You are on page 1of 39

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


RSUD RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa : Siti Halida Zoraida Soraya D.A
NIM
: 030.09.238
Pembimbing
: dr. Rosida, Sp.A
Tanda tangan
:
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. RM
Umur
: 1 Tahun 2 Bulan
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 17 Agustus 2013
Alamat
: Jl. Mampang Prapatan No. 46 RT 14/02, Jakarta Selatan
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pendidikan
:Orang tua / Wali
Ayah :
Nama
: Tn.AW
Umur
: 28 tahun
Alamat
: Jl.Mampang Prapatan
No.46 RT 14/02, Jaksel
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Penghasilan : Rp. 3,5 juta /bulan
Pendidikan
: D3
Suku bangsa :Betawi
Agama
: Islam

Ibu
:
Nama
Umur
Alamat

: Ny. H
: 24 tahun
: Jl. Mampang Prapatan
No.46 RT 14/02, Jaksel
Pekerjaan
: Ibu rumah tangga
Penghasilan : Pendidikan
: SMA
Suku bangsa : Betawi
Agama
: Islam

Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung


I. RIWAYAT PENYAKIT
ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. H (ibu kandung pasien)
Lokasi
: Bangsal lantai V Timur, kamar 512
Tanggal / waktu
: 31 Oktober 2014 pukul 10.00 WIB
Tanggal masuk
: 30 Oktober 2014 (UGD), masuk ruangan 31 Oktober 2014
Keluhan utama
: Sesak napas sejak 1 hari Sebelum masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan tambahan : Batuk, Pilek , Demam
A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien datang ke IGD RSBA diantar oleh orang tua pasien dengan keluhan sesak
napas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sesak napas muncul tiba-tiba
dan berlangsung terus menerus sepanjang hari. Awalnya sesak napas tampak ringan,

namun lama kelamaan terlihat semakin berat. Sesak napas disertai bunyi ngik, serta
terdengar suara grok-grok, sesak tidak diperberat dengan perubahan posisi dan
aktivitas. Sejak sesak napas timbul pasien menjadi rewel dan gelisah. Sebelum sesak
napas, ibu pasien mengaku anaknya mengalami batuk pilek sejak 2 hari SMRS. Sesak
tidak dipengaruhi perubahan posisi. Batuk terdengar seperti batuk berdahak, namun
tidak ada dahak yang keluar, dan di akhir batuk tidak diakhiri dengan muntah. Untuk
pileknya, ibu pasien mengatakan ingus anaknya berwarna bening dan encer. Selain
itu, ibu os juga mengatakan os mengalami demam sejak 2 hari SMRS. Demam diukur
dengan perabaan dan dirasakan tidak terlalu tinggi. Ibu pasien tidak memberikan obat
untuk penurun panas. Demam menetap dan semakin tinggi sejak 1 hari SMRS.
Demam tidak disertai menggigil dan tidak disertai kejang. BAB dan BAK normal,
tidak ada keluhan. Adanya riwayat tersedak sebelumnya disangkal ibu pasien.
Menurut ibu pasien, asupan makanan ataupun minuman berkurang sejak 2 hari
SMRS. Tidak disertai adanya penurunan berat badan.
Sebelum dibawa ke IGD RSUD Budhi Asih, pasien sempat dibawa ke RS Jati
Rahayu, diberikan pengobatan inhalasi berupa ventolin + fulmicort + bisolvon.
Menurut ibu os, setelah dilakukan uap keluhan pasien sudah membaik, bunyi grok
dan ngik berkurang saat pasien bernapas. Pasien dirujuk ke RSUD Budhi Asih dengan
diagnosis hipereaktivitas bronkus untuk penatalaksanaan lanjutan di RS setempat
yang dapat menerima pelayanan BPJS.
B. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN

KEHAMILAN
KELAHIRAN

Morbiditas kehamilan

Hipertensi (-), DM (-), Anemia (-), Peny.

Perawatan antenatal

Jantung (-), Peny. Paru (-), infeksi (-)


Rutin kontrol ke bidan di puskesmas

Tempat persalinan
Penolong persalinan
Cara persalinan

setempat sesuai jadwal


Rumah sakit
Dokter kandungan
Tindakan SC atas indikasi gagal induksi

Masa gestasi
Keadaan bayi

Cukup Bulan
Berat lahir : 3490 gram
Panjang lahir : 48 cm
Lingkar kepala : (tidak tahu)
Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
2

Nilai APGAR : (tidak tahu)


Kelainan bawaan : tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran
:
Os lahir secara SC atas indikasi gagal induksi, cukup bulan dengan berat badan lahir
sesuai masa kehamilan.
C. RIWAYAT PERKEMBANGAN
Pertumbuhan gigi I
: 13
Gangguan perkembangan mental
:Psikomotor

(Normal: 5-9 bulan)

Tengkurap

: 3 bulan

(Normal: 3-4 bulan)

Duduk

: 8 bulan

(Normal: 6-9 bulan)

Berdiri

: 10 bulan

(Normal: 9-12 bulan)

Berjalan

: 13 bulan

(Normal: 13 bulan)

Bicara

: 11 bulan

(Normal: 9-12 bulan)

Perkembangan pubertas
Rambut pubis
:Payudara
:Menarche
:Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan :
Riwayat perkembangan os sesuai usia.
D. RIWAYAT MAKANAN
Umur

ASI/PASI

Buah / Biskuit

Bubur Susu

Nasi Tim

02

ASI + PASI

24

ASI + PASI

46

ASI + PASI

67

ASI + PASI

8 10

ASI + PASI

10 -11

ASI + PASI

(bulan)

Umur diatas 1 tahun


Jenis makanan

Frekuensi dan jumlah

Nasi / pengganti

3x sehari, 1 piring

Sayur

3x sehari, 1 mangkok

Daging

2x seminggu, 1 potong

Telur

3x seminggu, 1 butir

Ikan

3x seminggu, 1 ekor

Tahu

3x seminggu, 1 potong

Tempe

3x seminggu, 1 potong

Susu

ASI (+), dan susu formula

Kesulitan makan : Asupan makanan dan minuman pasien berkurang semenjak 2


hari SMRS.
Kesimpulan riwayat makanan :
Sejak lahir os tidak mendapat ASI eksklusif. Pemberian ASI disertai dengan susu
formula, karena produksi ASI ibu hanya sedikit. Riwayat makanan tambahan sesuai usia,
asupan zat gizi sehari-hari baik.
E. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin
BCG
DPT / PT

Dasar ( umur )
2 bulan 2 bulan 4 bulan
6 bulan

Polio

0 bulan

2 bulan

4 bulan

Campak
Hepatitis B

14 bulan 0 bulan 1 bulan

6 bulan

Ulangan ( umur )

6 bulan

Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar PPI lengkap dan sesuai jadwal, kecuali
campak baru didapatkan 5 hari SMRS.
F. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No

Tanggal lahir
(umur)

Jenis
kelamin

Hidup

Lahir
mati

Abortus

Mati
(sebab)

Keterangan
kesehatan

1.

