You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan
gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang
gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan
sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak (Depkes RI,
2005).
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan gawat darurat harus tanggap dan
cepat dalam menangani pasien-pasien seperti korban bencana, kecelakaan, perawatan
medis yang segera dan lainnya. Oleh karena itu, perawat gawat darurat dituntut harus
siap baik secara fisik maupun mental dalam menangani pasien berkaitan dengan
jumlah pasien yang banyak dengan kondisi yang bermacam-macam. Triase atau
tindakan penanganan kegawatdaruratan di unit gawat darurat harus dilakukan oleh
seorang perawat professional yang sudah terlatih dalam prinsip-prinsip triage dengan
pengalaman kerja minimal selama enam bulan di bagian keperawatan gawat darurat
(Widodo, 2010). Salah satu kasus yang sering ditangani di unit gawat darurat yaitu
cedera kepala.
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak atau
otak yang terjadi akibat injuri baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan
disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak
(Price, 2006). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada
pengguna kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya
kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007). Lebih dari 50%
kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan kendaraan bermotor. Setiap
tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000 diantaranya

meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan mengalami
disabilitas permanen (Widiyanto, 2007). Angka kejadian cedera kepala yang dirawat
di rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan ke dua (4,37%)
setelah stroke, dan merupakan urutan ke lima (2,18%) pada 10 pola penyakit
terbanyak yang di rawat di rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2007).
Cedera kepala paling sering terjadi akibat terjatuh (40%), kekerasan (20%), dan
kecelakaan lalulintas (13%), cedera ini lebih sering terjadi pada laki-laki dan tidak
jarang berkaitan dengan konsumsi alcohol. Di Amerika Serikat kira-kira satu juta
orang dengan cedera kepala tiap tahun datang ke unit gawat darat (UGD). Hampir
separuh dari mereka berumur kurang dari 16 tahun. Cedera kepala ringan (90%) dapat
dipulangkan dari UGD dengan aman, tetapi 100.000 dari mereka harus diopname dan
1% dari mereka perlu dirujuk ke ahli bedah saraf. 5000 orang tiap tahun di Amerika
meninggal karena cedera kepala (Greaves et al, 2008).
Secara praktis, di klinik termasuk di rumah sakit, cedera kepala dikelompokkan
berdasarkan berat ringannya dengan menggunakan observasi kesadaran yang dikenal
dengan Glasgow coma scale (GCS) dan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu
cedera kepala ringan (nilai GCS 13-15), Cedera kepala sedang (nilai GCS 9-12) dan
cedera kepala berat (nilai GCS 3-8) (Hudak dan Gallo,1999). Cedera kepala berat
(GCS 3-8), mempunyai survival atau kemampuan untuk bertahan hidup yang lebih
rendah, terutama dalam 6 jam pertama setelah kedatangan. Waktu 6 jam setelah
kedatangan merupakan masa untuk melakukan tindakan awal di rumah sakit. Pada
waktu ini, proses kerusakan jaringan otak dan iskemik otak karena cedera primer
maupun terdapatnya cedera tambahan yang menimbulkan kegagalan kompensasi
dapat terjadi, sehingga kematian paling banyak terjadi dalam periode ini
(Retnaningsih, 2008).
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan

10%

meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan sebesar 80% dikelompokkan sebagai

cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%
sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Data epidemiologi di Indonesia belum ada,
tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk
penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar
10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10%
CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal (PERDOSSI, 2007).
Survival pasien cedera kepala dapat ditingkatkan, diantaranya dengan melakukan
penanganan awal yang tepat, mempercepat waktu prehospital, yaitu waktu dari
terjadinya kecelakaan sampai dengan kedatangan di IGD dan dengan mencegah
terjadinya hipotensi (tekanan sistolik yang merupakan akibat tambahan yang
menyertai cedera kepala (Stiver, dkk 2008). Penanganan awal pasien cedera kepala
berat di ruang IGD sangat memerlukan ketepatan, dan kecepatan yang maksimal oleh
karena itu diperlukan asuhan keperawatan yang sesuai dan tepat sesuai dengan
kondisi yang dialami oleh pasien untuk mengingkatkan harapan hidup dan kualitas
hidup pasien.
1.2 Tujuan
1.2.1

Untuk mengetahui tingkat kegawatan pada klien berdasarkan kasus.

1.2.2

Untuk mengetahui asuhan keperawatan gawat darurat sesuai dengan kasus.

