You are on page 1of 9

Misbahul Munir:

Penyelaras Kalam Illahi dari Kaki Gunung Sekincau


Miftahus Surur
Bismillahirrahmaanirrahiim. Rabbi Isyrah li shadri wa yassir lii
amrii lirik doa itu mengalun terhentak-hentak dari dalam rumah
bercat ungu. Ya, sejenak setelah shalat maghrib sekumpulan anakanak berusia setingkat Sekolah Menengah Pertama berkumpul,
duduk berhadapan dengan dhampar (bangku pendek-rendah) tersaji
Alquran di atasnya. Sesosok laki-laki muda bersarung dan bersorban
berusia 38 tahun duduk di hadapan mereka sembari sesekali
bersuara mengiringi lantunan doa yang berkumandang. Iqbal,
lanjutkan yang kemarin! sesaat setelah lantunan doa terhenti.
Santri yang dipanggil dengan nama Iqbal perlahan membuka
Alquran dan mulai membaca ayat demi ayat. Hal demikian
berlangsung dan terjadi pada santri-santri yang lain.
Di Kampung Rejosari, Kecamatan Sekincau Kabupaten Lampung Barat ini, ustadz muda yang dikenal
dengan nama Misbahul Munir memang bukan sosok yang asing. Ia sudah lebih dari 17 tahun menjadikan
diri sebagai tonggak pengabdian dalam memperkokoh dan memperkukuh nafas keagamaan Islam di
masyarakat. Dari hanya sekedar memiliki 8 orang anak didik, kini ia menemani 9 jamaah majelis taklim
untuk mewejangkan hal-ihwal yang terkait dengan pemupukan ruhani. Ia sadar bahwa kehadirannya di
muka bumi membawa takdir berupa pikiran dan angan-angan membentuk kehidupan masyarakat yang
gegap dengan hiasan Alquran dan kepatutan perilaku.
Kepedihan Riwayat Masa Belia
Misbahul Munir lahir di Desa Sadar Sriwijaya Lampung Timur (waktu itu masih Lampung Tengah)
pada 13 Maret 1976 dari pasangan Ghalib Thahir dan Siti Aisyah. Pada usia 5 tahun ia dibawa merantau
oleh orang tuanya ke Desa Sekincau, salah satu desa di Kabupaten Lampung Barat yang terkenal dengan
alam pegunungan, iklim yang sangat dingin, daerah perkebunan kopi dan sayur-mayur. Bahkan tak
selang lama, orang tuanya juga berjibaku sebagai petani sayur-mayur sebagai penopang kehidupan
ekonomi keluarga.
Setelah menamatkan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Nurul Iman Sekincau Kabupaten Lampung
Barat, ia kembali ke kampung dimana ia dilahirkan. Di sana, selain meneruskan sekolah ke jenjang
Madrasah Tsanawiyah, ia juga harus menemani neneknya yang tinggal satu-satunya serta menempuh
pendidikan di Pondok Pesantren Daarul Maad di bawah asuhan KH. Athoillah, salah satu Kyai yang
cukup disegani juga ditakuti lantaran sifat dan sikapnya yang keras di dalam menjalankan titah
keagamaan. KH Athoillah sendiri merupakan santri dari KH Ali Maksum Lasem; sosok ulama yang tingkat
kedalaman ilmunya sangat dikenal di seluruh Indonesia.
Di Pondok Pesantren Daarul Maad itulah Munir kecil menggembleng dirinya dengan ragam ilmu
keagamaan Islam. Literatur Islam klasik yang termaktub dalam puluhan Kitab Kuning ia lahap, dari mulai
Safinatunnajah, Irsyadul Ibad, Kifayatul Ahyar, Fathul Muin hingga Ihya Ulumiddin. Tak dinyana, waktu
terus bergulir hingga kurang lebih sebelas tahun ia habiskan hari-harinya di pesantren. Pada selang
beberapa tahun itu, ia tidak hanya ditaburi dengan kitab kuning, tetapi juga menggembleng diri untuk
membaur dengan masyarakat sekitar serta bagaimana melatih diri bekerja upahan kepada siapapun
yang membutuhkan tenaganya.
Sebagai santri dari keluarga yang tidak mampu, saya harus bekerja apa adanya untuk membantu
keseharian saya. Terlebih, nenek saya juga hanya berjualan toge (kecambah) di pasar yang hasilnya
tidaklah seberapa. Bekerja upahan itu ya satu-satunya yang bisa saya lakukan saat itu. Kadang saya

harus membantu mengambil air nira, upahan membuat batu bata, sampai harus mengolah kotoran
ayam pada seorang peternak kaya, kenangnya.