17 Agustus 2013
(14 bulan)

Laki-laki

Pasien

b. Riwayat Pernikahan
Nama
Perkawinan ke-

Ayah / Wali
Tn. AW
1

Ibu / Wali
Ny. H
1

Umur saat menikah


Pendidikan terakhir
Agama
Suku bangsa
Keadaan kesehatan
Kosanguinitas
Penyakit, bila ada

27 tahun
Tamat SMA
Islam
Betawi
Sehat
-

22 tahun
Tamat SMA
Islam
Betawi
Sehat
-

c. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada yang pernah mengalami hal yang sama dengan os sebelumnya. Ayah
pasien sedang menderita batuk sejak 10 hari yang lalu. Kakek os (bapak dari bapak os)
mempunyai riwayat asma. Adanya riwayat penyakit paru, tbc dan batuk-batuk lama
dalam keluarga disangkal.
d. Riwayat Kebiasaan Keluarga
Ayah os mempunyai kebiasaan merokok sejak dulu. Sehari-hari bisa 1-2 bungkus
rokok. Ayah os kadang-kadang merokok di dalam rumah.
Kesimpulan Riwayat Keluarga :
Riwayat keluarga os cukup baik. Tidak ada yang pernah menderita hal yang sama seperti
os. Kebiasaan merokok ayah os dapat menjadi faktor resiko infeksi saluran nafas pada
anaknya. Terdapat sumber penularan infeksi dari ayah pasien secara kontak langsung.
G. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA
Penyakit
Alergi
Cacingan
DBD
Otitis
Parotitis

Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Penyakit
Difteria
Diare
Kejang
Morbili
Operasi

Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Penyakit
Penyakit jantung
Penyakit ginjal
Radang paru
TBC
Lain-lain

Umur
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita :


OS pernah mengalami keluhan yang sama saat berusi 5 bulan, dibawa berobat ke dokter
dan dirawat jalan. Menurut ibu pasien saat sesak pertama tidak disertai adanya bunyi
ngik, pasien juga mengalami batuk, pilek dan demam yang tinggi. Saat kecil pasien tidak
pernah ada kemerahan pada pipi, dan tidak didapatkan riwayat bersin atau batuk saat pagi
hari.

H. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Pasien tinggal bersama ayah, ibu, nenek serta kakeknya di rumah kakek dan
neneknya. Rumah 1 lantai, terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, dan
ruang tengah, beratap genteng, berdinding tembok. Pencahayaan baik, cahaya matahari
masuk ke rumah, saat siang hari tidak perlu menyalakan lampu. Ventilasi cukup dan
ada di setiap kamar. Sumber air bersih dari air PAM. Air limbah rumah tangga
disalurkan dengan baik dan pembuangan sampah diangkut oleh petugas kebersihan
setiap 1-2 hari. Lingkungan perumahan tidak terlalu padat.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan :
Lingkungan rumah cukup baik. Proses pertukaran udara dan penyinaran sinar matahari
cukup baik.
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 31 Oktober 2014 pukul 01.00 WIB)
A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Kesan Gizi
: Gizi baik
Keadaan lain
: Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dispnoe (+)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 10 kg
Tinggi Badan
: 80 cm
Lingkar kepala
: 46 cm
Status Gizi
- BB / U = 10/11 x 100 % = 90,9 % (Gizi baik)
- TB / U = 80/78 x 100 % = 102,5 % (Tinggi baik)
- BB / TB = 10/11,8 x 100 % = 84,7 % (Gizi kurang)
- LK = 46 cm berdasarkan kurva Neilhaus termasuk diantara (-2 SD) dengan (+2
SD) yang menunjukkan kondisi Normocephali.
Tanda Vital
Nadi
Napas
Suhu

: 136 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular.
: 50 x / menit, tipe abdomino torakal, ekspirasi memanjang
: 38C, axilla (diukur dengan termometer air raksa).

KEPALA

: Normocephali, ubun-ubun besar menutup, cekung (-)

RAMBUT

: Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut.

WAJAH

: wajah simetris, dismorfik (-), tidak ada pembengkakan, luka atau

jaringan parut., tidak tampak efloresensi bermakna.

MATA:
Visus
Sklera ikterik
Konjungtiva anemis
Exophthalmus
Endofthalmus
Strabismus
Nistagmus
Refleks cahaya
Alis
Bulu mata

: tidak dilakukan
Ptosis
: -/: -/Lagofthalmus : -/: -/Cekung
: -/: -/Bercak bitot : -/: -/Kornea jernih : +/+
: -/Lensa jernih : +/+
: -/Pupil
: bulat, isokor
: Langsung +/+ , tidak langsung +/+
: Hitam, distribusi merata
: Hitam, distribusi merata, madarosis (-/-), trikiasis (-/-)

TELINGA :
Bentuk
Nyeri tarik aurikula
Liang telinga
Serumen
Sekret

: Normotia
: -/: Lapang/lapang
: -/: -/-

HIDUNG :
Bentuk
Sekret
NCH
Deviasi septum

: simetris
: +/+ mengering
: -/:-

Tuli
: -/Nyeri tekan tragus
: -/Membran timpani:Tidak dilakukan
Refleks cahaya:Tidak dilakukan

BIBIR

: Simetris, kering (+), anemis (-), sianosis (-).

MULUT

: Oral hygiene baik, mukosa gusi dan pipi berwarna merah muda.

LIDAH

: Normoglotia, tremor (-), lidah kotor (-).

TENGGOROKAN : Arkus faring simetris, hiperemis (-), uvula di tengah, tonsil T1-T1,
detritus (-)
LEHER

: Bentuk tidak tampak kelainan, tidak teraba pembesaran tiroid,


maupun KGB, tidak teraba deviasi trakea.

THORAKS

: Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas (-), retraksi suprastrenal

(-), retraksi intercostal (-), retraksi subcostal (+) minimal

JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis terlihat pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
PARU
Inspeksi

: Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada
pernapasan yang tertinggal, pernafasan abdomino-torakal, retraksi
suprastrenal (-), retraksi intercostals (-), retraksi subcostal (+)

minimal
Palpasi
: Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri
Perkusi
: Sonor di kedua hemithoraks paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, reguler, ronchi (+/+) basah halus di kedua
basal paru, wheezing (+/+) ekspirasi memanjang
ABDOMEN :
Inspeksi : Perut datar, tidak tampak efloresensi bermakna, benjolan (-)
Palpasi
: Datar, supel, defans muscular (-), NT (-), organomegali (-), turgor baik
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen
Auskultasi: Bising usus (+), frekuensi 3x / menit
GENITALIA : Jenis kelamin laki-laki, fimosis (-), hipospadi (-), epispadi (-), testis
sudah di dalam skrotum.
KGB :
Preaurikuler
Postaurikuler
Submandibula
Supraklavikula
Axilla
Inguinal

: Tidak teraba membesar


: Tidak teraba membesar
: Tidak teraba membesar
: Tidak teraba membesar
: Tidak teraba membesar
: Tidak teraba membesar

ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas
: akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-).
Tangan
Tonus otot
Sendi
Refleks fisiologis
Biscep
Tricep
Refleks patologis
Hoffman-Tromer
Kaki

Kanan
normotonus
aktif
(+)
(+)
(-)
Kanan

Kiri
normotonus
aktif
(+)
(+)
(-)
Kiri
8

Tonus otot
normotonus
Sendi
aktif
Refleks fisiologis
Platella
(+)
Achiles
(+)
Refleks patologis
Babinski
(+)
Schaeffer
(-)
Oppenheim
(-)
Gordon
(-)
TANDA RANGSANG MENINGEAL :
Kaku kuduk
(-)
Brudzinski I
(-)
Brudzinski II
(-)
Laseq
(-)
Kerniq
(-)

normotonus
aktif
(+)
(+)
(+)
(-)
(-)
(-)

(-)
(-)
(-)
(-)

KULIT : warna kulit langsat merata, pucat (-), tidak ikterik, tidak sianosis, turgor kulit
baik, petechie (-), capillary refill time 2 detik.
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-).
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium (Lab. Dari UGD pada tanggal 30 Oktober 2014)
Parameter

