You are on page 1of 14

Acara III

FERMENTASI SUBSTRAT CAIR


FERMENTASI NATA DE COCO
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:
Nataya Aulia Sani
NIM : 12.70.0042
Kelompok B5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015

1. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan fermentasi nata de coco dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Fermentasi Substrat Cair Fermentasi Nata de coco


Kel

Tinggi media awal (cm)

B1
B2
B3
B4
B5

2
1,5
2,9
2
1,5

0
0
0
0
0
0

Ketebalan
7
14
0,3 cm 0,8 cm
0,5 cm 0,6 cm
0,3 cm 0,5 cm
0,4 cm 0,5 cm
0,5 cm 0,8 cm

Persentase Lapisan (%)


0
7
14
0
15
40
0
13,33
40
0
10,34
17,24
0
20
25
0
33
53

Berdasarkan tabel di atas diketahui tinggi media awal, tinggi ketebalan nata pada hari ke
0, 7 dan 14, serta persentase lapisan nata pada hari ke 0, 7 dan 14. Dari hasil tersebut
dapat dikatakan bahwa pada hari ke-0, semua kelompok belum menghasilkan nata. Pada
hari ke-7 dan ke-14 telah terbentuk nata dengan ketebalan dan persentase lapisan yang
meningkat dari hari ke-7 menuju hari ke-14.

2. PEMBAHASAN

Air kelapa mengandung air 91,23%, protein 0,29%, lemak 0,15%, karbohidrat 7,27%,
dan abu 1,06%. Selain itu, air kelapa juga mengandung berbagai komponen penting
lainnya seperti sukrosa, dextrosa, fruktosa, vitamin B kompleks. Sehingga dengan
berbagai komponen nutrisi tersebut, air kelapa mempunyai potensi yang baik untuk
dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam organik seperti nata de coco
(Awang, 1991). Berdasarkan teori Santosa et al. (2012), nata de coco adalah produk
fermentasi yang terdiri dari komponen selulosa yang dihasilkan dari air kelapa dengan
melibatkan mikroba Acetobacter xylinum. Mikroorganisme ini dapat tumbuh dan
berkembang membentuk nata de coco karena kandungan air yang tinggi yaitu 91,23%,
protein 0,29%, lemak 0,15%, karbohidrat 7,27%, dan abu 1,06% di dalam air kelapa. Di
dalam air kelapa juga terdapat nutrisi antara lain sukrosa, dektrosa, fruktosa, dan vitamin
B kompleks yang dapat meningkatkan pertumbuhan Acetobacter xylinum untuk
membentuk nata de coco.

Nata de coco merupakan salah satu produk olahan air kelapa yang saat ini mulai populer
dan digemari masyarakat. Nata de coco memiliki bentuk padat, kokoh, kuat, putih,
transparan, kenyal dengan rasa yang mirip kolang-kaling. Nata merupakan sejenis
komponen minuman yang merupakan senyawa selulosa (dietary fiber). Minuman nata de
coco dihasilkan dari air kelapa melalui proses fermentasi, yang melibatkan bakteri
Acetobacter xylinum (Astawan & Astawan, 1991). Sehingga hal ini sesuai dengan jurnal
yang dibuat oleh Jagannath et al. (2008) yang menjelaskan bahwa pembuatan nata dapat
dilakukan secara tradisional yakni dengan menggunakan Acetobacter xylinum.

Menurut Pambayun (2002) pembentukan nata dapat terjadi karena Acetobacter xylinum
mengkonsumsi glukosa yang terkandung pada substrat dan kemudian glukosa
membentuk gabungan prekursor dengan asam lemak pada membran sel. Prekursor
kemudian dikeluarkan dalam bentuk ekskresi dan bersama enzim mempolimerisasikan
glukosa menjadi selulosa di luar sel. Sedangkan menurut Rahayu et al. (1993),
Acetobacter xylinum dapat membentuk nata karena komponen selulosa dari glukosa yang
membentuk myofibril panjang dalam cairan fermentasi. Namun, jika terdapat gangguan

seperti goncangan dalam proses fermentasi maka cairan akan turun ke bawah dan nata
tidak terbentuk. Sehingga pada praktikum fermentasi substrat cair ini telah sesuai karena
menggunakan air kelapa sebagai substrat untuk menghasilkan produk nata de coco.