1.2.3

Untuk mengetahui tindakan yang dapat dilakukan oleh tim medis sesuai
dengan kasus.

1.3 Manfaat
1.3.1

Agar mahasiswa dapat membuat asuhan keperawatan gawat darurat yang


komprehensif dan mampu mempelajarinya secara lebih mendalam.

1.3.2

Agar mahasiswa dapat menerapkan ilmu mengenai konsep dasar dan asuhan
keperawatan gawat darurat di lapangan dengan tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keperawatan Gawat Darurat


Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di
berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. Namun UGD dan klinik
kedaruratan sering di gunakan untuk masalah yang tidak urgen. Yang kemudian
filosopi tentang keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun
yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai kedaruratan
(Boswick (1997).
2.1.1 Prinsip Gawat Darurat
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009, gawat darurat
adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk
menyelamatkan

kehidupan

penderita,

mencegah

kerusakan

sebelum

tindakan/perawatan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang


berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat,
maka sering dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan
bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan
pelayanan secara cepat (Ramadhani et al, 2012).
2.1.2 Keperawatan Gawat Darurat
Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan
gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh perawat yang berkompeten di ruang
gawat darurat. Asuhan keperawatan yang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan
sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak. (Dep.Kes
RI, 2005).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu :
kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah

klien yang datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu,
adanya saling ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang
bekerja di ruang gawat darurat, keperawatan diberikan untuk semua usia dan sering
dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan
dengan ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009).
2.1.3 Kriteria Klien Yang Mengalami Kegawatdaruratan
Menurut Boswick (1997) kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya. Contoh : gawat nafas, gawat jantung, kejang, koma,
trauma kepala dengan penurunan kesadaran.
b. Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut
c. Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba tetapi tidak mengancam nyawa
atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.
d. Tidak gawat tidak darurat
Pasien poliklinik yang datang ke UGD.
2.1.4 Pertolongan Pertama Pada Gawat Darurat
a. Prinsip Dasar PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat)
Dalam pelaksanaan PPGD diperlukan prinsip P-A-T-U-T yang harus dimengerti,
dipahami dan diamalkan.
1.

P : Penolong menolong dirinya sendiri

2.

A : Amankan korban

3.

T : Tandai tempat kejadian

4.

U : Usahakan hubungi tim medis

5.

T : Tindakan pertolongan

Sedangkan tujuan dari PPGD adalah :


1.

Mencegah maut / menyelamatkan nyawa

2.

Mencegah kondisi lebih buruk / cacat

3.

Menunjang penyembuhan

b. Sistematika Pertolongan Pertama


1. Jangan Panik.
2. Jauhkan atau hindarkan korban dari kecelakaan berikutnya.
3. Perhatikan pernafasan dan denyut jantung korban.
4. Pendarahan.
5. Perhatikan tanda-tanda shock.
6. Jangan memindahkan korban secara terburu-buru.
7. Segera transportasikan korban ke sentral pengobatan.
c. Posisi Mantap
Posisi miring mantap adalah suatu posisi yang diberikan kepada korban / pasien yang
tidak sadar namun terdapat nadi dan pernafasan spontan. Posisi ini merupakan
kelanjutan dari tindakan BHD (bantuan hidup dasar) dimana tindakan BHD telah
berhasil dilakukan sehingga kembalinya denyut nadi dan korban bernafas secara
spontan. Posisi ini dilakukan pada pre hospital (di lapangan) yang bersifat sementara
hingga bantuan medis / petugas ambulans datang untuk memberikan pertolongan
lebih lanjut.
Tujuan posisi miring mantap :
1. Mencegah terjadinya aspirasi
2. Memberikan posisi yang stabil terhadap korban agar kita bisa menolong korban
lainnya (jika korban berjumlah lebih dari satu)
Prosedur memberikan posisi miring mantap :

1. Korban tidur terlentang pada posisi supine, penolong berlutut di sisi kanan
korban
2. Tangan kanan korban diluruskan di sisi kepala korban.
3. Tangan kiri korban ditekuk menyilang dada hingga posisi telapak tangan berada
dibahu kanan korban.
4. Lutut kaki kiri korban ditekuk ke kanan
5. Posisi tangan kiri penolong di bahu kiri korban, tangan kanan penolong di lipatan
lutut kiri korban

6.

Tarik korban dengan kedua tangan bersamaan ke kanan hingga korban


miring kanan (90 derajat) tahan badan korban dengan kedua kaki penolong agar
korban tidak terguling.

