You are on page 1of 24

Posted on May 11, 2011 by admin in asuransi syariah

Sejarah Asuransi Syariah


Sejarah terbentuknya asuransi syariah dimulai sejak tahun 1979 ketika sebuah perusahaan
asuransi di Sudan, yaitu Sudanese Islamic Insurance pertama kali memperkenalkan asuransi
syariah. Kemudian pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa di Uni Emirat Arab
juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah Arab.
Setelah itu pada tahun 1981 sebuah perusahaan asuransi jiwa di Swiss bernama Dar Al-Maal AlIslami memperkenalkan asuransi syariah di Jenewa. Diiringi oleh penerbitan asuransi syariah
kedua di Eropa yang di perkenalkan oleh Islamic Takafol Company (ITC) di Luksemburg pada
tahun 1983, dan diikuti pada beberapa negara yang lain.
Hingga saat ini asuransi syariah semakin dikenal luas dan dinikmati oleh masyarakat dan negaranegara baik muslim maupun non-muslim.

Pengertian Asuransi Syariah


Pengertian Asuransi Syariah berdasarkan Dewan Syarah Nasioanl (DSN) dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) adalah sebuah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah
orang melalui investasi dalam bentuk aset dan /atau tabarru yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Asuransi syariah adalah sebuah sistem dimana para peserta mendonasikan sebagian atau seluruh
kontribusi/ premi yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang
dialami oleh sebagian peserta.
Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah
adalah sharing of risk atau saling menanggung resiko. Apabila terjadi musibah, maka semua
peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer resiko
( transfer of risk atau memindahkan resiko ) dari peserta ke perusahaan seperti pada asuransi
konvensional.
Peranan perusahaan asuransi pada asuransi syariah terbatas hanya sebagai pemegang amanah
dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta.
Jadi pada asuransi syariah, perusahaan hanya bertindak sebagai pengelola operasional saja,
bukan sebagai penanggung seperti pada asuransi konvensional.

Tabarru
Definisi tabarru adalah sumbangan atau derma ( dalam definisi Isalam adalah Hibah).
Sumbangan atau derma (Hibah) atau dana kebajikan ini diberikan dan diikhlaskan oleh peserta

asuransi syariah jika sewaktu-waktu akan dipergunakan untuk membayar klaim atau manfaat
asuransi lainnya.
Dengan adanya dana tabarru dari para peserta asuransi syariah ini maka semua dana untuk
menanggung resiko dihimpun oleh para pesrta sendiri. Dengan demikian kontrak polis pada
asuransi syariah menempatkan peserta sebagai pihak yang menanggung resiko, bukan
perusahaan asuransi, seperti pada asuransi konvensional.
Oleh karena dana-dana yang terhimpun dan digunakan dari dan oleh peserta tersebut harus
dikelola secara baik dari segi administratif maupun investasinya, untuk itu peserta membarikan
kuasa kepada perusahaan asuransi untuk bertindak sebagai operator yang bertugas mengelola
dana-dana tersebut secara baik.
Jadi jelas disini bahwa posisi perusahaan asuransi syariah hanyalah sebagai pengelola atau
operator saja dan BUKAN sebagai pemilik dana. Sebagai pengelola atau operator, fungsi
perusahaan asuransi hanya MENGELOLA dana peserta saja, dan pengelola tidak boleh
menggunakan dana-dana tersebut jika tidak ada kuasa dari peserta.
Dengan demikian maka unsur ketidakjelasan (Gharar) dan untung-untungan (Maysir) pun akan
hilang karena :
1. Posisi peserta sebagai pemilik dana menjadi lebih dominan dibandingkan dengan posisi
perusahaan yang hanya sebagai pengelola dana peserta saja.
2.

Peserta akan memperoleh pembagian keuntungan dari dana tabarru yang terkumpul.

Hal ini tentunya sangan berbeda dengan asuransi konvensional (non syariah) dimana pemegang
polis tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah premi yang berhasil dikumpulkan oleh
perusahaan, apakah jumlahnya lebih besar atau lebih kecil dari pada pembayaran klaim yang
diakukan, karena di sini perusahaan, sebagai penanggung, bebas menggunakan dan
menginvestasikan dananya kemana saja.
http://alwayslistening.info/asuransi-syariah/

Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:
1. Asuransi syariah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi
produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini
tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syariah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan
asuransi konvensional berdasarkan jual beli
3. Investasi dana pada asuransi syariah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan
pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan
investasinya
4. Kepemilikan dana pada asuransi syariah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang
terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas
menentukan alokasi investasinya.
5. Dalam mekanismenya, asuransi syariah tidak mengenal dana hangus seperti yang
terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing
period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil
yang telah diniatkan untuk tabarru.
6. Pembayaran klaim pada asuransi syariah diambil dari dana tabarru (dana kebajikan)
seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan
dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan
pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana
perusahaan.
7. Pembagian keuntungan pada asuransi syariah dibagi antara perusahaan dengan peserta
sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi
konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
(Sumber: http://www.asuransisyariah.net)
http://asuransitakaful.net/2009/03/perbedaan-asuransi-syariah-dan-konvensional/

Sejarah Asuransi Syariah


Pada zaman Nabi Muhammad SAW, konsep asuransi syariah sudah dikenal dengan sebutan AlAqila. Saat itu suku arab terdiri atas berbagai suku besar dan suku kecil. Sebagaimana kita
ketahui, Rasulullah adalah keturunan suku Qurais, salah satu suku yang terbesar. Menurut
dictionary of islam, yang ditulis Thomas Patrick, jika ada salah satu anggota suku yang terbunuh
oleh anggota suku lainnya, sebagai kompensasi, keluarga terdekat dari si pembunuh akan
membayar sejumlah uang, darah atau diyat kepada pewaris Qurban.
Alaql adalah denda, sedangkan makna alaqil adalah orang yang menbayar denda. Beberapa
ketentuan system Aqilah yang merupakan bagian dari asuransi social dituangkan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam piagam madina yang merupakan konstitusi pertama setelah Nabi hijrah
ke madina. Dalam pasal 3 Konstitusi madina, Rasullulah membuat ketentuan mengenai
penyelamatan jiwa para tawanan. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa jika tawanan tertahan
oleh musuh karena perang, pihak tawanan harus membayar tebusan pada musuh untuk
membebaskannya
Perbedaa Asuransi Syariah dengan Konvensional
Konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri
wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi
bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai
keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang kita
kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita
untuk taawun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan)
dan melarang taawun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).
Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, Dan janganlah kalian memakan harta di antara
kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada
hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan
dosa, padahal kamu tahu. Hadist Nabi Muhammad SAW, Mukmin terhadap mukmin yang lain
seperti suatu bangunan memperkuat satu sama lain, Dan Orang-orang mukmin dalam
kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan. Apabila satu anggota badan menderita
sakit, maka seluruh badan merasakannya.
Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu pemindahan risiko dari
peserta/tertanggung ke perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu
pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekwensi maka kepemilikan
dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi.
Beberapa perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional, di antaranya adalah sebagai
berikut:

Akad (Perjanjian)
Setiap perjanjian transaksi bisnis di antara pihak-pihak yang melakukannya harus jelas secara
hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan bisnis tersebut saat ini dan
masa mendatang. Akad dalam praktek muamalah menjadi dasar yang menentukan sah atau
tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah. Hal tersebut menjadi sangat menentukan di
dalam praktek asuransi syariah. Akad antara perusahaan dengan peserta harus jelas,
menggunakan akad jual beli (tadabuli) atau tolong menolong (takaful).
Akad pada asuransi konvensional didasarkan pada akad tadabuli atau perjanjian jual beli. Syarat
sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual, pembeli, harga, dan barang
yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam perjanjian yang diterapkan dalam asuransi
konvensional hanya memenuhi persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjualbelikan. Sedangkan untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang
harus dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan.
Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan membayarkan uang
pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah premi yang akan disetorkan oleh
peserta tidak jelas tergantung usia. Jika peserta dipanjangkan usia maka perusahaan akan untung
namun apabila peserta baru sekali membayar ditakdirkan meninggal maka perusahaan akan rugi.
Dengan demikian menurut pandangan syariah terjadi cacat karena ketidakjelasan (gharar) dalam
hal berapa besar yang akan dibayarkan oleh pemegang polis (pada produk saving) atau berapa
besar yang akan diterima pemegang polis (pada produk non-saving).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang ulama salaf ternama dalam kitabnya Majmu Fatwa
menyatakan bahwa akad dalam Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan
menjauhkan penganiayaan. Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan
haknya kepada yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib
menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli. Dilarang
menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita mengadakan suatu perjanjian
dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka kita wajib melakukan hal-hal berikut: I%
Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis). I% Bentuk perjanjian harus jelas
dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi (akad tadabuli atau akad takafuli). I% Adanya
saksi dari kedua belah pihak. I% Para saksi harus cakap dan bersedia secara hukum jika suatu
saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari firman Allah SWT, surat al-Baqarah ayat
282).
Gharar (Ketidakjelasan)
Definisi gharar menurut Madzhab Syafii adalah apa-apa yang akibatnya tersembunyi dalam
pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti.
Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya batas
waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita sepakat bahwa
usia seseorang berada di tangan Yang Mahakuasa. Jika baru sekali seorang tertanggung
membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi sementara pihak tertanggung
merasa untung secara materi. Jika tertanggung dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung

dan tertanggung merasa rugi secara financial. Dengan kata lain kedua belah pihak tidak
mengetahui seberapa lama masing-masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidakjelasan
jangka waktu pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun
akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual beli/akad
tadabuli tersebut cacat secara hukum.
Pada asuransi syariah akad tadabuli diganti dengan akad takafuli, yaitu suatu niat tolongmenolong sesama peserta apabila ada yang ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh
para ulama dianggap paling selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik
muamalah yang gharar.
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi (transfer of
fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul adalah milik peserta (shahibul
mal) dan perusahaan asuransi syariah (mudharib) tidak bisa mengklaim menjadi milik
perusahaan.
Tabarru dan Tabungan
Tabarru berasal dari kata tabarraa-yatabarra-tabarrawan, yang artinya sumbangan atau derma.
Orang yang menyumbang disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabbaru bermaksud
memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama
peserta asuransi syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana
tabarru disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang
diberikan adalah dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk saling
menolong.
Menyisihkan harta untuk tujuan membantu orang yang terkena musibah sangat dianjurkan dalam
agama Islam, dan akan mendapat balasan yang sangat besar di hadapan Allah, sebagaimana
digambarkan dalam hadist Nabi SAW,Barang siapa memenuhi hajat saudaranya maka Allah
akan memenuhi hajatnya.(HR Bukhari Muslim dan Abu Daud).
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka dana yang dititipkan
oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat pula unsur dana tabungan
yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan. Sementara investasi pada asuransi
kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi
akan dibagikan kepada peserta sesuai dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka
dana tabungan beserta hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.
Maisir (Judi)
Allah SWT berfirman dalam surat al-Maidah ayat 90,Hai orang-orang yang beriman
sesungguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji,
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkan
keberuntungan.

