You are on page 1of 13

Application of Three Spectrometric Methods to

Total Selenium Determination in Postmortem


Material in a Case of Acute Selenium
Compound Poisoning

Renata Wietecha-Posuszny,1 Ph.D.; Teresa Lech,2 Ph.D.; and Pawe Kos


cielniak,1,2 Ph.D.

ABSTRAK: Tiga metode spektrometrik, yaitu spektrofluorimetri (SF), atomic


absorption spectrometry wth electrothermal atomization (ET-AAS) dan atomic
fluorescence spectrometry with hydride generation (HG-AFS) yang digunakan
untuk menentukan kadar total selenium pada sampel biologis yang diambil dari
material postmortem pada kasus keracunan selenium akut. Rentang ketelitian dari
metode SF, ET-AAS dan HG-AFS (RSD, n=10) berkisar antara 10.0-15.0, 3,0-6.0
dan 1.0-1.5% berturut-turut, dan batas kadar selenium berturut-turutyang
ditemukan berkisar antara 10.0, 4.0 dan 0,1 g/L. Pada kasus HG-AFS, prosedur
analisis yang hanya membutuhkan sedikit waktu dan lebih mudah daripada
mempertimbangkan untuk menggunakan metode lainnya. Hasil yang diperoleh
menunjukan bahwa kegunaan metode HG-AFS sebagai bahan analisis tambahan
terhadap metode SF dan ET-AAS yang mempengaruhi penentuan kadar selenium
sama baiknya dengan kemungkinan penggunaan metode ini sebagai salah satu
bahan pokok yang dapat digunakan dalam praktik toksikologi forensik.
KEYWORDS: Ilmu forensik, keracunan yang menimbulkan kematian, material
postmortem, total selenium, spektofluorometri, elektrothermal atom, absorpsi
spectrometry atom, spektrometri fluorosense atom dengan hydride generation.

Selenium pada konsentrasi yang rendah merupakan salah satu elemen yang
dibutuhkan pada berbagai spesies, termasuk manusia, akan tetapi selenium dapat
menjadi toksik pada konsentrasi yang tinggi (dengan perkiraan tiga hingga empat
kali kadar konsentrasinya dalam darah/serum hingga menjadi racun; [1-3]). Hal
ini merupakan kandungan gizi yang kritis bagi binatang, sedangkan untuk

kesehatan manusia kandungan yang dibutuhkan berkisar 40-100 g per hari, tetapi
selenium bisa saja menjadi racun bila kadarnya melampaui kandungan nilai
tersebut (tergantung pada usia; [1]). Peran esensial dari selenium berkaitan dengan
pengaktifan dari beberapa enzim (contoh: glutathione peroxidase, dehydrogenase,
iodothyronine-5-deiodinase), selenoprotein (contohnya selenoprotein P didalam
serum [4,5]), selinum memiliki efek katalisis pada reaksi intermediet metabolism
dan menginhibisi efek toksik pada logam berat seperti Ag, Hg, Cd oleh susunan
stabil dan senyawa yang kurang toksis [2,6]. Selain itu selenium merupakan salah
satu dari unsure pokok dari system detoksifikasi pada manusia dan hewan
(meliputi detoksifikasi senyawa organik yang dihasilkan selama proses infeksi,
trauma ataupun stress), dan mempengaruhi pengaturan system homeostasis (1).
Telah dilakukan pengamatan terhadap keracunan selenium akut pada percobaan
yang menggunakan sampel binatang (7). Laporan kasus mengenai keracunan
selenium akut pada manusia sangatlah jarang (5,8-10), hanya sekitar 20 kasus
yang pernah dilaporkan hingga 2008 (11).
Sebagai konsekuensinya, hal ini sangat penting untuk menentukan kadar
selenium di dalam jaringan dan cairan tubuh untuk menyelidiki efek selenium
bagi kesehatan manusia atau untuk mengevaluasi atau menilai keberadaan racun
dalam tubuh. Penentuan kadar selenium dalam sampel biologis dan environmental
memerlukan teknik analitik yang sensitif dan akurat. Perawatan juga harus
diperhatikan untuk menghindari terjadinya suatu kesalahan sistematik yang
mencakup berkurangnya