Hasil

Nilai Rujukan

Keterangan

Leukosit (WBC)

10.1 ribu/uL

6 - 17

Normal

Eritrosit (RBC)

4.6 juta/uL

3.6 - 5.2

Normal

Hemoglobin (HGB)

11.8 g/dL

10.7 13.1

Normal

Hematokrit (HCT)

36 %

35 - 43

Normal

319 ribu/uL

217 - 497

Normal

MCV

77.0 fL

73 - 101

Normal

MCH

25.5 pg

23 - 31

Normal

33.3 g/dL

26 - 34

Normal

14.6 %

<14

Normal

Darah Lengkap

Trombosit (PLT)

MCHC
RDW
Pemeriksaan Urinalisis

Parameter

Hasil

Nilai Rujukan

Keterangan

Warna

Kuning

Kuning

Normal

Kejernihan

Jernih

Jernih

Normal

Glukosa

Negatif

Negatif

Normal

Bilirubin

Negatif

Negatif

Normal

Keton

Negatif

Negatif

Normal

7.0

4.6 - 8

Normal

1.015

1.005 - 1.030

Normal

Albumin urine

Negatif

Negatif

Normal

Urobilinogen

0.2 EU/dL

0.1 - 1

Normal

Nitrit

Negatif

Negatif

Normal

Darah

Negatif

Negatif

Normal

Esterase lekosit

Negatif

Negatif

Normal

Leukosit

0 - 1 / LPB

<5

Normal

Eritrosit

0 - 1 / LPB

<2

Normal

Epitel

Positif

Positif

Normal

Silinder

Negatif

Negatif

Normal

Kristal

Negatif

Negatif

Normal

Bakteri

Negatif

Negatif

Normal

Jamur

Negatif

Negatif

Normal

Urin Lengkap

pH
Berat jenis

Sedimen Urine

10

Pemeriksaan Radiologi :
(Dilakukan di UGD pada tanggal 30 Oktober 2014)

Jenis Foto
:
Thoraks
AP

Deskripsi :
- Tampak bercak infiltrat pada kedua hemithoraks
- Hilus baik
- Cor normal (CTR < 50%)
- Tulang-tulang intak.
Kesan : Bronkiolitis
IV. RESUME
Seorang anak laki-laki usia 14 bulan dengan sesak napas sejak 1 hari SMRS.
Sesak muncul mendadak, semakin memberat, disertai bunyi ngik dan grok, dan
tidak dipengaruhi perubahan posisi. Disertai batuk yang terdengar berdahak dan
pilek dengan sekret bening dan encer sejak 3 hari SMRS. Demam tidak terlalu
tinggi sejak 1 hari SMRS. Nafsu makan berkurang sejak munculnya keluhan. Sudah
diberikan terapi inhalasi di RS Jati Rahayu, sesak berkurang. Os pernah alami
keluhan yang sama saat berusia 5 bulan. Kebiasaan ayah os merokok di dalam
rumah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum : TSS, CM dengan dyspnoe
(+). Suhu tubuh 38C, nadi 136x/menit, pernapasan 50 x/menit. Hidung tampak

11

sekret kering +/+, bibir kering (+). Inspeksi thoax terlihat adanya retraksi subkostal
yang minimal,.Auskultasi thorax terdengar ekspirasi memanjang disertai wheezing
dan rhonki basah halus pada kedua hemithorax.
Pemeriksaan penunjang laboratorium darah dan urinalisis dalam batas normal.
Rontgen thorax didapatkan kesan bronkiolitis.

V. DIAGNOSIS BANDING
a. Bronkiolitis
b. Bronkopneumonia
c. Asma bronkiale
d. Pneumonia aspirasi
VI. DIAGNOSIS KERJA
1. Bronkiolitis
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
1.
2.
3.
4.

Analisa gas darah


Hematologi lengkap ulang
Pemeriksaan titer antibodi
Pemeriksaan antigen virus (direct immunofluoresence assay dan ELISA)

VIII. PENATALAKSANAAN
A. Non medika Mentosa
1. Rawat inap
2. Komuikasi-Informasi-Edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan
3.
4.
5.
6.

pasien.
Observasi tanda tanda vital.
Os dipuasakan, apabila RR < 60x/m pasang NGT.
Memotivasi ibu pasien agar selalu memberikan ASI untuk anaknya.
Mengedukasi ibu pasien agar menyusui anaknya dalam posisi anak sambil

dipangku, tidak boleh sambil berbaring


7. O2 nasal kanul 1-2 liter / m.
B. Medika Mentosa
1. IVFD KaEN 1 B 3cc/kgBB/jam
2. PCT 3 x 100 mg jika suhu > 38C (Dosis : 5 -10 mg/kgbb/kali)
3. Inj. Dexamethasone 3 x 2 mg (D: 0,5 -1 mg/kgbb/hari)
12

4. Ambroxol 5 mg (D : 1,5 mg/kgbb/hari)


Salbutamol 0,5 mg (D : 0,1 mg/kgbb/kali)
mf pulv 4 x 1
5. Inhalasi (Nacl 10 cc + Ventolin 1 tb), 2 x sehari
6. Inj. Ampisilin 4 x 250 mg (D : 10-25 mg/kgbb/kali)
7. Inj. Colsan 4 x 200 mg
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam
Ad Functionam
Ad Sanationam
FOLLOW UP
Tgl
31/10/14
01.00

S
-

WIB

: Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam
: Dubia Ad Bonam

O
A
Sesak
KU: tampak sakit sedang Bronkiolitis
Kesadaran: CM
napas (+)
Keadaan lain:dispneu (+)
Gelisah
TTV :
dan rewel Nadi : 140 x/m
Suhu : 38 0 C
(+)
RR : 50 x/ m
Demam (+)
Hidung : nch -/-, sekret
Batuk (+)
Pilek +
+/+ kering
BAB (-)
Mulut : kering (+),
sianosis (-)
Thorax : sn vesikuler +/

P
-

O2 nasal 1-2 lpm


IVFD KaEN 1 B

3cc/kgBB/jam
Inj.
Dexamethasone

3x 2 mg
Inj. Ampisilin 4 x

250 mg
Inj. Colsan 4 x

200 mg
PCT 3 x 100 mg

jika suhu> 38C


Inhalasi
NaCl

+, rh +/+ basah halus,


wh

+/+,

ekspirasi

memanjang. BJ I-II reg,

31/10/14
10.00

m (-), gallop (-)


Abdomen : BU (+), supel
Ekstremitas : ke 4 akral Bronchiolitis
-

Sesak

napas (+)
Tampak

WIB

hangat, sianosis (-)

KU: tampak sakit sedang


Kesadaran: CM
lebih
Keadaan lain:dispneu (+)
TTV :
tenang
Nadi : 130 x/m
Demam (+)
Suhu : 37.4 0 C
menurun
RR : 30 x/ m
Batuk (+)
Hidung : nch -/-, sekret
Pilek (+)

10cc + ventolin 1
-

tb 2x sehari.
Ambroxol 5 mg
Salbutamol
0,5
mg
4 x 1 puyer

Visit :
- Inhalasi 1 x 1
- O2 stop
- Infus ganti venflon

13

+/+ kering
Mulut : kering

(+),

sianosis (-)
Thorax : sn vesikuler +/
+, rh +/+ basah halus,
wh

+/+

ekspirasi

minimal,
memanjang.