7.

Secara pelan-pelan miringkan lagi tubuh korban (disangga oleh kedua paha
penolong) hingga korban berada pada posisi miring.

8.

Cek kembali nadi karotis dan pernafasan korban, jika masih ada baru
korban bisa ditinggalkan

9.

Evaluasi kembali nadi dan pernafasan korban hingga petugas ambulans


datang.

(Eliastem et al, 1998)


2.2 Cedera Kepala Berat
2.2.1 Definisi Cidera Kepala Berat
Cedera kepala berat adalah cedera dengan skala koma glasgow 3 8 atau
dalam keadaan koma (Mansjoer, 2001).
Cedera kepala berat adalah cedera kepala dimana otak mengalami memar dengan
kemungkinan adanya daerah hemoragi , pasien berada pada periode tidak sadarkan
diri (Smeltzer & Bare, 2002).
Cedera kepala berat atau memar otak terjadi perdarahan di dalam jaringanotak tanpa
adanya

robekan

jaringan

yang

kasat

mata,

meskipun

neuron-

neuronmengalami kerusakan atau terputus (Harsono, 2000).


2.2.2 Etiologi Cidera Kepala Berat
Menurut Ginsberg (2007) cedera kepala berat disebabkan oleh:
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Jatuh
c. Trauma benda tumpul
d. Kecelakaan kerja
e. Kecelakaan rumah tangga
f. Kecelakaan olahraga
g. Trauma tembak dan pecahan bom
2.2.3 Manifestasi Klinis Cidera Kepala Berat
Beberapa manifestasi klinis dari cidera kepala berat menurut Ginsberg (2007), antara
lain:
a. Nyeri yang menetap atau setempat.
b. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial
c. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid (tanda battle), otoreaserebro
spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ), minoreaserebrospiral (les
d.
e.
f.

keluar dari hidung)


Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah
Penurunan kesadaran.
Pusing / berkunang-kunang. Absorbsi cepat les dan penurunan volume

g.

intravaskuler
Peningkatan TIK

h.
i.

Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremita.


Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan.

2.2.4

Penatalaksanaan

Menurut Smeltzer (2001) penatalaksanaan pada klien dengan cidera kepala antara
lain.
a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa
40% atau gliserol.
e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama
dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
g. Pembedahan.
2.2.5

Komplikasi

Cidera kepala yang tidak teratasi dengan segera atau tidak optimal dalam terapi maka
dapat menyebabkan beberapa komplikasi yaitu :
1. Edema paru
Edema paru terjadi akibat refleks chusing yang disebabkan peningaktan
tekanan intra kranial yang berakibat terjadinya peningkatan respon simpatis.
Peningkatan vasokonstriksitubuh secara umum akan lebih banyak darah yang
dialirkan ke paru. Perubahan permeabilitas pembuluh darah paru berperan
dalam

berpindahnya cairan

ke

aleolus.

Kerusakan

difusi

oksigen

dan

karbondioksida dari darah akan menimbulkan peningkatan tekanan intra


kranial lebih lanjut (Smeltzer, 2001).
2. Kebocoran cairan serebrospinal
Hal ini dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen yang terjadi pada 26% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan

dengan elevasi kepala setelah beberapa hari. Drainase lumbal dapat mempercepat
proses

ini.

Walaupun

pasien

memiliki resiko meningitis yang meningkat

(biasanya pneumokok). Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap


atau meningitis yang berulang merupakan indikasi operasi reparatif (Rosjidi dan
Nurhidayat, 2007).
3. Fistel karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala yaitu eksolftamos, kemosis, dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cidera (Smeltzer, 2001).
4. Diabetes insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormon anti diuretik. Pasien mensekresikan sejumlah
volume urine yang encer, menimbulkan hipernatremia dan depresi volume
(Mansjoer, 2000).
5. Perdarahan intra kranial
a. Hematoma epidural
Hemtoma

epidural

merupakan

suatu

akibat

serius

dari

cedera kepala.