senyawa selenium akibat penguapan pada setiap

langkah-langkah pada sampel hingga jumlah akhirnya. Penentuan kadar selenium


pada cairan tubuh dan jaringan ditentukan dengan menggunakan molecular
fluorescence spectrometry, yaitu spectrofluorimetry (SF; [13-15]), atomic
abosrption

spectrometry

yang

menggunakan

hydride

generation

atau

menggunakan electrothermal atomization secara langsung (HG-AAS atau ETAAS [8,15-18]), teknik atomic fluorescence spectrometry dengan hydride
generation (HG-AFS; [19-24]), gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS
[10]), neutron activation analysis (NAA; [25]), dan metode lainnya (18). Metode

modern berupa inductively coupeled plasmamass spectrometry (ICP-MS; [26-28])


merupakan teknik yang memiliki beberapa keuntungan lebih, meliputi dapat
mendeteksi dalam kadar yang rendah dan kecepatan analisisnya; bagaimanapun,
tidak semua teknik tersebit dapat diaplikasikan, Pada kenyataannnya penentuan
kadar selenium di dalam serum-sensitifitas ICP-MS secara konvensional sangatlah
rendah sebab hanya sekitar 30% ionisasinya yang dapat tercapai dengan
menggunakan plasma argon dan terdapat interferensi spektoskopik yang relative
tinggi yang disebabkan oleh susunan dari golongan poliatom argon (26). Selain
itu, metode NAA dan ICP-MS tidaklah mudah diperoleh pada kebanyakan
laboratorium (sedikititnya di Polandia) sebab biaya yang dibutuhkan amatlah
tinggi. Penentuan kadar selenium dalam cairan tubuh dengan menggunakan
metode induktif coupled plasmaoptical emission spectrometry (ICP-OES) degan
rentang antara 0.1-100 mg/L dibebankan dengan menggunakan bahan spektral
(kebanyakan berasal dari molekul CO) dan nonspektral (dari C, S, P dan Br)
matriks interfensi (29,30). ET-AAS adalah metode yang paling sering digunakan
untuk pemeriksaan terhadap adanya kandungan elemen selenium pada cairan
biologis dan bahan padat (8, 15, 16). Secara umum, teknik ini telah digunakan
secara rutin pada kasus-kasus keracunan akibat bahan-bahan logam yang
menyebabkan kematian, namun mengingat metode SF digunakan sebagai metode
pelengkap untuk pemeriksaan kadar selenium pada bahan material yang berbeda.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan tiga metode
spektrometri, yaitu SF; ET-AAS dan HG-AFS dalam menentukan kadar total
selenium menggunakan material biologis yang digunakan untuk pemeriksaan
forensik. Kedua metode SF dan ET-AAS secara rutin sering digunakan pada
institusi penelitian forensik di daerah Krakow pada kasus-kasus yang yang
berkaitan dengan keracunan logam yang menyebabkan kematian dan kemudian
hasil yang diperoleh dapat disampaikan di pengadilan. Prosedur HG-AFS telah
dikembangkan pada Laboratorium Kimia Forensik di Universitas Jagiellonian
untuk menentukan kadar total selenium pada darah dan rambut manusia (19,20).

Pada penelitian ini, seluruh metode diaplikasikan untuk pemeriksaan material


postmortem yang dikumpulkan pada kasus-kasus keracunan akut.

Bahan material dan Metode


Bahan Reagent dan Sampel
Standar ukuran sediaan cairan berisi 1000mg/L Se yang mana bahan yang
disediakan berasal dari Titrisol standard (Merck, Darmstadt, Germany). Untuk
proses digestasi: konsentrasi HNO3, H2SO4 dan HClO4 (Merck); 0,5% (m/v)
NaBH4; 2,3-diaaminophthalene (DAN; [Sigma-Aldrich, St.Lois, MO]) solusio
(bahan cairan) (100mL 0,1 M HCl + 500 mg NH 2OH.hcl +100 mg DAN) yang
disiapkan pada ruangan semigelap atau dalam ruangan yang hanya menggunakan
lampu dengan cahaya kuning, setiap perangkat yang digunakan baru, dibersihkan
dengan menggunakan ekstrasi ganda dengan menggunakan 10 mL cyclohexane,
Na-EDTA, NaF (POCh) berbentuk cairan (74.5 g Na-EDTA dan 6,7 NaF/L);
modifikasi palladium (Merck; 10 g Pd(NO3)2/l PADA 15% HNO3), dan didilusi 10
kali sebelum dilakukan penelitian.
Kontrol yang digunakan adalah (Liver sapi SRM 1577b; Institusi Standard
an Teknologi Nasional, Gaithersburg, MD) telah diuji coba.