Tak pelak, pelajaran sosial yang ia peroleh menjadikannya kokoh dalam berjibaku dengan berbagai
keadaan. Orangtuanya sendiri hampir tak pernah datang menengok kecuali pada hari raya Idul Fitri
sekaligus menjenguk sang nenek yang berangsur merenta. Tentu, awalnya ia kerap murung dan
canggung. Usia belia setelah Sekolah Dasar merupakan masa yang cukup rumit untuk sekedar berpisah
dari orangtua lalu mengenyam pendidikan serta berhadapan dengan situasi sosial yang meminjam
istilah Geertz lebih akrab dengan abangan. Santri seperti dirinya, atau juga tokoh-tokoh Islam
setempat kerap gagap melihat letupan-letupan sosial yang ia anggap sulit bersahabat dengan orangorang seperti dirinya.
Terlebih, sebagai santri Mbah Kyai Atho ia kerap dianggap melecutkan kehawatiran sebagian
masyarakat sekitar dengan kemungkinan menentang dan menantang kebiasaan-kebiasaan buruk
sebagian masyarakat yang saat itu sangat lekat dengan judi dan maling. Ya, Mbah Kyai Atho tidak
pernah mau berkompromi dengan keadaan yang menurut beliau menyimpang. Tapi bukan berarti
beliau harus bersifat arogan dan menurunkan tangan keras untuk mengatasi penyimpangan itu. Apa
yang kerap dilakukan oleh Mbah Kyai Atho hanya diam dan ketika ditanya, maka beliau menjawab
dengan tegas tanpa tedeng aling-aling bahwa penyimpangan itu bagian dari kemaksiatan. Mbah Kyai
memang seperti. Beliau tidak pilih-pilih. Pernah salah seorang santri yang sedang santai sambil bersiulsiul, tiba-tiba sebuah kayu pikulan melayang dari jauh. Ternyata kayu pikulan itu dilemparkan oleh mbah
Kyai sebagai teguran kepada santri yang bersiul tadi, cerita Munir.
Dan mungkin, karena ketegasan yang dimiliki itulah Pesantren Daarul Maad tidak pernah ramai
oleh santri. Suami dari Ummi Mahmudah ini pernah bercerita bahwa suatu saat Mbah Kyai Atho
bergumam layaknya sebuah doa bahwa Pesantren yang beliau ampu hanya cocok bagi santri-santri
yang memiliki ketulusan. Siapapun yang hendak menimba ilmu tanpa ketulusan, maka dipastikan akan
hengkang dengan sendirinya.
Tak hanya sedemikian, banyak pula para politisi yang saat itu hendak merayu Mbah Kyai Atho
untuk terjun dalam dunia politik, turut berkampanye dan mendukung partai tertentu. Tanpa berkatakata, beliau langsung mempersilahkan tamu untuk pulang. Siapapun yang datang ke pesantren ini
untuk berbicara tantang politik, maka lebih baik pulang, jelas Munir.
Ketegasan dan keberanian Mbah Kyai Atho itu sangat terkenal di seantero Lampung, terutama di
jajaran Kyai Sepuh, seperti KH Ahmad Sodiq atau KH. Jamal Busthami. Sementara bagi orang biasa,
Mbah Kyai Atho banyak dipuji karena sikap teduh memberi pengayoman. Ada sepasang suami istri
keluarga Tiongkok yang belasan tahun tidak memiliki momongan lalu datang ke beliau untuk sekedar
minta doa agar segera diberi-momongan. Ada juga yang datang minta doa supaya menjadi pengusaha
sukses, serta ada juga yang datang minta doa agar menjadi pemandu haji dan umroh, atau juga ada yang
meminta lantaran doa agar bangunan rumahnya menjadi sarang burung walet, dan banyak lagi kisahkisah sejenis.
Sikap berani, tegas, dan ramah yang melekat pada diri Mbah Kyai Atho itulah yang tampaknya
kerap dirujuk oleh Munir didalam mengarungi kehidupan sosialnya di masa-masa selanjutnya. Terlebih
setelah ia menginjak usia paska Madrasah Aliyah (SLTA), Munir juga langsung terjun ke masyarakat
sebagai pengajar sekolah dan juga guru ngaji di sebuah mushala kecil di belakang rumah sang nenek. Di
mushala itu ia mendidik anak-anak kampung belajar membaca Alquran sembari juga berguru ilmu
Alquran kepada pamannya sendiri, yaitu Kyai Nasruddin yang notabene adalah jebolan dari Pesantren
Darussalam, Way Jepara, Lampung Timur asuhan KH Ahmad Sodiq. Dari situlah, pengembaraan
semangat dan dorongan sebagai pendidik dimulai.
Kembali ke Gunung

Selang tak beberapa lama setelah menuntaskan pendidikan di Lampung Timur, Munir
memutuskan untuk kembali ke Sekincau bersama orangtuanya. Ingin hati meneruskan pendidikan
hingga ke bangku kuliah, tetapi ia sadar bahwa kondisi ekonomi orangtuanya tidak memungkinkan,
sementara pada saat yang sama ia masih memiliki dua orang adik yang masih mengenyam pendidikan
setaraf SLTA. Keputusannya pulang ke gunung demikian orang-orang di kabupaten lain menyebut adalah ingin membaktikan diri untuk keluarga serta masyarakat di sana.
