Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Nama: Galih Aji Priambodo
NIM: 12.70.0116
Kelompok F5
1.
HASIL PENGAMATAN
Berikut merupakan hasil pengamatan pembuatan nata de coco kloter F yang dapat
dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Lapisan Nata de Coco.
Kel
F1
F2
F3
F4
F5
H0
0
0
0
0
0
Ketebalan (cm)
H7
H14
0,4
0,4
0,2
0,2
0,5
0,2
0,3
0,3
0,3
0,1
Pada tabel hasil pengamatan tebal lapisan nata de coco maka dapat dilihat bahwa tebal
awal lapisan nata pada setiap kelompok berbeda-beda, dimana ketebalan tertinggi
terdapat pada kelompok F2 dengan tinggi sebesar 2 cm, sementara ketebalan terendah
terdapat pada kelompok F1 dengan tinggi sebesar 0,5 cm. Setelah fermentasi 7 hari
tebal nata menjadi berbeda-beda. Kelompok F3 memiliki ketebalan yang paling tinggi
dengan tebal sebesar 0,5 cm dan kelompok F2 memiliki ketebalan yang paling rendah
dengan tebal sebesar 0,2 cm. Pada fermentasi 14 hari, kelompok F1 memiliki ketebalan
yang paling tinggi dengan nilai sebesar 0,4 cm dan kelompok F5 memiliki ketebalan
yang paling rendah dengan nilai sebesar 0,1 cm. Untuk % lapisan nata, pada fermentasi
7 hari, kelompok F1 memiliki hasil yang paling besar dengan nilai sebesar 80% dan
kelompok F2 memiliki hasil yang paling kecil dengan nilai sebesar 10%. Sementara
untuk fermentasi 14 hari, % lapisan nata terbesar terdapat pada kelompok F1 dengan
nilai 80% dan % lapisan nata terkecil terdapat pada kelompok F5 dengan nilai sebesar
6,67%.
Aroma
+++
+++
+++
+++
+++
Warna
++++
+++
++
+
Warna
+
+
+
+
+
: putih
: putih bening
: putih agak bening
: bening
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa setiap kelompok memiliki hasil sensori aroma
dan warna. Pada hasil sensori aroma semua kelompok memiliki aroma agak asam.
Sementara dari segi warna, semua kelompok juga memiliki warna yang sama, yaitu
berwarna bening.
2.
PEMBAHASAN
Salah satu produk hasil fermentasi yang sekarang ini digemari sebagai minuman adalah
nata yaitu semacam komponen minuman yang termasuk dalam senyawa selulosa
(dietary fiber), dan berasal dari air kelapa yang mengalami proses fermentasi, serta
jasad renik (mikrobia) yang terlibat di dalamnya, yang kemudian lebih dikenal dengan
nama bibit nata. Nata dapat diusahakan dari beberapa bahan yang mengandung gula,
protein, dan mineral antara lain seperti dari air kelapa (nata de coco), dari sari kedelai
(nata de soya), sari buah mangga (nata de mango), sari buah nanas (nata de pina), dan
sebagainya. Biang nata yang sering digunakan merupakan golongan bakteri dengan
nama Acetobacter xylinum. Bakteri ini termasuk bakteri yang tidak membahayakan,
tetapi menguntungkan karena bermanfaat untuk manusia dengan menghasilkan produk
yang berguna (Pambayun, 2002).
Produk nata di pasaran ada berbagai jenis, namun yang paling banyak beredar adalah
nata de coco. Nata de coco merupakan salah satu dari sekian produk olahan air kelapa
yang mulai populer dan digemari oleh orang-orang sekarang ini, sehingga permintaan
pasar akan produk ini semakin meningkat. Hal ini merupakan suatu peluang yang sangat
baik untuk mengembangkan usaha pengolahan air kelapa yang digunakan sebagi bahan
baku atau media dalam pembuatan nata de coco (Wowor et al, 2007). Terlebih lagi di
Indonesia produksi kelapa sangat melimpah, namun belum dimanfaatkan secara
maksimal. Kelebihan produksi kelapa ini bila tidak dimanfaatkan dapat mengakibatkan
banyaknya limbah air kelapa yang justru dapat merusak lingkungan (Widayati et al,
2002).
