You are on page 1of 18

Acara III

FERMENTASI SUBSTRAT PADAT


FERMENTASI KECAP
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FERMENTASI

Disusun oleh:
Nama: Galih Aji Priambodo
NIM: 12.70.0116
Kelompok F5

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015

1.

HASIL PENGAMATAN

Berikut adalah hasil pengamatan pembuatan kecap menggunakan kedelai hitam dan
kedelai putih.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Pembuatan Kecap.
Kel
Perlakuan
Aroma
F1
0,5% Inokulum
+
+ kedelai hitam
F2
0,75%
++
Inokulum +
kedelai putih
F3
0,75%
+++
Inokulum +
kedelai hitam
F4
1% Inokulum +
+++
kedelai putih
F5
1% Inokulum +
+++
kedelai hitam

Rasa
++

Warna
+++

Kekentalan
++

++

++

+++

+++

+++

+++

+++

+++

++

++

+++

+++

Keterangan:
Aroma
+
: kurang kuat
++
: kuat
+++
: sangat kuat

Kekentalan
+
: kurang kental
++
: kental
+++
: sangat kental

Rasa
+
++
+++

Warna
+
++
+++

: kurang manis
: manis
: sangat manis

: kurang hitam
: hitam
: sangat hitam

Tabel diatas menunjukkan bahwa masing-masing kelompok menggunakan bahan baku


yang berbeda yaitu kedelai hitam dan kedelai putih. Perlakuan yang diberikan pada
setiap kelompok juga berbeda. Hal tersebut yang membuat hasil pengamatan menjadi
berbeda-beda juga untuk setiap kelompok. Dari segi aroma, kelompok F3 dengan
perlakuan penambahan 0,75% inokulum + kedelai hitam, kelompok F4 dengan
perlakuan penambahan 1% inokulum + kedelai putih, serta kelompok F5 dengan
perlakuan penambahan 1% inokulum + kedelai hitam, memiliki aroma yang sangat
kuat, sementara kelompok F2 dengan perlakuan penambahan 0,75% inokulum + kedelai
putih memiliki aroma yang kuat, kemudian kelompok F1 dengan perlakuan
penambahan 0,5% inokulum + kedelai hitam memiliki aroma yang kurang kuat. Dari
segi rasa, kelompok F3 dan F4 memiliki rasa yang sangat kuat, sementara kelompok F1,
F2, dan F5 memiliki aroma yang kuat saja. Kemudian dari segi warna, semua kelompok
didapatkan warna yang sangat hitam kecuali kelompok F2 dengan warna yang hitam

saja. Lalu dari segi kekentalan, kelompok F2, F3, dan F5 memiliki tingkat kekentalan
yang sangat kental, sementara kelompok F1 dan F4 hanya kental saja.

2.

PEMBAHASAN

Kecap merupakan salah satu bumbu serba guna yang banyak digunakan sebagai
penyedap masakan. Kecap Indonesia terdiri dari dua jenis yaitu kecap manis dan kecap
asin (Apriyantono & Yulianawati, 2004). Kedua jenis kecap tersebut memiliki
perbedaan yang terletak pada rasa dan kekentalannya, yang mana kecap manis terasa
manis dan bertekstur lebih kental, sedangkan kecap asin memiliki rasa asin dengan
tekstur yang lebih encer (Astawan & Astawan, 1991). Di Indonesia, kecap manis lebih
populer dibanding kecap asin. Berdasarkan penelitian Apriyantono & Yulianawati
(2004), di Indonesia kecap manis lebih dikenal dibandingkan kecap asin.