Sesaat setelah tiba di Sekincau pada pertengahan 1998, Munir mengabdi di Madrasah Ibtidaiyah
Nurul Iman, sekolah dimana ia sempat menjadi murid di sana. Di sekolah itulah ia mewejangkan diri
sebagai guru pada bidang ilmu-ilmu keagamaan Islam. Tak lama kemudian, terbentuklah Madrasah
Tsanawiyah Nurul Iman dimana Munir juga mengabdi di sana. Hingga pada akhirnya, ia diangkat sebagai
Pegawai Negeri Sipil sebagai guru Pendidikan Agama Islam. Kiprahnya sebagai guru pada sektor
pendidikan formal tidak mengurangi semangatnya untuk menjadi pendidik pada sektor pendidikan
informal. Langgar di kampung beserta rumahnya ia jadikan sebagai tempat penempaan anak-anak di
kampung untuk mengaji dan memperdalam ilmu keagamaan Islam.
Pada sisi lain, dan terlebih saat Munir kembali dari pengembaraan keilmuannya, masyarakat
Sekincau, terlebih Dusun Rejosari tempat ia berdomisili dapat dikategori sebagai mereka-mereka yang
tak akrab dengan Masjid. Saat itu, kegiatan keagamaan masyarakat sulit teridentifikasi kecuali hanya
sesekali ke langgar untuk shalat Jumat, itu pun bagi yang mau. Aktifitas belajar-mengajar Alquran pun
hanya bertumpu pada seorang guru ngaji yang untuk sekedar dianggap benar dalam melafalkan ayat
demi ayat saja sangat sulit. Belum lagi untuk kegiatan lain sosial-keagamaan seperti yasinan, manaqib,
khataman, muharraman, dan sebagainya hampir tak pernah tersaji.
Munir, yang sejauh ini lekat dengan kebiasaan keagamaan di pesantren menganggap itu semua
sebagai suatu keanehan terlebih jika melihat masyarakat di
Rejosari termasuk Jawa perantauan yang lebih mengenal tradisi
keagamaan ala warga Nahdlatul Ulama tinimbang yang lain.
Dari sanalah ia tergerak untuk memulai pembenahan. Ia
memulai dari keinginan untuk mendidik anak-anak kampung
dengan pembelajaran Alquran. Dari sekitar 30 Kepala Keluarga
yang ada, tidak lebih dari 25 anak yang mau mengaji. Cara
mengaji yang dilakukan adalah dengan metode turutan, sebuah
metode pembelajaran Alquran dengan mengandalkan cara
mengeja huruf demi huruf yang kemudian ditirukan oleh anakanak didiknya. Pelafalan alif fathah a, alif kasrah i, alim
dhammah u, a-i-u atau alif fathah tanwin an, alif kasrah tanwin
in, alif dhammah tanwin un, an-in-un merupakan cara
pembelajaran Alquran yang dilakukan saat itu. Kesabaran
merupakan kunci dari pembelajaran turutan dibanding dengan
metode pembelajaran Alquran seperti Iqra sebagaimana yang
popular saat ini.
Lambat-laun, hasilnya mulai terlihat. Anak-anak yang
sebelumnya tak mengenal huruf Arab itu sudah begitu piawai
melantunkan ayat demi ayat. Selang beberapa tahun kemudian,
anak-anak yang semula hanya mampu malafalkan alif, ba, ta itu
mulai rutin melangsungkan khataman, suatu kegiatan membaca
Kitab Alquran dari awal hingga selesai selama satu hari satu
malam penuh yang diakhiri dengan membaca doa dan
Misbahul Munir (kiri) bersama Rois Syuriah PBNU
santapan ingkung ayam kampung.
KH Ahmad Ishomuddin

Langgar, tempat shalat dan mengaji yang ukurannya tidak lebih 3 x 4 meter itu kemudian dirombak
diganti dengan bangunan masjid. Masyarakat semakin mengerti bahwa keberadaan masjid begitu
penting, bukan hanya sekedar untuk diisi dengan shlata wajib lima waktu belaka, melainkan juga sebagai
ruang bagi anak-anak untuk memperoleh pengajaran Alquran. Terlebih ketika hadirnya hari raya, masjid
merupakan ruang bagi tumpah-ruahnya individu, person, keluarga dan handai taulan untuk berkumpul
dan menasbihkan diri sebagai sosok yang ingin pula disebut sebagai hamba Allah.
Di masjid itu pula, kelompok mengaji anak-anak mulai terbagi. Dari tingkat yang paling bawah, yaitu
anak-anak usia Sekolah Dasar yang belajar mengaji Iqra hingga anak setingkat Sekolah Menengah
Pertama yang belajar Alquran. Bahkan, Munir juga mengajarkan beberapa kitab kuning yang ia anggap
penting untuk memperkuat akhlak anak-anak didik. Kitab-kitab seperti Irsyadul Ibad, Nashaihul Ibad,
Durrotun Nashihin, Riyadhus Shalihin, Talim Mutaallim, Raudlatul Thalibin, Tafsir Jalalain secara rutin
diajarkan untuk membekali anak-anak dengan ilmu-keagamaan Islam layaknya di Pondok Pesantren.
