You are on page 1of 21

Penyakit Menular dan Thiyarah

Tidak ada penularan, tidak ada thiyarah, tidak ada


hammah dan tidak ada shafar
Takhrij Hadits:
Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dari dua jalan:
1. Dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman dari
Abu Hurairah, Diriwayatkan oleh Al-Bukhari(5437) dan
Muslim (2220, 2221
2. Dari jalan Ismail bin Jafar dari Al-Ala` bin Abdirrahman
dari Abu Hurairah. Diriwayatkan oleh Muslim (2222)
Syarh:
Termasuk dari keyakinan yang mungkar adalah
keyakinan yang tersebar di tengah-tengah kaum muslimin
berupa penetapan adanya penyakit yang menular dengan
sendirinya(2) serta keyakinan akan adanya thiyarah. Hadits
dari Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam di atas
menjadi pemutus dan penghapus dari kedua keyakinan di
atas yang di dalamnya beliau telah meniadakan empat

perkara: Penularan, thiyarah, hammah dan shafar. Berikut


penjelasannya:
Adwa (Penularan) :
Adwa (penularan) bermakna berpindahnya penyakit
dari seseorang ke orang lain atau dari suatu hewan ke hewan
lain atau dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Makna hadits ini adalah bahwa Rasulullah Shollallahu
alaihi wa ala alihi wasallam menafikan (menolak) apa
yang diyakini oleh orang-orang jahiliyah yang menganggap
bahwa penyakit (yang mereka anggap menular) yang
menimpa orang sakit itu menular dengan sendirinya tanpa
takdir dan izin dari Allah Subhanahu wa Taala. Mereka
berkeyakinan bahwa siapa saja yang mendekati orang yang
sakit atau mendekati suatu penyakit (yang mereka yakini
menular) maka ia pasti akan terjangkit penyakit tersebut,
mereka tidak menyandarkan penularan tersebut kepada
ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Taala. Maka
Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam
mengucapkan sabda beliau di atas untuk menolak keyakinan
mereka dan sebagai penegasan bahwa segala sesuatu yang
terjadi di muka bumi ini hanya bisa terjadi jika Allah
2

Subhanahu wa Taala mengizinkan. Semua yang telah terjadi


maka terjadinya dengan izin dan ketentuan dari Allah
Subhanahu wa Taala.
Beliau juga telah bersabda menegaskan tentang hakikat
penularan ini dengan sabdanya:

Sesuatu tidak bisa menulari sesuatu yang lain. (HR.


Ahmad dan At-Tirmidzi)
Yakni sesuatu penyakit tidak menular kepada yang
lainnya dengan sendirinya akan tetapi hanya dengan izin
Allah Subhanahu wa Taala yang Maha Mengatur dan
Berkuasa atas segala sesuatu. Maka Allah Subhanahu wa
Taala, Dialah yang bersendirian mengatur segala urusan
termasuk di dalamnya masalah tular-menularnya suatu
penyakit, semua di tangan Allah Subhanahu wa Taala.
Hanya saja yang perlu diperhatikan bahwa segala
ketentuan dan takdir Allah Subhanahu wa Taala memiliki
suatu

sebab

yang

mengharuskannya,

dan

ini

dari

kesempurnaan hikmah Allah Subhanahu wa Taala dalam


mencipta. Dimana Allah Subhanahu wa Taala tidaklah
mentakdirkan suatu kebaikan ataupun kejelekan kecuali Dia
juga telah menciptakan juga sebab-sebab yang bisa
3

mengantarkan

kepada

keduanya.

Sebagaimana

Allah

Subhanahu wa Taala menciptakan surga, Dia juga


menetapkan sebab-sebab yang bisa mengantarkan seseorang
kepadanya dan demikian pula neraka, Allah Subhanahu wa
Taala telah menetapkan sebab-sebab yang bila dikerjakan
akan menggelincirkan pelakunya masuk ke dalamnya. Ini
dalam masalah keagamaan.
Demikian pula dalam masalah keduniaan, segala
sesuatu berupa kebaikan dan kejelekan telah Allah tetapkan
sebab-sebabnya masing-masing, seperti kenyang sebabnya
adalah makan, pandai sebabnya adalah belajar, mendapat
rezki sebabnya adalah bekerja, dan seterusnya. Maka
demikian pula dalam hal penularan, Allah Subhanahu wa
Taala menetapkan dan mengizinkan suatu penyakit bisa
menular dengan suatu sebab, di antaranya adalah dengan
sebab berbaurnya orang yang sehat dengan orang yang sakit
tersebut sehingga penyakit pada orang yang sakit berpindah
dengan izin Allah- kepada orang yang sehat.
Setelah memahami hal ini, maka wajib untuk diyakini
bahwa Allah Subhanahu wa Taala yang menciptakan semua
sebab dan pengaruh/efek/akibat dari sebab tersebut. Maka
sebab adalah stu komponen sedang berpengaruh atau
4