BJ I-II reg, m (-), gallop


(-)
Abdomen : BU (+), supel
Ekstremitas : ke 4 akral
1/11/14
06.30

WIB

Os

hangat, sianosis (-)


lebih KU : tampak sakit Bronkiolitis

tenang
sedang
perbaikan
Sesak (-)
Kesadaran: CM
Batuk (+) Keadaan lain:dyspneu (-)
TTV :
berkurang
Nadi : 112 x/m
Pilek (+)
Suhu : 36,6 0 C
Demam (-)
RR : 28 x/ m
BAB (-)
Hidung : nch -/-, sekret
-/Mulut

kering

sianosis ()
Thorax :
sn vesikuler,
minimal,

rh
wh

Dexamethasone 3
-

x 2 mg
Inj. Colsan 4 x

200 mg
Inj. Ampisilin 4 x

(-),

Venflon
Inj.

250 mg
Inhalasi 1 x 1
Ambroxol 5 mg
Salbutamol
0,5
mg
4 x 1 puyer

+/+
-/-,

Visit:

ekspirasi memanjang (-).

Selesaikan

antibiotik (3 hari -

BJ I-II reg, m (-), gallop

besok)

(-)
Abd : supel, BU (+)
Ekstremitas : ke 4 akral
hangat
Hasil FL : dalam batas
2/11/14
jam 10.00
WIB

normal
Demam (-) KU : tampak sakit ringan
Batuk (+) Kesadaran: CM
TTV :
berkurang

Bronkiolitis
perbaikan

Oral feeding
Venflon
Ambroxol 5 mg

14

Sesak (-)
Nadi : 140 x/m
Os
tidak Suhu : 36,5 0 C
RR : 36 x/ m
rewel lagi
Hidung : nch -. sekret -/BAB (-)
Mulut : kering (-),
sianosis ()
Thorax : sn vesikuler, rh

Salbutamol
-

0,5

mg 4 x 1 puyer
Metil prednisolon
oral 3 x 1 mg (d:

0,5-1 mg/kg/hari)
Amoxicilin oral 3

+/+ berkurang, wh -/-,

x 250 mg (D: 7,5-

ekspirasi memanjang (-).

25 mg/kg/kali)
Visit : bila tidak

BJ I-II reg, murmur (-),


gallop (-)
Abd : supel, BU (+)
Ekstremitas : ke 4 akral

sesak

dan

demam,

tidak
boleh

pulang

hangat
Obat pulang :
-

Ambroxol 5 mg
Salbutamol
0,5

mg 4 x 1 puyer
Metil prednisolon

oral 3 x 1 mg
Amoxicilin oral 3

x 250 mg
Kontrol ke poli
anak

BAB II
ANALISA KASUS
Dari anamnesis didapatkan seorang anak laki-laki usia 14 bulan, diantar orang tua
ke IGD RSBA dengan keluhan utama sesak napas sejak 1 hari SMRS. Sesak napas
didefinisikan sebagai perasaan subjektif pernapasan yang tidak nyaman. Dispnoe atau
sesak napas disebabkan karena peningkatan kerja dari otot-otot pernapasan yang terjadi
akibat stimulasi neuroreseptor yang terdapat sepanjang traktus respiratorius atau stimulasi

15

kemoreseptor baik sentral maupun perifer. Pada kasus ini ditemukan adanya gejala
kesulitan bernapas yang baru terjadi 1 hari, hal ini menunjukkan adanya gangguan akut
dari saluran pernapasan. Untuk anak umur 2 bulan sampai 5 tahun yang datang dengan
kesulitan bernapas dan atau batuk ada beberapa hipotesis yang menjadi kemungkinan
penyebabnya, yaitu bronkiolitis, pneumonia, asma, gagal jantung, penyakit jantung
bawaan dan efusi.
Diagnosis
Bronkiolitis

Pneumonia

Asma

Gagal jantung

Penyakit
jantung
bawaan

Gejala yang ditemukan


-

Episode pertama wheezing pada anak umur < 2tahun


Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Gejala pneumoni dapat di temukan
Respon kurang/tidak ada respon dengan bronkodilator
Demam 39 - 40 C
Batuk dengan napas cepat
Ronkhi basah pada basal paru
Pernapasan cuping hidung, sianosis
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
Merintih
Riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan
dengan batuk dan pilek
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Berespon baik terhadap bronkodilator
Peningkatan tekanan vena jugularis
Denyut apeks bergeser ke kiri
Murmur, bising (+)
Ronkhi di daerah basal paru
Pembesaran hepar

Sulit makan atau menyusu


Sianosis
Bising jantung
Pembesaran hepar

Sebagian besar penyebab sesak napas dapat dipikirkan 2 kemungkinan sistem


organ yang berperan, yaitu sistem respirasi dan sistem kardiovaskular. Pada pasien
didapatkan sesak napas yang baru terjadi 1 hari SMRS, sesak tidak dipengaruhi posisi
maupun perubahan aktivitas. Hal ini dapat dipikirkan penyebabnya adalah sistem

16

respirasi. Pada anamnesis selanjutnya didapatkan keluhan batuk, pilek yang terjadi 3 hari
SMRS. Batuk juga merupakan mekanisme fisiologis dari pertahanan tubuh terutama dari
sistem respirasi sebagai refleks untuk membersihkan jalan napas dari akumulasi mukus,
debris ataupun benda asing agar tidak menimbulkan infeksi lanjut pada saluran napas.
Pada kasus ini, batuk dan pilek yang terjadi dapat dipikirkan menjadi suatu tanda bahwa
terjadi infeksi pada saluran napas anak yang menimbulkan kerusakan dari parenkim
maupun saluran napas gejala ISPA.
Keluhan lainnya berupa demam diakui ibu pasien mulai 2 hari SMRS. Demam
merupakan suatu mekanisme tubuh dalam menghadapi berbagai mikroorganisme patogen
termasuk virus dan bakteri dengan cara menghambat replikasi mikroorganisme dan
membantu proses fagositosis atau aktifitas bakterisida.10 Demam dapat dianggap sebagai
suatu tanda penting dari aktivasi sistem imun dengan hasil pengendalian kenaikan suhu
tubuh. Akibat dari adanya suatu infeksi (pada kasus ini adalah virus) sebagai pirogen
eksogen yang akan mengaktifkan sistem imun sebagai pirogen endogen yang akan
mengakibatkan demam. Namun demam yang dihasilkan tidak menyebabkan suhu yang
terlalu tinggi, karena disebabkan oleh infeksi virus.

Keluhan batuk yang dirasakan semakin memberat, batuk seperti ada dahak namun tidak
ada dahak yang keluar. Batuk terjadi panjang, sering, dan berulang batuk paroksismal.
Batuk sebagai mekanisme pertahanan tubuh untuk membantu mengeluarkan mukus pada
17

saluran napas akibat proses infeksi. Sesak napas mulai dirasakan sejak 1 hari SMRS.
Sesak napas pada kasus ini dapat disebabkan karena adanya edema dari mukosa saluran
napas dan juga proses spasme saluran napas terutama bronkiolus. Dipengaruhi pula dari
diameter anatomis saluran napas bayi lebih sempit, sehingga terjadi resistensi aliran udara
saluran napas.3 Hal tersebut dapat terlihat dari pemeriksaan yang tampak pada pasien
adalah: tampak dyspnoe, frekuensi napas meningkat, adanya otot bantu pernapasan,
retraksi subcostal (+), lalu pada auskultasi didapatkan wheezing +/+ dengan ekspirasi
memanjang dan juga ronki basah halus di kedua basal paru.