Metode pembuatan nata de coco yang telah kami lakukan dalam praktikum Teknologi
Fermentasi diawali dengan pembuatan media. Pembuatan media dilakukan dengan
menyaring air kelapa menggunakan kain saring dengan tujuan untuk memisahkan kotoran
dan gumpalan kelapa yang masih tertinggal. Proses penyaringan air kelapa dapat dilihat
pada Gambar 1.

Gambar 1. Penyaringan Air Kelapa


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Setelah itu, dilakukan pemanasan dan penambahan gula sebanyak 150 gram (10%) diaduk
hingga larut. Pemasakan dilakukan agar mikroba kontaminan yang ada di dalam air
kelapa mati, sehingga tidak hanya diperoleh air kelapa yang bersih dari pengotor namun
juga steril (Tortora et al., 1995). Hayati (2003) mengatakan, penambahan gula berperan
dalam pembentukan tekstur, penampakan serta flavor dari nata de coco yang ideal. Selain
itu, gula juga mampu berperan sebagai pengawet. Selain itu, gula juga merupakan sumber
karbon organik yangmana selama proses fermentasi dapat dijadikan sebagai sumber
makanan oleh bakteri. Hal ini mendukung teori Palungkun (1996) sebelumnya yang
mengatakan bahwa pembentukan nata terjadi karena A. xylinum menggunakan glukosa
yang ada dalam substrat. Sehingga bisa disimpulkan bahwa penambahan gula selain
untuk memberi rasa, namun tujuan utamanya adalah sebagai sumber makanan bagi
mikroorganisme ini. Proses pemasakan ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Pemasakan dan Penambahan Gula


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Selanjutnya, ammonium sulfat sebanyak 7,5 gram (0,5%) ditambahkan dan kemudian
dipanaskan lagi selama 10 menit. Menurut Pambayun (2002) penggunaan gula pasir
berfungsi sebagai sumber karbon bagi bakteri Acetobacter xylinum. Sehingga
penambahan gula dalam pembuatan nata dapat mempengaruhi tekstur, penampakan, dan
flavor dari nata itu sendiri. Sunarso (1982) menambahkan bahwa penambahan gula
sebanyak 10% merupakan penambahan dalam jumlah yang optimum sehingga nata yang
dihasilkan akan tebal dan liat. Sedangkan penambahan amonium sulfat dalam pembuatan
nata menurut Awang (1991) berfungsi sebagai sumber nitrogen. Hal ini disebabkan
karena syarat medium yang digunakan pada proses fermentasi adalah minimal
mengandung nitrogen sehingga dapat mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata. Hal
ini juga sesuai pernyataan Saputra & Darmansyah (2010) bahwa dalam pembuatan nata
de coco perlu dilakukan pengontrolan pada kondisi fermentasinya yaitu komposisi asam
yang ditambahkan (pH), penambahan gula (sumber karbon) dan juga urea sebagai sumber
nitrogen. Proses penambahan ammonium sulfat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Penambahan Ammonium Sulfat


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Setelah dilakukan penambahan gula dan ammonium sulfat, asam cuka glacial
ditambahkan hingga pH air kelapa menjadi 4-5 dan selanjutnya air kelapa tersebut

dipanaskan lagi dan kemudian disaring kembali. Pambayun (2002) menjelaskan bahwa
meskipun bisa tumbuh pada kisaran pH 3,57,5 tetapi bakteri Acetobacter xylinum sangat
optimum tumbuh pada suasana asam dengan pH 4,3. Oleh karena itu air kelapa yang
memiliki pH basa perlu disesuaikan pHnya terlebih dahulu dengan asam cuka glasial agar
menjadi media yang optimal bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum. Menurut Astawan
& Astawan (1991), proses pemasakan air kelapa bertujuan untuk membunuh
mikroorganisme kontaminan yang dapat mencemari produk yang dihasilkan. Selain itu,
hal ini juga dapat mencegah terganggunya pertumbuhan Acetobacter xylinum dalam
mengubah glukosa menjadi selulosa sehingga kemampuan bakteri Acetobacter xylinum
untuk membentuk nata menjadi lebih optimal. Penambahan asam cuka glasial dan
pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4. Penambahan Asam Cuka