tidaknya sebab tersebut adalah komponen yang lain dan


Allah Subhanahu wa Taala yang menciptakan dan yang
mengatur kedua komponen tersebut. Oleh karena itulah,
mungkin saja suatu sebab itu ada akan tetapi Allah
Subhanahu

wa

Taala

tidak

mengizinkan

terjadinya

pengaruh dari sebab tersebut sehingga sebab tersebut tidak


menghasilkan apa-apa.
Sebagai contoh, berkerja adalah suatu sebab dan
mendapatkan uang adalah pengaruh/efek/akibat dari sebab
tersebut. Mungkin saja seseorang bekerja yang artinya
Allah mengizinkan terjadinya sebab- akan tetapi apakah
pasti mendapatkan uang yang mana hal ini adalah pengaruh
dari sebab-? Kepastiannya kembali kepada Allah, kalau
Allah inginkan sebab itu berpengaruh maka dia akan
dapatkan uang tapi kalau tidak maka dia tidak akan dapatkan
uang.
Makanya betapa banyak orang yang menempuh sebab
dengan bekerja akan tetapi tidak mendapatkan uang sama
sekali, hal ini di karenakan Allah Subhanahu wa Taala
tidak/belum mengizinkan terjadinya pengaruh/efek dari
sebab bekerja tersebut. Contoh lain, api yang merupakan
sebab dan pengaruhnya adalah membakar, walaupun ada api
5

tapi kalau Allah Subhanahu wa Taala tidak mengizinkan


pengaruh dari api ini terjadi maka api tidak akan bisa
membakar, sebagaimana yang masyhur dari kisah Nabi
Ibrahim

alaihis

salam.

Sebagai

kesimpulan

bahwa

adanya/terhasilkannya suatu sebab tidak mengharuskan


terjadinya pengaruh/efek dari sebab tersebut, tapi semuanya
dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Taala, kalau
Allah inginkan sebab itu berpengaruh maka akan terjadi tapi
kalau tidak maka tidak akan terjadi.
Demikian pula penularan, berbaurnya orang yang sakit
dengan orang yang sehat adalah sebab sedangkan tertularnya
penyakit adalah efek/pengaruh dari sebab tersebut, apakah
berbaur dengan orang yang sakit bisa mengakibatkan
tertularnya penyakit? kembali kepada ketentuan dan izin dari
Allah, jika Allah mengizinkan maka sebabnya bisa bekerja
sehingga dia tertular penyakit dan jika Allah tidak
mengizinkan maka sebabnya tidak berpegaruh sehingga dia
tidak akan tertular penyakit. Oleh karena itulah kenyataan
membuktikan bahwa terkadang ada orang yang sehat ketika
berbaur dengan orang yang sakit tetapi dia tidak tertular
penyakitnya dan terkadang ia berbaur sehingga tertular
penyakit tersebut. Maka sekedar mendekat kepada yang
6

sakit atau datang ke tempat yang terkena wabah penyakit ini


adalah suatu sebab, adapun berpengaruh atau tidaknya hal
ini di tangan Allah Subhanahu wa Taala.
Sebagai kesimpulan, bahwa bentuk penularan yang
dinafikan oleh Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi
wasallam

dalam

hadits

ini

adalah

keyakinan

akan

menularnya suatu penyakit dengan sendirinya tanpa izin dan


takdir ketentuan dari Allah Azza wa Jalla, adapun penularan
suatu penyakit dengan izin dan ketentuan dari Allah maka
beliau tidak menafikannya karena hal ini adalah perkara
yang terjadi dan disaksikan dengan panca indra.
Adapun sabda beliau Shollallahu alaihi wa ala alihi
wasallam :

Larilah dari orang yang berpenyakit kusta


sebagaimana kamu berlari dari singa. (HR. Al-Bukhari)
Dan dalam hadits yang lain beliau melarang siapapun
yang berada di dalam wilayah yang terkena wabah penyakit
untuk keluar dari wilayah tersebut dan melarang orang yang
berada di luar untuk masuk ke dalam wilayah itu