Dari sektor ini sangat tampak betapa Munir ingin menengahkan sebuah sajian pembelajaran ilmukeagamaan Islam yang kuat. apa yang saya pelajari di pesantren dulu berusaha saya ajarkan juga di sini.
Satu hal yang membuat saya merasa sangat kurang adalah bahwa sewaktu di pesantren dulu saya tidak
begitu mumpuni belajar nahwu sharaf, karena saya lebih banyak belajar tentang fikih, tauhid, dan
akhlak, ujarnya.
Dalam proses pembelajaran itu, salah satu hal yang tetap diyakini penting oleh Munir adalah
kepatutan anak didik untuk menghormati keberadaan guru, ustadz, kyai. Tazhim kepada guru inilah
yang ssat ini mulai terkikis. Anak-anak jaman sekarang terlalu banyak disesaki dengan pengetahuan
seputar pemberdayaan otak, tetapi tidak banyak disesaki dengan wawasan tentang kebeningan hati.
Maka yang terjadi adalah semakin banyaknya anak-anak pintar tetapi minim akhlak. Hal ini diantaranya
disebabkab oleh semakin lenyapnya sikap tazhim kepada guru. Anak-anak dan juga orangtua sekarang
ini tidak yakin dan percaya bahwa dalam proses belajar-mengajar yang melibatkan guru dan murid itu
terdapat sesuatu yang memang tidak dapat dirasionalisasi tetapi memiliki dampak yang sangat besar
bagi kemajuan diri anak, yaitu barakah ilmu yang disalurkan melalui ke-tazhim-an murid terhadap
guru, urai Munir panjang lebar.
Dalam proses penanaman tazhim itu, Munir tak jarang harus menurunkan sedikit cara-cara keras
untuk memberikan efek jera bagi kenakalan perilaku anak didiknya. Ia sangat tegas melarang anak
didiknya memiliki hubungan khusus dengan lawan jenis, serta dengan keras menegur mereka yang
bermalas-malasan dalam melaksanakan ibadah shalat dan mengaji. Maka, tidak jarang ia mengajak
anak-anak didiknya ke kuburan di malam hari sebagai hukuman atas perilaku nakal mereka.
Saya memang jarang memberikan hukuman dengan cara memukul atau menyakiti fisik mereka.
Jika mereka sudah kelewatan, maka saya ajak mereka ke kuburan di malam hari, lalu masing-masing
anak harus duduk di samping kuburan dan
masing-masing memegang satu nisan.
Kebetulah, pekarangan kuburan di sini sangat
sepi, di tengah ladang yang jauh dari rumah
penduduk. Jika itu sudah saya lakukan, mereka
tidak akan nakal lagi, ujarnya.
Selain mengajarkan ilmu keagamaan Islam,
Munir juga mengajarkan seni hadrah kepada
anak didiknya atau seni yang ia sebut dengan
rodhat. Seni yang ditengarai berbau arab ini
digemblengkan kepada anak didiknya, bukan
sekedar sebagai ilmu melainkan juga sebagai
ruang ekspresi dan hiburan mereka. Setiap ada

acara-acara keagamaan, anak didiknya selalu tampil, bahkan juga pada acara pembacaan barzanji ketika
ada kelahiran anak.
Berbagai bekal itu ia berikan kepada seluruh anak didiknya sebagai persiapan dalam mengarungi
kehidupan. Mereka ini kan akan hidup di berbagai tempat. Saya yakin, bekal ini akan banyak gunanya
buat mereka. Apalagi jika kita lihat hidup di perkotaan, untuk bisa mengaji saja tidak sedikit orangtua
yang sulit mendapatkan guru ngaji untuk anak-anak mereka. Ini terbukti. Anak didik saya yang sekarang
ini menempuh kuliah di kota-kota, cara menutupi kebutuhan sehari-hari mereka ya diantaranya dengan
menjadi guru ngaji secara privat itu.
Target Penataan Umat
Dalam kehidupan bermasyarakat, Munir mengerti bahwa keluarga merupakan entitas yang sangat
penting untuk menentukan imaji dan potret tentang masyarakat. Dan didalam keluarga itu, keberadaan
seorang ibu (istri) sangatlah vital. Terlebih untuk kehidupan di kampung, ibu adalah segala-galanya.
Mereka bukan saja sosok yang paling kerap mendampingi anak-anaknya, melainkan juga pemegang
kendali perekonomian keluarga. Bahkan tidak jarang, kelompok perempuan yang satu ini turut pula
berjibaku di luar rumah untuk membantu suami menambah penghasilan; sebuah laku yang kerap
diidentikkan sebagai beban ganda (double burden) yang menimpa kaum perempuan.
Tentu, bukan persoalan yang terakhir ini yang membuat Munir merasa penting untuk membidik
kaum perempuan sebagai entitas yang akan menerima wejangan keagamaan. Apa yang melandasi
pemikiran Munir adalah pentingnya penataan moralitas anak-anak yang dapat dengan mudah
diperankan oleh sosok perempuan. Dalam keseharian, kelompok perempuanlah yang memiliki waktu
lebih banyak untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Maka dalam rangka komunikasi antara
anak dan orangtua itulah Munir perlu memberikan bekal yang cukup bagi kaum perempuan.