Kecap dapat dibuat melalui beberapa cara, yaitu dengan hidrolisis asam, fermentasi
maupun kombinasi keduanya (hidrolisis asam dan fermentasi). Kecap dari hasil
fermentasi biasanya memiliki aroma serta rasa yang lebih baik dibanding kecap hasil
dari hidrolisis asam (Septiani et al, 2004). Astawan & Astawan (1991) mengatakan
bahwa kecap yang diproduksi di Indonesia sebagian besar dilakukan dengan cara
tradisional, yaitu kapang dibiarkan tumbuh dengan spontan. Hal inilah yang kemudian
membuat mutu kecap menjadi berbeda-beda. Maka dari itu, pada praktikum kali ini
dibuat kecap manis dengan cara fermentasi agar dapat mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh pada mutu kecap yang dihasilkan.

Pada praktikum ini, fermentasi kecap yang dilakukan menggunakan bahan dasar kedelai
hitam dan kedelai kuning/ putih. Penggunaan kedelai hitam dan putih ini telah sesuai
dengan teori Purwoko & Handajani (2007) yang menyebutkan bahwa biasanya bahan
baku pembuatan kecap merupakan kedelai hitam, akan tetapi kecap yang dibuat dari
kedelai putih juga tidak menutup kemungkinan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh
Kasmidjo (1990) yaitu bahan dasar pembuatan kecap terutama kedelai dapat
dipergunakan kedelai putih atau hitam yang berbentuk utuh, hancur atau yang sudah
hilang lemaknya. Kecap tidak hanya dapat dibuat dari kedelai saja, namun dapat dibuat
juga dari jenis kacang lainnya (Rahman, 1992). Akan tetapi pembuatan kecap lebih
memilih menggunakan kedelai dikarenakan protein yang terkandung di dalamnya
sekitar 40%, paling tinggi dari pada kacang-kacangan yang lain. Komposisi nutrisi
kedelai kering adalah lemak 224 mg/g, protein 420 mg/g, karbohidrat 340 mg/g untuk

nutrisi lain juga mengandung besi 0,1 mg/g, fosfor 5 mg/g, dan kalsium 6 mg/g
(Septiani et al, 2004).

Pada penelitian Ginting et al (2009) dikatakan jenis kedelai Merapi, Cikuray, dan
Mallika merupakan kedelai hitam dengan varietas unggul yang memiliki kadar protein
3742% bk, sehingga sangat sesuai untuk bahan baku kecap. Dari varietas baru pada
kedelai hitam, yaitu Detam-1 dan Detam-2, yang memiliki ukuran biji besar ( 14 g/100
biji), kadar protein tertinggi (4344,60% bk) dengan potensi hasil 33,50 t/ha, dapat
dihasilkan kecap manis dengan kadar protein yang lebih tinggi dibanding kedelai
kuning/ putih. Sehingga kebanyakan produsen kedelai menggunakan kedelai hitam
dalam produksinya.

Proses fermentasi pada pembuatan kecap terdiri dari fermentasi padat (fermentasi koji/
tempe) dan fermentasi cair (fermentasi moromi) (Purwoko & Handajani, 2007). Agar
mempermudah proses fermentasi maka harus diberikan perlakuan pendahuluan pada
kedelai yaitu dengan merendam kedelai dalam air selama 12 jam atau satu malam.
Menurut Santoso (1994), perendaman dilakukan sebagai bentuk pencucian pada kedelai
sehingga kotoran-kotoran yang melekat maupun yang tercampur dengan biji kedelai
dapat hilang. Kasmidjo (1990) juga menambahkan bahwa selama perendaman kedelai
akan mengeluarkan faktor yang menghambat pertumbuhan jamur dari dalam biji
kedelai, larut dalam air rendaman. Selain itu, perendaman juga sebagai kesempatan
untuk kedelai menyerap air (hidrasi) dan karenanya akan mempermudah menghilangkan
kulit. Tortora et al (1995) menjelaskan lebih lanjut yaitu dengan adanya hidrasi yang
dialami kedelai selama perendaman maka apabila kedelai tersebut dimasak hanya akan
memerlukan waktu yang sebentar karena kedelai telah lunak sebelumnya, akibat
perlakuan perendaman.

