini tampaknya kurang terjadi pada pelaksanaan AMDAL di
Indonesia. Dalam penyusunan rancangan program, komisi AMDAL, yang berada
di masing-masing sektor kementrian dan propinsi bekerja sendiri-sendiri. Komisi
dapat menyetujui laporan AMDAL tanpa adanya konsultasi dengan departemen
lain yang bertanggung jawab terhadap lokasi proyek, kontrol gangguan dan ijin
kegiatan. Jadi program AMDAL hanya menyediakan sedikit atau tidak sama
sekali kesempatan secara resmi bagi staf pemerintah untuk bekerjasama
menghindari atau mengurangi dampak lingkungan selama perancangan proyek
dan selama proses kesepakatan pelaksanaan proyek (Hendartomo, 2000).
Pada umumnya, pelaksanaan AMDAL tidak mengikutsertakan partisipasi
masyarakat dalam perencanaan proyek dan pengambilan keputusan. Konsultasi
dengan masyarakat secara resmi pada proyek-proyek yang diusulkan biasanya

15

hanya dilakukan pada waktu survei untuk mengumpulkan informasi. Konsultasi


masyarakat dianggap tidak penting, karena dianggap semua telah sepakat.
Kalaupun ada keinginan masyarakat untuk menolak usulan proyek, karakter
budaya yang ada akan menghambat pengungkapan keinginan tersebut. Sebaliknya
di negara barat, pemerintah justru mensponsori diadakannya konsultasi
masyarakat dalam setiap usulan pembangunan, yang mana pertikaian dan
perdebatan dapat terjadi, dan semuanya adalah untuk tujuan atau kepentingan
bersama (Hendartomo, 2000).
Dalam kondisi pelaksanaan AMDAL di Indonesia tersebut, faktor budaya
seharusnya menjadi perhatian utama disamping faktor teknis, ketika mengkaji
kesulitan yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan atau program seperti
AMDAL, yang berasal dari Barat dan diterapkan di negara dengan budaya yang
berbeda (Hendartomo, 2000).
Implementasi AMDAL kurang efektif karena beberapa alasan sebagai berikut
(Anonim, 2015):
a. AMDAL dilakukan terlambat sehingga tidak dapat lagi memberikan masukan
untuk pengambilan keputusan dalam proses perencanaan
b. Tidak adanya pemantauan pada tahap operasional
c. AMDAL disalahgunakan untuk membenarkan diadakannya suatu proyek
Oleh karena itu, upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas
AMDAL adalah sebagai berikut (Anonim, 2015):
a. Menumbuhkan pengertian bahwa AMDAL bukan sebagai penghambat
pembangunan tetapi untuk menyempurnakan perencanaan pembangunan
b. Banyak data yang kurang relevan dengan masalah-masalah yang dipelajari
c. Laporan AMDAL harus ditulis dengan bahasa yang mudah dimengerti
d. Rekomendasi yang diberikan harus jelas dan spesifik
e. Adanya komisi AMDAL yang berkualitas
f. Belum digunakan RPL sebagai umpan balik untuk penyempurnaan
implemmentasi dan operasi proyek

16

2.9

Dampak pada AMDAL


Sesuai dengan definisi AMDAL dan peraturan PP No. 27/1999 Pasal 3

ayat 1 yang ditetapkan dalam pembuatan AMDAL. Kegiatan yang berdampak


pada lingkungan hidup antara lain adalah:
1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
2. Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak
terbaharu
3. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta
kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya
4. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya
5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya
6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik.
Selain itu, kriteria pengukuran dampak pada AMDAL juga bergantung
pada:
1. Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan.
2. Luas wilayah penyebaran dampak.
3. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung.
4. Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak.
5. Sifat kumulatif dampak.
6. Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Pada beberapa kasus, terdapat beberapa proyek yang dijalankan tanpa
melaksanakan pembuatan AMDAL terlebih dahulu. Hal ini dapat menyebabkan
berbagai dampak negatif baik dalam aspek sosioekonomi, ekologi, maupun
masyarakat. Beberapa contoh nyata yang memberikan dampak negatif yang besar
terhadap lingkungan adalah kasus lumpur Lapindo. Beberapa sumber menyatakan
bahwa kasus ini terjadi karena tidak adanya studi AMDAL yang dijalankan oleh