Setiap setelah shalat Jumat, Munir mengisi pengajian keagamaan bagi kaum ibu dengan materimateri keilmuagamaan Islam yang banyak bersinggungan dengan masalah fikih dan akhlak, termasuk
materi-materi tentang pembentukan keluarga sakinah. Dari sanalah Munir memiliki harapan tentang
keluarga yang baik, terutama dalam aspek pembentukan kualitas moral anak-anaknya. Dari hal-hal yang
sangat ringan tentang tata cara pelaksanaan ibadah seperti shalat sampai peran perempuan (ibu, istri)
dalam menata kehidupan keluarga. Dari yang semula hanya berjumlah sekitar 20 orang, lambat-laun
bertambah menjadi 60 orang; sebuah angka yang cukup baik dalam suatu masyarakat yang tidak lebih
dari 70 Kepala Keluarga.
Beringsut dari apa yang ia lakukan, Munir juga mulai mengajak guru-guru ngaji di kampungkampung yang lain untuk melakukan hal yang sama. Ia tahu bahwa di setiap kampung yang lain selalu
terdapat guru ngaji atau ustadz yang mengawal kehidupan masyarakat. Secara pelan Munir mendorong
mereka untuk telaten mengiringi jejak langkah kehidupan masyarakat melalui ragam acara keagamaan
yang didalamnya terselip dan tersaji tausiyah. Hingga pada gilirannya, kini, sudah sembilan masjid
beserta sembilan jamaah ibu-ibu yang ternaungi dengan tausiyah keagamaan pada setiap jumatnya.
Jamaah pengajian ibu-ibu yang ia ampu ternyata berjalan dengan cukup baik. Ihwal pendukung
keterlaksanaan kegiatan dari kehadiran hingga ketersajian menu makanan pun tak ketinggalan. Ibu-ibu
itu lebih semangat jika pengajian. Untuk iuran apapun juga lebih mudah dibanding bapak-bapak. Saya
belum tahu persis kenapa, tapi yang jelas setiap ada acara keagamaan apapun, ibu-ibu selalu berada di
garis depan.
Dari yang semula hanya pengajian jumat yang dilaksanakan, kini kegiatan keagamaan mulai
berkembang dalam ragam bentuk. Maulid, isra miraj, muharraman, haul selalu menghiasi perjalanan
waktu kehidupan masyarakat Sekincau dan sekitarnya dari bulan ke bulan hingga dari tahun ke tahun.
Maka tak aneh jika di seantero Lampung Barat, Sekincau lebih dikenal sebagai tempat yang gegap
dengan religiusitas yang cukup kental.

Selain membidik kelompok perempuan, Munir juga tak mengabaikan kelompok laki-laki. Dalam
proses pendidikan anak, Munir selalu mengajak dan menghimbau kepada laki-laki selaku orangtua untuk
turut mengawal pembelajaran yang dialkukan oleh guru. Munir juga menghimbau kepada para orangtua
untuk menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka. Ia kerap berujar bahwa jangan berharap anakanak pergi ke masjid jika orangtuanya tidak pernah menginjakkan kaki di masjid. Dalam pada itu, ia
menjadikan malam Jumat sebagai ruang bagi adanya silaturahmi religius dan sosial. Setiap selesai
pembacaan yasin dan tahlil, Munir tak pernah lupa untuk mewejangkan nilai-nilai keislaman . Jika
kelompok ibu lebih banyak diberi warna mengenai persoalan fikih dan akhlak, maka kaum laki-laki
banyak yang dipermak melalui tauhid dan tasawuf. Bagi Munir, tauhid dan tasawuf sangat penting
karena ia membimbing dan melesak masuk kedalam ruang hati. Menurut Munir, jika persoalan hati
dapat diatasi, maka seluruh persoalan yang menghampar di muka bumi ini juga mudah teratasi. Karena
laki-laki ini banyak bersentuhan dengan dunia publik, maka agar dunia publik tidak penuh dengan
gejolak amarah, maka persoalan hati harus diatasi terlebih dahulu melalui tauhid dan tasawuf, ujarnya.
Selain itu, Munir juga mengajak kaum laki-laki aktif dalam kegiatan manaqib, suatu acara yang
berisi pembacaan biografi Syekh Abdul Qadir al-Jilani yang dengan pembacaan itu diyakini akan
membawa fadhilah (keutamaan) dan barakah tertentu. Baginya, pembacaan manaqib bukan hanya
sekedar kumpul-kumpul membaca sejarah tokoh penting, melainkan juga untuk meneruskan kebiasaan
baik yang diwariskan oleh para ulama. Ia juga tidak perduli dengan anggapan sebagian umat Islam
bahwa apa yang ia lakukan itu dituding sebagai perbuatan yang tidak ada tuntunannya dalam Islam.