Gambar 1. Proses Perebusan Kedelai Hitam dan Kedelai Putih

Setelah dilakukan perendaman, kemudian kedelai direbus dan ditiriskan. Peppler &
Perlman (1979), menyebutkan tujuan perebusan ini adalah untuk melunakkan biji
kedelai, membunuh bakteri yang ada di permukaan kedelai, menginaktifkan zat-zat
antinutrisi dan menghilangkan bau langu serta merusak protein inhibitor. Kedelai yang
sedikit bakteri pada permukaannya serta lunak, akan mempermudah dalam pertumbuhan
kapang ketika tahap fermentasi koji. Didukung oleh pernyataan Atlas (1984), bahwa
kondisi agak lembab dari air yang diserap oleh kedelai membuat jamur tumbuh di atas
permukaan kedelai dan menambahkan beberapa enzim termasuk amilase dan proteinase.
Aktivitas enzim-enzim jamur tersebut sebagai dasar bahwa fermentasi awal oleh jamur
telah dialami oleh kedelai. Selain itu, melalui proses perebusan ini maka kecap yang
dihasilkan akan lebih baik mutunya sebab zat antinutrisi telah dihilangkan dan bau
langu sudah tidak ada. Tujuan penirisan kedelai yang telah direbus menurut Santoso
(1994) adalah agar suhu kedelai menjadi agak dingin sebab bibit jamur yang diberikan
dapat mati apabila keadaan kedelainya masih panas.

Gambar 2. Proses Penirisan Kedelai

Ditambahkan Rahayu et al., (1993) kedelai yang agak dingin akan mudah untuk
menggalami fermentasi kapang, sebab suhu 35-40oC merupakan kondisi yang sesuai
untuk pertumbuhan kapang. Selain itu kedelai yang strukturnya sudah lunak, kapang
lebih mudah untuk menembus biji kedelai itu sendiri dan kapang juga lebih mudah
menggunakan protein untuk pertumbuhannya. Pada saat proses fermentasi kapang
(koji), karbohidrat dan protein bahan baku didegradasi oleh protease, peptidase
(termasuk gluminase), amilase turunan dari koji. Atlas (1984) memperkuat bahwa
penirisan yang dilakukan agar kadar air pada kedelai berkurang, karena kadar air yang
terlalu tinggi menyebabkan kontaminasi oleh bakteri pembusuk (Bacillus subtilis)
dengan ditandai lendir yang muncul di permukaan biji.

Astawan & Astawan (1991) menjelaskan dalam pembuatan kecap hal pertama yang
dilakukan adalah dengan mencuci kacang kedelai dan dilakukan perendaman untuk tiap
kilogram ke dalam 3 liter air selama satu malam. Tahap selanjutnya kedelai direbus
sampai kulitnya lunak, kemudian ditiriskan dengan menggunakan tampah. Metode yang
dipergunakan dalam mempersiapkan kedelai pada praktikum ini telah mengikuti teori
Astawan & Astawan (1991) tersebut. Akan tetapi ketika melakukan perendaman
kedelai, praktikan belum memperhitungkan jumlah air secara tepat. Air yang
dipergunakan hanya dikira-kira hingga sampai semua kedelai terendam seluruhnya.

Kedelai yang telah mendapatkan perlakuan pendahuluan yaitu perendaman, pencucian,


penghilangan kulit ari dan perebusan, selanjutnya masuk ke dalam fase fermentasi koji.
Saat tahap fermentasi koji, kedelai sebanyak 250 gram dihamparkan diatas tampah yang
dilapisi daun pisang dan ditambah inokulum dengan perlakuan yang berbeda yaitu 0,5%
inokulum (kelompok F1), 0,75% inokulum (kelompok F2 dan F3), dan 1% inokulum
(kelompok F4 dan F5). Tampah berisi kedelai dan inokulum kemudian ditutup dengan
tampah yang dilapisi daun pisang dan dibiarkan di suhu ruang selama tiga hari. Hal ini
sudah sesuai dengan pernyataan oleh Astawan & Astawan (1991) dimana tahap
fermentasi kapang pada pembuatan kecap memakan waktu 1-3 hari. Proses fermentasi
tidak boleh dilakukan terlalu cepat, karena jika terlalu cepat ataupun terlalu lama,
kapang tidak dapat menghasilkan enzim dalam jumlah yang cukup sehingga tidak dapat
menghasilkan komponen-komponen yang dapat memicu reaksi penguraian, sedangkan
jika terlalu lama maka enzim yang dihasilkan terlalu banyak dan membuat cita rasa dari
kecap menjadi kurang baik.