Maka ketiga hadits ini dan hadits-hadits yang semakna


dengannya tidaklah menunjukkan bahwa suatu penyakit bisa
menular dengan sendirinya tanpa izin dan ketentuan dari
Allah Subhanahu wa Taala, akan tetapi menunjukkan
larangan Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi
wasallam kepada orang yang sakit untuk berbaur dengan
orang yang berpenyakit dengan penyakit yang dianggap
menular- jangan sampai dia terjangkiti penyakit itu dengan
izin Allah- sehingga akhirnya dia terjatuh pada keyakinan
orang-orang jahiliah bahwa penyakit itu menular dengan
sendirinya. Oleh karena itulah untuk menutup pintu jangan
sampai ada orang yang berkeyakinan jahiliyah seperti itu,
beliau Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam melarang
menempuh sebab yakni dengan berbaur dengan orang
sakit- yang dengan sebab itu dia bisa tertular penyakit
dengan izin dan takdir Allah Subhanahu wa Taala. Adapun
bagi orang yang kuat tawakkalnya kepada Allah dan yakin
tidak akan tergelincir untuk meyakini keyakinan jahiliyah
tersebut, maka tidak ada larangan baginya untuk mendekat
dan berbaur dengan orang yang berpenyakit yang dianggap
menular-,

terlebih

lagi

ketika

ada

maslahat

yang

mengharuskan, misalnya untuk pengobatan atau yang


sejenisnya.
Dan makna yang kami sebutkan yakni tidak adanya
penularan

penyakit kecuali

dengan

izin dari Allah

Subhanahu wa Taala- lebih diperkuat oleh hadits Abu


Hurairah radhiallahu anhu tentang seorang lelaki yang
berkata kepada Nabi Shollallahu alaihi wa ala alihi
wasallam bahwa onta yang berpenyakit kudis ketika berada
di antara onta-onta yang sehat tiba-tiba semua onta tersebut
terkena kudis, maka beliau bersabda:

Kalau begitu siapa yang menulari (onta) yang


pertama ?. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Yakni penyakit yang menimpa onta pertama (yang
sakit) itu tanpa adanya penularan tetapi terjadi karena
kehendak Allah Subhanahu wa Taala, maka demikian pula
jika penyakit itu berpindah, maka ia berpindah karena
kehendak Allah Subhanahu wa Taala.
Thiyarah (merasa sial/Pamali) :

Secara bahasa, kata thiyaroh (anggapan merasa


sial/pamali) adalah isim mashdar dari kata tathayyara yang
mana asal katanya adalah tha`irun yang berarti burung. Hal
ini karena dulu, orang-orang Arab jahiliyah ketika mereka
hendak mengadakan suatu perjalanan maka mereka terlebih
dahulu melempar seekor burung ke udara, jika burungnya
terbang ke kanan maka mereka melanjutkan rencana
keberangkatan mereka karena itu adalah pertanda baik dan
jika burungnya terbang ke kiri maka mereka membatalkan
perjalanan tersebut karena itu adalah pertanda jelek.
Adapun

secara

istilah,

thiyarah

adalah

menjadikan/menyandarkan kesialan kepada sesuatu yang


dilihat atau yang didengar atau yang diketahui.
Contoh sesuatu yang dilihat, bila akan bepergian atau
kegiatan lainnya lalu memperhatikan ke arah mana burung
terbang, bila ke kanan maka berangkat, bila ke kiri maka
tidak, atau tiba-tiba melihat kecelakaan di luar rumahnya
maka ia urungkan niatnya untuk berangkat, atau orang yang
berangkat ini tanpa sengaja menjatuhkan piring, gelas atau
hal lainnya di dalam rumahnya lantas ia tidak jadi berangkat.
Contoh sesuatu yang didengar, bila ia mendengar suara
burung hantu atau burung gagak yang hinggap di atas
10

rumahnya, maka ia mengurungkan maksudnya untuk


berangkat atau kegiatan lainnya, atau tiba-tiba orang itu
mendengar

seseorang

berkata

kotor

atau

hal

yang

mengandung kesialan kepada orang lain atau kepada dirinya


sendiri: Hai celaka!, hai sial! dan lain-lain, lantas ia
mengurungkan maksudnya. Contoh sesuatu yang diketahui
misalnya menganggap kesialan dengan waktu, hari, bulan,
dan sebagian tahun, misalnya menganggap atau menjadikan
kesialan pada malam Jumat atau hari Jumat, terlebih pada
Jumat Kliwon atau menganggap angka 13 sebagai kesialan,
atau tidak melakukan kegiatan besar pada sebagian bulanbulan