Saya yakin, bahwa para ulama yang telah membiasakan kegiatan-kegiatan seperti manaqib, yasinan,
muharraman itu memiliki dasar hukum. Dan saya yakin kedalaman ilmu para ulama yang seperti ini jauh
lebih hebat daripada kelompok-kelompok Islam yang suka menyerang itu.
Antara Ustadz dan Petani
Sekincau adalah sebuah desa di Lampung Barat yang terkenal dengan iklim yang sangat dingin.
Cuaca yang seperti itu sangat cocok dengan aktifitas pertanian sayur-mayur dan perkebunan. Maka
wajar jika hampir seluruh warga masyarakat Sekincau beraktifitas sebagai petani sayur-mayur seperti
tomat, cabai, kubis, sawi, labu, terong, dan juga perkebunan seperti kopi, lada, dan kakao. Gegap dari
aktifitas para petani sayur-mayur dan perkebunan kopi sangat terlihat dalam kehidupan keseharian
mereka. Dan sejak sekitar 10 tahun terakhir, aktifitas masyarakat di bidang pertanian sayur-mayur lebih
meningkat dibanding yang ada pada sektor perkebunan kopi. Hal ini disebabkan dengan semakin
menurunnya produk perkebunan kopi sementara kebutuhan sehari-hari masyarakat semakin meningkat.
Bahkan, tidak sedikit petani kopi yang sudah puluhan tahun bertahan dengan hasil kopi lalu
membongkar kebun kopinya untuk dijadikan sebagai lahan sayur-mayur dengan alasan bahwa hasil kopi
yang setahun sekali dan kerap terjadi penurunan hasil sangat sulit untuk menopang kehidupan
keluarga. Sementara sayur-mayur dianggap lebih menjanjikan karena dengan rata-rata panen 3 bulan
sekali. Bahkan terdapat jenis sayuran tertentu yang dapat dipanen mingguan seperti labu atau terong
sehingga tampak lebih menghasilkan.
Keberadaan sayur-mayur beserta geliat para petani didalamnya menjadi daya tarik tersendiri bagi
perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dibidang obat-obatan dan pupuk. Produk pupuk dan obatobatan keluaran BASF, Monsanto, Syngenta, Dupon, Bayer, Dow dan sejenisnya menghiasi toko-toko
obat-obatan yang demikian jamak. Ketergantungan para petani terhadap jenis pupuk dan obat-obatan
produk perusahaan-perusahaan multinasional begitu kuat dan relatif tak tergoyahkan dengan
keberadaan pupuk dan obat-obatan organik.
Munir, yang seorang Ustadz atau guru itu juga adalah seorang petani. Bersama-sama dengan
orangtuanya, ia telah bertahun-tahun akrab dengan dunia pertanian sayur-mayur. Ia bercerita bahwa
sejak awal tahun 2000, ia mulai terjun di dunia pertanian. Prosesnya pun sangatlah pahit. Pada awalnya,
ia dan ayahnya belajar menanam sayur-mayur dengan menumpang di tanah orang. Dengan modal

seadanya, ia mencoba menanam kubis. Tetapi hasilnya kandas. Tanamannya rusak dimakan ulat dan
tidak ada sedikitpun yang tersisa untuk dipanen.
Ia dan ayahnya hanya mengelus dada. Tanpa putus asa, ia mencoba untuk menanam cabai. Tapi
hasilnya pun nihil. Cabainya sempat panen, tetapi harganya sangat murah sehingga untuk sekedar
mengembalikan modal saja tidak cukup. Dari pengalaman itu, Munir mencoba untuk mempelajari siklus
penanaman sayur-mayur yang baik serta mempelajari cara pemupukan dan pemberian obat-obatan
yang tepat. Setiap membeli obat, ia pelajari seluruh komposisi yang ada. Bahkan ia tidak segan-segan
untuk belajar membuat kandungan pupuk dan obat-obatan dari bahan-bahan alami sehingga
menghasilkan pupuk dan obat-obatan yang memiliki fungsi yang sama dengan obat-obat pabrikan.
Meskipun pada akhirnya, penggunaan pupuk dan obat-obatan yang diproduksi oleh perusahaanperusahaan multinasional itu tetap tidak dapat ia hindarkan. Keinginannya mengajak masyarakat petani
di tempatnya untuk menerapkan cara bertani secara organik mengalami kendala berupa ketidaksiapan
petani untuk mengalihkan cara-cara bertani yang selama ini mereka lakukan.
Untuk menjadikan lahan pertanian yang selama ini ditanam dengan cara-cara kimiawi kearah yang
organik tidaklah mudah. Tanah yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian organik itu saja harus
dinetralkan dari unsur-unsur dan kandungan kimiawi, sementara kebanyakan mereka memiliki lahan
yang terbatas. Jadi Kebanyakan mereka tidak siap jika pengalihan itu membutuhkan waktu yang lama,
sementara mereka butuh lahan untuk ditanam dengan produktif. Akhirnya, mereka tetap bergantung
pada obat-obatan yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan besar itu. Saya sendiri tidak mungkin
menanam sayur-mayur secara organik jika sekeliling saya masih menanam dengan cara-cara lama, bisabisa tanaman saya malah rusak semuanya, ujarnya.