Air kelapa terdiri dari protein 0,29%, karbohidrat 7,27%, lemak 0,15%, abu 1,06% dan
91,23% air. Pada air kelapa juga terkandung sukrosa, dextrosa, fruktosa, vitamin B
kompleks yang terdiri dari asam folat 0,003 mikrogram, asam pentotenat 0,52
mikrogram, asam niotinat 0,01 mikrogram, riboflavin 0,01 mikogram dan biotin 0,02
mikrogram per mililiter (Awang, 1991). Dengan nutrisi tersebut, air kelapa mempunyai
potensi yang baik untuk dimanfaatkan sebagai bahan dasar fermentasi asam-asam
organik seperti nata de coco (Widayati et al, 2002).
Teori diatas diperkuat dengan pendapat Pambayun (2002), yang mengatakan proses
yang terkontrol akan dapat membentuk nata dengan bantuan bakteri Acetobacter
xylinum apabila bahan yang digunakan sebagai media penumbuhan, kaya akan nitrogen
(N) dan karbon (C). Kondisi demikian, membuat bakteri mampu menghasilkan enzim
ekstraseluler yang berguna dalam penyusunan (polimerisasi) zat gula (glukosa) menjadi
ribuan rantai (homopolimer) serat atau selulosa. Bahan yang ditumbuhi jutaan jasad
renik tersebut kemudian akan menghasilkan jutaan lembar benang-benang selulosa yang
terlihat padat berwarna putih hingga transparan dan selanjutnya disebut sebagai nata.
Dalam pembuatan nata de coco, pertama kali dilakukan persiapan air kelapa sebagai
media untuk fermentasi. Air kelapa disaring, ditimbang 1 kg, dan ditambahkan dengan
10% gula pasir, 0,5% amonium sulfat kemudian dimasak. Proses penyaringan
dimaksudkan untuk memisahkan kotoran yang mungkin ada di air kelapa seperti serabut
kelapa. Penggunaan air kelapa seperti yang disebutkan Widayati et al (2002) adalah
sebagai substrat dalam fermentasi karena mengandung gula, protein, asam-asam amino,
bermacam-macam vitamin dan mineral.
Penggunaan gula pasir yang merupakan jenis sukrosa menurut Pambayun (2002) adalah
sebagai sumber karbon yang biasa digunakan oleh bakteri Acetobacter xylinum. Hayati
(2003) menjelaskan pula bahwa penambahan gula dalam pembuatan nata bertujuan
untuk memperoleh flavor, penampakan, dan tekstur yang ideal. Gula juga merupakan
pengawet. Dan menurut Sunarso (1982), penambahan gula sebanyak 10% merupakan
penambahan dalam jumlah yang optimum sehingga nata yang dihasilkan akan tebal dan
liat. Rahman (1992), menambahkan bahwa gula juga digunakan untuk pertumbuhan
bakteri nata (Acetobacter xylinum) dan merupakan sumber karbon pada proses
fermentasi nata de coco. Kemungkinan konsentrasi gula kurang ada pada kisaran 510%, sebab jumlah gula yang kurang/ terlalu berlebih membuat bakteri Acetobacter
xylinum tidak mampu memanfaatkannya secara optimal. Konsentrasi optimum gula
yang digunakan untuk 100 ml substrat adalah 10 gram.
Penambahan amonium sulfat dalam pembuatan nata menurut Awang (1991) dan
Pambayun (2002) dikarenakan amonium sulfat atau urea yang ditambahkan berperan
sebagai sumber nitrogen yang digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas
bakteri nata. Penambahan urea berfungsi agar pH awal medium tercapai, pH
optimimum untuk pertumbuhan bakteri nata berkisar 4-5. Pada kondisi yang sesuai
yaitu 4,5; 2,5-asam ketoglukonat diubah menjadi selulosa. Tujuan lain dari penambahan
urea ini untuk sumber nitrogen sebagai pembentuk asam nukleat dan pembentukan
protein sebagai sumber energi yang akan digunakan bakteri untuk melangsungkan
perkembangan dan pertumbuhannya dalam proses fermentasi (Palungkun, 1996).
Setelah ditambahkan dengan berbagai macam bahan tambahan, kemudian media untuk
pembuatan nata de coco dimasak dengan api sedang. Menurut Astawan & Astawan
(1991), pemasakan air kelapa bertujuan agar mikroorganisme yang dapat mencemari
produk yang dihasilkan menjadi mati. Jika proses pemasakan tidak dilakukan maka ada
kemungkinan terdapat mikroorganisme lain yang secara langsung maupun tidak, untuk
mengganggu aktivitas dan pertumbuhan Acetobacter xylinum saat melakukan
pengubahan glukosa menjadi selulosa sehingga kemampuan bakteri ini untuk
membentuk nata juga menjadi tidak sempurna.