Prof. Mustafa Ahmad Zarqa berkata bahwa dalam asuransi konvensional terdapat unsur gharar
yang pada gilirannya menimbulkan qimar. Sedangkan al qimar sama dengan al maisir.
Muhammad Fadli Yusuf menjelaskan unsur maisir dalam asuransi konvensional karena adanya
unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang polis asuransi jiwa
meninggal dunia sebelum periode akhir polis asuransinya dan telah membayar preminya
sebagian, maka ahliwaris akan menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polistidak
mengetahui dari mana dan bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan
uang pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari
keberanian mengambil risiko oleh perusahaan yang bersangkutan. Muhammad Fadli Yusuf
mengatakan, tetapi apabila pemegang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Yang
boleh disebut judi jika perusahaan asuransi mengandalkan banyak/sedikitnya klaim yang dibayar.
Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat dipengaruhi oleh banyak /sedikitnya klaim yang
dibayarkannya.
Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya dengan bunga, yang
berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga dilakukan saat perhitungan kepada
peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan di depan. Investasi asuransi konvensional
mengacu pada peraturan pemerintah yaitu investasi wajib dilakukan pada jenis investasi yang
aman dan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus
dipenuhi. Begitu pula dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi
yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bnak yang berdasarkan syariat Islam dengan sistem
mudharabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas petunjuk Dewan
Pengawas Syariah. Allah SWT berfirman dalam surat Ali Imron ayat 130,Hai orang-orang
yang beriman janganlah kamu memakan riba yang memang riba itu bersifat berlipat ganda dan
bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan. Hadist, Rasulullah
mengutuk pemakaian riba, pemberi makan riba, penulisnya dan saksinya seraya bersabda
kepada mereka semua sama.(HR Muslim)
Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta karena suatu sebab
tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing period. Sementara ia telah
beberapa kali membayar premi atau telah membayar sejumlah uang premi. Karena kondisi
tersebut maka dana yang telah dibayarkan tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi
non-saving atau asuransi kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi
yang dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Kebijakan dana hangus yang diterapkan oleh asuransi konvensional akan menimbulkan
ketidakadilan dan merugikan peserta asuransi terutama bagi mereka yang tidak mampu
melanjutkan karena suatu hal. Di satu sisi peserta tidak punya dana untuk melanjutkan,
sedangkan jika ia tidak melanjutkan dana yang sudah masuk akan hangus. Kondisi ini

mengakibatkan posisi yang dizalimi. Prinsip muamalah melarang kita saling menzalimi, laa
dharaa wala dhirara ( tidak ada yang merugikan dan dirugikan).
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena nilai tunai telah
diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang baru masuk karena satu dan
lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang sebelumnya dimasukkan dapat diambil
kembali kecuali sebagian kecil dana yang dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal
yang sama berlaku pula pada asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak
terjadi klaim, maka asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola
bagi hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang
dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak hangus).
Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya.
Konsep Taawun Dalam Asuransi Syariah
Sebagian para ahli syariah meyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem aqilah pada zaman
Rasulullah SAW. Dr. Satria Effendi M.Zein dalam makalahnya mendefinisikan takaful dengan at
takmin, at taawun atau at takaful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu
badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama -sama memikul suatu kerugian atau
penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan itu masing-masing
anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul akan terus dikembangkan,
sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di atas, bukan untuk kepentingan badan
pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk
keuntungan untuk dirinya sendiri. Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong
seperti yang diajarkan Islam.
Dewan Pengawas Syariah
Pada asuransi syariah seluruh aktivitas kegiatannya diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang merupakan bagian dari Dewan Syariah Nasional (DSN), baik dari segi operational
perusahaan, investasi maupun SDM. Kedudukan DPS dalam Struktur oraganisasi perusahaan
setara dengan dewan komisaris.
Itulah beberapa hal yang membedakan asuransi syariah dengan asuransi konvensional. Apabila
dilihat dari sisi perbedaannya, baik dari sisi ekonomi, kemanuasiaan atau syariahnya, maka
sistem asuransi syariah adalah yang terbaik dari seluruh sistem asuransi yang ada.
1. Konsep
Syariah (S) : Sekumpulan orang yg saling membantu,saling menjamin dan bekerja sama
dengan cara masing masing mengeluarkan dana terbaru.
Konvensional (K) : Perjanjian dua pihak atau lebih: pihak penanggung meningkatkan diri
pada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada
tertanggung.
2. Misi
S : Misi aqidah, ibadah (taawun), misi ekonomi (iqtishodl) dan misi pemberdayaan

umat(sosial)
K : Misi ekonomi dan sosial
3. Asal Usul
S : System Al-Aqilah, suatu kebiasaan suku arab sebelum Islam datang yang kemudian
disahkan oleh Rasulullah sebagai hukum islam
K : Dimulai dari masyarakat babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian
Hammurabi.
4. Sumber
S : Bersumber dari firman Allah, Al-Hadist dan Ijma Ulama.
K : Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum
alami dan berbagai contoh sebelumnya.
5. Maisir, Gharar dan Riba
S : Terbebas dari praktik dan unsur Maisir, Gharar, Riba
K : Tidak sesuai dengan syariah Islam karena ada hal-hal yang tidak sesuai dengan
syariah
6. Akad
S : Akad tabarru dan akad tijarat (mudharaba,wakalh, syrikah, dll)
K : Akad jual beli (akad muawadhah) dan akad gharar
7. Jaminan atau resiko
S : Sharing of risk, terjadinya proses saling menanggung antara satu peserta satu dan
peserta lainnya.(taawun)
K : Transfe risk; terjadi transfer resiko dari tertanggung kepada penanggung.
8. Pengelolaan Dana
S : Pada produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yaitu dana tabarru (derma) dari
dana peserta, sehingga tidak mengenal adanya dana hangus untuk terminsurance (life)
dan general insurance semua bersifat tabarru.
K : Tidak ada pemisah dana yang berakibat pada terjadinya dana hangus (produk saving
life)
9. Investasi
S : Dapat melakukan investasi sesuai ketentuan perundang-undangan sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Bebas dari riba dan berbagai tempat
investasi yang terlarang
K : Debas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundangan-undangan dan
tidak terbatas pada halal dan haramnya investasi yang di gunakan
10. Kepemilikan Dana
S : Dana yang terkumpul dari peserta dalam bentuk iuran atau kontribusi merupakan
milik peserta (shahibul maal), sedangkan perusahaan hanya pemegang amanah
(mudharib) dan mengelola dana
K : Dana yang terkumpul dari premi peserta seluruhnya. Perusahaan bebas menggunakan
dan menginvestasikan kemanapun dana tersebut

Keterangan :
S : Syariah
K: Konvensional
http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2010/03/02/perbedaan-asuransisyariah-dengan-konvensional/

PERBEDAAN ASURANSI SYARIAH DAN ASURANSI


KONVENSIONAL
12 Apr
Posted by Admin as Seputar Asuransi Syariah
PERBEDAAN ASURANSI SYARIAH DAN ASURANSI KONVENSIONAL
Di tabel yang ada di bawah ini menerangkan tentang perbedaan antara asuransi konvensional dan
asuaransi syariah. Pada tabel ini baru dipaparkan 5 item, Insya Allah akan terus saya tambah.
N
Prinsip
o

Asuransi Konvensional

1. Konsep

Perjanjian antara dua pihak


atau lebih, di mana pihak
Sekumpulan orang yang saling
penanggung mengikatkan diri membantu, saling menjamin, dan
kepada tertanggung, dengan
bekerja sama, dengan cara
menerima premi asuransi,
masing-masing mengeluarkan
untuk memberikan
dana tabarru.
pergantian kepada tertanggung.

