You are on page 1of 20

LAPORAN KASUS POLIKLINIK

No. ID Peserta
:
Nama Peserta
: dr. Sodiqa Aksiani
No. ID Wahana :
Nama Wahana
: Poli Anak PKPR - Puskesmas Kecamatan Cengkareng
Topik
: Sinusitis Maxillaris Bilateral
Tanggal Kasus
: 30 Maret 2015
Nama Pasien
: An. AN
No. Rekam Medis : 1771-15
Tanggal Presentasi :
Nama Pendamping : dr. Atika Syamsul, MKKK
Tempat Presentasi : Puskesmas Kecamatan Cengkareng
Obyek Presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Neonatus
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Deskripsi
: Pria, 15 tahun, penciuman berkurang sejak 5 bulan, bernapas melalui mulut, sering mimisan, gangguan pendengaran
unilateral, tidur mengorok. Inspeksi hidung terdapat sekret, livid, tidak tampak massa. Inspeksi tenggorokan arkus faring rendah. Ro sinus
paranasal Sinusitis Maxillaris Bilateral.
Tujuan
:
Bahan Bahasan :
Tinjauan Pustaka
Cara Membahas :
Diskusi

Riset
Presentasi dan Diskusi

Kasus
Email

Audit
Pos

DATA PASIEN
Nama : An. AN
No. RM : 1771-15
Nama Klinik : Puskesmas Kecamatan Cengkareng
Telpon :
Terdaftar Sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / gambaran klinis : Sinusitis maxillaris bilateral, Keadaan umum pasien saat datang berobat baik, dengan keluhan penciuman
1

berkurang sejak 5 bulan, bernapas melalui mulut, sering mimisan, gangguan pendengaran unilateral, tidur mengorok. Pasien sudah
2.
3.
4.
5.
6.

lama berobat ke puskesmas namun tidak ada perubahan.


Riwayat pengobatan
: Amoksisilin 3x1, loratadin 2x1
Riwayat penyakit
: Riwayat sakit gigi (-), riwayat asma (-), riwayat alergi (-)
Riwayat keluarga
: Riwayat alergi (-), asma (-)
Riwayat pekerjaan
: Pelajar SMK
Kondisi lingkungan sosial dan fisik (rumah, lingkungan, pekerjaan) : OS adalah seorang pelajar SMK. Jarang membawa bekal dari

rumah dan lebih sering jajan. Di rumah os tidak ada yang mempunyai riwayat alergi maupun keganasan.
7. Lain-lain (riwayat imunisasi): Daftar Pustaka :
1. Acute Sinusitis. Availabe at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2600057/ Accessed: Apr, 23th 2015.
2. Chronic maxillary sinusitis. Definition, diagnosis and relation to dental infections and nasal polyposis. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3705956. Accessed: Apr, 23th 2015
3. Pediatric Sinusitis. Available at https://www.entnet.org/content/pediatric-sinusitis. Accessed: Apr, 25th 2015.
4. Treatment of chronic maxillary sinusitis in children. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3192364. Accessed: May, 2nd
2015.
Hasil Pembelajaran :
1. Diagnosis sinusitis maksilaris bilateral dd/ Ca nasofaring
2. Penatalaksanaan sinusitis maksilaris bilateral
3. Edukasi dan pencegahan penyakit sinusitis maksilaris bilateral

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio :


Subyektif :