17

PT Lapindo. (Republika, 2009). Dan beberapa peninjauan dilakukan terhadap


kasus ini yaitu:
1. Pemanfaatan Sumber Daya Alam ( SDA ) tidak memperhatikan Lingkungan
Hidup
Mengingat Lapindo Brantas Inc. tidak memiliki AMDAL maka berdasarkan UU
No. 32 Tahun 2009 pasal 12 ayat ( 1 ), pemanfaatan sumber daya alam dilakukan
berdasarkan RPPLH. Dan dalam pasal 12 ayat ( 2 ) dikatakan bahwa dalam hal
RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan
sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dengan memperhatikan keberlanjutan proses dan fungsi
lingkungan hidup, keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup, keselamatan,
mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan kasus ini telah
membuktikan

bahwa

Lapindo

Brantas

Inc.

karena

kelalaiannya

telah

menyebabkan pencemaran.
2. Tidak Adanya Pengendalian Baik Oleh Pemerintah Maupun Penanggungjawab
Usaha
Dalam UU No. 32 Tahun 2009 pasal 13 ayat ( 1 ), pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakanlingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian
fungsi lingkungan hidup. Dan dalam ayat ( 2 ) tertulis bahwa pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan. Dalam ayat (3)
dikatakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan
kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Lapindo Brantas Inc.
tidak melakukan pengendalian ini dan pemerintah sebelum terjadi semburan juga
tidak melakukan upaya pengendalian yang maksimal hingga Lapindo Brantas Inc.
yang tidak memiliki AMDAL dapat melakukan eksplorasi sumber daya alam di
Sidoarjo saat itu.
3. Lapindo Brantas Inc. Tidak Memiliki AMDAL

18

Berdasarkan hasil investigasi Wahana Lingkungan Hidup ( WALHI ), selama


melakukan usaha pertambangannya, Lapindo Brantas Inc. tidak memiliki
AMDAL. Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku yaitu pasal 14 dan 22 UU No. 32 Tahun 2009. Mengingat
bahwa AMDAL merupakan prasyarat mutlak dalam memperoleh izin usaha,
dalam hal ini adalah kuasa pertambangan.
4. Lapindo Brantaas Inc. Berperan Dalam Pencemaran Lingkungan Hidup
Lumpur sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Kandungan logam berat
(Hg) air raksa, misalnya, mencapai 2,565 mg/liter Hg, padahal baku mutunya
hanya 0,002 mg/liter Hg. Hal ini menyebabkan infeksi saluran pernapasan, iritasi
kulit dan kanker. Kandungan fenol bisa menyebabkan sel darah merah pecah
(hemolisis), jantung berdebar (cardiac aritmia), dan gangguan ginjal. Ini tidak
sesuai dengan Pasal 20 UU No. 1 Tahun 2009 mengenai baku mutu lingkungan
hidup.
5. Tidak Maksimalnya Usaha Pemulihan Karena Putusan Pengadilan Yang Tidak
Sesuai Dengan Aspek Kebenaran Hukum
Gugatan WALHI ditolak seluruhnya oleh Putusan PN Jakarta Selatan, kemudian
di tingkat banding juga ditolak berdasarkan Putusan PT Jakarta yang menguatkan
Putusan PN Jakarta Selatan yang menyatakan bahwa semburan lumpur panas
Lapindo disebabkan karena bencana alam. WALHI tidak mengajukan kasasi atas
putusan PT Jakarta sehingga dianggap bahwa Putusan PT Jakarta telah in kracht.
Selain WALHI, YLBHI juga mengajukan gugatannya kepada PN Jakarta Pusat,
27 November 2007, namun Putusan PN Jakarta Pusat mengatakan bahwa
Pemerintah dan PT. Lapindo Brantas tidak melakukan Perbuatan Melawan
Hukum. YLBHI mengajukan banding dan kasasi, yang masing-masing hasil
putusannya juga menolak gugatan pihak YLBHI dan menyatakan bahwa
Pemerintah dan PT. Lapindo Brantas tidak bersalah. Dari putusan itu,
dipertanyakan bagaimana identifikasi dari bencana alam dan bukan bencana alam.
Kebenaran umum banyak membuktikan bahwa ini disebabkan kelalaian dari
Lapindo Brantas Inc., namun apabila ini diputus sebagai bencana alam maka
pertanggungjawabannya serta pemulihan menjadi dialihkan kepada Negarasesuai