2. Asal Usul

Dari masyarakat Babilonia


4000-3000 SM yang dikenal
dengan perjanjian Hammurabi.
Dan tahun
1668 M di Coffee House London
berdirilah Lloyd of London
sebagai cikal bakal asuransi
konvensional.

Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab


jauh sebelum Islam datang.
Kemudian disahkan oleh
Rasulullah menjadi hukum Islam,
bahkan telah tertuang dalam
konstitusi pertama di dunia
(Konstitusi Madinah) yang dibuat
langsung oleh Rasulullah.

Bersumber dari pikiran


manusia dan kebudayaan.
Berdasarkan hukum positif,
hukum alami, dan contoh

Bersumber dari wahyu Ilahi.


Sumber hukum dalam syariah
Islam adalah Al Quran, Sunnah
atau kebiasaan Rasulullah, Ijma,

3. Sumber
Hukum

Asuransi Syariah

sebelumnya.

Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan,


Urf, tradisi, dan Mashalih Mursalah.

Tidak sejalan dengan syariah


Maghrib
Islami karena adanya
(Maysir,
4.
Maysir, Gharar, dan Riba; hal
Gharar, dan
yang diharamkan dalam
Riba)
muamalah.

Bersih dari adanya prakter


Maysir, Gharar, dan Riba.

Tidak ada, sehingga dalam


DPS (Dewan
banyak prakteknya
5. Pengawas
bertentangan dengan
Syariah)
kaidah-kaidah syara/syariah.

Ada, yang berfungsi untuk


mengawasi pelaksanaan
operasional perusahaan agar
terbebas dari praktek-praktek
muamalah yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah

http://asuransisyariah.ds71.com/2009/04/12/perbedaan-asuransi-syariah-danasuransi-konvensional/

Saturday, August 16, 2008


Fatwa MUI tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia no: 21/DSNMUI/X/2001, tentang:

Pedoman Umum Asuransi Syariah


Menimbang :
a. Bahwa dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi
kemungkinan terjadinya resiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu
dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini.
b. Bahwa salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut dapat
dilakukan melalui asuransi.
c. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, asuransi merupakan persoalan baru
yang masih banyak dipertanyakan; apakah status hukum maupun cara aktifitasnya
sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.
d. Bahwa oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan dan menjawab pertanyaan
masyarakat, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang
asuransi yang berdasarkan prinsip Syariah untuk dijadikan pedoman oleh pihakpihak yang memerlukannya.
Mengingat :
Firman Allah tentang perintah mempersiapkan hari depan: Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa
yang Telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah,

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr
[59] : 18).
Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah, baik yang harus dilaksanakan
maupun dihindarkan, antara lain:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
(QS. Al-Maidah [5] : 1)
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. (QS. Al-Maidah [5] : 90 )
Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. 2: 275).
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Qs. 2 : Al-baqarah :
278).
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah,
bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya. (QS. Al-Baqarah [2] : 279)
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai
dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih
baik bagimu, jika kamu Mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2] : 280)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. (QS. An-Nisa [4] : 29).
Firman Allah tentang perintah untuk saling tolong menolong dalam perbuatan
positif, antara lain : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. AlMaidah [5] : 2).
Hadis-hadis Nabi S.A.W tentang beberapa prinsip bermuamalah, antara lain:

Barang siapa melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah
akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa
menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya. (HR. Muslim dari Abu
Hurairah).
Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan
mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka
bagian lain akan turut menderita (HR. Muslim dari Numan bin Basyir)
Seorang mumin dengan mumin yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian
menguatkan bagian yang lain (HR. Muslim dari Abu Musa al-Asyari).
Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat
yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. (HR. Tirmidzi dari
Amr bin Auf).
Setiap amalan itu hanyalah tergantung niatnya. Dan seseorang akan mendapat
ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya. (HR. Bukhari & Muslim dari Umar
bin Khattab).
Rasulullah s.a.w melarang jual beli yang mengandung gharar (HR. Muslim,
Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam
pembayaran hutangnya (HR. Bukhari).
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan
orang lain. (Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad
dari Ibnu Abbas dan Malik dari Yahya).
Kaidah Fiqh yang menegaskan: Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh
dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Segala mudharat harus dihindarkan sedapat mungkin.
Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.

Memperhatikan :
1. Hasil Lokakarya Asuransi Syariah DSN-MUI tanggal 13-14 Rabiuts Tsani 1422 H / 4
- 5 Juli 2001 M.
2. Pendapat dan saran peserta rapat pleno Dewan Syariah Nasional pada Senin,

tanggal 15 Muharram 1422 H / 09 April 2001.


3. Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada 25
Jumadil Awwal 1422 H / 15 Agustus 2001 dan 29 Rajab 1422 H / 17 Oktober 2001.
Dewan Syariah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG PEDOMAN UMUM
ASURANSI SYARIAH
Pertama : Ketentuan Umum
1. Asuransi syariah (tamin, takful atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi
dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan/atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang
tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm
(penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4. Akad tabarru adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan
kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5. Premi adalah kewajiban peserta asuransi untuk memberikan sejumlah dana
kepada perusahaan asuransi seuai dengan kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajb diberikan oleh perusahaan asuransi
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua : Akad dalam asuransi
1. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah
dan/atau akad tabarru.
2. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad
tabarru adalah hibah.
3. Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan:
a. Hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b. Cara dan waktu pembayaran premi;

c. Jenis akad tijarah dan/atau akad tabarru serta syarat-syarat yang disepakati,
sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga : Kedudukan para pihak dalam akad tijarah & tabarru
1. Dalam akad tijarah (mudharabah) perusahaan bertindak sebagai mudharib
(pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis).
2. Dalam akad tabarrru (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan
bertindak sebagai pengelola dana hibah.
Keempat : Ketentuan dalam akad tijarah & tabarru
1. Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru bila pihak yang
tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan
kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2. Jenis akad tabarru tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis asuransi dan akadnya
1. Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi
jiwa.
2. Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan
hibah.
Keenam : Premi
1. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru.
2. Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat
menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel
morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba
dalam penghitungannya.
3. Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil
investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4. Premi yang berasal dari jenis akad tabarru dapat diinvestasikan.
Ketujuh : Klaim

1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.