RSV terdapat 2 glikoprotein permukaan (Protein G dan Protein


F) untuk menginfeksi sel; Masa Inkubasi: 2-5 hari.
RSV bereplikasi di nasofaring menyebar ke saluran napas
bawah secara penyebaran langsung pada epitel saluran napas
dan aspirasi sekresi nasofaring
Kolonisasi dan replikasi
virus di mukosa bronkus
dan bronkiolus
NEKROSIS SEL EPITEL
SALURAN NAPAS, SILIA

Edema submukosa dan

Saraf afferen menjadi lebih

pelepasan debris dan fibrin ke

terpapar alergen atau iritan

lumen bronkiolus serta

sehingga terlepasnya

gangguan gerakan mukosilier

neuropeptida (neurokinin,

TIMBUNAN MUKUS DI DALAM

18
substansia P)
KONTRAKSI OTOT POLOS

BRONKIOLUS

SALURAN NAPAS SPASME

Dari patofisiologi diatas, dapat dilihat bahwa pada bronkiolitis terjadi penimbunan
mukus dan spasme dari saluran napas bronkiolus. Sehingga dapat terdengar keluhan
pasien saat awal berupa suara napas terdengar grok-grok menurut ibu pasien dan
terdapatnya wheezing. Pada keadaan seperti ini dapat dilakukan terapi inhalasi dengan
campuran bronkodilator dan mukolitik sehingga dapat membantu mengurangi keluhan
batuk dan sesak pada pasien. Pada bronkiolitis penggunaan bronkodilator efektif untuk
mengurangi keluhan karena terdapat spasme dari otot polos saluran napas.
Selain itu dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil hematologi dalam batas
normal, sehingga kemungkinan proses inflamasi yang terjadi bukan diakibatkan bakteri
(tidak didapatkan leukositosis). Dari hasil rontgen thorax didapatkan hasil kesan tampak
bercak infiltrat pada kedua hemitoraks, yang kemungkinan disebabkan karena adanya
suatu infeksi sekunder bakteri, dan ditandai pula dengan adanya ronki pada basal kedua
paru.
Adapun untuk diagnosis pada kasus ini, dapat dinilai dari anamnesis didapatkan
pasien usia 14 bulan, laki-laki, ada riwayat kontak dengan orang dewasa yang menderita
ISPA, ada gejala awal ISPA yaitu batuk, pilek kemudian timbul gejala infeksi virus RSV
berupa batuk paroksismal, pilek, demam ringan, anoreksia, dan sesak tampak gelisah.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan retraksi subcostal, wheezing dan ronki basah halus.
dari pemeriksan penunjang didapatkan kesan bronkiolitis.
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yaitu:

19

T
Total: 4 Kategori sedang.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, didapatkan diagnosis kerja
yaitu BRONKIOLITIS. Pada pasien ini dilakukan rawat inap karena termasuk kategori
sedang dan memiliki resiko tinggi dari bronkiolitis yaitu: riwayat asma dalam keluarga,
dan juga untuk dilakukan observasi dan adanya kesulitan intake.
Adapun algoritma tatalaksana dari bronkiolitis adalah sebagai berikut:

20

Penatalaksanaan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi, pemberian cairan


untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat.
1. Oksigenasi dengan nasal kanul 1-2 lpm untuk membantu penambahan
oksigen agar dapat mengurangi keluhan sesak.
2. Cairan dan nutrisi: jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan,
kenaikan suhu dan status hidrasi. Pemberian cairan intravena berupa
Kaen1B 3cc/kgbb/jam, dan juga diberikan cairan secara oral, namun
apabila laju pernapan meningkat mencapai 60 kali permenit, dilakukan
pemasangan NGT untuk supply nutrisi bayi dikarenakan sedang sesak dan
batuk agar mencegah terjadinya aspirasi.

21

3. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: Salbutamol 0,1 mg/kgbb/dosis


(ventolin 1 tube), diencerkan dengan normal saline, diberikan 2x per hari.
Efek inhalasi bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis yang singkat,
kemudian untuk terapi selanjutnya diberikan secara peroral yaitu
Ambroxol 5mg (dosis: 0,5mg/kg/hari) dengan Salbutamol 0,5mg (dosis:
0,05 mg/kg/kali) dijadikan puyer diberikan 4x1 bungkus.
4. Steroid: Dexametasone 3 x 2 mg (dosis: 0,1-0,2 mg/kg/dosis secara IV)
digunakan sebagai terapi anti inflamasi.
5. Antibiotik : Pada pasien diberikan Ampicillin 4 x 250 mg (dosis: 10-25
mg/kg/kali), dan Colsan 4 x 200 mg.
6. Antipiretik: Paracetamol 100 mg diberikan jika suhu 38 0C (dosis: 510mg/kgbb/kali)

BAB III

22

TINJAUAN PUSTAKA
BRONKIOLITIS
I.

Latar Belakang
Bronkiolitis adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim akibat dari
obstruksi radang saluran pernapasan kecil (bronkiolus). Penyakit ini terjadi
selama umur 2 tahun pertama, dengan insiden puncak pada sekitar umur 6 bulan,
dan pada banyak tempat penyakit ini paling sering menyebabkan rawat inap bayi
di rumah sakit. Insidensi tertinggi selama musim dingin dan awal musim semi.
Penyakit ini terjadi secara sporadik dan endemik.1

II.

Definisi
Bronkiolitis adalah infeksi sistem respiratorik bawah akut yang pada umumnya
disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala obstruksi bronkiolus.
Bronkiolitis ditandai dengan batuk, pilek, panas, distress pernapasan dan
ekspiratorik effort (usaha napas pada saat ekspirasi) seperti adanya wheezing,
takipnea,

retraksi,

dan

ditunjang

dari

foto

dada

didapatkan

air

trapping/hiperinflasi paru.1
III.

Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus/RSV
(lebih dari 50%) diikuti oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2 dan 3, Influenzae B,
dan Adenovirus tipe 1,2, dan 5. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan
merupakan

satu-satunya

penyebab

yang

dapat

menimbulkan

epidemi. 3

Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka lama, termasuk


bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (sindrom SwyerJames). Kemungkinan kejadian bronkiolitis pada anak dengan ibu perokok lebih
tinggi dibandingkan pada anak dengan ibu yang tidak merokok. 1 Terdapat
pembuktian bahwa kompleks imunologis yang memainkan peranan penting dari
patogenesis dari bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe 1 dimediasi oleh
antibodi Ig E hal ini dapat dihitung untuk signifikansi dari bronkiolitis. Bayi yang

23

meminum ASI dengan colustrum tinggi yang didalamnya terdapat Ig A tampaknya


lebih relaktif terproteksi dari bronkiolitis. 2
IV.

Klasifikasi
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Bronkiolitis akut
2. Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus
dan saluran pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan
menyebabkan sejumlah besar jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh masa noduler granulasi dan
fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim pada
transplantasi paru.1

V.