Hematoma epidural paling sering terjadi pada daerah peritotemporal akibat


robekan arterio meningea media. Pengobatan secara dini dapat mengurangi defisit
neurologik.
b. Hematoma subdural
Hematoma epidural pada umumnya berasal dari arteria, hematoma subdural
berasal dari vena yang ruptur yang terjadi di ruang subdural. Hematoma
subdural dibedakan menjadi akut dan kronik:
1) Subduralis haematoma akut
Kejadian akut hematoma di antara durameter dan korteks, dimana pembuluh
darah kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan atau jembatan vena
bagian atas pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan.
Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah
cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan korteks.
Kejadian

dengan

cepat

memberi

tanda-tanda meningginya tekanan dalam

jaringan otak). Pada kejadian akut hematoma, lucidum intervalum akan terasa
setelah beberapa jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di
sini jarang memberi gejala epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut
hematoma subduralis pada trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fraktur kranii,
namun pembuluh darah arteri dan vena di korteks terluka. Pasien segera pingsan/
koma. Jadi, di sini tidak ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah
besar seperti arteri dan sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering
dijumpai

kombinasi

dengan intracerebral haematoma

sehingga mortalitas

subdural haematoma akut sangat tinggi.

2) Hematoma subdural kronik


Hematoma subdural kronik seringkali disebut peniru karena tanda dan
gejalanya tidak spesifik, tidak terokalisasi, dan dapat disebabkan oleh penyakit
lain. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Tanda dan gejala yang lain khas
adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran termasuk apati, letargi,
dan berkurangnya perhatian, menurunnya kemampuan untuk menggunakan
kecakapan kognitif lebih tinggi.
c. Subrachnoidalis Hematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan
pada permukaan dalam duramater. Gambaran klinik tidak menunjukkan gejalagejala penyakit tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan
meningeal. Akut Intracerebralis Hematoma terjadi karena pukulan benda tumpul
di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar
atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput
otak menjadi pecah pula karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar
sehingga terjadilah "subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya (Borley
dan Grace, 2006).

6. Gangguan Intestinal
Pada cedera kepala berat, akan terjadi erosi, pembentukan ulkus dan perdarahan
saluran cerna. Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang
simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga
mudah terjadi erosi pada lambung. (Iskandar, 2004).

BAB III
PEMBAHASAN
An. R 23 tahun dibawa ke UGD RS.Y karena kecelakaan lalu lintas di Bypass
Marlboro Barat. Hasil observasi didapat data : suara nafas gurgling, RR : 40 x/menit,
terdapat vulnus appertum pada area temporalis [D], luas luka 4 cm x 3 cm x 1 cm,
GCS : E2V2M3, raccoon eyes pada kedua orbital, otorrhea (+) pada sisi [D]. fraktur
terbuka pada humerus [D], lebam pada area right hypochondriac abdomen, hasil DL
didapatkan Hb 9,8 g/dL, pupil anisokor, CRT 3 detik pada kedua ekstremitas.
Menurut saksi sekaligus orang yang mengantar pasien ke RS, pasien kebut-kebutan
tanpa menggunakan helm dan membentur truk sampah dari depan, pasien terlempar
dari motor dengan kepala membentur bagian depan truk. Pasien dikatakan sempat
muntah menyembur berisi makanan bercampur darah.
3.1

Masalah apa yang dialami pada An. R sesuai ilustrasi kasus diatas?
Masalah yang dialami oleh An. R adalah cedera kepala berat (CKB), yang
ditandai dengan:
1.
An. R mengalami kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan karena kebut2.

kebutan
GCS < 8

3.

Terdapat vulnus appertum, yaitu luka robek berupa luka terbuka yang
terjadi akibat kekerasan tumpul yang kuat sehingga melampaui elastisitas

3.2

4.

kulit atau otot


Terjadinya perubahan dalam intrakranial yang ditandai dengan raccoon

5.
6.

eyes pada kedua orbital, otorrhea (+)


Pupil anisokor yang menandakan peningkatan tekanan intracranial
An. R mengalami muntah menyembur berisi makanan bercampur darah

Dilihat dari tingkat kegawatan, termasuk tingkat yang manakah An.R?


Pada kasus diatas pasien termasuk dalam kriteria kasus gawat darurat karena
terdapat perubahan fisiologis yang cepat yang dapat mengancam jiwa dan atau
anggota badannya yang dapat mengakibatkan kecacatan bila tidak ditangani
secara cepat dan akurat. Kriteria pasien masuk kategori gawat darurat pada
kasus ini adalah terganggunya jalan nafas yang ditandai dengan terdapatnya
suara nafas gurgling. Terganggunya fungsi sirkulasi ditandai dengan CRT > 3
detik. Terganggunya fungsi otak dan kesadaran yaitu pasien mengalami CKB
hal tersebut terlihat dari GCS < 8, raccoon eyes pada kedua orbital, otorrhea
(+), pupil anisokor yang menandakan peningkatan tekanan intrakrania, serta
pasien mengalami muntah menyembur berisi makanan bercampur darah, oleh
karena itu pasien dikategorikan gawat darurat dan memerlukan pencatatan yang
berkesinambungan untuk setiap tindakan yang dilakukan.