Gambar 3. Proses Penambahan dan Pencampuran Ragi

Hal tersebut sesuai dengan teori yaitu biasanya pembuatan koji dilakukan dengan
menggunakan nampan dari bambu yang berlubang-lubang atau stainless steel sebagai
wadah untuk menghamparkan bahan yang telah diinokulasi dalam suhu 25-35C selama
45 jam. Pengaturan kondisi fermentasi seperti aerasi, suhu serta kadar air harus tepat
sebagai upaya pencegahan terhadap pertumbuhan mikroorganisme kontaminan seperti
Mucor sp. maupun bakteri yang memiliki sifat proteolitik. Makin lama waktu
fermentasi flavor yang dihasilkan makin baik (Kasmidjo, 1990).

Gambar 4. Fase Fermentasi Koji

Pada fermentasi koji, proses yang terjadi adalah kapang akan tumbuh pada permukaan
kedelai dan kemudian mengeluarkan beberapa enzim yang memecah substrat menjadi
senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Pada kapang terdapat beberapa enzim seperti
invertase, amilase, protease (protease netral, protease asam, dan protease alkali),
aminopeptidase, karboksi peptidase dan glutaminase. Protein kompleks yang tidak larut
dihidrolisis oleh enzim protease menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu menjadi
polipeptida dan oligopeptida, kemudian polipeptida dan oligopeptida dihidrolisis
menjadi asam-asam amino. Enzim invertase dan amilase menghidrolisis pati menjadi
monosakarida dan disakarida. Sehingga selama proses fermentasi ini nilai pH, suhu,
nitrogen terlarut, ammonia dan asam amino akan mengalami kenaikan (Septiani et al,
2004).

Tiga hari kemudian, kapang mulai tumbuh dan mulai terbentuk miselia dengan warna
putih menyelimuti kedelai. Kedelai yang telah ditumbuhi kapang kemudian dijemur
atau dikeringkan dalam dehumifier selama 2 jam. Rahayu et al (1993) menjelaskan
bahwa proses pengeringan dilakukan agar kapang yang melekat di permukaan substrat
tersebut hilang, mati terkena sinar matahari secara langsung. Hal ini dilakukan sebab

kapang sudah tidak dipergunakan lagi pada tahap berikutnya. Ditambahkan Peppler &
Perlman (1979) bahwa kadar air kedelai akan menurun dengan adanya pengeringan
sehingga jamur yang belum mati oleh sinar matahari, pertumbuhannya lambat laun akan
terhambat karena tanpa air jamur tidak mampu tumbuh. Pemotongan kedelai hasil
proses koji dilakukan agar kedelai cepat kering dan kapang yang melekat cepat hilang
atau mati dan kadar airnya cepat berkurang karena luas permukaan luas.

