Professional Documents
Culture Documents
gejala
kompleks
kejang berulang
B. ETIOLOGI
Menurut (Mansjoer, 2000), penyebab epilepsi antara lain :
1. Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi pada anak
adalah epilepsi idiopatik.
2. Faktor herediter:
ada
beberapa
penyakit
yang
bersifat
hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
3. Faktor genetik: pada kejang demam dan breath holding spells
4. Kelainan kongenital otak: atropi, forensepali, agenesis korfus kalosum.
5. Gangguan
metabolik:
Hipoglikemia,
hipokalsimia,
hiponatremia,
hipernatremia.
6. Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan
selaputnya, toksoplasmosis.
berlebihan
neurotransmitter
aksitatorik
atau
deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari
sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan
yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum
kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus
kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang
berikut:
1) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
2) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara
berlebihan.
3) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau
defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
4) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan
berlebihan
neurotransmitter
aksitatorik
atau
deplesi
neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat
hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi
1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama
dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi (proses
berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena pendarahan;
Karbamazepin (CBZ)
Karbamazepin dapat menghambat saluran Na . Karbamazepin dapat
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pungsi Lumbar
Pungsi lumbar adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di
otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
Pemeriksaan ini dilakukan setelah
kejang demam pertama pada bayi.
a. Memiliki tanda peradangan selaput otak (contoh : kaku leher)
b. Mengalami complex partial seizure
c. Kunjungan ke dokter dalam 48 jam sebelumnya (sudah sakit dalam 48 jam
sebelumnya)
d. Kejang saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat)
e. Keadaan post-ictal (pasca kejang) yang berkelanjutan. Mengantuk hingga
sekitar 1 jam setelah kejang demam adalah normal.
f. Kejang pertama setelah usia 3 tahun
Pada anak dengan usia > 18 bulan, pungsi lumbar dilakukan jika tampak tanda
peradangan selaput otak, atau ada riwayat yang menimbulkan kecurigaan
infeksi sistem saraf pusat. Pada anak dengan kejang demam yang telah
menerima terapi antibiotik sebelumnya, gejala meningitis dapat tertutupi,
karena itu pada kasus seperti itu pungsi lumbar sangat dianjurkan untuk
dilakukan.
2. EEG (electroencephalogram)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidaknormalan
gelombang. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang
demam yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit (kelainan) neurologis.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa EEG yang dilakukan saat
kejang demam atau segera setelahnya atau sebulan setelahnya dapat
memprediksi akan timbulnya kejang tanpa demam di masa yang akan datang.
Walaupun dapat diperoleh gambaran gelombang yang abnormal setelah kejang
demam, gambaran tersebut tidak bersifat prediktif terhadap risiko berulangnya
kejang demam atau risiko epilepsi.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit, kalsium, fosfor,
magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam pertama.
Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam,
bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
4. Neuroimaging
II.
kejang, dan seberapa auh aat kejang dengan respons fisik dan
psikologis dari klien.
Tanyakan faktor-faktor yang memungkinkan predisposisi dari
serangan epilepsi, apakah sebelumnya klien pernah mengalami
trauma kepala dan infeksi serta kemana saja klien sudah meminta
pertolongan setelah mengalami keluhan.
Penting juga ditanyakan tentang pemakaian obat sebelunya
seperti pemakaian obat-obatan antikonvulsan, antipiretik dll., dan
riwayat kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga.
3. Riwayat penyakit dahulu
Penyakit yang pernah diderita sebelumnya (apakah mengalami
keadaan yang sama seperti sekarang seperti mengalami kejang
berulang).
4. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang menderita kejang, penyakit
saraf, dan penyakit lainnya.
5. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menulai respons emosi klien terhadap kondisi
pascakejang.nsetelah mengalami kejang klioen sering mengalami
perubahan konsep diri yang maladaptif. Klien akan lebih banyak
menarik diri, ketakutan akan serangan kejang berulang dan depresi
akan prognosis dari kondisi yang akan datang.
a. Aktivitas dan istirahat
Gejala yaitu keletihan, kelemahan umum, keterbatasan
dalam beraktivitas yang ditimbulkan oleh diri sendiri atau orang
lain. Tanda yaitu perubahan tonus, kekuatan otot, gerakan
involunter, kontraksi otot atau sekumpulan otot.
b. Sirkulasi.
