Professional Documents
Culture Documents
Selenium pada konsentrasi yang rendah merupakan salah satu elemen yang
dibutuhkan pada berbagai spesies, termasuk manusia, akan tetapi selenium dapat
menjadi toksik pada konsentrasi yang tinggi (dengan perkiraan tiga hingga empat
kali kadar konsentrasinya dalam darah/serum hingga menjadi racun; [1-3]). Hal
ini merupakan kandungan gizi yang kritis bagi binatang, sedangkan untuk
kesehatan manusia kandungan yang dibutuhkan berkisar 40-100 g per hari, tetapi
selenium bisa saja menjadi racun bila kadarnya melampaui kandungan nilai
tersebut (tergantung pada usia; [1]). Peran esensial dari selenium berkaitan dengan
pengaktifan dari beberapa enzim (contoh: glutathione peroxidase, dehydrogenase,
iodothyronine-5-deiodinase), selenoprotein (contohnya selenoprotein P didalam
serum [4,5]), selinum memiliki efek katalisis pada reaksi intermediet metabolism
dan menginhibisi efek toksik pada logam berat seperti Ag, Hg, Cd oleh susunan
stabil dan senyawa yang kurang toksis [2,6]. Selain itu selenium merupakan salah
satu dari unsure pokok dari system detoksifikasi pada manusia dan hewan
(meliputi detoksifikasi senyawa organik yang dihasilkan selama proses infeksi,
trauma ataupun stress), dan mempengaruhi pengaturan system homeostasis (1).
Telah dilakukan pengamatan terhadap keracunan selenium akut pada percobaan
yang menggunakan sampel binatang (7). Laporan kasus mengenai keracunan
selenium akut pada manusia sangatlah jarang (5,8-10), hanya sekitar 20 kasus
yang pernah dilaporkan hingga 2008 (11).
Sebagai konsekuensinya, hal ini sangat penting untuk menentukan kadar
selenium di dalam jaringan dan cairan tubuh untuk menyelidiki efek selenium
bagi kesehatan manusia atau untuk mengevaluasi atau menilai keberadaan racun
dalam tubuh. Penentuan kadar selenium dalam sampel biologis dan environmental
memerlukan teknik analitik yang sensitif dan akurat. Perawatan juga harus
diperhatikan untuk menghindari terjadinya suatu kesalahan sistematik yang
mencakup berkurangnya
spectrometry
yang
menggunakan
hydride
generation
atau
menggunakan electrothermal atomization secara langsung (HG-AAS atau ETAAS [8,15-18]), teknik atomic fluorescence spectrometry dengan hydride
generation (HG-AFS; [19-24]), gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS
[10]), neutron activation analysis (NAA; [25]), dan metode lainnya (18). Metode
Digestion Procedures
Metode A metode wet digesion dikerjaan menggunakan sebuah Bethge
apparatus (LABART, Gdansk, Polandia); 1mL sample darah atau 1 g jaringan
homogenya, atau 0,5 g bahan liophilic terdaftar yang direkomendasikan dicampur
dengan mineral pada Bethge apparatus, menggunakan 9 mL konsentrat asam nitrit
dan 3 mL konsentrat asam perklorit yang kemudian dioksidasi dengan
menggunakan 2 x 1 mL 30% hydrogen peroksida. Volume akhir caiaran adalah 30
mL.
Metode B metode microwave digestion yang dilakukan pada system
MARS X (CEM Corp, Matthews, NC): 0,5 mL dari sampel darah atau 0,5 g
sampel jaringan yang homogenya atau bahan material yang telah ditetapkan dan
ditempatkan pada suatu bejana berbahan Teflon dan bertekanan tinggi, 7 mL
konsentrat HNO3 yang telah ditambahkan dan kemudian bejana tersebut ditutup
dan dimasukkan ke dalam oven microwave untuk proses digestasi. Susunan
proses mineralisasi dideskripsikan pada table 1. Setelah proses digestasi selesai,
bejana tersebut didinginkan pada suhu 25oC. Kemudian bejana tersebut dibuka
dan gas diatasnya dihilangkan dengan menggunakan aliran nitrogen. Untuk
menghindari pengaruh negative yang kuat dari nitrogen oxide pada hasil
penelitian (20,31), nitrogen oxide kemudian dihilangkan dari proses mineralisasi
sampel menggunkan gas inert (nitrogen) selama 10 menit. Kemudian sampel
5
Metode SF
Selenium (VI) pada cairan digesti, 1-10 mL (metode A) telah direduksi
menggunakan 10 mL 6 M asam hydrochloric pada pemanasan 100 oC selama (1
jam) terhadap selenium (IV) dan kemudian diukur dengan menggunakan metode
SF menggunakan prosedur yang dimodifikasi oleh Tamari, dkk (13) dan Petterson,
dkk (14). Kompleks selenium dengan 5 mL DAN (piazselenols) yang telah
diekstasi ke dalam cyclohexane (2 x 10 mL) pada pH 1,8 dalam 2 mL cairan
EDTA-NaF, kemudian dikocok selama 2 menit dan setelah 5 menit terpisah.
