Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Stefany Grandinata
11.2013.316
Bab I
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Salah satu cita-cita masyarakat Indonesia adalah terwujudnya masyarakat
Indonesia yang sehat. Kebijakan Indonesia Sehat 2010 menetapkan tiga pilar utama yaitu
lingkungan sehat, perilaku sehat dan pelayanan kesehatan bermutu adil dan merata.
Untuk mendukung pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010 telah ditetapkan Sistem
Kesehatan
Nasional
(SKN)
dengan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
No.
diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3x
lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.2
1.2.Tujuan
Dengan melakukan kunjungan ke rumah, diharapkan kita dapat melakukan analisa
kasus DM dengan pendekatan keluarga, yakni:
-
1.3. Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai penyakit diabetes
melitus tipe 2, yang umumnya terjadi pada usia dewasa. Belakangan penderita diabetes
didalam masyarakat meningkat karena faktor pola hidup yang makin memburuk,
misalnya saja kurangnya berolahraga, makan makanan atau minum minuman yang tidak
sehat (manis) dan sebagainya.
-
Kurangnya pengetahuan mengenai makna dari hidup bersih dan sehat baik di dalam
rumah maupun di lingkungan tempat tinggal pasien dan keluarga.
1.4. Sasaran
Sasaran pokok nya adalah Pasien beserta dengan Keluarga pasien.
Bab II
Metode dan Materi
Metode yang digunakan adalah penemuan penderita pasif (Passive case finding).
Penemuan penderita pasif adalah kegiatan mendatangi pasien ke rumahnya dengan berdasarkan
data yang didapat dari puskesmas, atau dari pasien yang sedang berobat ke Puskesmas. Selain
Passive Case Finding, kita juga melakukan Active Case Finding pada keluarga pasien yaitu
melihat apakah anggota keluarga pasien menderita penyakit yang sama.
Hal yang dilakukan adalah:
-
Mendapatkan data lengkap mengenai pasien dari aspek biologis, psikologis, dan
sosialnya.
Menganalisa dan memberikan penjelasan pada pasien mengenai faktor faktor yang
mempengaruhi penyakit DM.
Penyebab DM.
Melakukan pemeriksaan medis yang rutin untuk memantau perjalanan penyakit DM.
Bab III
Kerangka Teori
Kebijakan Indonesia Sehat 2010 menetapkan tiga pilar utama yaitu lingkungan sehat,
perilaku sehat dan pelayanan kesehatan bermutu adil dan merata. Untuk mendukung misi
tersebut maka pemerintah mengadakan program hidup bersih dan sehat dengan sasaran
masyarakat dan lingkungannya dan dengan menerapkan prinsip-prinsip kedokteran keluarga.
Pelayanan kedokteran keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh yang
memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit dimana tanggung jawab dokter
terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan umur maupun jenis kelamin.
Pelayanan kedokteran keluarga berorientasi komunitas yang bertitik tolak terhadap keluarga,
tidak hanya memandang sebagai seorang individu yang sakit, tetapi sebagai bagian dari unit
keluarga dan tidak hanya menanti secara pasif tetapi mengunjungi secara aktif penderita maupun
keluarganya (IDI 1982).
Tujuannya adalah : terwujudnya keadaan sehat bagi setiap anggota keluarga
Pelayanan kedokteran keluarga dibagi menjadi 3 yaitu:
Kunjungan Rumah.
Kunjungan rumah dilakukan petugas kesehatan puskesmas sebagai tindak lanjut upaya
promosi kesehatan di dalam gedung puskesmas yang telah dilakukan kepada pasien dan
keluarga. Terutama kepada pasien yang mempunyai masalah kesehatan yang cukup berat dan
atau yang sepakat untuk melaksanakan langkah-langkah tindak lanjut di rumah tangganya
(seperti menyemen lantai, membuat jamban keluarga, TOGA dan lain-lain).
Untuk pasien dan keluarga yang cukup mempunyai masalah penyakit yang cukup berat,
kunjungan rumah merupakan proses dalam membantu pemecahan masalah tersebut (konseling)
di tingkat keluarga, dalam hal ini berlaku prinsip-prinsip konseling.