2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan
kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4. Klaim atas akad tabarru merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
Kedelapan : Investasi
1. Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang
terkumpul.
2. Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
Kesembilan : Reasuransi
Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi
yang berlandaskan prinsip syariah.
Kesepuluh : Pengelolaan
1. Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang
berfungsi sebagai pemegang amanah.
2. Perusahaan asuransi syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang
terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3. Perusahaan asuransi syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad
tabarru (hibah).
Kesebelas : Ketentuan tambahan
1. Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan
arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyarawah.
3. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Oktober 2001
DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
K.H. M.A. Sahal Mahfudh
Sekretaris
Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin
http://www.asuransisyariah.net/2008/08/fatwa-mui-tentang-pedoman-umumasuransi.html

PERKEMBANGAN ASURANSI SYARIAH


Posted by shanti dwi kartika Juli 15, 2009 Tinggalkan sebuah Komentar

Asuransi syariah di Indonesia secara de facto diawali dengan berdirinya PT. Syarikat Takaful
Indonesia pada tanggal 24 Februari 1994 atas prakarsa Tim Pembentukan Asuransi Takaful
Indonesia (TEPATI) yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui
Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia Tbk., PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri,
Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha muslim Indonesia. TEPATI ini mengadakan
studi banding ke Malaysia pada tanggal 7-10 Agustus 1993 sebagai langkah awal
pendirian,untuk melihat perkembangan dan sistem asuransi syariah di Malaysia yang dikelola
oleh perusahaan atau syarikat Takaful Malaysia SDN, Bhd. Setelah melakukan studi banding
TEPATI mendirikan PT. Syarikat Takaful Indonesia pada tanggal 24 Februari 1994, dengan
nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan SK. Menteri Kehakiman RI No. C26712.HT.01.01. Th. 1994 dan SIUP Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI No. 533/0901/PB/VII/2000. Sebagai pelopor asuransi syariah di Nusantara, PT. Syarikat Takaful Indonesia
telah melayani masyarakat dengan jasa perlindungan asuransi yang sesuai dengan prinsip syariah
dan menerapkan prinsip-prinsip murni syariah pertama di Indonesia, selama lebih dari satu
dasawarsa, melalui dua perusahaan operasionalnya: PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi

Jiwa Syariah) dan PT Asuransi Takaful Umum (Asuransi Umum Syariah), sebagai anak
perusahaan dari PT. Takaful Indonesia sebagai perusahaan induk (Holding Company).
Keberadaan PT. Syarikat Takaful Indonesia secara de jure baru diakui dengan didirikan PT
Asuransi Takaful Keluarga yang bergerak di bidang asuransi jiwa syariah (Islamic Life Insurance
Company) pada 4 Agustus 1994, dengan nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan pada SK.
Menteri Kehakiman RI No. C2-9583.HT.01.01. Th. 1994 dan SK. Menteri Keuangan RI No.
385/KMK.017/1994 dan mulai beroperasi pada 25 Agustus 1994 ditandai dengan peresmian oleh
Menteri Keuangan Marie Muhammad dan diikuti dengan pendirian anak perusahaan yang
bergerak di bidang asuransi umum syariah (Islamic General Insurance Company) yaitu PT
Asuransi Takaful Umum, dengan nomor ijin usaha dan operasional berdasarkan pada SK.
Menteri Kehakiman RI No. C2-18.286.HT.01.01. Th. 1994 dan SK. Menteri Keuangan RI No.
247/KMK.017/1995 pada tanggal 31 Mei 1995, yang diresmikan oleh Menristek/Ketua BPPT
Prof. Dr. B.J. Habibie pada 1 Juni 1995.
Tabel 1. Susunan Pemegang Saham PT Takaful Indonesia
PEMEGANG SAHAM PARTISIPASI SAHAM
Syarikat Takaful Malaysia
Islamic Development Bank (IDB)
Permodalan Nasional Mandiri
PT. Bank Muamalat Indonesia
PT. Karya Abadi Bangsa
Koperasi Karyawan Takaful
Pemegang Saham Lainnya
Berdasarkan tabel tersebut, kepemilikan mayoritas saham Syarikat Takaful Indonesia saat ini
dikuasai oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad (56%) dan Islamic Development Bank (IDB
26,39%), sedangkan selebihnya oleh Permodalan Nasional Madani (PNM) dan Bank Muamalat
Indonesia serta Karya Abdi Bangsa, Koperasi Karyawan Takaful dan pemegang saham lainnya.
Adapun latar belakang lahirnya sistem asuransi syariah dan penerapan prinsip syariah dalam
kegiatan usaha asuransi di Indonesia adalah :
a. Dengan sistem konvensional, sistem perekonomian akan rapuh dan tidak akan menyelesaikan
problem
b. Prinsip syariah sesuai dengan prinsip yang tertera dalam Al Quran (pedoman bagi umat Islam
dalam bermuamalah) dan prinsip syariah banyak mengandung unsur-unsur keadilan
dibandingkan dengan sistem konvensional
c. adanya permintaan pasar
d. adanya kebijakan pemerintah yang memberi kesempatan pada perusahaan untuk membuka
divisi syariah dan Fatwa MUI No. 21/DSN-MUI/2001 tentang Pedoman Asuransi Syariah
e. asuransi syariah di Indonesia sebelum kurun waktu tahun 2001 hanya dijalankan oleh PT.
Takaful sebagai pemain tunggal bidang usaha asuransi syariah.
Asuransi Takaful sampai dengan tahun 2001 awal merupakan pemain tunggal dalam asuransi
syariah di Indonesia, namun peluang terbuka untuk usaha asuransi syariah dengan adanya
kebijakan pemerintah melalui SK. Menkeu No. 268/KMK.06/2002 tanggal 7 November 2002,
yang memberi peluang bagi perusahaan asuransi konvensional untuk menjalankan usahanya

berbasis syariah melalui 3 (tiga) alternatif pendirian yaitu:


1. konversi langsung secara penuh dari asuransi konvensional ke asuransi syariah dengan
mengubah akad dan menghilangkan unsur maysir, gharar dan riba; atau
2. membentuk langsung lembaga asuransi syariah; atau
3. membuka kantor cabang asuransi syariah/divisi asuransi syariah.
Tabel 2. Perusahaan Asuransi dengan Sistem dan Prinsip Islami Tahun 1994-2002 :
Perusahaan Asuransi
Tahun
Keterangan
Asuransi Takaful Keluarga
1994
Asuransi Syariah
Asuransi Takaful Umum
1995
Asuransi Syariah
Asuransi Syariah Mubarakah
2001
Konversi Penuh
MAA Asuransi Jiwa
2001
Divisi Syariah
Asih Great Eastern
2001
Divisi Syariah
Tri Pakarta
2002 Divisi syariah
AJB Bumiputera 1912
2002 Divisi Syariah
BRIngin Jiwa Sejahtera
2002 Divisi Syariah
Asuransi Jasa Indonesia (JASINDO) 2002 Divisi Syariah
Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa selama rentang tahun 1994 sampai dengan tahun 2002,
terdapat 9 (sembilan) perusahaan asuransi di Indonesia yang menerapkan sistem dan prinsip
Islami. Pertumbuhan perusahaan asuransi syariah tersebut didukung dengan kebijakan
pemerintah dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 268/KMK.06/2002. Regulasi tersebut
menyebabkan beberapa perusahaan asuransi membuka divisi syariah dan ada yang melakukan
konversi penuh kepada sistem syariah, sehingga semakin banyak pemain dalam usaha asuransi
syariah.
Pertumbuhan asuransi syariah di Indonesia ini tidak terlepas dari faktor pendukung dan faktor
penghambat. Faktor pendukung perkembangan asuransi syariah tersebut antara lain jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 220.000.000 jiwa dan mayoritas beragama Islam
( 85%), sedangkan jumlah penduduk untuk wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa
Yogyakarta berkisar 35.000.000 jiwa dan 94% beragama Islam. Namun demikian pangsa pasar
yang demikian besar belumlah tergarap secara maksimal. Ini terbukti asuransi syariah baru dapat
menggarap 1,2% sampai 1,5% dari pangsa pasar asuransi nasional yang mencapai 10%-20% dari
jumlah penduduk Indonesia.
Selain potensi pasar tersebut, faktor pendukung pertumbuhan asuransi syariah juga berkaitan
dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) PP No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas PP No.
73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, yaitu modal minimum bagi
pendirian perusahaan asuransi berdasarkan prinsip syariah adalah Rp 50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah), modal pendirian ini lebih kecil daripada modal pendirian perusahaan
asuransi secara konvensional sebesar Rp. 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Modal
pendirian yang lebih sedikit ini pertumbuhan asuransi syariah mempunyai peluang lebih besar,
karena dimungkinkan bagi munculnya perusahaan-perusahaan baru di bidang asuransi syariah.
Perkembangan dan pelaksanaan asuransi syariah di Indonesia khususnya Yogyakarta masih
mengalami kesulitan ataupun kendala sebagai suatu hambatan dalam asuransi syariah. Adapun
kendala ataupun kesulitan yang dihadapi perusahaan asuransi dalam mengembangkan asuransi
syariah adalah :

a. Belum adanya payung hukum mengenai asuransi syariah. Belum ada payung hukum yang
secara khusus mengatur mengenai asuransi syariah di Indonesia. Selama ini, asuransi syariah
masih mendasarkan legalitasnya pada UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Secara
operasional asuransi syariah masih mengacu pada regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah
baik berupa peraturan pemerintah melalui PP No. 73 Tahun 1992 jo PP No. 63 Tahun 1999 jo PP
No. 39 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan usaha perasuransian, maupun regulasi menteri
keuangan yang berkaitan dengan asuransi syariah dan juga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI
melalui Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan asuransi syariah. Regulasi yang ada tersebut
sudah lebih baik dan mendukung pertumbuhan dan perkembangan asuransi syariah karena
regulasi tersebut dikeluarkan pemerintah melalui menteri keuangan berkaitan dengan asuransi
syariah, namun regulasi yang ada dan Fatwa DSN-MUI belum bisa mengakomodasi asuransi
syariah karena Fatwa DSN-MUI tidak mempunyai kekuatan hukum, sehingga diperlukan
peraturan perundang-undangan yang secara khusu mengatur asuransi syariah. Namun, sampai
saat ini belum ada payung hukum bagi asuransi syariah, meskipun RUU Asuransi Syariah sudah
lama diajukan ke DPR dan diharapkan RUU ini akan segera disetujui DPR sebagaimana RUU
Perbankan Syariah yang telah lebih dulu disetujui belum lama ini.
b. Faktor sumber daya manusia. Masih terbatasnya sumber daya manusia yang benar-benar
mempunyai kualifikasi, mengerti mengenai syariah dan asuransi syariah, serta mempunyai
semangat perjuangan dan pengembangan ekonomi syariah khususnya asuransi syariah.
Minimnya sumber daya manusia ini disebabkan karena sebagian besar dari sumber daya manusia
yang ada merupakan lulusan dari program studi konvensional dan kurang paham mengenai
syariah sehingga menyebabkan ketidakcocokan antara pengetahuan yang dipelajari saat di
perguruan tinggi dengan bidang kerja yang dijalaninya dan kondisi ini dapat menghambat
perkembangan ekonomi syariah. Selain jumlah sumber daya manusia yang minim, kendala dari
segi sumber daya manusia yaitu masih rendahnya motivasi diri dan belum ada pemahaman yang
matang mengenai segmentasi pasar dari team marketing perusahaan sehingga masih ada
kekacauan pasar.
c. Manajemen kantor cabang. Berdasarkan hasil observasi lapangan ditemukan fakta bahwa
manajemen kantor cabang masih tumpang tindih. Kantor cabang belum mempunyai pemisahan
fungsi manajemen layaknya di kantor pusat sehingga dimungkinkan terjadi tumpang tindih
diantara fungsi manajemen tersebut.
d. Kendala operasional. Kendala operasional ini berkaitan dengan prosedur akseptasi lebih ketat,
misalnya untuk dapat mengcover asuransi personal accident diperlukan list peserta dan jika tidak
ada maka berakibat jatuh ke gharar, sedangkan di asuransi konvensional tanpa list peserta (no
name) sudah bisa di cover. Selain dalam hal prosedur akseptasi, kendala operasional ini juga
dapat terjadi dalam hal pembayaran yang tidak lancar (macet) karena suatu hal peserta tidak
dapat menyetorkan premi pada waktunya bahkan dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan
dalam pembayaran. Jika terjadi demikian perusahaan memberikan toleransi kepada peserta
sehingga hubungan antara peserta dengan perusahaan tidak terputus dan tetap dapat proteksi
dengan dana tabarru dicover dengan jumlah nilai tunai yang ada dan apabila pembayaran sudah
kembali lancar, nilai tunai yang dipinjam akan dikembalikan. Namun apabila peserta
memutuskan untuk berhenti sebelum masa asuransi berakhir maka akan diberikan seluruh nilai
tunai yang sudah terkumpul. Selain itu kendala operasional ini proses penyelesaian polis yang