Kegigihannya untuk selalu belajar tentang siklus pertanian dan kandungan obat-obatan
membuatnya kerap dirujuk oleh para petani untuk membantu mengatasi hama penyakit yang menimpa
tanaman mereka. Bagi anak-anak muda yang baru belajar bertani, Munir selalui menjadi referensi. Tak
pelak, ayah dari Naila Selfi Auliya Rahma ini selalu sibuk dengan ragam kegiatan membangun
masyarakat sekitar.
Salah satu hal yang kerap menjadi kegelisahannya adalah ketidakberdayaan petani dalam
mengelola hasil produksinya. Bahkan petani tidak memiliki daya tawar terhadap hasil panen yang
mereka peroleh. Petani di sini hanya mampu menitipkan hasil panen mereka kepada para tengkulak,
dimana tengkulak itu menjual ke kota lalu hasil penjualan itu akan dibayarkan ke petani, tentu setelah si
tengkulak mengambil keuntungan dimana besaran keuntungan itu tidak pernah diinormasikan kepada
petani yang bersangkutan.
Sistem penjualan hasil panen di sini memang memprihatinkan. Kami selaku petani ini hanya bisa
titip ke tengkulak yang ada di pasar sana. Lalu tengkulak itu menunggu kedatangan para pembeli dari
kota yang datang. Pembeli dari kota itu lalu membawa hasil panen yang dititipkan ke tengkulak itu, lalu
baru beberapa hari kemudian hasil penjualan itu dibayarkan ke petani. Ini masalah juga karena petani
tidak pernah tahu harga yang sebenarnya, keuntungan yang diambil oleh tengkulak juga tidak tahu. Tapi
jika hasil panen tidak laku ya harus ditanggung sendiri oleh petani. Jadi selama ini tidak pernah ada yang
namanya akad jual beli, yang ada ya hanya sekedar titip itu. Maka wajar jika tengkulak-tengkulak yang
ada di sini hampir semuanya hidup berkecukupan karena mereka tidak mengalami risiko rugi, wong
mereka hanya menjualkan saja. Yang miskin ya tetap para petani itu, urainya panjang lebar.
Kini ia sedang membangun agenda. Ia sedang merajut angan-angan bersama para tokoh
masyarakat dan tokoh agama untuk mewartakan pentingnya jual beli dengan akad yang jelas serta
mewanti-wanti bahwa mekanisme yang selama ini ada tidak sesuai dengan prinsip jual beli dalam
agama. Harapan yang ia pikul adalah munculnya keberpihakan dan nasib petani yang lebih baik. Ia masih
berharap pada kondisi bahwa masyarakat sekitarnya, baik petani maupun para tengkulak itu berada
pada garis keislaman yang sama sehingga ia merasa perlu untuk memancangkan anjuran dan ajaran
yang tepat, yaitu akad jual beli yang tidak merugikan siapapun.

Ia juga mengerti bahwa keberadaan petani bagi seluruh tata-laku kehidupan masyarakat di sana
sangatlah berarti. Hampir seluruh petani yang ada merupakan entitas yang merangkup tradisi
keagamaan Islam warga Nahdlatul Ulama yang menurutnya harus hidup dalam kelayakan ekonomi
sehingga akan menopang seluruh kegiatan sosial-keagamaan secara memadai. Kedua sektor ini
ekonomi dan kegiatan sosial keagamaan haruslah saling menopang. Jika tidak, maka para petani akan
menjadi sasaran empuk bagi setiap keinginan yang akan mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat
yang selama ini lekat dengan tradisi keagamaan yang diwariskan para ulama terdahulu.
Letupan-letupan yang Mengancam Kebersamaan
Sejauh ini, Lampung Barat sangat dikenal sebagai daerah yang cukup aman dan nyaman dalam
berbagai gerak kehidupan sosial, politik, dan keagamaan. Kerusuhan sosial dan persinggungan
keagamaan hampir tidak pernah ada dalam rentang sejarah kehidupan masyarakat. Dan mungkin karena
itu, sekaligus juga ditopang oleh warta tentang gerakan Islam dan politik di berbagai tempat, maka
menjadi maklum jika akhir-akhir ini Lampung Barat juga menjadi daerah yang disasar beberapa
kelompok Islam baru untuk entah sekedar singgah atau dengan agenda mendedahkan warna yang lain.
Khusus untuk daerah Sekincau sendiri kehadiran kelompok Islam yang tidak pernah ditemukan
sebelumnya di sana cukup membuat kening Munir berkerenyit. Ia sendiri tidak begitu resah, hanya
sekedar berjaga-jaga dari kemungkinan adanya persinggungan umat yang berakhir pahit. Kelompok
Islam, yang menamakan diri sebagai jamaah pembawa dan pelaksana risalah Nabi itu kerap
memproklamirkan diri sebagai pengamal ajaran Rasulullah yang paling absah. Sementara kelompok
Islam yang suka dan telah lama mempraktikkan tradisi keagamaan yang terwariskan secara turuntemurun dianggap menyimpang dan dituding sebagai laku bidah.