19

pasal 54 UU No. 32 Tahun 2009. Dengan itu apabila memang Lapindo Brantas
Inc. yang menjadi penyebab dari pencemaran, ini berarti ia bebas untuk tidak
bertanggungjawab atas kelalaiannya
6. Pembuangan Lumpur Ke Laut Tidak Sesuai Dengan Pengelolaan Limbah B3
Lumpur yang menyembur di Sidoarjo, bukan lumpur biasa melainkan lumpur
panas yang mengandung banyak bahan berbahaya. Apabila dibuang kelaut maka
dapat mencemari ekosistem laut. Selain itu ini melanggar pasal 59 Undang
undang No. 32 Tahun 2009 (Lestari, 2013).

2.10 Contoh Kasus AMDAL


2.10.1 Pembangunan Jalan Tol Palembang-Indralaya (Palindra)
Pada tanggal 30 April 2015, Presiden Joko Widodo didampingi Gubernur
Sumsel Alex Noerdin meresmikan dimulainya groundbreaking jalan Tol
Palembang-Inderalaya (Palindra) di Desa Ibul Besar III, Ogan Ilir, Palembang,
Sumatera Selatan. Tol Palindra merupakan salah satu megaproyek Trans Sumatera
yang menelan dana investasi sebesar Rp sekitar Rp 3,4 triliun, bersumber dari
Penyertaan Modal Negara (PMN), investasi swasta dan pinjaman ke PT Hutama
Karya sebagai kontraktor yang ditunjuk pemerintah. Dibutuhkan lahan 302 hektar
untuk pembangunan Palembang-Indralaya yang dibagi dalam tiga seksi.
Seksi I sepanjang 10 kilometer dari KTM Rambutan menuju Indralaya. Seksi II
Pemulutan-KTM Rambutan sepanjang 5 kilometer, dan Seksi III sepanjang 7
kilometer Palembang-Pemulutan. Total pembangunan jalan Tol Palindra adalah
22 km. (Sindo News, 2015)

20

Gambar 1. Lokasi Pembangunan Jalan Tol

Pembangunan jalan tol akan memberikan dampak positif dan negatif,


adapun dampak positif yang timbul antara lain: Kemacetan teratasi, arus lalu
lintas lancar menjadi lancar, waktu tempuh perjalanan singkat, efektivitas waktu,
dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Namun hampir tidak mungkin bahwa
dalam suatu pembangunan tidak menimbulkan dampak negatif, adapun dampak
negatif yang dapat timbul akan berpotensi menimbulkan dampak berupa
perubahan kestabilan lahan (land subsidence), air tanah, dampak terhadap emisi,
lalu lintas, kebisingan, getaran, gangguan pandangan, gangguan jaringan
prasarana sosial (gas, listrik, air minum, telekomunikasi), dan dampak sosial
lainnya.

21

Gambar 2. Permasalahan Ganti Rugi Lahan Proyek Jalan Tol Palindra

Pada kasus di atas, analisis masalah dampak lingkungan (AMDAL) sangat


diperlukan. (Detik News, 2015) Dengan adanya AMDAL masyarakat dapat ikut
memberikan masukan terhadap pembangunan. Masyarakat yang merasa dirugikan
harus mengetahui dampak positif maupun dampak negatif, baik dampak yang
dirasakan saat pembangunan ataupun dampak yang dapat timbul setelah
pembangunan jembatan. Selain itu, solusi apa yang dilakukan bila dampak negatif
tersebut timbul. Dengan adanya AMDAL yang dibuat oleh komisi AMDAL,
pemprakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan akan meningkatkan dampak
positif pembangunan jalan tol dan menekan dampak negatif yang timbul.

22

2.10.2 Kerangka Teori

Pembangunan Jalan Tol


Palembang-Indralaya (Palindra),
OI, Sumatera Selatan

Struktur jalan tol:


Panjang total 22 kilometer
Pembebasan lahan 302 hektar

Dampak positif:
Kemacetan teratasi
Arus lalu lintas lancar
Waktu tempuh perjalanan singkat
Efektivitas waktu
Meningkatkan ekonomi masyarakat

Dampak negatif:
Berpotensi menimbulkan dampak
berupa perubahan kestabilan lahan (land
subsidence), air tanah
Dampak terhadap emisi, lalu lintas,
kebisingan, getaran, gangguan
pandangan,
Gangguan jaringan prasarana sosial
(gas, listrik, air minum, telekomunikasi)
Dampak sosial