Epidemiologi
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan
menjelang kemarau, dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan
dengan menjangkitnya para-influenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di
daerah sub tropis dari Asia Tenggara sepanjang tahun, dan memuncak antara
bulan Oktober sampai Februari dan berkurang pada bulan Maret sampai Juli. 2
dari sub tipe RSV telah di ketahui, yaitu tipe A dan tipe B, dengan tipe yang
paling sering menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya mendominasi
apabila tipe A tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat menular, penularan
disebarkan melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular pada hari ke 6
sampai hari ke 21 setelah gejala muncul. Waktu inkubasi antara 2-5 hari. Insiden
infeksi RSV sama pada laki-laki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih sering
terjadi pada laki-laki. Infeksi terjadi pada anggota keluarga sebanyak 46%, 98%
pada anak yang dititipkan pada perawatan harian, 42% pada staff rumah sakit dan
sebanyak 45% pada bayi yang dirawat di RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi
menyebar melalui muntahan dan penggunaan sarung tangan, sedangkan baju
khusus dapat mengurangi penyebaran infeksi nosokomial. 25% anak umur

24

dibawah 1 tahun dan 13% anak umur antara 1 sampai 2 tahun akan mendapatkan
infeksi saluran napas. Separuh dari angka tersebut didapatkan gejala bersin yang
diasosiasikan dengan infeksi saluran nafas. RSV dapat ditemukan pada kultur
pasien yang dirawat di RS yang menderita infeksi tersebut dan 80% nya berumur
kurang dari 6 bulan. Diantaranya bayi yang sehat 80% dirawat di RS pada tahun
pertama kehidupannya dan sekitar 50% perawatan di rumah sakit adalah bayi
antara umur 1-3 bulan. Kurang dari 5% perawatan di RS pada neonatus,
kemungkinan dengan adanya antibodi yang masih terdapat dari transplasentalmaternal.3
VI.

Patofisiologi
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus menyebabkan respons inflamasi
akut, ditandai dengan obstruksi bronkioulus akibat edema, sekresi mukus,
timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti dengan
infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan aliran udara
berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori, maka sedikit
saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara yang besar,
terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori kecil. Resistensi
pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi, tetapi karena
radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka akan menyebabkan
air trapping dan hiperinflasi. Atelectasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi
total dan udara yang terjebak diabsorbsi.4
Proses patologis ini akan mengganggu proses pertukaran gas normal di paru.
Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasiperfusi, yang berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian
terjadi hipoksia jaringan. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) tidak selalu
terjadi, kecuali pada beberapa pasien. Semakin tinggi laju respiratori, maka
semakin rendah tekanan oksigen arteri. Kerja pernapasan akan meningkat selama
end-expiratory lung volume meningkat dan compliance

paru menurun.

Hiperkapnea biasanya baru terjadi bila respirasi mencapai 60 x/menit.4

25

Pemulihan sel epitel paru tampak setelah 3 4 hari, tetapi silia akan diganti
setelah dua minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.4
Disamping pengruh destruktif virus dan respons hospes yang menyertai,
belum jelas peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada
kebanyakan bayi dengan bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial,
pengalaman klinis memberi kesan bahwa bakteri memainkan peran yang tidak
berarti.1 Berbeda antara bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi
udem saluran napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan
orang dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila terkena infeksi oleh virus.

VII.

Manifestasi Klinis
Bronkiolitis Akut
Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer,
batuk, bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung
beberapa hari, kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk
paroksimal, mengi, dispneu, dan iritabel. Timbulnya kesulitan minum terjadi
karena napas cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap.
Pada kasus ringan, gejala menghilang 1-3 hari. Pada kasus berat, gejalanya
dapat timbul beberapa hari dan perjalananya sangat cepat. Kadang-kadang,
bayi tidak demam sama sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan
dengan frekuensi napas 60 x/menit, terdapat napas cuping hidung,
penggunaan otot pernapasan tambahan, retraksi, dan kadang-kadang sianosis.

26

Retraksi

biasanya

tidak

dalam

karena

adanya

hiperinflasi

paru

(terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa teraba karena
terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar ronki pada
akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan mengi kadangkadang terdengar dengan jelas. Gambaran radiologik biasanya normal atau
hiperinflasi paru, diameter anteroposterior meningkat pada foto lateral.
Kadang-kadang ditemukan bercak-bercak pemadatan akibat atelektasis
sekunder terhadap obtruksi atau anflamasi alveolus. Leukosit dan hitung jenis
biasanya dalam batas normal. Limfopenia yang sering ditemukan pada infeksi
virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis. Pada keadaan yang berat,
gambaran analisis gas darah akan menunjukkan hiperkapnia, karena
karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat edem dan hipersekresi
bronkiolus.3,4
Bronkiolitis Obliterans
Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis
dimana sudah terjadi obliterasi pada bronkiolus. Pada mulanya dapat terjadi
batuk, kegawatan pernafasan dan sianosis dan disertai dengan periode
perbaikan nyata yang singkat. Penyakit yang progresif terlihat dengan
bertambahnya dispnea, batuk, produksi sputum, dan mengi. Polanya dapat
menyerupai bronkitis, bronkiolitis atau pneumonia. 1 Temuan rontgenografi
dada berkisar dari normal sampai pola yang memberi kesan tuberkulosis
milier. Sindrom Swyer James dapat berkembang dengan dijumpainya
hiperlusensi unilateral dan pengurangan corak pembuluh darah paru pada
sekitar 10% kasus. Bronkografi menunjukan obstruksi bronkiolus, dengan
sedikit atau tidak ada bahan kontras yang mencapai perifer paru. Tomografi
terkomputasi (CT) dapat menunjukan bronkiektasia yang terjadi pada banyak
penderita. Temuan-temuan uji fungsi paru bervarisasi, yang paling sering
adalah obstruksi berat, namun demikian retreksi atau kombinasi obstruksi dan
retraksi dapat ditemukan. Diagnosis dapat dikonfirmasikan melalui biopsi
paru.5

27

VIII. Faktor Risiko


Salah satu faktor resiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur
kurang dari 6 bulan, sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh
berkembang dengan baik. Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan
bronkiolitis lebih sering dibanding anak-anak perempuan. Faktor lain yang telah
dihubungkan dengan peningkatan resiko bronkiolitis pada anak-anak meliputi:3,5
a. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan
kekebalan dari ibu.
b. Kelahiran prematur.
c. Pajanan ke asap rokok.
d. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak,
panti asuhan.
e. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah/tempat bermain.
IX.

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Dipengaruhi juga
dari faktor usia penderita dan adanya epidemi RSV di masyarakat. Kriteria
bronkiolitis terdiri dari: (1) Wheezing pertama kali, (2) umur 24 bulan atau
kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus misalnya
batuk, pilek, demam, dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang
dapat menyebabkan wheezing.3
Obstruksi saluran respiratorik bawah akibat respons inflamasi akut akan
menimbulkan gejala ekspirasi memanjang hingga wheezing. Usaha-usaha
pernapasan yang dilakukan anak untuk mengatasi obstruksi akan menimbulkan
napas cuping hidung dan retraksi interkostal. Selain itu, dapat juga ditemukan
ronki dari pemeriksaan auskultasi paru. Sianosis dapat terjadi dan bila gejala
menghebat, dapat terjadi apnea, terutama pada bayi berusia < 6 minggu.4
Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress
Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan 2

28

variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor > 15 dimasukan kategori
berat, bila skor < 3 dimasukkan dalam kategori ringan.3
Tabel 1. Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI)

Masalah terbesar dalam diagnostik bronkiolitis adalah adanya kemungkinan


keterlibatan infeksi bersama dengan bakteri atau klamidia. Bila bronkiolitis ringan
atau infiltrat tidak tampak pada roentgen, ada kemungkinan infeksi komponen
dengan bakteri. Pada bayi usia 1-4 bulan, pneumonitis interstisial dapat
disebabkan oleh chlamydia trakhomatis. Pada keadaan ini mungkin riwayat
konjungtivitis, dan penyakit cenderung subakut. Terdapat keluhan batuk sering
tetapi tidak ada mengi dan tanpa demam.6
Diagnosis pasti infeksi VSR didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus
dalam sekresi pernafasan. Spesimen harus diletakkan diatas es, dan langsung
dibawa ke laboratorium untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan
pada suatu sel yang rentan. Aspirat mukus dari lubang hidung posterior (nasal
washing) merupakan spesimen yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok
juga dapat diterima. Aspirat trakea tidak perlu.
X.

Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel
darah putih pada umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung jenis
mungkin normal atau bergeser kekanan atau kekiri.

29

Urin
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai
balance cairan dan kemungkinan dehidrasi.

Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh
infeksi/peradangan tetapi dapat membantu menerka beratnya derajat dehidrasi.

Analisa gas darah


Analisa gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat,
terutama yang menuntut ventilasi mekanik atau buatan.

Radiologi
Foto sinar-X dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan
lateral. dapat terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit):
o

Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah


nonspesifik dan mungkin juga dapat pada gambaran pasien dengan sakit
asma, pneumonia yang tidak lazim atau karena virus, dan aspirasi cairan.

Ateletaksis fokal

Gambaran udara yang terperangkap

Gambaran sekat diafragma yang rata

Peningkatan gambaran Garis tengah Antero posterior

Peribronchial Cuffing

Foto sinar-X dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk


diagnosa banding, seperti pneumonia lobaris, gagal jantung kongestif, atau
aspirasi benda asing.

Pemeriksaan lainnya:
o Antigen Test pada nasal wash, dapat mengungkap dengan cepat ( pada
umumnya di dalam 30 min) dan akurat (kepekaan 87-91%, ketegasan 96100%) dalam pendeteksian RSV.
o Kultur positif dengan direct fluorescent antibody, test hasil percobaan
dapat mengkonfirmasikan infeksi karena RSV .

30

o Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan opname
dan anak-anak yang berhadapan dengan resiko berat.
o Kultur RSV lebih sedikit sensitif (60%) tetapi spesifitas mencapai 100%.
o Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur untuk RSV
atau lain virus, atau pendeteksian dengan direct fluorescent antibody atau
dengan polymerase chain reaction mungkin bermanfaat untuk pertimbangan
yang berikut:
- Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya
- Untuk mencari agen lain infeksius yang lain
- Karena tujuan epidemiologik.
XI.

Penatalaksanaan dan Pengobatan


Sebagaimana telah dibahas di atas penyebab tersering bronkiolitis adalah
virus terutama RSV, sehingga sebenarnya tidak pada tempatnya pemberian
antibiotik pada bronkiolitis.1 Di negara maju untuk membedakan infeksi karena
RSV atau bakteri dapat dilakukan dengan cepat yaitu uji serologis terhadap RSV
dan pemeriksaan CRP. Di Indonesia, penggunaan uji serologis terhadap RSV
belum rutin dikerjakan sehingga kadang-kadang sulit dibedakan dengan
pneumonia bakteri.7
Bayi umur kurang dari 6 bulan dengan bronkiolitis akut dan distress
pernafasan sebaiknya dirawat di rumah sakit bila ditemukan :

Kadar SpO2 kurang dari 92 %

Tidak dapat mempertahankan hidrasi oral

Respirasi meningkat, atau

Mempunyai riwayat penyakit kardio-respiratori yang kronik.

Saturasi di 40 % biasanya muncul sianosis, gejala extra pulmonal, apnea dan


asidosis merupakan tanda bayi di rawat di ruang rawat intensif. Hipoksemia
merupakan tanda kelainan laboratorium yang tampak untuk itu diperlukan
tambahan oksigen bagi pasien. Arah utama untuk pengobatan pasien dengan
bronkiolitis adalah dengan penggantian cairan dan suplemen cairan. Pada pasien

31

tersebut biasanya mengalami dehidrasi ringan dikarenakan berkurangnya asupan


cairan dan banyak kehilangan cairan melalui demam dan takipnea. Pengguanan
cairan tambahan agar diawasi agar tidak terbentuknya formasi edema paru. Terapi
supportive adalah mendeteksi cepat bila ada apnea dan memberikan perhatian
khusus terhadap demam pada neonatus.7

32

33

Pengobatan

Bronkodilator
Peran bronkodilator masih kontroversial. Penggunaan bronkodilator

untuk bronkiolitis menunjukkan perbaikan skor klinis untuk jangka pendek,


tetapi tidak terdapat perbaikan pada oksigenasi atau angka perawatan di RS.
Alasan yang kurang mendukung pemberian bronkodilator adalah karena
pada usia bayi peran bronkodilator kurang jelas. Pada keadaan bronkiolitis
yang dominan adalan inflamasinya bukan bronkokonstriksinya sehingga
yang harus diberikan adalah pemberian antiinflamasi bukan bronkodilator.7

Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih menjadikan perdebatan yang
berkepanjangan. Salah satu penelitian meta-analisis mengambil kesimpulan
peran kortikosteroid sistemik pada bronkiolitis adalah bermanfaat dalam hal
perbaikan klinis, lama rawat, dan lamanya gejala menghilang. Pada penelitian
tersebut dianjurkan pemberian kortikosteroid pada awal penyakit. 8 Penelitian
lain menyatakan bahwa pemberian kortikosteroid pada kasus infeksi
respiratorik bawah akut yang memerlukan ventilator kurang bermanfaat. 9
Kortikosteroid

yang

digunakan

adalah

prednisone,

prednisolon,

metilprednison, hidrokortison dan deksametason. Untuk penyamaan dilakukan


konversi rata-rata dosis per hari serta rata-rata total paparan obat tersebut
dalam ekuivalen mg/KgBB prednisone. Rata-rata dosis perhari berkisar antara
0,6-6,3 mg/KgBB, dan rata-rata total paparan antara 3,0-18,9 mg/KgBB. Cara
pemberian adalah secara oral, intramuscular, dan intravena. Tidak ada efek
merugikan yang dilaporkan.8
Antibiotik
Virus adalah etiologi utama pada bronkiolitis untuk itu penggunaan rutin
dari antibiotik sebaiknya dihindari untuk penyakit ini. Apabila bayi mengarah
ke arah lebih buruk dan menunjukkan kenaikan dari hitung sel darah

putih

kedepannya menunjukkan tanda-tanda sepsis, selanjutnya kultur bakteri dari


darah, urine, dan cairan LCS sebaiknya diambil dan di follow

up

segera

34

dengan pemberian antibiotik spektrum luas. Penelitian

yang dilakukan oleh

Kupperman dkk, dari 156 bayi dibawah umur 24 bulan yang sebelumnya sehat
dengan sedikit demam dan menderita bronkiolitis, menunjukkan bahwa bayibayi ini mau tidak mau menderita bakteremia dan menderita infeksi saluran
kemih. Penggunaan rutin dari antibiotik tidak menunjukkan perbaikan dari
bronkiolitis.
Antivirus (Ribavirin)
Ribavirin (1 beta-D-ribafuranosyl-1,2,4-triazole-3-carbox-amide) adalah
analog nukleosida sintetik yang menggabungkan guanosin dan inosin
tampaknya di buat untuk mempengaruhi RNA massenger dan menghambat
sintesis protein virus. Ribavirin mempunyai spektrum luas aktivitas antiviral
invitro. Terapi ribavirin untuk infeksi RSV masih kontroversial dikarenakan
masih ada penggunaan aerosol, harga yang relatif mahal, toxisitas dan efek
samping.
Saat ini rekomendasi dari AAP terapi dengan ribavirin aerosol sedang
dipertimbangkan untuk bayi-bayi dengan resiko tinggi penderita penyakit
karena RSV:
a. Diantara mereka dengan komplikasi penyakit jantung kongenital termasuk
didalamnya hipertensi portal dan juga mereka yang menderita displasie
b.
c.

bronkopulmonar, kistik fibrosis dan penyakit paru kronik lainnya.