OS datang dengan keluhan kurang penciuman sejak 5 bulan yang lalu. Bahkan belakangan ini os tidak dapat bernapas lewat hidung
melainkan hanya melalui mulut. Selain itu os mengeluh hidungnya sering mimisan secara tiba-tiba dan pendengaran sebelah kanan
dirasakan berkurang. Saat sedang tidur, orangtua os mengaku bahwa anaknya mengorok dengan suara kencang.
Sebelumnya, os memang sering mengalami pilek berulang terutama saat udara dingin atau kelelahan. Awalnya penciuman yang berkurang
tidak digubris oleh os karena os berpikir hal tersebut diakibatkan oleh pilek yang dialaminya. Namun 5 bulan belakangan penciuman os
semakin berkurang bahkan tidak dapat menghirup udara melalui hidung. Os pun berobat ke puskesmas dekat rumahnya dan diberi obat tapi
tidak ada perubahan sama sekali. Bahkan keluhan lainnya bermunculan seperti mimisan serta pendengaran sebelah kanan yang berkurang.
Sehari-harinya os adalah pelajar SMK yang bersekolah seperti biasa. Os jarang membawa bekal dari rumah dan diakui lebih sering jajan
sembarangan di samping sekolah.
Obyektif :
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi Badan : 165 cm
Berat Badan : 41 kg
Tanda Vital :
Tekanan darah : 110/90 mmHg
Frekuensi nafas : 20x/ menit
Nadi : 72x/ menit, kuat angkat
Suhu : 36.5 oC
o Pemeriksaan Generalis
o
o
o
o
o

Kulit

: Tidak ada kelainan, tidak muncul perdarahan kulit

Kepala

: Simetris
- Mata

Konjungtiva : tidak anemis


Sklera : tidak ikterik
Palpebra : tidak oedema
- Hidung : deformitas (-), NT sinus paranasal (-), vestibulum nasi sempit, deviasi septum (-), mukosa hiperemis (-), sekret
(+), massa (-)
- Mulut dan Tenggorok : sianosis (-), bibir kering, tonsil T1/T1, arkus faring dan mukosa palatum letak rendah, gigi
geligi dan bukal tidak ada kelainan. Pemeriksaan rhinoskopi posterior tidak dilakukan.
- Telinga : liang telinga lapang, hiperemis (-) sekret -/-, serumen -/-, NT aurikula (-), nyeri tarik aurikula (-), tes Rinne,
Weber dan Swabach tidak dilakukan.
Leher

: Tidak tampak pembesaran KGB

Dada

: Bentuk dan gerak simetris

Paru

:
Thorak
Retraksi i.c

-/-

Perkusi

Sonor pada semua

Palpasi

lapang
Sela iga teraba,tidak
ada bagian yang
4

tertinggal
Auskultasi

Wheezing -/Ronkhi -/Vesikuler +/+

Jantung : bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)


Abdomen : supel, nyeri tekan (+) perut kanan atas, hepar lien tidak teraba, bising usus normal
Extremitas (lengan & tungkai) :
Kekuatan :

Edema :

+5

+5

+5

+5

Akral Hangat :

Sianosis

Capillary refill < 2 detik


Pemeriksaan Penunjang :
- Ro photo sinus paranasal: sinusitis maksilaris bilateral
Assessment :
Dalam ICD 10 : http://www.icd10data.com/ICD10CM/Codes/J00-J99/J00-J06/J01-/J01.00
Sinusitis Maxillary Bilateral : J00.01
Plan :
5

Pada kasus ini dapat diberikan rencana terapi :

Ciprofloksasin 2x1
Loratadin 1x1
Dexametason 2x1
Rujuk poli THT RSUD Cengkareng

Edukasi :

Pasien diminta untuk tidak panik saat terjadi mimisan dan menjelaskan kepada pasien penanganan pertama saat mimisan
Menginformasikan kepada pasien agar tidur miring untuk mengurangi mendengkur dan menggunakan masker saat ke sekolah atau

membawa motor
Menginformasikan kepada pasien untuk rutin berobat ke puskesmas

LAPORAN KASUS
SINUSITIS MAKSILARIS BILATERAL

NAMA: DR. SODIQA AKSIANI


PEMBIMBING: DR. ATIKA, MKKK

PUSKESMAS KECAMATAN CENGKARENG


2015
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada
empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra
dan Murad, 2004). Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus
mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan
bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat,
sinus terutamanya berisi udara (Hilger,1997). Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari
sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya
dan ostium sinus maksila (Drake,1997). Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan
perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi
lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus
sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007; Lee, 2008).