Setelah itu produk dibiarkan dingin dan dilakukan penyesuaian pH dengan penambahan
asam cuka glasial hingga pH 4-5. Pambayun (2002) menjelaskan bahwa bakteri
Acetobacter xylinum akan tumbuh dengan baik jika berada dalam suasana asam dengan
pH 4,3 meskipun pada pH 3,5-7,5 juga dapat tumbuh. Dan tidak dapat tumbuh jika
Acetobacter xylinum ditempatkan dalam kondisi basa. Oleh karena itu air kelapa yang
memiliki pH basa perlu disesuaikan pHnya terlebih dahulu dengan asam cuka glasial
agar menjadi media yang optimal bagi pertumbuhan Acetobacter xylinum. Selain itu
dengan adanya penambahan asam dalam proses pembuatan nata ini dapat juga
menghindari terjadinya pengkristalan gula yang terdapat pada air kelapa tersebut
sehingga hasil yang didapatkan dapat sesuai (Rahman, 1989).
Pada tabel hasil pengamatan tebal lapisan nata de coco maka dapat dilihat bahwa tebal
awal lapisan nata pada setiap kelompok sama yaitu 1,5 cm, kecuali kelompok F1
dengan tinggi sebesar 0,5 cm dan kelompok F2 dengan tinggi sebesar 2 cm. Padahal
media awal yang digunakan sama-sama 100 ml. Hal ini dikarenakan perbedaan luas
penampang toples yang digunakan. Namun tetap setelah fermentasi 7 hari tebal nata
menjadi berbeda-beda. Dan pada hari ke 14 kelompok F3 dan F5 mengalami penurunan
ketebalan. Terjadinya penurunan tinggi ketebalan dan prosentase lapisan ini tidak sesuai
dengan teori Lapuz et al (1967) yang menyatakan, waktu inkubasi yang semakin lama
akan membuat peningkatan tinggi ketebalan dan prosentase lapisan sehingga semakin
tebal pula nata yang tebentuk. Hasil pengujian yang kurang sesuai dengan teori ini
disebabkan karena terjadinya beberapa kesalahan selama proses pembuatan, misalnya
proses pembuatan media, penambahan pH, proses penimbangan dan proses selama
fermentasi. Rahman (1992) memperjelas bahwa ada beberapa faktor
yang
mempengaruhi saat pembuatan nata de coco, yaitu pH, suhu, dan kandungan gula dalam
substrat.
Pada tabel hasil pengamatan uji sensori, dari segi aroma diperoleh hasil semua
kelompok memiliki aroma agak asam. Aroma agak asam ini terjadi karena lapisan nata
yang tidak terbentuk. Anastasia & Afrianto (2008) menjelaskan lebih lanjut mengenai
adanya aroma asam pada nata diakibatkan oleh asam cuka yang masih tersisa. Aroma
asam cuka pada nata mengindentifikasi substrat yang digunakan mempunyai pH yang
asam dan mengidentifikasi bahwa proses fermentasi sedang berlangsung (Astawan &
Astawan, 1991).
Dari segi warna, semua kelompok juga memiliki warna yang sama, yaitu berwarna
bening. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Astawan & Astawan (1991) yang
menyatakan bahwa terjadinya proses fermentasi membuat warna yang dihasilkan
menjadi keruh yaitu sebagai akibat Acetobacter xylinum bercampur dengan air kelapa.
Menurut Arsatmodjo (1996), proses perebusan dengan air gula dan komponen gula
yang masuk ke jaringan selulosa akan mempengaruhi warna dari nata de coco.
Setiap kelompok tidak melakukan uji sensori pada aspek tekstur dan rasa, hal ini terjadi
karena semua kelompok didapatkan hasil nata yang gagal. Masing-masing kelompok
tidak dapat dibandingkan tekstur dan rasanya. Menurut Astawan & Astawan (1991),
nata memiliki tekstur yang kenyal. Tekstur yang kenyal ini disebabkan oleh kandungan
gula yang ada didalam nata. Biasanya rasa manis dari nata berasal dari kandungan gula
yang diberikan dalam pembuatan gula, jika rasa semakin manis berarti gula yang
diberikan semakin banyak.