cenderung lama bisa lebih dari 14 (empat belas) hari sejak surat permintaan diajukan oleh calon
peserta bahkan bisa mencapai 30 (tiga puluh) hari atau lebih, terutama bagi Kantor Cabang yang
belum menggunakan sistem online, belum diberi kewenangan underwriting oleh Kantor Pusat
serta harus melewati prosedur seleksi field underwriting dan underwriting dimulai dari kantor
cabang ke kantor wilayah baru kemudian diteruskan ke kantor pusat untuk diproses
underwriting.
e. kurangnya kesadaran berasuransi. Kesadaran masyarakat Indonesia untuk berasuransi masih
sangat kurang (rendah), untuk jumlah pastinya secara normatif tidak bisa disebutkan, namun
partisipasi ekonomi syariah saat ini baru 2%. Kurangnya kesadaran ini terbukti dengan ratio
asuransi nasional yang hanya mencapai 12% dari jumlah penduduk Indonesia dan untuk asuransi
syariah sekitar 1,2%.
f. ketidaktahuan masyarakat. Pada dasarnya masyarakat belum banyak yang mengetahui
mengenai asuransi syariah, operasional maupun produk asuransi syariah serta keberadaan
divisi/kantor cabang syariah pada perusahaan asuransi konvensional disebabkan karena
sosialisasi yang dilakukan masih kurang intens dan belum ke semua customer. Akibat
ketidaktahuan akan asuransi syariah ini, bagi masyarakat yang mempunyai pengalaman
traumatik dengan asuransi konvensional berpendapat bahwa asuransi ini tidak jauh berbeda
dengan asuransi yang pernah mereka ikuti dimana uang mereka akan hilang dan sulit dalam
prosedural sehingga mereka merasa enggan, cenderung tidak simpatik dan non kooperatif ketika
disinggung mengenai asuransi syariah. Sedangkan bagi masyarakat yang masih netral,
beranggapan bahwa asuransi itu mahal sehingga diperlukan anggaran khusus dan ada dana lebih
untuk berasuransi, prosedur yang rumit dan masih binggung dengan produk dalam asuransi
syariah yang sekiranya sesuai dengan kondisi dirinya. Dua kelompok masyarakat ini, setelah
diberi penjelasan singkat mengenai asuransi syariah mulai terbuka cakrawala pemikirannya.
g. adanya perasaan traumatik pada asuransi konvensional. Perasaan traumatik ini lahir karena
mempunyai pengalaman dengan asuransi konvensional yaitu ketika mereka sebagai nasabah
asuransi konvensional dan karena suatu hal tidak dapat menunaikan kewajibannya membayar
premi maka ketika mereka akan mengurus asuransi tersebut mengalami kesulitan prosedural dan
bahkan dalam polis secara jelas dan terang terdapat klausa bahwa apabila tidak sanggup
melakukan pembayaran maka uang yang sudah dibayar tidak bisa dikembalikan.
Perkembangan usaha asuransi syariah tersebut juga dipengaruhi oleh produk asuransi syariah
yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi dengan prinsip syariah. Mengenai produk asuransi
syariah ini berkaitan dengan produk dasar asuransi. Produk dasar asuransi dibedakan dalam tiga
kelompok yaitu :
a. Term Insurance (Asuransi Berjangka), jenis asuransi untuk memberikan perlindungan dalam
jangka waktu tertentu khususnya jangka pendek, biasanya dalam waktu satu tahun atau dua tahun
dan asuransi jenis ini tidak mengandung unsur tabungan (non saving). Manfaat asuransi
diberikan ketika tertanggung meninggal dunia dalam periode waktu tertentu. Apabila tertangung
meninggal dunia dalam masa asuransi, perusahaan asuransi sebagai penanggung akan membayar
uang pertanggungan dan ahli waris yang ditunjuk akan menerima uang pertanggungan tersebut
sesuai dengan perjanjian asuransi tetapi apabila tertanggung masih hidup sampai jangka waktu
asuransi berakhir polis tersebut tidak berlaku dan tidak akan mendapat uang pertanggungan.