Gambar 5. Pengeringan Kedelai

Setelah fermentasi kapang langkah selanjutnya adalah fermentasi moromi dalam larutan
garam. Tahap fermentasi moromi ini dimulai dari perendaman kedelai hasil
pengeringan, ke dalam larutan garam 20% dan selama 1 minggu diinkubasi. Pemakaian
larutan garam 20% dalam praktikum ini sudah sesuai dengan teori Septiani et al (2004)
yang menyebutkan bahwa pada umumnya, larutan garam 20% digunakan untuk
fermentasi moromi. Larutan garam ini dimaksudkan sebagai bahan pengawet.
Pencemaran pada kedelai yang disebabkan oleh pembusukan oleh bakteri pembusuk,
serangan belatung, dan lalat dapat dihindarkan dengan adanya garam dalam jumlah
yang tinggi (Astawan & Astawan, 1991). Selain itu perendaman di dalam larutan garam
juga berfungsi sebagai penyeleksi kegiatan mikrobia. Khamir dan bakteri yang dapat
tumbuh pada fermentasi moromi, hanya jenis yang memiliki toleran terhadap
konsentrasi garam yang tinggi seperti Z. Major, Lactobacillus delbrueckii,
Pseudomonas soyae, Hansenula sp, Zygosaccharomyces soyae, dan Hansenula sp
(Septiani et al, 2004).

Gambar 6. Fase Fermentasi Moromi

Menurut Wu et al (2010), dalam melakukan fermentasi moromi ditempatkan dalam


sebuah tangki tertutup, yang kemudian disimpan selama 3-4 bulan dibawah sinar
matahari. Maka proses fermentasi moromi pada praktikum ini telah sesuai dengan teori
Wu et al (2010) yaitu dimana praktikan melakukan juga dalam wadah tertutup yang
selanjutnya dijemur setiap siang hari. Pada praktikum ini, pengadukan dan penjemuran
dilakukan setiap hari di bawah sinar matahari selama 60 menit. Pengadukan yang
dilakukan, menurut Tortora et al (1995),

bertujuan agar larutan garam menjadi

homogen menyentuh permukaan substrat dan memberikan udara sebagai perangsang


pertumbuhan bakteri dan khamir. Pengadukan dengan pemberian udara ini juga
berfungsi agar proses pematangan flavor kecap menjadi lebih cepat (Wu et al, 2010).
Namun karena terbatasnya waktu, praktikum fermentasi ini hanya dapat dilakukan
dalam waktu 1 minggu sehingga tidak dapat dilakukan 3-4 bulan.

Reaksi browning antara gula reduksi dengan gugus amino dari protein menghasilkan
perubahan warna larutan kecap selama proses fermentasi moromi berlangsung (Astawan
dan Astawan, 1991). Terjadi pengubahan gula sederhana dalam proses moromi ini,
yaitu dari fermentasi koji menjadi asam asetat dan asam laktat, yang dilakukan oleh
Zygosaccharomyces rouxii, Pediococcus halophilus, dan Candida sp, yang secara alami
telah terdapat di lingkungan, kemudian yang mengubah sisa gula menjadi komponen
flavor seperti 4-ethylguaiacol dan etanol (Wu et al, 2010).

Ditambahkan oleh Kasmidjo (1990) fermentasi oleh bakteri menghasilkan beberapa


asam organik (asam fosfat, asam laktat, asam asetat dan asam suksinat) yang perannya
sebagai pembentuk warna, citarasa, dan daya simpan. Sedangkan fermentasi yang
dilakukan khamir menghasilkan 4-etilfenol, 4-etilguakol dan 2-fenil etanol yang

10

berperan untuk pembentukan citarasa khas kecap. Selain itu juga terjadi pembentukan
warna yang disebabkan oleh reaksi pencoklatan antara beberapa komponen pembentuk
citarasa dan gula.