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Gambar 5. Pengukuran pH
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Setelah media fermentasi siap, kemudian media sebanyak 100 ml dituang di wadah plastik
yang bersih. Setelah itu biang nata sebanyak 10% ditambahkan ke dalam media
fermentasi secara aseptis. Proses penuangan biang nata (starter Acetobacter xylinum) ke
dalam media dapat dilihat pada Gambar 6. Sesuai dengan pernyataan Anastasia &
Afrianto (2008) yang menjelaskan bahwa ketebalan nata yang maksimal didapatkan pada
penambahan konsentrasi gula 10%, ammonium sulfat 0,5%, dan pH 4. Ketebalan nata
sangat berpengaruh terhadap kemampuan mengikat air dan kekerasan pada akhir
pemasakan nata.

Gambar 6. Proses penuangan biang nata (starter Acetobacter xylinum) ke dalam media
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Kemudian sampel yang telah ditambahkan biang nata dimasukkan ke dalam wadah
plastik, dapat dilihat pada Gambar 7. Setelah dituang ke dalam wadah plastik maka harus
segera ditutup untuk mencegah resiko kontaminasi. Wadah fermentasi ditutup rapat
dengan kertas coklat dan diinkubasi selama 2 minggu pada suhu 28C. Menurut Rahayu
et al. (1993), jumlah inokulum yang ditambahkan untuk membuat nata berkisar 110%.
Sehingga apa yang telah dilakukan oleh praktikan telah sesuai dengan teori yang ada.
Menurut Pambayun (2002) inkubasi dilakukan pada suhu 28C karena pada suhu tersebut
merupakan suhu optimum bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum. Sedangkan penutupan
dengan menggunakan kertas coklat berfungsi agar tidak terjadi kontak langsung dengan
lingkungan sehingga kontaminasi dapat diminimalkan. Selain itu, penggunaan kertas
coklat juga bertujuan untuk menjaga agar tetap terjadi pertukaran udara selama proses
fermentasi. Wadah plastik yang ditutup dengan kertas coklat dapat dilihat pada Gambar
8. Seharusnya setelah hari ke 14, nata dicuci dengan air mengalir dan setelah itu dilakukan
pemotongan pada nata hingga berbentuk dadu dan dilakukan pemasakan dengan
menggunakan gula. Namun pada praktikum ini tidak diperoleh nata dengan kualitas baik
sehingga tidak dapat diproses lebih lanjut.

Gambar 7. Penuangan ke Wadah


(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Gambar 8. Penutupan Wadah


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Dari hasil pengamatan dapat dilihat bahwa pada hari ke-0, semua kelompok belum
menghasilkan nata, namun pada hari ke-7 dan ke-14 telah terbentuk nata dengan
ketebalan dan persentase lapisan yang meningkat dari hari ke-7 menuju hari ke-14.
Namun pada kelompok C3 nata yang terbentuk pada hari ke-7 mengalami penurunan
ketebalan pada hari ke-14. Menurut Rahman (1992) semakin lama waktu fermentasi maka
nata yang dihasilkan menjadi semakin tebal. Sehingga hasil yang didapat oleh semua
kelompok telah sesuai. Persentase ketebalan lapisan menunjukan efektivitas fermentasi
dari nata de coco. Semakin efektif fermentasi berlangsung maka semakin banyak selulosa
terbentuk dan pada hasil akhir akan didapat nata yang semakin tebal. Ketebalan nata yang
meningkat dari hari ke-0 hingga hari ke-14 juga sudah sesuai dengan teori Anastasia &
Afrianto (2008) yang mengatakan bahwa selama fermentasi Acetobacter xylinum akan
menyebabkan polisakarida, yaitu selulosa membentuk jaringan kuat akibat aktivitas
bakteri yang memecah gula dalam medium. Benang-benang serat yang terus menebal
membentuk jaringan inilah yang nantinya disebut pelikel nata.