dalam

penanggalan

Hijriah,

misalnya

tidak

melangsungkan pernikahan atau kegiatan lain pada bulan


Syawwal, atau bulan Shafar atau bulan lainnya. (Al-Qaulu
Al-Mufid Syarh Kitab At-Tauhid Syaikh Ibnu Utsaimin.
Bab: Tidak ada penularan dan thiarah)
Dan hukum thiyaroh dengan semua bentuk di atas dan
selainnya adalah syirik Ashgor bahkan bisa mencapai taraf
syirik akbar jika dia sudah berkeyakinan bahwa hari itulah
atau kejadian yang dia lihat itulah yang sebenarnnya
mendatangkan mudharat dengan sendirinya keluar dari
pengaturan Allah Azza wa Jalla. Rasulullah Shollallahu
11

alaihi wa ala alihi wasallam bersabda dalam hadits Ibnu


Masud radhiallahu anhu:

Thiyaroh adalah kesyirikan, thiyaroh adalah


kesyirikan. (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dan
dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah no. 429)
Bahkan thiyaroh ini adalah salah satu sifat dari orangorang

musyrik

terdahulu,

sebagaimana

yang

Allah

Subhanahu wa Taala kisahkan tentang Firaun dan para


pengikutnya :


Kemudian apabila datang kepada mereka


kemakmuran, mereka berkata: Ini adalah karena (usaha)
kami. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka
lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orangorang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan
mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui. (QS. Al-Araf : 131)

12

Dan juga firman Allah Taala :


.

Mereka menjawab: Sesungguhnya kami bernasib malang


karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti
(menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan
kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.
Utusan-utusan itu berkata: Kemalangan kamu itu adalah
karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan
(kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum
yang melampaui batas. (QS. Yasin : 18-19)
Dan dengan bertathoyyur atau mempercayai adanya,
maka seorang akan keluar dari 70.000 orang yang masuk
Surga tanpa hisab dan tanpa adzab, yang Rasulullah
Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam dalam hadits
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma- telah mengabarkan
tentang sifat mereka :

Mereka adalah orang-orang yang tidak minta


diruqyah, tidak minta dikay(3), tidak bertathayyur dan
13

hanya kepada Rabb mereka, mereka bertawakkal. (HR. AlBukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, ketahuilah wahai saudaraku kaum
muslimin bahwa perbuatan tathayyur ini bisa menafikan
tauhid atau mengurangi kesempurnaan tauhid yang wajib,
hal ini bisa ditinjau dari dua sisi:
1. Bahwa tathayyur ini memutuskan ketawakkalannya
kepada Allah dan bersandar kepada selainNya, yang mana
hal itu tidak bisa memberikan manfaat dan mendatangkan
mudharat.
2. Bahwa tathayyur ini menjadikan ketergantungan hati
kepada suatu perkara yang tidak ada hakekatnya sama
sekali, bahkan ini adalah persangkaan belaka dan
takhayul.
Dan tidak diragukan bahwa kedua hal di atas mencacati
nilai-nilai tauhid, karena tauhid adalah ibadah dan istianah
(permintaan tolong) hanya kepada Allah Subhanahu wa
Taala semata, Allah Subhanahu wa Taala berfirman :

14

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya


kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. AlFatihah : 4)
Dan Rasulullah Shollallahu alaihi wa ala alihi wasallam
telah bersabda :

Jika engkau meminta pertolongan, minta tolonglah


hanya kepada Allah. (HR. At-Tirmidzi dari shahabat ibnu
Abbas radhiallahu anhuma).
Kemudian, orang yang melakukan tathayyur ini tidak
lepas dari dua keadaan:
1. Menjadikan thiyarah ini sebagai sesuatu yang betul-betul
berpengaruh pada dirinya, sehingga ia meninggalkan atau
mengurungkan niat untuk mengerjakan suatu amalan yang
sebelumnya hendak ia kerjakan.
2. Ia tetap meneruskan atau melanjutkan mengerjakan
amalan tersebut, akan tetapi dalam keadaan diliputi
perasaan

was-was,

kegoncangan,

kegelisahan

dan

kekhawatiran bahwa thiyarah tersebut akan mendatangkan


pengaruh yang jelek pada dirinya.