Untuk pasien atau keluarga yang sepakat untuk melaksanakan tindak lanjut, kunjungan
rumah digunakan sebagai upaya supervise dan bimbingan sekaligus sebagai penghargaan jika
5
langkah-langkah tersebut terlaksana. Namun tidak jarang kunjungan rumah jenis ini dapat
berubah menjadi bimbingan konseling, bila ternyata langkah-langkahyang telah disepakati belum
terlaksana atau terkendala. Artinya, petugas puskesmas harus membantu keluarga tersebut dalam
mengatasi masalah atau kendala yang sedang dihadapi.
Tidak
jarang
bahwa
kunjungan
rumah
yang
semula
dimaksudkan
untuk
menyelenggarakan konseling keluarga berkembang menjadi konseling yang lebih luas. Hal ini
terjadi bahwa masalah yang dihadapi keluarga tersebut juga dihadapi oleh keluarga lainnya.
Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih
sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan
sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.4
Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh karena itu DM
II merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang berinteraksi dengan
pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut koordinasi genetik pada DM tipe 2
pada kembar identik mendekati 90%.
konkordans pada orang kembar. Suatu subkelompok mempunyai alel polimorfik untuk
glikogen sintase, perkecualiannya adalah maturity-onset diabetes of the young (MODY) yang
autosomal dominan : gen glukokinase yang mengalami mutasi (di kromosom 7)
menyebabkan perubahan mekanisme pengenalan glukosa (glucose-sensing mechanism).4
Resistensi insulin
o Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi
sintase glikogen , disfungsi regulator metabo0lis, reseptor doen-regulation, dan
abnormalitas transporter glukosa.5
o Meningkatkan penurunan ambilan glukosa selular yang dimediasi oleh insulin.7
o Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap
hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM II, produksi gl;ukosa
hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan peningkatan
keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat.5
o Obesitas, terutama obesitas abdomen, berhubungan langsung dengan peningkatan
derajat resistensi insulin.5
darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standart (Tabel 1).1,3
Bukan DM
Belum pasti DM
DM
< 110
< 90
110 199
90 - 199
>200
> 200
Keluhan Khas : poliuria, polidipsia, polifagia, penurunan berat badan yang tidak diketahui
sebabnya
Keluhan tidak khas
2.3.3 Terapi
2.3.3.1 Non Medika Mentosa
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari: pertama terapi
non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola
makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi
berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus,
kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan injeksi insulin.
Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang
telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan.
Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi nom farmakologis yang telah
diterapkan sebelumnya.1,6
2.3.3.2 Medikamentosa
MACAM MACAM OBAT ANTI HIPERGLIKEMIK ORAL :1,4
1. Golongan Insulin Sensitizing
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat
dalam konsentrasi yang tinggi di dalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat
dikeluarkan melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin biasanya diberikan
dua sampai tiga kali sehari dalam bentuk extended release. Pengobatan dengan dosis maksimal
akan dapat menurunkan A1C , sebesar 1-2%. Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis
laktat dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (kreatinin > 1.3 mg/dL pada perempuan dan > 1.5 mg/dL pada laki laki) atau pada
gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan denga hati hati pada orang lanjut
usia.
Glitazone
Golongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat yang mempunyai efek
farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.
Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak
berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki
konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 2.6% dibandingkan dengan
placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai
kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.
2. Golongan Sekretagok Insulin
Sekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemikdengan cara stimulasi sekresi insulin
oleh sel beta penkreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.
Sulfonylurea
Sulfonylurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini
digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila
konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea sering
digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau
mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit
efek samping (termasuk hipoglikemi) dan rwlatif murah. Berbagai macam obat golongan ini
umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme
kerjanya.
Glinid
Sekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid.
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonylurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan
sulfonylurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua duanya
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolism
dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa
darah puasa walaupun mempunyai paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks
SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.
Sedang nateglinid mempunyai masa tinggi lebih singkat dan tidak menurunkan kadar
glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan
glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek
terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya menurunkan A1C tidak begitu kuat.
3. Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran
cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan
hiperglikemik postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan
hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti
meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens adalah efek yang paling tersering terjadi pada
hamper 50% pengguna obat ini. Penghambat Alfa Glukosidase dapat menghambat
bioavailibilitas metformin jika bersamaan dengan orang normal.
Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose
mengalami metabolism di dalam saluran pencernaan, metabolism terutama oleh flora
mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma
kira kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.
4. Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV).
Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan
vildagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,790,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan post prandial. Penghambat DPP-IV dapat
digunakan sebagai terapi alternative bila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau
pada usia lanjut. DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek
samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran kemih
dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.
2.3.4 Preventif
10
Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena
yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat.
Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi tetapi
seluruh masyarakat termasuk pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakan pola
hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa
mencegah penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Kampanye pola makan sehat
dengan pola tradisional yang mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang
adalah alternatif terbaik dan harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak
taman kanak-kanak. Tempe misalnya adalah makanan tradisional kita yang selain sangat
bergizi, ternyata juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan
kadar kolesterol. Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain
makanan juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak
gemuk, dengan olahraga teratur. Dengan menganjuran olah raga kepada kelompok resiko
tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan
primer yang sangat efektif dan murah. Motto memasyarakatkan olah raga dan
mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini tentu
saja akan menimbulkan konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah raga yang merata
sampai ke pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah raga yang memadai.2
kelas A sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan
penyuluhan
kepada
pasien
dan
keluarganya
tentang
berbagai
hal
mengenai
penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga yang
terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan ntuk itu
(diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien diabetesnya juga
luas, artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus dapat mencakup
pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya kelompok penduduk
dengan resiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini rupanya tidak sedikit. Oleh
karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa pendeteksian pasien baru dengan
cara skrining dimasukkan ke dalam upaya pencegahan sekunder agar supaya bila
diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah karena masih reversibel. Peran profesi
sangat ditantang untuk menekan angka pasien yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien
jangan datang minta pertolongan kalau sudah sangat terlambat dengan berbagai
komplikasi yang dapat mengakibatkan kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus
sudah dilakukan upaya bagaimana caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu
agar mereka dapat melakukan upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.2
Pencegahan tersier. Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang
diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :
Strategi pencegahan
Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien
dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ada 2 macam strategi untuk dijalankan,
antara lain:2
1. Pendekatan populasi / masyarakat. Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah
perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar
menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan
tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga unuk mencegah penyakit lain sekaligus.
Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus
dilakukan tidak hanya oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan ma yarakat termasuk
pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat dan agama)
2. Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada
individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak. Pada
golongan ini termasuk individu yang: berumur > 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat
keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan,
dislipidemia.
Bab IV
Pengumpulan Data
13
Puskesmas
4.1.
: Puskesmas Tirtajaya
Identitas Pasien
a. Nama
: Ny. M
b. Umur
: 55 tahun
4.2.
d. Pekerjaan
e. Pendidikan
: Tidak tamat SD
f. Alamat
: Sedang.
d. Penyakit keturunan
: - (tidak ada)
:-
h. Pola makan
i. Pola istirahat
: 3 orang.
Psikologis Keluarga
a. Kebiasaan
:-
b. Pengambilan keputusan
: Suami
c. Ketergantungan obat
: - (tidak ada)
: Tidak pernah.
a. Jenis bangunan
: Semi permanen
b. Lantai Rumah
: Keramik
c. Luas Rumah
Berarti 1 orang menempati wilayah 3x3m. berarti luas wilayah perorang adalah
kurang.
d. Penerangan
: cukup.
e. Kebersihan
: kurang.
f. Ventilasi
g. Dapur
: Ada.
h. Jamban keluarga
: air sumur yang dimasak, tapi bila punya uang baru beli air
mineral galon.
j. Sumber pencemaran air
: tidak ada
k. Pemanfaatan perkarangan
: tidak ada.
: kurang baik
: Baik.
: Rendah
: Baik
rutin.