Dalam penelitian Montealegre et al. (2012), dijelaskan bahwa selulosa dalam nata
memiliki beberapa keuntungan seperti memiliki kemurnian tinggi tanpa lignin, pektin,
dan hemiselulosa. Selulosa telah banyak diterapkan untuk berbagai keperluan, seperti
kulit buatan, bahan pencampuran kertas, dan lain-lain. Menurut Anatasia & Afrianto
(2008), kekenyalan nata ditentukan oleh ketebalan nata yang dihasilkan. Semakin tinggi
ketebalan nata yang dihasilkan maka semakin banyak air yang mengisi rongga-rongga
antar selulosa, sehingga kekenyalan nata semakin kenyal. Berdasarkan jurnal yang dibuat
oleh Seumahu et al. (2007) menjelaskan bahwa hasil akhir nata dapat dibedakan menjadi
2 yakni nata yang baik dan nata yang buruk. Nata yang baik memiliki ciri-ciri putih
transparan, tebal 1,5-2 cm dan permukaannya mulus. Sebaliknya, nata yang buruk
memiliki ciri-ciri seperti nata yang dihasilkan tipis (<0,5 cm) memiliki warna kusam atau
kekuningan, tekstur yang keras dan terdapat gelembung gas terjebak di dalamnya.
Sedangkan berdasarkan jurnal yang dibuat oleh Mesomya (2006) menjelaskan bahwa
kekenyalan nata ditentukan dari ketebalan nata yang dihasilkan. Semakin tinggi ketebalan
serat kasar yang dihasilkan maka semakin banyak air yang mengisi rongga-rongga antar
selulosa sehingga nilai kekenyalannya semakin turun.

Pada praktikum pembuatan nata de coco ini tidak dihasilkan produk nata dengan kualitas
baik. Oleh sebab itu, tidak dapat diadakan analisa sensori. Tekstur yang dihasilkan tidak
kaku dan tidak kokoh sehingga nata yang dihasilkan masih dalam bentuk agak cair. Hal
ini disebabkan karena kontaminasi yang terjadi saat proses pembuatan nata. Beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kontamniasi adalah kurang sterilnya
lingkungan tempat pembuatan nata, terdapat mikroorganisme yang tidak diinginkan pada
air kelapa atau nata yang dihasilkan sehingga mempengaruhi pertumbuhan dari
Acetobacter xylinum. Penyebab dari ketidaksterilan ini bisa dikarenakan saat pembuatan
nata de coco melibatkan banyak orang sehingga penyebaran mikroorganisme dapat
berjalan dengan cepat. Biasanya kontaminan yang dapat membuat kegagalan dalam
pembentukan nata oleh Acetobacter xylinum adalah adanya yeast dalam air kelapa atau
nata yang dihasilkan sehingga mengganggu pertumbuhan Acetobacter xylinum
(Jagannath et al., 2008). Namun pada praktikum ini tetap dapat terukur hasil pembentukan
lapisan nata yang terbentuk dapat dilihat pada Gambar 9.

(a)

(b)

(g)

(c)

(h)

(d)

(e)

(i)

(f)

(j)

Gambar 9. Lapisan Nata yang Terbentuk pada hari ke-7 (a, c, e, g dan i)
dan 14 (b, d, f, h dan j)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

3. KESIMPULAN

Bakteri Acetobacter xylinum sangat cocok tumbuh pada suasana asam (pH 4,3).

Acetobacter xylinum tumbuh optimal pada suhu 28oC.

Jumlah inokulum yang ditambahkan untuk membuat nata berkisar 1 10 %.

Semakin lamanya waktu fermentasi maka ketebalan nata juga akan semakin
bertambah.

Efektivitas dalam fermentasi nata de coco ditunjukkan oleh besarnya persentase


ketebalan lapisan yang terbentuk.

Semakin efektif fermentasi maka semakin banyak selulosa yang terbentuk dan pada
hasil akhir akan didapat nata yang semakin tebal.

Semakin tebal nata yang dihasilkan maka nata yang dihasilkan akan semakin kenyal.