15

Dan kedua keadaan ini semuanya masuk ke dalam bentuk


perbuatan tathayyur yang disebutkan dalam dalil-dalil yang
telah berlalu.
Maka yang sepantasnya bagi seorang muslim adalah
hendaknya dia berpaling dari thiyarah ini dan melanjutkan
atau mengerjakan setiap amalan yang hendak dia kerjakan
dengan penuh ketenangan, tanpa menyusahkan dirinya
dengan perkara-perkara seperti ini, bahkan wajib atasnya
untuk menjauhi buruk sangka kepada Allah Azza wa Jalla
dan jangan merasa lemah dalam mengerjakan suatu amalan.
Dan sebaliknya dia wajib untuk bersandar dan bertawakkal
hanya kepada Allah Subhanahu wa Taala semata, pasrah
kepadaNya, percaya bahwa semua perkara berada di tanganNya dan di atur olehNya. Allah Subhanahu wa Taala
berfirman, Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan
kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya
kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi
kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia
memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus : 107)

16

Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami


melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami.
Dialah Pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orangorang yang beriman harus bertawakkal. (QS. At-Taubah :
51)
Makna Al-Hammah
Ada dua penafsiran di kalangan ulama :
1. Bahwasanya ini adalah jenis burung yang maruf yang
menyerupai burung hantu atau memang merupakan
burung hantu, dimana orang Arab di masa jahiliyah
menyangka bahwasanya jika ada orang yang terbunuh,
maka tulang-tulangnya menjelma menjadi burung tersebut
yang terbang dan bersuara dengan teriakan sampai
terbalas dendamnya, dan terkadang sebagian mereka
menyangka bahwa itu adalah ruhnya.
2. Sebagian orang Arab mengatakan bahwa Al-Hamah
adalah jenis burung yang maruf akan tetapi mereka
menjadikan kesialan dengannya, maka jika burung itu
hinggap di atas rumah salah seorang dari mereka dan
burung itu bersuara, maka mereka berkata: bahwa burung
itu bersuara dengan suara seperti itu adalah tanda
17

dekatnya ajal. Al-Hammah menurut penafsiran ini bisa


dikategorikan sebagai bentuk tathoyyur.
Dan tidak diragukan lagi bahwa kedua keyakinan ini
adalah aqidah yang bathil. (Lihat Al-Qaulul Mufid Syarh
Kitabit Tauhid 2/99).
Shafar
Secara umum dalam penafsirannya ada dua pendapat :
1. Ash-Shafar adalah jenis penyakit di dalam perut,
dikatakan ia berupa cacing besar seperti ular, dan
menurut orang Arab ia lebih menular dari penyakit
kudis yang menimpa unta. Maka nabi Shollallahu
alaihi wa ala alihi wasallam menafikan hal tersebut.
Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah
Imam Sufyan Ibnu Uyainah, Imam Ahmad, Imam AlBukhary dan Imam Ath-Thobary.
Dan Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu salah
seorang yang meriwayatkan hadits ini- berpendapat
bahwa ia adalah ular, tetapi maksud dari penafian
tersebut adalah apa yang orang Arab yakini bahwa
siapa yang ditimpa oleh ular ini maka ia (ular itu) akan
membunuhnya. Dan hal ini dibantah oleh syariat
18

bahwasanya kematian itu hanya terjadi ketika telah


sampai pada ajalnya. (Lihat Fathul Bari 10/171 dan
Latho`iful Maarif hal. 74)
2. Sebagian ulama mengatakan maksud dari Ash-Shafar
adalah bulan Shafar, kemudian mereka berselisih dalam
makna ini menjadi dua pendapat:
a) Bahwa maksudnya adalah pelarangan dari AnNasiah

(pengunduran),

dimana

orang

Arab

melakukannya berupa pengunduran pengharaman


bulan Muharram ke bulan Shafar, sehingga mereka
menghalalkan haramnya bulan Muharram dan
mengharamkan bulan Shafar, yaitu apabila mereka
mau berperang di bulan Muharram, maka mereka
halalkan lantas mengakhirkan pengharaman untuk
berperang ke bulan Shafar. Ini yang dimaksud dalam
firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 37 :


Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan


haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan
orang-orang yang kafir dengan mengundurundurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu
tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain,
19

agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan


yang Allah mengharamkannya maka mereka
menghalalkan apa yang diharamkan Allah.
b) Maksudnya adalah apa yang dilakukan oleh orang
Jahiliyah dimana mereka menjadikan bulan Shafar
sebagai bulan kesialan, misalnya dalam hal perayaan
nikah dan ini yang dikuatkan oleh Ibnu Rajab
(sebagaimana dalam Latho`iful Maarif hal. 74)
------------------- Di Indonesia dikenal dengan nama pamali atau
yang sejenisnya.
Yakni tanpa takdir dan izin dari Allah Subhanahu
wa Taala.
Pengobatan dengan menggunakan besi yang
dipanaskan dan ditempelkan ke tempat yang terasa
sakit.

20

REFERENSI
http://al-atsariyyah.com/tidak-ada-penyakit-menular.html
http://google.com//

21

You might also like