Batasan temuannya adalah 10 ng kadar selenium. Spektrometr fluorosence F-2000
dari (Hitachi Ltd, Tokyo, Japan), yang dilengkapi dengan lampu xenon 1,0-cm
(pathlength) bersisi empat, digunakan untuk mengukur. Eksitasi gelombang
panjang adalah 366 nm; emisinya (fluorescence) adalah 554 nm.
Metode ET-AAS
Setelah digestasi (metode A), sampel kemudian dipindahkan ke dalam 15
mL tabung volumetric dan didilusikan sampai tanda batas dengan menggunakan
air. Kemudian 10 L cairan aliqot dilusi palladium dimodifikasi dan dimasukkan
ke dalam pipa graphite dan kemudian diikuti oleh 20 L sampel digestasi. Ukuran
yang telah dimiliki oleh Pye Unicam 9100X atomic absorbsion spectrometer
(Phillips, Cambbridge, Great Britain), dengan latar deuterium sebagai koreksi.
Tanda-tanda yang diperoleh menggunakan suhu temperature 1100oC dan
temperature atomisasi 2400oC. Standar penambahan telah digunakan untuk proses
quantifikasi.
Metode HG-AFS
Sampel cairan setelah proses digestasi (metode B) kemudian dimasukkan
ke dalam system generator hydride flow dan kemudian menggabungkannya
dengan cairan yang berisi 2% (m/v) sodium tetrahydroborate dan 0,5% (m/v)
sodium hydroxide. Asam hydrochlorit pada konsentrasi 3 M berperan sebagai
carrier solution. Double-channel atomic fluorescence spectrometer AFS-230
(Beijing Haiguang Instrument Co., Beijing, China) merupakan suatu alat dengan
130-positional autosampler dan sebuah system flow hydride generator dengan
menggunakan metode aliran intermitten dan kemudian digunakan sebagai suatu
tanda analitik. Sumber cahaya berasal dari lampu katode (Se-HCL) dengan system
pengukur arus listrik bertegangan 100 mA. Argon digunakan sebagai pelindung
dan sebagai gas pembawa (carrier) dengan aliran 800 dan 500 mL/menit, berturutturut. Proses atomisasi terjadi pada ikatan antara Ar-H 2 yang dibakar dengan
menggunakan api bertemperatur 200oC. Metode konvensional yang digunakan
untuk proses kalibrasi.
tahun) seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil penelitian ditunjukkan pada
table 3.
Pada pemeriksaan yang dilakukan untuk membuktikan bahwa ketiga
metode dianggap mampu memberikan hasil yang baik dalam hal akurasinya
(dibandingkan dengan kadar Selenium di dalam material referensi). Alasan adanya
perbedaan kandungan selenium yang terdapat pada metode tersebut di dalam
jaringan kemungkinan terletak pada tingkat kesulitannya dalam membuat sampel
homogeny yang sempurna sebelum dimulainya proses digestasi (dalam sampel
darah tidak akan mengalami kesulitan tersebut, karena selenium berada dalam
konsentrasi yang sama. Hal ini juga terlihat lagi pada hasil yang diperoleh HGAFS, sebagai suatu aturan, lebih banyak dapat diulang daripada hasil yang
ditunjukkan oleh metode SF dan ET-AAS.
Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, hal ini dapat dinyatakan
bahwa metode HG-AFS adalah metode analisis yang sangat bermanfaat untuk
menentukan kadar selenium dalam material biologis. Pada kasus menggunakan
jaringan manusia yang diambil setelah keracunan selenium akut, metode ini dapat
dipertimbangkan sebagai metode yang sangat kompetitif dan melengkapi metode
analitik lainnya seperti SF, ET-AAS yang telah diterapkan secara rutin pada
wilayah ini yang bertujuan untuk pemeriksaan forensic. Selain itu, dapat
mendeteksi dalam batas kadar yang rendah, rentang yang relatif berarti tingkat
akurasi dan tingkat ketelitian yang sangat baik. HG-AFS dapat juga menentukan
kadar selenium yang akurat pada konsentrasi yang rendah; oleh karena itu metode
ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai macam masalah toksikologi dan
masalah klinik yang berhubungan dengan unsur ini.
10
Referensi
1. Barceloux DG. Selenium. Clin Toxicol 1999;37:14572.
Hcgberg J, Alexander J. Selenium. In: Nordberg GF, Fowler BA, Nordberg
2. M, Friberg LT, editors. Handbook of the toxicology of metals. Amsterdam, the
Netherlands: Elsevier, 2007;783807.
3. Bedwal R, Nair N, Sharma M, Mathur R. Seleniumits biological
perspectives. Med Hypotheses 1993;41:1509.
4. Hill KE, Xia Y, Akesson B, Boeglin ME, Burk RF. Selenoprotein
P.concentration in plasma is an index of selenium status in selenium-deficient
and selenium supplemented Chinese subjects. J Nutr 1995;126:13845.
5. Clark RF, Strukle E, Williams SR, Manoguerra AS. Selenium poisoning from
a nutritional supplement. JAMA 1996;275:10878.
6. Whanger PD. Selenium in the treatment of heavy metal poisoning and
chemical carcinogenesis. J Trace Elem Electrolytes Health Dis 1992;6:209
21.
7. Gasmi A, Garnier R, Galliot-Guilley M, Gaudillat C, Quarterenoud B, Buisine
A, et al. Acute selenium poisoning. Vet Human Toxicol 1997;39:3048.
8. Lindberg I, Lundberg E, Arkhammar P, Berggren PO. Direct determination of
selenium in solid biological materials by graphite furnace atomic absorption
spectrometry. J Anal At Spectrom 1988;3:497501.
9. Kcppel C, Baudisch H, Byer KH, Kloppel I, Schneider V. Fatal poisoning with
selenium dioxide. J Toxicol Clin Toxicol 1986;24:2135.
10. Matoba R, Kimura H, Uchima E, Abe T, Yamada T, Mitsukuni Y, et al. An
autopsy case of acute selenium (selenious acid) poisoning and selenium levels
in human tissues. Forensic Sci Int 1986;31:8792.
11. Lech T. Suicide by sodium tetraoxoselenate(VI) poisoning. Forensic Sci Int
2002;130:448.
12. Matek M, BlanuDa M. Comparison of two methods for destruction of
biological material for determination of selenium. Arh Hig Rada Toksikol
1998;49:3105.
13. Tamari Y, Ohmori S, Hiraki K. Fluorometry of nanogram amounts of selenium
in biological samples. Clin Chem 1986;32:12647.
14. Petterson J, Hansson L, _rnemark U, Olin _. Fluorimetry of selenium in body
fluids after digestion with nitric acid, magnesium nitrate hexahydrate, and
hydrochloric acid. Clin Chem 1988;39:190810.
15. Maspherson AK, Sampson B, Diplock AT. Comparison of methods for the
determination of selenium in biological fluids. Analyst. 1988;113:2813.
16. Knowles MK, Brodie KG. Determination of selenium in blood by Zeeman
graphite furnace atomic absorption spectrometry using a palladium-ascorbic
chemical modifier. J Anal At spectrom 1988;3:5116.
17. Matek M, BlanuDa M, Grgcic J. Comparison of two methods using
absorption spectrometry for determination of selenium in food. Arh Hig Rada
Toksikol 1999;50:2838.
18. Emteborg H, Bordin G, Rodriguez AR. Speciation of organic and inorganic
selenium in a biological certified reference material based on microbore ion-
11
12
13