Study Kasus dan Pemeriksaan Postmortem


Seorang mahasiswi biologi berusia 22 tahun, yang sedang melakukan
penelitian thesis untuk gelar Masternya, menegak 20 mL sodium tetraoxoselenate
(VI) dengan maksud bunuh diri. Setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit
(dengan gejala muntah, diare berat, dan nyeri abdominal), ia mengalami gagal
jantung dan aroma kuat tercium dari dalam tubuhnya. Pada pemeriksaan
postmortem tampak edem cerebral, fibromatosis focal pada jantung, dan kongestif
massif dengan focal hemoragik pada paru. Pada lambung, ditemukan fokal

superficial nekrosis di daerah mukosa lambung dan infiltrasi granulosit pada


submukosa.
Material autopsy (menggunakan bagian organ internal, seperti: lambung,
liver, ginjal, paru dan sampel darah) secara subjektif untuk dilakukan pemeriksaan
toksikologi kimia terhadap kadar selenium menggunakan tiga metode yang
disebutkan diatas. Dua metode wet digestion yang akan diuraikan dibawah
digunakan untuk proses pengawetan untuk mencegah terjadinya pembusukan pada
semua sample.

Digestion Procedures
Metode A metode wet digesion dikerjaan menggunakan sebuah Bethge
apparatus (LABART, Gdansk, Polandia); 1mL sample darah atau 1 g jaringan
homogenya, atau 0,5 g bahan liophilic terdaftar yang direkomendasikan dicampur
dengan mineral pada Bethge apparatus, menggunakan 9 mL konsentrat asam nitrit
dan 3 mL konsentrat asam perklorit yang kemudian dioksidasi dengan
menggunakan 2 x 1 mL 30% hydrogen peroksida. Volume akhir caiaran adalah 30
mL.
Metode B metode microwave digestion yang dilakukan pada system
MARS X (CEM Corp, Matthews, NC): 0,5 mL dari sampel darah atau 0,5 g
sampel jaringan yang homogenya atau bahan material yang telah ditetapkan dan
ditempatkan pada suatu bejana berbahan Teflon dan bertekanan tinggi, 7 mL
konsentrat HNO3 yang telah ditambahkan dan kemudian bejana tersebut ditutup
dan dimasukkan ke dalam oven microwave untuk proses digestasi. Susunan
proses mineralisasi dideskripsikan pada table 1. Setelah proses digestasi selesai,
bejana tersebut didinginkan pada suhu 25oC. Kemudian bejana tersebut dibuka
dan gas diatasnya dihilangkan dengan menggunakan aliran nitrogen. Untuk
menghindari pengaruh negative yang kuat dari nitrogen oxide pada hasil
penelitian (20,31), nitrogen oxide kemudian dihilangkan dari proses mineralisasi
sampel menggunkan gas inert (nitrogen) selama 10 menit. Kemudian sampel
5

dipindahkan ke dalam 25 mL tabung volumetric, dan 12,5 mL 6 M asam


hydrochloric (sebagai reagen pre-reduksi) kemudian ditambahkan dan cairan
didilusikan menggunakan air sampai tanda batas.

Metode SF
Selenium (VI) pada cairan digesti, 1-10 mL (metode A) telah direduksi
menggunakan 10 mL 6 M asam hydrochloric pada pemanasan 100 oC selama (1
jam) terhadap selenium (IV) dan kemudian diukur dengan menggunakan metode
SF menggunakan prosedur yang dimodifikasi oleh Tamari, dkk (13) dan Petterson,
dkk (14). Kompleks selenium dengan 5 mL DAN (piazselenols) yang telah
diekstasi ke dalam cyclohexane (2 x 10 mL) pada pH 1,8 dalam 2 mL cairan
EDTA-NaF, kemudian dikocok selama 2 menit dan setelah 5 menit terpisah.
Batasan temuannya adalah 10 ng kadar selenium. Spektrometr fluorosence F-2000
dari (Hitachi Ltd, Tokyo, Japan), yang dilengkapi dengan lampu xenon 1,0-cm
(pathlength) bersisi empat, digunakan untuk mengukur. Eksitasi gelombang
panjang adalah 366 nm; emisinya (fluorescence) adalah 554 nm.