Gambar 7. Proses Penyaringan

Dilakukan pemasakan pada air hasil fermentasi moromi sehingga menjadi kecap dengan
tambahan beberapa bumbu sesuai dengan keinginan. Sebelumnya dilakukan
penyaringan untuk memisahkan padatan-padatan kedelai. Karena yang digunakan
adalah hanya airnya. Resep atau bumbu-bumbu yang digunakan tiap kelompok sama.
Namun dengan penambahan bumbu tambahan yang berbeda, yakni penambahan 1 gram
cengkeh (kelompok F1 dan F2), 1 buah daun serai (kelompok F3 dan F4), dan 1 buah
pala (kelompok F5). Kecap terutama kecap manis ditambahkan gula kelapa dalam
jumlah yang besar sehingga dapat menaikkan viskositas (Kasmidjo, 1990). Pada
umumnya semua kelompok yang ada menggunakan bumbu seperti yang telah
disebutkan oleh Santoso (1994) yaitu gula merah, kayu manis, laos, ketumbar, dan
bunga pekak. Bumbu-bumbu yang digunakan dalam pembuatan kecap ini berfungsi
untuk menambah citarasa kecap. Bumbu yang digunakan inilah yang nantinya akan
mempengaruhi hasil akhir kecap. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian
Noviyanthi (2003), bahwa komposisi kapang campuran dan dosis starter tidak memiliki
pengaruh nyata pada kandungan protein kasar (metode Kjeldahl), nilai pH, kadar
Nitrogen dengan cara titrasi dan analisa organoleptik (uji hedonik warna, rasa, aroma
dan rasa gurih) produk kecap.

11

Gambar 8. Proses Akhir Pemasakan Kecap

Kekentalan, rasa, warna dan aroma kecap selain dipengaruhi oleh bumbu dan gula
merah juga dipengaruhi oleh beberapa komponen lain, yaitu:

Komponen nitrogen pendukung seperti amonia, arginin, putresin dan histidin


menentukan komponen pada flavor dan aroma dalam kecap. Flavor menjadi enak
bila dengan asam glutamat membentuk senyawa garam. Begitu juga pada lisin,
histidin, putresin, arginin dengan asam suksinat, dapat membuat flavor menjadi
enak. Namun akan berasa pahit jika garam-garam berasal dari kholin dan tiramin
serta garam-garam dari asam laktat, asetat, fosfat dan format (Astawan & Astawan,
1991).

Komponen yang membuat rasa kercap menjadi sedap adalah asam suksinat dan
asam laktat. Lemak dan protein memiliki pengaruh yang lebih dalam membentuk
rasa kecap. Asam glutamat termasuk protein yang memiliki kontribusi utama pada
pembentukan rasa dalam kecap (Septiani et al, 2004).

Lama fermentasi mempengaruhi warna kecap. Ketika fermentasi koji tempe yang
terjadi semakin lama maka semakin coklat warna kedelai terfermentasi sehingga
semakin coklat pula warna kecap (Septiani et al, 2004).

Fermentasi moromi akan berlangsung lebih baik jika diletakkan pada suhu 45C
dibanding fermentasi pada suhu ruang. Hal ini karena akan mempercepat pematangan
kecap sehingga menghasilkan kecap dengan warna yang lebih coklat dengan kadar
etanol rendah (Wu et al, 2010).

Sehingga pada praktikum ini penggunaan inokulum tidak mempengaruhi hasil citarasa
dan kekentalan yang diamati. Pada praktikum ini jumlah inokulum akan mempengaruhi
hasil atau jumlah miselia dan kadar pemecahan protein. Tetapi hasil tersebut tidak
mempengaruhi citarasa dan kekentalan yang diamati. Sesuai dengan Purwoko &

12

Handajani, (2007) yang menyatakan penambahan bumbu-bumbu dapat meningkatkan


cita rasa kecap manis. Pada pembuatan kecap manis terdapat 2 jenis bumbu, yaitu
bumbu lengkap dan bumbu sederhana. Bumbu sederhana hanya menambahkan jahe,
gula merah, kayu manis dan lengkuas. Pada bumbu lengkap terdiri dari bumbu
sederhana yang kemudian ditambah dengan bawang putih, kunyit, kemiri, dan
ketumbar. Kecap manis dengan bumbu lengkap lebih disukai konsumen daripada kecap
manis dengan bumbu sederhana. Dalam praktikum ini dapat dikatakan bumbu yang
digunakan adalah bumbu sederhana.