Permasalahan dengan masyarakat


dan lingkungan terhadap
pembangunan jalan tol

AMDAL
(PP No 27 Tahun 1999)

Pihak terlibat:
Komisi AMDAL
Pemprakarsa
Masyarakat yang berkepentingan

Manfaat tercapai
Dampak negatif dapat ditekan

23

Prosedur Kerja AMDAL

24

BAB III
KESIMPULAN

AMDAL sebagai salah satu aspek penting dalam suatu perencanaan


pembangunan harus menjadi perhatian segala pihak yang terlibat dalam
pembangunan tersebut. Beberapa kasus telah menjadi contoh buruk dampak dari
tidak digunakannya AMDAL dalam suatu pembangunan. Hal ini tidak lepas dari
pengaruh pembangunan tersebut terhadap lingkungan hidup. AMDAL sangat
bermanfaat bagi segala pihak, mulai dari masyarakat, pemilik proyek hingga
pemerintah. Sehingga pihak-pihak tersebut juga harus menjalankan perannya
dalam mendukung suatu pembangunan baik selaku penyusun kegiatan maupun
pelaku kegiatan AMDAL.
Di Indonesia, AMDAL telah lebih dari 15 tahun diterapkan, tetapi masih
terdapat penghambat dalam pelaksanaan AMDAL ini. Terdapat banyak aspek
yang harus diperhatikan dalam menerapkan AMDAL di Indonesia, mulai dari
aspek sosial, ekonomi, politik, hingga budaya. Dampak lingkungan hidup yang
harus menjadi perhatian dalam AMDAL meliputi perubahan struktural alam,
eksploitasi sumber daya alam, kerusakan lingkungan hidup, masalah pelestarian
kawasan konservasi, dan lain-lain. Dampak dari proyek yang tidak menjalankan
AMDAL memberikan berbagai dampak negatif dalam aspek sosioekonomi,
ekoloi, maupun masyarakat. Oleh karena itu, AMDAL harus diterapkan dengan
sebaik mungkin mulai dari proses penapisan AMDAL, identifikasi dampak,
evaluasi dampak, hingga memutuskan apakah proyek tersebut layat dilaksanakan
atau perlu dimodifikasi. Semuanya itu harus dilaksanakan dengan memperhatikan
segala aspek yang terkait guna menjaga kelestarian lingkungan hidup.

25

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito,

Wiku,

2015.

Analisis

Dampak

Lingkungan

(AMDAL).

(http://ocw.ui.ac.id/pluginfile.php/390/mod_resource/content/0/sesi%209AMDAL%20I.pdf, diakses pada 17 Juni 2015 pukul 21.15 WIB).


Anonim.

2015.

Pengertin,

Peranan

dan

Proses

AMDAL.

(http://indonesiaforest.webs.com/masalah_amdal.pdf, diakses pada 17 Juni


2015 pukul 21.00 WIB).
Detik Sumsel. 2015. Masalah Ganti Rugi Lahan Proyek Jalan Tol Palindra
Terhambat. Diunduh melalui: http://detiksumsel.com/masalah-ganti-rugilahan-buat-proyek-jalan-tol-palindra-terhambat/ pada tanggal 17 Juni 2015
Djamin, Djanius. 2007. Pengawasan & Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan
Hidup.
Hendartomo, Tomi. 2000. Permasalahan dan Kendala Penanganan AMDAL
dalam

Pengelolaan

Lingkungan.

(http://indonesiaforest.webs.com/masalah_amdal.pdf, diakses pada 17 Juni


2015 pukul 20.45 WIB).
Horas, Nommy. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta:
Erlangga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lestari. 2013. Analisis Kasus Lingkungan Lumpur Lapindo Sidoarjo di Lokasi
Pengeboran Lapindo Brantas Inc Berdasarkan UU No 32 Tahun 2009.
Fakultas Hukum: Universitas Sebelas Maret.
Maridi. 2012. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Solo:
Universitas Negeri Sebelas Maret Press.
Sindo News. 2015. Jokowi Resmikan Groundbreaking Tol Palindra. Diunduh
melalui:

http://photo.sindonews.com/view/12315/jokowi-resmikan-

ground-breaking-tol-palindra pada tanggal 17 Juni 2015


Soemarno, Otto. 2007. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.

26

You might also like