3.3

Pengkajian apa saja yang perlu dilakukan perawat UGD?


Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
Identitas Pasien
Nama
: An. R
Umur
: 23 tahun
Jenis Kelamin
:
Pekerjaan
:Agama
:Tanggal Masuk RS : 13 April 2015
Alasan Masuk
: kecelakaan lalu lintas

Jalan Nafas : Paten

Tidak Paten

Obstruksi : Lidah

Cairan

Benda Asing Tidak Ada

AIRWAY

Muntahan Darah
Suara Nafas :

Oedema

Snoring

Gurgling

crowing

Tidak ada
Keluhan Lain: ... ...
Masalah Keperawatan:
ketidakefektifan bersihan jalan napas
Nafas

: Spontan

Tidak Spontan

Gerakan dinding dada: Simetris


Irama Nafas : Cepat

Asimetris

Dangkal Normal

Pola Nafas : Teratur Tidak Teratur

BREATHING

Jenis

: Dispnoe Kusmaul Cyene Stoke

Suara Nafas : Vesikuler Wheezing


Sesak Nafas : Ada

Tidak Ada

Cuping hidung Ada

Tidak Ada

Ronchi

Retraksi otot bantu nafas : Ada

Tidak Ada

Pernafasan : Pernafasan Dada

Pernafasan Perut

RR : 40 x/mnt
Keluhan Lain:
Masalah Keperawatan:
Ketidakefektifan Pola Napas

Lain

Nadi

: Teraba

Tidak teraba

N: x/mnt

CIRCULATION

Tekanan Darah : mmHg


Pucat

: Ya

Tidak

Sianosis

: Ya

Tidak

CRT

: < 2 detik > 2 detik

Akral

: Hangat

Dingin

S: ... ...C

Pendarahan : Ya, Lokasi: Temporalis Dextra Jumlah ... ...cc

Tidak ada
Turgor

: Elastis

Diaphoresis: Ya

Lambat
Tidak

Riwayat Kehilangan cairan berlebihan: Diare Muntah Luka


bakar
Keluhan Lain:
Masalah Keperawatan:
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
Kesadaran

: Composmentis Delirium Somnolen Koma

GCS

: Eye 2

Verbal 2

Motorik 3

Pupil

: Isokor

Unisokor

Pinpoint

DISABILITY

Medriasis
Refleks Cahaya: Ada

Tidak Ada

Refleks fisiologis: Patela (+/-) Lain-lain


Refleks patologis : Babinzky (+/-) Kernig (+/-) Lain-lain ... ..
Kekuatan Otot :
Keluhan Lain : terdapat racoon eyes pada kedua orbital. Otorrhea (+)
pada sisi dekstra, muntah proyektil dengan muntahan bercampur darah
Masalah Keperawatan:
Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Perifer

Deformitas : Ya

Tidak

Lokasi humerus

Tidak

Lokasi right

dekstra
Contusio

: Ya

EXPOSURE

hypocondriac abdomen
Abrasi

: Ya

Tidak

Lokasi ... ...

Penetrasi

: Ya

Tidak

Lokasi ... ...

Laserasi

: Ya

Tidak

Lokasi temporalis

dekstra &
humerus dekstra
Edema

: Ya

Tidak

Lokasi ... ...

Luka Bakar : Ya

Tidak

Lokasi ... ...

Grade : ... ... %


Jika ada luka/ vulnus, kaji:
Luas Luka

: 4 cm x 3 cm x 1 cm

Warna dasar luka: ... ...


Kedalaman : ... ...
Lain-lain
: ... ...
Masalah Keperawatan:
Hambatan mobilitas fisik
Kerusakan integritas jaringan

FIVE INTERVENSI

Monitoring Jantung : Sinus Bradikardi


Saturasi O2 : %
Kateter Urine : Ada

GIVE COMFORT

Tidak

Pemasangan NGT : Ada, Warna Cairan Lambung : ... ...