2.1.1. Sinus Maksila


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir,
sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat
dewasa (Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut
fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding
superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior
dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008). Menurut Soetjipto dan
Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga
gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.
Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila

2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke-empat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel
infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20
tahun (Ramalinggam, 1990). Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang
terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak
berkembang (Lee, 2008). Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm , lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya
bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak adanya gambaran septum-septum atau
lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005). Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang
relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007). Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum
etmoid (Lee, 2008).

2.1.3. Sinus Etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang
dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan
lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007). Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri
dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan
dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di
depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Hilger, 1997; Ballenger, 2009). Di bagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar
disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat
menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004). Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa.
Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan
Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997).

2.1.4. Sinus Sfenoid


Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh
darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997; Netter, 2006). Batas-batasnya
ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons
(Ramalinggam, 1990).

2.2. Fisiologi Sinus Paranasal


Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan
tulang muka. Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah:
a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning).
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam
ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total
dalam sinus.
b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator)
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubahubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

c. Membantu keseimbangan kepala


Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna.

d. Membantu resonansi suara


Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara
resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah.
e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.
f. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif
untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling
strategis.

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa dan palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak
secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral
hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum
etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung dengan resesus
sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal
drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).

2.3. Klasifikasi Sinusitis


Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan
minggu (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat minggu,
subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu
infectious atau non-infectious (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011). Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis
akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe
dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada

hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis
adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4. Sinusitis Tipe Dentogen


2.4.1. Definisi
Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis (Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus
paranasal merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paru-paru juga dapat menyerang hidung dan sinus
paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus dianggap
sebagai satu kesatuan (Hueston,2002).

2.4.2. Insidens dan Epidemiologi


Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari
infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang
disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan sepuluh persen infeksi pada sinus
paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab
rinosinusitis maksila dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila
yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di Departemen THTKL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%).

2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi


Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah :

a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih
sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi
mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999).
b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi
(Saragih, 2007).
c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus
(Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila (Ross, 1999).
e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007).
f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki, 2001).
g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009).
h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007).

2.4.4. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam
kompleks osteo-meatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan
viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai
antimikroba serta mengandungi zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara
pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo
dan Soetjipto,2007). Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium.
Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel
mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus
yang kurang baik pada sinus (Hilger, 1997).
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda
sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan
mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan
periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang
alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasI mukosa sinus. Disfungsi
silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila
(Drake, 1997). Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia,
dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.

2.4.5. Gejala Klinis


Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian
analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik
dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena
nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali
ada (Sobol,2011). Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat
berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu,

adanya kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari
sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001).

2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut
membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi
gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang terkena.
Rinoskopi posterior dapat melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001). Pemeriksaan penunjang lain adalah
transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap
(Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah
adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior
dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan
diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999).
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CT-scan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral
umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan,
batas udara-cairan (air-fluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold
standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya.
Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi
sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat
antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).
Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran
bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan
akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999). Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus

maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi
sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

2.4.7. Terapi
Prinsip terapi :
a. Atasi masalah gigi
b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi
c. Operatif
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa
serta membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin
generasi kedua (Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal,
pencucian rongga hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris atau koreksi gangguan gigi
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan
endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini; Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF
ialah membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell
Luc dapat juga dilakukan untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini dilakukan dengan mengadakan suatu rute
untuk mengkoneksi sinus maksila dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang, 2008).

2.4.8. Komplikasi
Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah
sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang
dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus
(Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena
tekanan pada nervus optikus (Hilger, 1997).
Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada
osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan Schow, 2008) . Infeksi otak yang paling berbahaya
karena penyebaran bakteri ke otak melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan meningitis, abses otak dan abses
ekstradural atau subdural (Hilger, 1997).
Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai
dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum
sinusitisnya disembuhkan (Ballenger, 2009).

2.4.9. Prognosis
Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika,
drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).

You might also like