Gejala yaitu iktal : hipertensi (tekanan darah tinggi),
peningkatan nadi, sianosis, tanda-tanda vital normal atau depresi
dengan penurunan nadi dan pernafasan.
c. Integritas ego.
Gejala
yaitu
stressor
eksternal
atau
internal
yang
dengan
pelebaran
rentang
ditandai
dengan
respon
emosional.
d. Eliminasi.
Gejala
yaitu
inkontinesia,
iktal
cerebral,
adanya
aura
(rangsangan
Gejalanya
yaitu
riwayat
terjatuh,
fraktur,
adanya
yaitu
dalam
terdapat
keluarga
masalah
atau
dalam
hubungan
lingkungan
sosialnya
pada
sitem
kemih
biasanya
didapatkan
Tujuan
Setelah
Intervensi
Rasional
aman
nyeri tenang.
dengan
Menurunkan
dan terhadap
reaksi
rangsangan
cahaya
dan
kriteria hasil:
menganjurkan klien untuk
Klien dapat tidur22. Lakukan manajemen
beristirahat.
dengan tenang.
nyeri dengan metode22. Membantu menurunkan
Wajah
klien
distraksi dan relaksasi (memutuskan)
stimulasi
tampak rileks.
nafas dalam.
sensasi nyeri.
Klien
33. Lakukan latihan
memverbalisasikan
33.
Dapat
membantu
gerak aktif atau pasif
penurunan rasa sakit.
relaksasi otot-otot yang
sesuai kondisi dengan
tegang
dan
dapat
lembut dan hati-hati.
menurunkan rasa sakit
44.
Kolaborasi
atau tidak nyaman.
pemberian analgesik. 44.
Diperlukan
untuk
2.
Setelah
dilakukan
1. 1.
Kaji
bebas
dari keluarga
cara
cedera
3.
Setelah
fenytoin
(dilantin).
dilakukan
1. 1.
Bantu
terapi,
klien
1. 1.
Ketakutan
yang
tidak baik.
2. Lakukan kerja
2. 2. Kerja sama klien dan
kriteria hasil:
sama dengan keluarga.
keluarga sangat penting
Klien
dapat
3. 3. Hindari konflik
3. 3.
Konflik
dapat
mengenal perasaannya dengan pasien dan
meningkatkan rasa marah,
Klien
dapat jalin trust dengan
menurunkan kerja sama
mengidentifikasi
baik.
dan
mungkin
penyebab atau faktor
memperlambat
yang mempengaruhi
4. Ajarkan kontrol
penyembuhan.
kecemasan
atau kejang.
4. 4.
Kontrol
kejang
ketakutan
dialaminya.
yang
bergantung
pemahaman
pada
aspek
dan
kerja
sama
klien.
dianjurkan
Klien
untuk
Beri
yang
suasana
lingkungan
tenang
dan
untuk
stimulan
yang
positif.Orientasi
dapat
menurunkan kecemasan.
D. Pelaksanaan
Merupakan komponen dari proses keperawatan (Potter & Perry,
2005) adalah kategori dari perilaku keperawatan di mana tindakan yang di
perlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang di perkirakan dari asuhan
keperawatan di lakukan dan di selesaikan. Sudut pandang teori,
implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti komponen
perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di banyak
lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara
langsung setelah pengkajian.Sebagai contoh, implementasi segera
diperlukan ketika perawat mengidentifikasi kebutuhan klien yang
mendesak, dalam situasi seperti henti jantung, kematian mendadak dari
orang yang dicintai, atau kehilangan rumah akibat kebakaran.
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses keperawatan mengukur respon klien
terhadap tindakan keperawatan dan kemajuan klien kearah pencapaian
tujuan (Potter & Perry, 2005). Evaluasi terjadi kapan saja perawat
berhubungan dengan klien. Perawat mengevaluasi apakah perilaku atau
respon klien mencerminkan suatu kemunduran atau kemajuan dalam
diagnose keperawatan atau pemeliharaan status yang sehat. Selama
evaluasi, perawat memutuskan apakah langkah proses keperawatan
sebelumnya
telah
efektif
dengan
menelaah
respon
klien
dan