Tidak

Pemeriksaan Laboratorium : Hb 9,8 g/dL


Lain-lain: ... ...
Masalah Keperawatan:
PK: Perdarahan
Nyeri : Ada

(H 10 SAMPLE

Sinus Takikardi

Tidak

Problem
:
Qualitas/ Quantitas :
Regio
:
Skala
:
Timing
:
Lain-lain
: ... ...
Masalah Keperawatan:

Keluhan Utama

Mekanisme Cedera (Trauma)

: pasien tidak menggunakan helm dan

membentur truk sampah dari depan, pasien terlempar dari motor dengan
kepala membentur bagian depan truk
Sign/ Tanda Gejala

Allergi

Medication/ Pengobatan

Past Medical History

Last Oral Intake/Makan terakhir:


Event leading injury

(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non trauma)

(H2) HEAD TO TOE

Kepala dan wajah

: vulnus appertum area temporalis, racoon

eyes
Leher

Dada

Abdomen dan Pinggang

: lebam pada area right hypocondriac

abdomen
Pelvis dan Perineum

Ekstremitas
Masalah Keperawatan:

PK: Perdarahan

3.4

Apa saja masalah keperawatan yang muncul pada kasus diatas?


1.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d. sekresi yang tertahan/sisa


sekresi (muntahan dan darah) d.d. suara napas tambahan (gurgling),

2.
3.
4.
5.

perubahan frekuensi napas.


Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak b.d trauma kepala
PK perdarahan
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d trauma d.d CRT > 3 detk
Kerusakan integritas jaringan b.d faktor mekanik (robekan open fraktur)

6.

d.d kerusakan jaringan kulit


Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang d.d
keterbatasan kemampuan melakukan keterampilan motorik kasar

3.5

Apa tindakan yang bisa dilakukan oleh tim medis?


1.
Suara napas pasien gurgling menandakan

adanya

cairan yang

menghambat jalan napas pasien. Cairan dalam kasus ini dapat berupa
darah. Ditambah lagi dengan RR 40x permenit. Jadi dilakukan tindakan
2.

suction untuk membebaskan jalan napas paien.


Melakukan identifikasi tingkat kesadaran pasien dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale. Pada kasus ini pasien tidak sadar saat dibawa ke
rumah sakit dengan GCS E2V2M3.

3.

Melakukan pemantauan TTV terhadap pasien berupa tekanan darah,

4.

denyut nadi, frekuensi nafas dan suhu pada pasien.


Adanya fraktur terbuka pada humerus dektra sehingga dilakukan fiksasi

5.

menggunakan bidai dan melakkan reposisi terhadap pasien.


Melakukan pemantauan capillary reffil time kepada pasien untuk

6.

menentukan perfusi jaringan perifer akibat mengalami perdarahan.


Perdarahan terjadi pada beberapa bagian tubuh pasien yaitu pada telinga,
area temporalis dan daerah humerus sehingga harus dilakukan
penghentian perdarahan. Terjadinya vulnus apertum pada area temporalis
dextra perlu dilakkukan hecting untuk menyatukan kulit dan jaringan
yang terputus oleh trauma.

3.6

Apa saja yang perlu dievaluasi pada kondisi pasien diatas?


Pada kasus di atas, hal yang perlu di evaluasi meliputi
1.

Evaluasi hasil pemeriksaan darah lengkap pasien untuk melihat ada atau
tidaknya masalah lain atau komplikasi yang dapat terjadi pada pasien

2.

Evaluasi suara napas pasien

3.

Evaluasi respirasi pasien

4.

Evaluasi luka pasien

5.

Evaluasi fraktur pasien

6.

Evaluasi penanganan dan tindakan yang telah diberikan kepada pasien


untuk mengetahui perkembangan kesehatan pasien dan untuk mengetahui
adanya tanda-tanda yang dapat membahayakan kondisi pasien serta dapat
mencegah terjadinya hal-hal yang dapat memperparah kondisi pasien.

7.

Evaluasi apakah terdapat peningkatan TIK pada pasien

8.

Evaluasi tingkat kesadaran

9.

Evaluasi tanda-tanda penurunan perfusi serebral

10.