Kecap yang telah jadi kemudian diuji secara sensoris. Atribut yang diuji meliputi rasa,
kekentalan, aroma, dan warna. Berdasarkan hasil pengamatan jika dilihat dari segi
aroma maka kelompok F3, F4 dan F5 memiliki aroma yang sangat kuat, kemudian
diikuti kelompok F2 yaitu memiliki aroma kuat kemudian F1 dengan aroma kurang
kuat. Hasil ini sesuai dengan pernyataan oleh Afrianto & Liviawati (1989), dimana
konsentrasi inokulum yang lebih tinggi menyebabkan proses degradasi molekul
kompleks menjadi molekul sederhana berlangsung lebih cepat daripada yang memakai
inokulum dengan konsentrasi yang lebih rendah, jadi aroma yang dihasilkan lebih kuat.
Dari segi rasa, juga sama seperti aroma dimana semakin banyak inokulum yang
ditambahkan rasa yang dihasilkan akan semakin lebih kuat (Chancharoonpong et al.,
2010). Hasil yang didapatkan kelompok F5 tidak sesuai dengan teori, hal ini bisa
disebabkan karena perbedaan rempah yang digunakan, perbedaan waktu serta suhu pada
saaat memasak. Hal ini didukungo leh Amalia (2008) dimana pemasakan yang terlalu
lama akan menimbulkan rasa kecap pahit. Menurut jurnal yang berjudul Flavor and
taste compounds analysis in Chinese solid fermented soy sauce karakteristik
pembentukan flavor kecap dipengaruhi oleh cara yang dilakukan pada proses produksi
kecap, seperti model fermentasi yang digunakan, media pertumbuhan yang dipakai dan
penggunaan bahan baku. Tahapan utama pembuatan kecap untuk mengembangkan
flavor yaitu perlakuan pemanasan bahan baku, fermentasi koji, fermentasi moromi
meliputi pasteurisasi.

Dari parameter warna didapatkan bahwa kecap yang terbuat dari kedelai hitam memiliki
warna yang lebih hitam daripada warna kecap yang terbuat dari kedelai putih. Warna

13

hitam terbentuk karena adanya gula jawa yang ditambahkan dalam pemasakan kecap
(Kasmidjo, 1990). Pada penelitian Dedin et al (2006) menyatakan kadar air pada
degradasi termal asam amino berpengaruh terhadap jenis produk reaksi Maillard yang
terbentuk, sedangkan rasio gula yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap asam
amino yang kemudian berpengaruh pada laju reaksi pembentukan warna. Dari segi
kekentalan menurut Kasmidjo (1990) ditentukan oleh fermentasi gula dan banyaknya
gula jawa yang ditambahkan. Karena fungsi penambahan gula jawa adalah sebagai
peningkat viskositas (Kasmidjo, 1990). Kekentalan ini dikarenakan kandungan gula
yang ditambahkan banyak sehingga ketika dipanaskan semakin mengental.

Gambar 9. Hasil Akhir Kecap

3.

KESIMPULAN

Fermentasi kecap terdiri dari 2 tahap yakni fermentasi koji dan moromi.

Perlakuan pendahuluan pada kedelai perlu dilakukan untuk memudahkan


dilakukannya fermentasi koji dan moromi.

Tahap koji adalah tahap fermentasi oleh kapang.

Tahap moromi adalah proses fermentasi kedelai yang dilakukan oleh bakteri dan
khamir melalui media larutan garam.

Fermentasi koji bertujuan menghasilkan enzim amilase dan enzim protease untuk
memecah protein dan karbohidrat yang terdapat pada kedelai.

Fermentasi moromi bertujuan untuk fermentasi gula sederhana dan asam amino
menjadi asam suksinat, asam laktat, dan asam asetat oleh Pediococcus halophillus
dan Lactobacillus delbrueckii.

Perendaman dalam larutan garam bertujuan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa


sederhana hasil dari hidrolisis yang dilakukan oleh jamur pada tahap fermentasi.