Semarang, 08 Juli 2015

Asisten Dosen,

Praktikan,

Nies Mayangsari

Wulan Apriliani

Nataya Aulia Sani


12.70.0042

4. DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, Nadia & Afrianto, Eddy. (2008). Mutu Nata de Seaweed dalam Berbagai
Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi
II. Universitas Lampung.
Astawan, M. & M.W. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat
Guna.
Awang, S. A. (1991). Kelapa: Kajian SosialEkonomi. Aditya Media. Yogyakarta.
Hayati, M. (2003). Membuat Nata de Coco. Adi Cita Karya Nusa. Yogyakarta.
Jagannath, A. ; A. Kalaiselvan; S. S. Manjunatha; P. S. Raju; A. S. Bawa. (2008). The
effect of pH, sucrose and ammonium sulphate concentrations on the production
of bacterial cellulose (Nata-de-coco) by Acetobacter xylinum. World J Microbiol
Biotechnol (2008) 24:25932599.
Mesomya, W., Pakpeankitvatana, V., Komindr, S., Leelahakul, P., Cuptapun, Y.,
Hengsawadi, D., Tammarate, P. and Tangkanakul, P. (2006). Effects of health
food from cereal and nata de coco on serum lipids in human Songklanakarin J.
Sci. Technol., 2006, 28(Suppl. 1) : 23-28.
Montealegre, Charlimagne M., Emerson R. Dionisio, Lawrence V. Sumera, Jay R T.
Adolacion & Rizalinda L. De Leon . (2012). Continuous Bioethanol Production
Using Saccharomyces cerevisiae Cells Immobilized In Nata De Coco
(Biocellulose). 2nd International Conference on Environment and Industrial
Innovation. Singapore.
Palungkun, R. (1996). Aneka Produk Olahan Kelapa. Penebar Swadaya. Jakarta.
Pambayun, R. (2002). Teknologi Pengolahan Nata de coco. Kanisius. Yogyakarta.
Rahayu, E. S. ; R. Indriati ; T. Utami ; E. Harmayanti & M. N. Cahyanto. (1993). Bahan
Pangan Hasil Fermentasi. UGM. Yogyakarta.
Rahman, A (1992). Teknologi Fermentasi I, Penerbit Arcan, Jakarta.
Saputra, A.H. & Darmansyah. (2010). Evaluation of Physical and Mechanical Properties
Composite of Nata de coco Fibers/Resin Filled SiO2 and Al2O3. ISCAFChE 2010
November 3-4,2010, Bali-Indonesia.

10

Santosa, B.; Kgs. Ahmad; & Domingus T. (2012). Dextrin Concentration and Carboxy
Methyl Cellulosa (CMC) in Makingof Fiber-Rich Instant Baverage from Nata de
Coco. IEESE International Journal of Science and Technology (IJSTE), Vol. 1
No. 1, Mar 2012,6-11.
Seumahu, Cecilia Anna; Antonius suwanto; Debora Hadisusanto; & Maggy Thenwijaya
Suhartono. (2007). The Dynamics of Bacterial Communities During Traditional
Nata de Coco Fermentation. Microbiology Indonesia August 2007, p 65-68.
Sunarso. (1982). Pengaruh Keasaman Media Fermentasi Terhadap Ketebalan Pelikel
pada Pembuatan Nata de coco. Skripsi. UGM. Yogyakarta.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings
Publishing Company, Inc. USA.

11

5. LAMPIRAN

5.1. Perhitungan
Rumus:
Persentase Lapisan Nata =

Tinggi Ketebalan Nata


x 100%
Tinggi Media Awal

Kelompok B1

0
x 100% = 0 %
1
0,3
x 100% = 15 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
2
0,8
x 100% = 40 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
2
Kelompok B2
0
H0 Persentase Lapisan Nata = x 100% = 0 %
1
0.5
x 100% = 33,33 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
1,5
0,6
x 100% = 40 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
1,5
Kelompok B3
0
x 100% = 0 %
H0 Persentase Lapisan Nata =
1,2
0,3
x 100% = 10,34 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
2,9
0,5
x 100% = 17,24 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
2,9
Kelompok B4
0
H0 Persentase Lapisan Nata = x 100% = 0 %
1
0,4
x 100% = 20 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
2
H0 Persentase Lapisan Nata =

12

13

H14 Persentase Lapisan Nata =

0,5
x 100% = 25 %
2

Kelompok B5

0
x 100% = 0 %
1
0,5
x 100% = 33 %
H7 Persentase Lapisan Nata =
1,5
0,8
x 100% = 53 %
H14 Persentase Lapisan Nata =
1,5
H0 Persentase Lapisan Nata =

5.2. Abstrak Jurnal


5.3. Laporan Sementara
5.4. Viper

You might also like