15
e. Keadaan ekonomi
Sedang,
sumber
penghasilan
dari
Kultural Keluarga
a. Adat yang berpengaruh
:-
b. Lain-lain
:-
4.8.
4.9.
Keluhan Utama
: Lemas
4.10.
Keluhan Tambahan
4.11.
: DM
4.12.
:-
4.13.
Pemeriksaan Fisik
: TD 130/90
4.14.
Diagnosis Penyakit
: DM
4.15.
Diagnosis Keluarga
:-
4.16.
glukosa, memeriksakan secara rutin tekanan darah dan gula darah, ikut
berpartisipasi apabila ada kegiatan olahraga di puskesmas, menkonsumsi obat DM
secara teratur.
c. Kuratif
teratur ke Puskesmas.
d. Rehabilitatif : Mengatur pola makan, Menjaga berat badan agar tidak berlebih,
Memperbaiki Gizi keluarga untuk meningkatkan sistem imun keluarga.
4.17.
Prognosis
16
a. Penyakit
terjaga dengan baik, dan kebersihan lingkungan dan kebersihan rumah terjaga.
b. Keluarga
: Ad Bonam.
17
Bab V
Pembahasan
Pasien bernama Mariyem usia 55 tahun, tinggal di desa Pisangsambo, Tirtajaya yang
berada sekitar 5 km dari Puskesmas.
Lingkungan pertama yang kami lewati dengan jarak 1 km dari Puskesmas merupakan area
persawahan. Dipekarangan rumah pasien terdapat kandang ayam, namun ayam peliharan
tersebut dibiarkan keluar masuk rumah pasien.
Sumber air minum pasien berasal dari Air sumur yang dimasak. Sedangkan untuk mencuci
pakaian dan mandi pasien menggunakan air sumur.Air limbah langsung di alirkan ke selokan.
Jamban dalam rumah tersedia.
Kondisi Rumah pasien cukup baik, sudah menggunakan tembok dan bangunan permanen,
terdiri dari 1 lantai. Ventilasi rumah sangat kurang, karena jendela tidak difungsikan dan
ventilasi hanya dari pintu utama dan pintu belakang yang setiap hari dibuka. Lantai rumah
pasien terbuat dari keramik, namun lantai rumah kurang disapu dengan dirawat.Pencahayaan
pada rumah juga kurang.
Luas Bangunan rumah pasien adalah 18m2, sehingga jarak antar anggota keluarga hanya 3x3 m
yang kurang baik untuk kesehatan dan mempercepat penularan infeksi saluran pernapasan
melalui droplet.
Bab VI
Penutup
Kesimpulan
Kondisi pasien dan keluarga umumnya cukup sehat. Ventilasi rumah pasien juga
kurang baik untuk kesehatan karena kelembaban udara tinggi serta barang bekas yang
18
Saran
a. Kepada Pasien.
Tidak mengkonsumsi makanan yang tinggi glukosa untuk mengontrol dula darah
pasien.
Selalu mengontrol tekanan darah dan gula darah pasien serta melakukan Edukasi
terhadap penyakit pasien.
Jangan sampai terjadi luka yang lain di bagian tubuh.
b. Kepada Puskesmas
Pasien mengeluhkan bahwa jarak rumah ke puskesmas sangat jauh sehingga
terkadang
pasien
merasa
malas
untuk
berobat
ke
puskesmas,
untuk
19
Daftar Pustaka
1. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi
ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1880-82.
2. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1874-76.
3. Powers AC. Diabetes melitus. In: Harrisons Principle of Internal Medicine. 17 ed. USA:
McGraw-Hill; 2008.p.2293.
4. Tjarta Achmad, Himawan Sutisna, Kurniawan A.N. Diabetes melitus. Buku saku dasar
patologi penyakit. Edisi ke-5. Jakarta:EGC, 2004.h.557- 558.
5. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen; ahli bahasa, HY
Kuncara, editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007.h.456-8.
6. Schteingart DE. Pankreas: metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam: Price SA,
Wilson LM, editor. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2006.h.1261-70.
20
Lampiran
21
22
23