b. Endowment Insurance (Asuransi Dwiguna), jenis asuransi ini memberikan perlindungan dan
menyediakan sejumlah dana dalam jangka waktu tertentu minimal 5 (lima) tahun dan
mengandung unsur tabungan (saving). Asuransi dwiguna ini terdiri dari pure insurance dan total
insurance. Produk asuransi dwiguna ini misalnya asuransi pendidikan dan asuransi hari tua.
Manfaat asuransi diberikan apabila tertanggung meninggal dunia dalam masa asuransi dan
tertanggung masih tetap hidup sampai dengan masa asuransi berakhir. Apabila tertanggung
meninggal dunia dalam masa kontrak, maka perusahaan asuransi akan membayar uang
pertanggungan kepada ahli waris yang ditunjuk sesuai dengan perjanjian asuransi tetapi apabila
tertanggung masih tetap hidup sampai akhir perjanjian, maka tertanggung akan menerima uang
pertanggungan dari perusahaan asuransi.
c. Whole life Insurance (Asuransi Seumur Hidup), jenis asuransi ini memberikan perlindungan
tetap seumur hidup peserta. Manfaat asuransi diberikan pada waktu kapanpun tanpa dibatasi
waktu berakhirnya perjanjian. Apabila tertanggung meninggal dunia dalam masa asuransi
(seumur hidup) maka peserta/ahli waris akan mendapat uang pertanggungan.
d. Unit link merupakan produk asuransi yang lahir karena mengikuti perkembangan dan
permintaan pasar dengan tujuan untuk investasi dan berlaku dalam jangka waktu tertentu.
Manfaat berupa kesempatan memilih jenis investasi untuk pengembangan dananya dan
memberikan pertanggungan apabila tertanggung mengalami musibah sebagaimana yang telah
diperjanjikan.
Berdasarkan produk dasar tersebut, produk asuransi syariah dibedakan menjadi :
a. Term insurance, asuransi berjangka pendek biasanya dalam waktu 1 (satu) tahun/2 (dua) tahun
dan tidak mengandung tabungan (non saving). Manfaat asuransi diberikan kepada peserta sejak
mulainya perjanjian dan apabila peserta meninggal dunia dalam masa kontrak maka perusahaan
sebagai operator/penerima amanah membayarkan manfaat kepada ahli waris, namun apabila
peserta masih hidup sampai akhir masa kontrak ada porsi iuran yang dibagikan.
b. Endowment insurance, asuransi dwiguna dengan manfaat perlindungan dan investasi berupa
tabungan yaitu manfaat asuransi apabila peserta meninggal dunia dan tabungan berkala berupa
tabungan yang diberikan kapan saja. Apabila peserta meninggal dunia dalam masa kontrak, maka
perusahaan asuransi sebagai operator/penerima amanah akan membayarkan manfaat berupa
santunan kebajikan (dana tabarru) + tabungan + hasil investasi kepada ahli waris, namun apabila
peserta masih tetap hidup sampai akhir kontrak, maka peserta akan menerima tabungan + hasil
investasi.
c. Unit link, jenis asuransi yang memberikan manfaat perlindungan dan investasi dengan
memberi kesempatan kepada peserta memilih jenis investasi untuk pengembangan dananya.
Jenis investasi ini biasanya berupa saham, surat berharga, reksadana, obligasi melalui instrumen
syariah. Apabila peserta meninggal dunia maka kepada ahli warisnya akan diberikan dana
investasi milik peserta dan sejak saat itu perjanjian berakhir, namun apabila peserta masih tetap
hidup hingga perjanjian berkahir maka kepadanya akan diberikan dana investasi yang merupakan
akumulasi dana peserta beserta hasil investasinya dari penempatan dananya dan sejak itu
perjanjian berakhir.

Produk asuransi selain dibedakan berdasarkan produk dasar tersebut juga dibedakan menurut
obyeknya yaitu :
a. Asuransi Jiwa (life insurance), suatu bentuk asuransi yang menyediakan manfaat berkaitan
dengan perlindungan jiwa/keluarga seseorang atas hidup atau matinya seseorang tersebut. Produk
asuransi jiwa ini dibedakan asuransi perseorangan (retail) dan asuransi kumpulan (corporate).
Asuransi perseorangan (retail) melibatkan perusahaan asuransi dan individu (perseorangan),
sedangkan asuransi kumpulan (corporate) melibatkan perusahaan asuransi dengan
lembaga/instansi/perusahaan lain maupun sekelompok individu.
b. Asuransi Umum (general insurance), suatu bentuk asuransi yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga sebagai akibat terjadinya musibah (evenement).
Produk asuransi syariah merupakan gabungan dari formula dasar asuransi Term insurance,
Endowment insurance, Unit link; dibedakan atas Asuransi Jiwa (life insurance) dan Asuransi
Umum (general insurance); dan juga dibedakan antara produk yang mengandung unsur tabungan
(saving product) dan produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving product).
Produk asuransi tersebut menggunakan akad tabarru, mudharabah maupun wakalah bil ujrah,
dalam operasionalnya. Produk-produk asuransi syariah tersebut mempunyai manfaat
asuransi/takaful mulai dari awal perjanjian hingga perjanjian berakhir dan peserta dapat
mengajukan klaim mulai kapan pun juga selama masih dalam rentang waktu perjanjian yang
disepakati.
Produk asuransi syariah yang dipasarkan oleh perusahaan asuransi dengan prinsip syariah, yaitu :
a. Asuransi Jiwa /Takaful Keluarga/Life Insurance
Produk ini dibedakan atas asuransi perseorangan (retail), asuransi kumpulan (corporate), asuransi
dengan unsur tabungan (saving), dan asuransi tidak dengan unsur tabungan (non saving) dan
bertujuan untuk memberikan perlindungan keapda peserta yang bermaksud menyediakan
sejumlah dana bagi ahli warisnya dan atau penerima wasiatnya, apabila ia meninggal dunia,
sebagai tabungan bagi peserta yang masih hidup, serta sebagai persiapan apabila peserta
mendapat kesulitan dana akibat sakit, kecelakaan maupun mendapat ketidakmampuan. Produk
asuransi syariah ini terdiri dari asuransi perseorangan (asper)/layanan individu (retail) dan
asuransi kumpulan (askum)/layanan group/kelompok (corporate).
b. Asuransi Kerugian/Asuransi Umum/Takaful Umum/General Insurance
Produk dari general insurance ini tidak mengandung unsur tabungan (non saving). Produk
asuransi syariah yang dikeluarkan dan dipasarkan asuransi kendaraan bermotor, asuransi
kebakaran.
Berdasarkan paparan diatas dapat disimpulkan bahwa produk asuransi syariah berdasarkan jenis
usahanya dapat dibedakan menjadi asuransi jiwa yang terdiri dari produk saving dan non saving
baik secara individual maupun kumpulan, serta asuransi umum yang merupakan produk non
saving.
http://shantidk.wordpress.com/2009/07/15/perkembangan-asuransi-syariah/

You might also like