Evaluasi adanya kejang

BAB IV
SIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1

SIMPULAN
Keparawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal keperawatan yang di
berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan kritis. faktor yang
mempengaruhi asuhan keperawatan gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan
seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang
ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling
ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di
ruang gawat darurat. Salah satu contoh dari kasus kegawatdaruratan ialah cidera
kepala berat (CKB) yang merupakan cedera kepala dimana otak mengalami
memar dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi , pasien berada pada
periode tidak sadarkan diri. Etiologi dari CKB dapat beragam salah satunya
yaitu kecelakaan lalu lintas. Tanda dan gejala yang dapat timbul yaitu
penurunan kesadaran, peningkatan TIK dan Peningkatan TD, penurunan frek.
Nadi serta peningkatan pernafasan. Tindakan penanganan yang dapat diberikan
secara cepat dengan membebaskan jalan nafas, baik dari cairan maupun benda
asing yang menghalangi, pemberian oksigenasi, stop perdarahan, dan
pembidaian bila mengalami fraktur

4.2

REKOMENDASI
Rekomendasi yang bisa penulis berikan yaitu dalam melakukan perawatan
pasien harus disesuaikan juga dengan evidence base yang ada, sehingga kualitas

keperawatan yang diberikan untuk pasien CKB dapat meningkatkan kualitas


hidup dan keselamatan pasien sendiri. Pemberian asuhan keperawatan juga
harus bertindak cepat dan tepat dalam penanganan pasien agar tidak terjadi
cedera yang tidak di inginkan dan mencegah adanya komplikasi yang dapat
terjadi. Pemberian asuhan keperawatan dalam melakukan pengkajian pada
pasien dengan CKB harus dilakukan dengan cermat dan teliti untuk mengetahui
ada tidaknya bahaya yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Baheram, L. (2007). Cedera kepala pada pejalan kaki dalam kecelakaan lalu lintas
yang fatal. Majalah Kedokteran Bandung.
Borley dan Grace. (2006). At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga.
Boswick. (1997). Perawatan Gawat Darurat. Jakarta: EGC
Departemen Kesehatan RI. (2005). Pedoman Pelayanan Keperawatan Gawat
Darurat. Jakarta: Dirjen Keperawatan dan Ketekhnisian Medik.
Departemen Kesehatan RI. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44
Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
DEPKES RI. (2007). Profil kesehatan Indonesia tahun 2006. Jakarta: DEPKES RI.
Eliastem, M., Sternbach, L.G., Bresler, J.M. (1998). Penuntun Kedaruratan Medis
Edisi 5. Jakarta: EGC
Ginsberg Lionel. 2007. Lecture Notes Neurologi. Jakarta; Erlangga.
Greaves,I. (2008). Head injury in trauma manual care. New York: Oxford University
Press Inc.
Harsono.

(2000).

Kapita

Selekta

Neurologi.Gadjah

Mada

University

Press,Yogyakarta.
Iskandar. (2004). Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara:
USU Press.
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: FKUI.

Mansjoer. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculaplus. Jakarta.


Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans
Info Media Medis.
PERDOSSI. (2007). Simposium trauma kranio-serebral. Pekanbaru.
Price, A. S., Wilson M. L., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC.
Ramadhani, R., et al. (2013). Pengkajian Gawat Darurat pada Pasien Dewasa.
Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Retnaningsih

(2008).

Cedera

Kepala

Traumatik.

(online).

(http://www.kabarindonesia.com/beritaprint.php?id=20080427234109,
diakses 13 April 2015).
Rosjidi dan Nurhidayat. (2008). Buku Ajar Perawatan Cedera Kepala dan Stroke.
Jogjakarta: Ardana Media.
Smeltzer, S. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth.
Volume 2 Edisi 8. Jakarta : EGC.
Stiver, Shirley. I. (2008). Prehospital management of traumatic brain injury.
California.
Widiyanto. P, (2007). Penanganan penderita cedera pra rumah sakit oleh
masyarakat

awam.

(online).

(http://www.google.co.id/search?

hl=id&q=dinas+perhubungan%2BCEDERA+KE
PALA&btnG=Telusuri+dengan+Google&meta=, diakses 13 April 2015).
Widodo. (2010). Perbedaan tingkat stres kerja antara perawat kritis dan perawat
gawat

darurat

di

RSUD

dr.

Moewardi

Surakarta.

(online).

(https://www.google.com/search?
es_sm=122&q=perawat+gawat+darurat+dituntut&oq=perawat+gawat+darurat
+dituntut&gs_l=serp.3...174371.202332.0.203543.36.30.0.0.0.0.609.4378.46j3.9.0.msedr...0...1c.1.64.serp..31.5.2385.0.AtNxLQaiJIk)

You might also like