Mereka yang menderita penyakit yang didasari oleh penyakit imun.
Pasien yang dirawat di rumah sakit dengan umur kurang dari 6 minggu
dengan penyakit penyerta seperti anomali kongenital multipel atau

penyakit neurologi metabolik.


Kesimpulannya ribavirin merupakan terapi yang aman tapi mahal, efisiensi dan
keefektifannya tidak tampak jelas menunjukan dalam penelitian. Penggunaan
ribavirin secara rutin pada saat ini kurang direkomendasikan.
Heliox
Heliox (campuran antara helium dengan oxygen) telah digunakan pada
pasien asma akut. telah ada laporan kasus yang menyatakan dan menjelaskan
tentang penggunaan heliox pada bayi laki-laki umur 4 bulan dengan
bronkiolitis positif RSV. Heliox mungkin bermanfaat sebagai tambahan untuk
terapi

konvensional

pada

pasien

bronkiolitis

dalam

keadaan

kritis.

35

Bagaimanapun studi klinis dari terapi ini sangat diperlukan untuk mengetahui
keefektifan terapi ini. Hal ini dimungkinkan bahwa heliox dengan terapi
nebulalisasi dapat sangat berguna pada bayi dengan bronkiolitis berat atau
XII.

pasien terpasang intubasi dan tidak merespon dengan terapi konvensional.


Pencegahan
Penyebaran dari RSV kemungkinan terjadi karena kontak langsung
dengan sekret pasien yang terinfeksi. Pencegahan penting pada staf rumah sakit
seperti perhatian khusus terhadap kebersihan sekret pasien dan kebersihan badan
petugas rumah sakit tampaknya dapat mengurangi penyebaran RSV di rumah
sakit. Saat ini menggunaan RSV imunoglobulin intra vena pada dosis tinggi (500
- 750 mg/Kg BB) tampaknya dapat mencegah RSV pada pasien resiko tinggi,
sebagai tambahan RSV imunoglobulin intravena dalam bentuk aerosol dapat
memberikan keuntungan pada pasien dengan bronkiolitis karena RSV. Dalam
penelitian baru oleh Rimensberger, dkk, menyimpulkan bahwa dosis tunggal RSV
imunodlobulin intra vena (0,1 gr/Kg BB) tidak menunjukan keuntungan untuk
bronkiolitis akut karena RSV. Saat ini tampaknya ada kerugian yang ditimbulkan
oleh penggunaan human polyclonal RSV- Imunoglobulin antibodi spesifik pada
bayi. Hal ini meliputi penggunaan bulanan secara intra vena antara 2-4 jam.
Insidensi tertinggi di rumah sakit pada kasus bronkiolitis karena RSV
terjadi pada bayi umur 2-5 bulan untuk itu vaksinasi dapat menstimulasi
keefektifan setelah bayi berumur 2 bulan.

XIII. Prognosis
Bronkiolitis Akut
Fase penyakit yang paling kritis terjadi selama 48-72 jam pertama sesudah batuk
dan dispnea mulai. Selama masa ini, bayi tampak sangat sakit, serangan apneu
terjadi pada bayi yang sangat muda dan asidosis respiratorik mungkin ada.
Sesudah periode klinis, perbaikan terjadi dengan cepat dan seringkali secara
drastis. Penyembuhan selesai dalam beberapa hari. Angka fatalitas kasus di bawah
1%, kematian dapat merupakan akibat dari serangan apnea yang lama, asidosis
respiratorik berat yang tidak terkompensasi, atau dehidrasi berat akibat kehilangan
penguapan air dan takipnea serta ketidakmampuan minum cairan. Bayi yang
memiliki keadaan-keadaan, misalnya penyakit jantung kongenital, displasia

36

bronkopulmonal, penyakit imunodefisiensi, atau kistik fibrosis mempunyai angka


morbiditas yang lebih besar dan mempunyai sedikit kenaikan angka mortalitas.
Angka mortalitasnya tidak sebesar pada bayi yang beresiko tinggi seperti di
masa yang silam. Perkiraan mortalitas pada bayi beresiko tinggi yang menderita
bronkiolitis. VSR ini telah menurun dari 37% pada tahun 1982 menjadi 3,5%
pada tahun 1988. Komplikasi bakteri seperti bronkopneumonia atau otitis media,
tidak lazim terjadi. Kegagalan jantung selama bronkiolitis jarang, kecuali pada
anak yang memiliki dasar penyakit jantung. Ada proporsi yang bermakna bahwa
bayi-bayi yang menderita bronkiolitis mengalami hiperreaktivitas saluran
pernafasan selama akhir masa anak-anak, tetapi hubungan antara kedua hal ini,
jika ada belum dimengerti. Kesan bahwa satu episode bronkiolitis dapat
mengakibatkan kelainan saluran pernafasan kecil yang jangkanya sangat lama
memerlukan pengamatan lebih lanjut. Kelainan ini sebagian dapat dijelaskan
melalui penemuan bahwa bayi yang memiliki hantaran pernafasan total rendah
lebih mungkin mengalami bronkiolitis dalam responnya terhadap infeksi virus
pernafasan. Bayi dengan bronkiolitis yang padanya berkembang saluran
pernafasan reaktif kemungkinan besar mempunyai riwayat keluarga asma dan

alergi, episode bronkiolitis akut lama, dan terpajan asap rokok.7


Bronkiolitis Obliterans
Beberapa minggu setelah mulainya gejala-gejala awal, penderita keadaan
umumnya menjelek sampai meninggal, tetapi kebanyakan bertahan hidup,
beberapa anak menderita kecacatan kronis.9

DAFTAR PUSTAKA
1. Orenstein DM. Bronchiolitis. In: Behrman RE, Kliegen RM, Arvin AM, editors.

37

Nelson Texbook of Pediatrics. 15th. Toronto: WB Saunders Company; 1987. p.


1211-2.
2. Krilov RL. Respiratory Syncytial Virus Infection. In: Medscape. Steele RW,
Kumar

A,

Lutwick

LI,

et

al,

editors.

Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/971488-overview#aw2aab6b2b2aa.
Accessed on June 21th, 2014.
3. Setiawati L, Asih R, Makmuri MS. Naskah Lengkap Tatalaksana Bronkiolitis. FK
Unair RSU Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Divisi Respirologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak; 2005.
4. Zain MS. Bronkiolitis. In: Buku Ajar Respirologi Anak. Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, editors. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2010. p. 333-47.
5. Mayo
Clinic
Staff.
Bronchiolitis.
Available
at

http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/bronchiolitis/basics/riskfactors/con-20019488. Accessed on June 21th, 2014.


6. McIntosh K, Respiratory Syncytial Virus. In: Nelson Textbook of Pediatrics.
Vaughan VC, et al, editors. 13th ed. Toronto: WB Saunders Company; 1987. p.
1112 - 1114.
7. Van Woensel JBM, van Aalderen WMC, Kimpen JLL. Viral lower respiratory
tract infection in infants and young children. BMJ 2003; 327:36-40.
8. Garrison MM, Christakis DA, Harvey A, Cummings P, Davis RL. Stemic
corticosteroids in infant bronchiolitis: A meta-analysis. Pediatrics 2000; 105:4455.
9. Van Woensel JBM, van Aalderen WMC, de Weerd W, Jansen NJG, van Gestel
JPJ, Markhost DG, et al. Dexamethasone for treatment of patients mechanically
ventilated for lower respiratory tract infection caused by respiratory syncytial
virus. Thorax 2003; 58:383-7.

38

You might also like