Produk fermentasi sering mengalami kegagalan atau ketidak efektifan proses seperti
yang terjadi dalam praktikum kali ini. Menurut Seumahu et al (2007), hasil akhir nata
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nata yang baik dan nata yang buruk. Nata
dikategorikan baik bila menghasilkan nata yang putih transparan, tebal 1,5-2 cm dan
permukaannya mulus. Sebaliknya, nata dikategorikan buruk bila nata yang dihasilkan
tipis (<0,5 cm) memiliki warna kusam atau kekuningan, tesktur yang keras dan terdapat
gelembung gas terjebak di dalamnya. Sedangkan nata yang terkontaminasi ditandai
dengan adanya lapisan kuning dan berlendir pada permukaan.
Kegagalan dan ketidak efektifan proses dapat dikarenakan berbagai hal. Kegagalan pada
praktikum ini bisa saja karena substrat atau media yang digunakan terlalu sedikit, selain
itu dapat disebabkan karena starter nata yang digunakan tidak efektif. Menurut Dewi
(2009), starter komersial yang tersedia selama ini adalah dalam bentuk cair dalam
kemasan botol gelas dan penutup berupa sumbat kapas. Kultur dalam keadaan cair
mudah mengalami kontaminasi, mudah turun potensinya pada penyimpanan, dan sulit
dalam pengelolaannya. Selain itu, kegagalan dalam pembuatan nata ini menurut
Jagannath et al (2008) dapat pula disebabkan karena penggunaan kultur komersial
dengan gula yang murah. Hal lain yang dapat menyebabkan kontaminasi nata yang
dibuat adalah alat dan proses pengerjaan yang tidak aseptis.
Karena seringnya terjadi kegagalan dan kontaminasi pada pembuatan nata de coco,
maka perlu diperhatikan faktor yang dapat mempengaruhi pembuatan nata de coco
seperti:
10
langsung dengan permukaan nata dan tidak boleh terlalu kencang (Pambayun,
2002). Oleh sebab itu dalam praktikum digunakan penutup kain saring.
Sebaiknya penggunaan kultur cair dihindari dan digunakan kultur yang diawetkan
dengan freeze drying (pengeringan beku) sebab lebih tahan kontaminasi (Dewi,
2009).
3.
KESIMPULAN
Nata de coco dibuat dari fermentasi air kelapa oleh Acetobacter xylinum.
Hasil akhir nata dikategorikan baik bila menghasilkan nata yang putih transparan,
tebal dan permukaannya mulus.
Pembuatan nata dibagi dua tahap, yaitu pembuatan media dan proses fermentasi.
Tahap pembuatan nata de coco terdiri dari berbagai tahap, meliputi penyaringan air
kelapa, penambahan gula dan amonium sulfat, pemasakan, pendinginan, pengukuran
pH, penambahan cuka glasial, penambahan biang dan proses inkubasi.
Amonium sulfat atau urea yang ditambahkan berperan sebagai sumber nitrogen
yang digunakan untuk mendukung pertumbuhan aktivitas bakteri nata.
Asisten Dosen
-Nies Mayangsari
-Wulan Apriliana
11
4.
DAFTAR PUSTAKA
12
13
5.
LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Persentase Lapisan Nata =
Kelompok F1
H0 Persentase Lapisan Nata =
0
x 100% = 0 %
0,5
0,4
x 100% = 80 %
0,5
0,4
x 100% = 80 %
0,5
Kelompok F2
H0 Persentase Lapisan Nata =
0
x 100% = 0 %
2
0,2
x 100% = 10 %
2
0,2
x 100% = 10 %
2
Kelompok F3
H0 Persentase Lapisan Nata =
0
x 100% = 0 %
1,5
0,5
x 100% = 75 %
1,5
0,2
x 100% = 13,33 %
1,5
14
15
Kelompok F4
H0 Persentase Lapisan Nata =
0
x 100% = 0 %
1,5
0,3
x 100% = 20 %
1,5
0,3
x 100% = 20 %
1,5
Kelompok F5
H0 Persentase Lapisan Nata =
0
x 100% = 0 %
1,5
0,3
x 100% = 20 %
1,5
0,1
x 100% = 6,67 %
1,5