Perebusan bertujuan membunuh bakteri yang ada di permukaan kedelai,


melunakkan biji kedelai, menghilangkan bau langu, menginaktifkan zat antinutrisi
dan merusak protein inhibitor.

Pengadukan pada proses perendaman bertujuan untuk menghomogenkan larutan


dan memberikan udara yang dapat merangsang pertumbuhan mikroorganisme
fermentasi kecap (Aerasi).

Mutu kecap yang dihasilkan ditentukan oleh gula merah dan bumbu yang
digunakan.

Semarang, 4 Juli 2015


Praktikan,

Asisten Dosen
-Abigail Sharon E.
-Frisca Melia

Galih Aji Priambodo


12.70.0116

14

4.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, T. 2008. Pengaruh Karakteristik Gula Merah dan Proses Pemasakan Terhadap
Mutu Organoleptik Kecap Manis. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Apriyantono, Anton & Yulianawati, Gono Dewi. (2004). Perubahan Komponen Volatil
Selama Fermentasi Kecap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Vol XV No 2 hal
100-112
Astawan, M & Astawan.W.M. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat
Guna. Akademika Pressindo. Jakarta.
Atlas, R. M. (1984). Microbiology Fundamental and Application. Collier Mcmillan Inc.
New York.
Chancharoonpong, C., Pao-Chuan H., Shyang-Chwen S. (2010). Enzyme production
and growth of Aspergillus oryzae S. on soybean koji fermentation. APCBEE
Procedia 00: 000000.
Dedin, F.R. ; Fardiaz, D. ; Apriyantono, A. ; Andarwulan, N. (2006). Isolasi dan
Karakterisasi Melanoidin Kecap Manis dan Peranannya sebagai Antioksidan. Jurnal
Teknologi dan Industri, Vol. XVII No 3.
Ginting, E. ; Sri Satya A. ; dan Sri Widowati. (2009). Varietas Unggul Kedelai untuk
Bbahan Baku Industri Pangan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(3), 2009.
Kasmidjo, R.B. (1990). Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU Pangan dan Gizi UGM. Yogyakata.
Noviyanthi. (2003). Kajian Pembuatan lnokulum Kapang Untuk Produksi Kecap.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/21838/F03nov_abstract.pdf?
sequence=1 . Diakses pada tanggal 3 Juli 2015
Peppler, H.J. & Perlman, D. (1979). Microbial Technology, fermentation Technology.
Academic Press. San Fransisco.
Purwoko, Tjahjadi & Handajani, Noor Soesanti. (2007). Kandungan Protein Kecap
Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan R.
Oligosporus. Biodiversitas Volume 8, Nomor 2 , halaman: 223-227.

15

16

Rahayu, E. S.; Utami, E. Haryati. (1993). Bahan Pangan Hasil Fermentasi. PAU Pangan
dan Gizi. UGM. Yogyakarta.
Rahman,A. (1992). Teknologi Fermentasi. Arcan. Jakarta.
Santoso, H.B. (1994). Kecap dan Tauco Kedelai. Kanisius. Yogyakarta.
Septiani, Yona; Tjahjadi Purwoko; Artini Pangastuti. (2004). Kadar Karbohidrat,
Lemak, dan Protein pada Kecap dari Tempe. Bioteknologi 1 (2) hal 48-53.
Tortora, G.J., R. Funke & C.L. Case. (1995). Microbiology. The Benjamin / Cummings
Publishing Company, Inc. USA.
Wu, Ta Yeong; Mun Seng Kan; Lee Fong Siow; Lithnes Kalaivani Palniandy. (2010).
Effect of temperature on moromi fermentation of soy sauce with intermittent
aeration. African Journal of Biotechnology Vol. 9(5), pp. 702-706.
Yangfang, Zhang; Wenyi, Tao. 2009. Flavor and taste compounds analysis in Chinese
solid fermented soy sauce. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (4), pp. 673681

5.

LAMPIRAN

5.1. Abstrak Jurnal

5.2. Laporan Sementara

17

You might also like