Kelompok yang satu ini kerap merayu para tokoh masyarakat untuk mendukung kegiatan mereka,
terlebih jika para tokoh itu juga mumpuni dalam kehidupan ekonomi, maka mereka langsung dijadikan
sebagai sasaran. Sepertinya, dengan didukung oleh para tokoh kaya maka akan mempermudah
perjuangan mereka. Tidak semua masyarakat Sekincau goyah meskipun tidak sedikit pula yang merasa
resah. Pada akhirnya kehadiran kelompok Islam baru ini membuat situasi sosial keagamaan masyarakat
sempat memanas.
Munir sendiri sempat didatangi oleh beberapa pimpinan mereka untuk turut bergabung serta
memberi ijin bagi mereka untuk menginap beberapa hari di masjid sekedar untuk berdakwah. Munir tak
bergeming. Ia dengan tegas mengatakan bahwa masjid yang ia beserta masyarakat sekitar telah
mendiaminya selama puluhan tahun bukanlah tempat untuk dijadikan sebagai ajang unjuk diri
peribadatan. Sementara dakwah yang mereka agul-agulkan, menurut Munir tidak tepat didedahkan
untuk masyarakatnya yang selama ini juga tidak pernah sepi dari untaian wejangan keagamaan.
Dalam pada itu, Munir mendapat kecaman dan tudingan sebagai sosok yang menghalangi kegiatan
berdakwah. Tapi ia tak gentar. Baginya, dakwah yang dilakukan oleh mereka justru akan merusak sendisendi keagamaan yang selama ini sudah terpatri demikian kuat.
Saya tidak akan menghalangi siapapun yang akan berdakwah, asal dilakukan dengan cara-cara
yang santun. Tetapi jika dakwah itu dilakukan hanya untuk memancing kebencian sesama umat Islam,
atau dengan sengaja diarahkan untuk mengubah kebiasaan keagamaan yang selama ini ada, maka
dengan tegas saya larang, ujarnya sembari memegang majalah Aula.
Pembentengan-pembentengan mulai dilakukan oleh Munir yang ia sampaikan di berbagai ajang.
Sosoknya sebagai guru ngaji sekaligus sebagai dai mengharuskannya untuk melakukan penguatan
keyakinan keagamaan yang sudah bertahun-tahun ia bangun. Ia tidak ingin bangunan itu runtuh menjadi
puing-puing kebencian. Karena ia yakin bahwa ajaran Islam yang ia terapkan bagi diri dan
masyarakatnya tidak pernah keluar dari garis yang telah dituntunkan oleh para pendahulunya.
Ketika persinggungan dengan jamaah pelaksana sunnah Rasul itu selesai, mulai muncul pula
kelompok Islam yang mewartakan diri sebagai penafsir titah Allah yang paling valid. Jamaah ini bukan

hanya tidak menyukai tradisi keagamaan yang selama ini biasa berlangsung, bahkan berani melontarkan
pernyataan bahwa apapun yang tidak terdapat di dalam Alquran maka ia tidak dilarang, termasuk
berbagai jenis makanan yang selama ini tidak pernah dikonsumsi oleh umat Islam kebanyakan. Tapi
anehnya ketika berbicara tentang tahlilan, slametan, muharraman, maulid, dan sejenisnya yang juga
tidak terdapat dalam Kitab Suci justru dituding oleh mereka sebagai bagian dari kemusyrikan.
Ketika dilapori tentang itu, Munir dengan santai menjawab kita harus percaya bahwa kelompokkelompok yang seperti itu tidak akan langgeng dalam memasuki gelanggang sejarah bangsa kita. Dan
terlebih selaku warga nahdliyyin, saya sangat yakin jika pondasi tata keagamaan kita jauh lebih kokoh
yang tidak mudah ambruk hanya karena segelintir orang yang menyerang. Kenapa? Karena
keberagamaan masyarakat kita ini banyak yang bertumpu pada rasa dan hati, bukan pada buku dan
tulisan yang mudah diganti dan direvisi sewaktu-waktu, ujarnya menutup pembicaraan.
Kini, ia beserta para anak didiknya yang sudah berganti beberapa generasi itu tetap tegap
melantunkan kalam Ilahi di setiap waktu dan tempat. Ia bersama warga sekitar juga tetap aktif
menggelar tahlilan, slametan, muharraman,manaqib, barzanji, atau juga khataman. Mereka semua
mengerti bahwa suasana dingin kaki gunung Sekincau akan terus hangat dan memancarkan cahaya
ketenangan dari lantunan ayat Allah dan syari-syair cerita tentang orang-orang shaleh yang keluar dari
mulut-mulut mereka, sependek apapun ayat yang terbaca, dan mereka juga tak hendak peduli apakah
deretan tulisan yang mereka baca juga seiring dengan tumbuhnya pemahaman.

Kaki Gunung Sekincau, Nopember 2014

You might also like