Metode ET-AAS
Setelah digestasi (metode A), sampel kemudian dipindahkan ke dalam 15
mL tabung volumetric dan didilusikan sampai tanda batas dengan menggunakan
air. Kemudian 10 L cairan aliqot dilusi palladium dimodifikasi dan dimasukkan
ke dalam pipa graphite dan kemudian diikuti oleh 20 L sampel digestasi. Ukuran
yang telah dimiliki oleh Pye Unicam 9100X atomic absorbsion spectrometer
(Phillips, Cambbridge, Great Britain), dengan latar deuterium sebagai koreksi.
Tanda-tanda yang diperoleh menggunakan suhu temperature 1100oC dan
temperature atomisasi 2400oC. Standar penambahan telah digunakan untuk proses
quantifikasi.

Metode HG-AFS
Sampel cairan setelah proses digestasi (metode B) kemudian dimasukkan
ke dalam system generator hydride flow dan kemudian menggabungkannya
dengan cairan yang berisi 2% (m/v) sodium tetrahydroborate dan 0,5% (m/v)
sodium hydroxide. Asam hydrochlorit pada konsentrasi 3 M berperan sebagai
carrier solution. Double-channel atomic fluorescence spectrometer AFS-230
(Beijing Haiguang Instrument Co., Beijing, China) merupakan suatu alat dengan
130-positional autosampler dan sebuah system flow hydride generator dengan
menggunakan metode aliran intermitten dan kemudian digunakan sebagai suatu
tanda analitik. Sumber cahaya berasal dari lampu katode (Se-HCL) dengan system
pengukur arus listrik bertegangan 100 mA. Argon digunakan sebagai pelindung
dan sebagai gas pembawa (carrier) dengan aliran 800 dan 500 mL/menit, berturutturut. Proses atomisasi terjadi pada ikatan antara Ar-H 2 yang dibakar dengan
menggunakan api bertemperatur 200oC. Metode konvensional yang digunakan
untuk proses kalibrasi.

Hasil dan Pembahasan


Penentuan kadar selenium ini menggunakan tiga metode yang telah
divalidasi dengan menggunakan kedua standard dan sampel yang sesungguhnya.
Hal yang paling penting dalam mendefinisikan parameter penelitian terdapat pada
table 2. Metode SF sangat degemari dalam aktivitas rutin-selektif terhadap
selenium dan berpeluang untuk menentukan kadar elemen ini dalam rentang
konsentrasi yang luas. Bagaimanapun, metode ini memerlukan waktu yang lebih
lama dan ketelitian dalam pemeriksaan yang buruk. Seperti yang dapat kita lihat,
kondisi yang lebih baik dapat diberikan oleh metode ET-AAS dalam menentukan
kadar selenium, dengan sensitifitas yang baik dan cukup teliti. Masalahnya ada
pada efek matrix yang terjadi pada metode ini sebagai suatu spektral (yang
disebabkan oleh efek fosfor atau besi) dan gangguan volatilisasi (selenium dapat
menghilang pada temperature yang rendah). Untuk alasan ini, penambahan
standar metode harus diterapkan untuk menentukan kuantitasi dengan
menggunakan modifikasi yang berbeda, yang mana menyebabkan teknik ini lebih
banyak memakan waktu dan lebih mahal. HG-AFS ternyata merupakan metode
pilihan, metode ini memberikan hasil sensitifitas terbaik dan memiliki ketelitian
sama baiknya dengan rentang liniearitas secukupnya. Gangguan yang terjadi yang
disebabkan oleh adanya nitrogen oxide, dapat dengan mudah dihindari pada tahap
digestasi; oleh karena itu sangat mungkin untuk melakukan kalibrasi
menggunakan perlengkapan standar. Pada penambahannya, seperti pada proses
digestasi microwave hal ini sangatlah simple dan cepat, prosedur analitik yang
lengkap dan memerlukan waktu yang pendek. Keuntungan lainnya dari HG-AFS
adalah mendeteksi pada batasan kadar yang rendah (berkaitan dengan latar
belakang gangguan yang rendah), meskipun antara SF dan ET-AAS, batasan
pendeteksiannya ditemukan cukup rendah untuk menetapkan kadar selenium
dalam pemeriksaan sampel biologis.
Selenium ditentukan dalam referensi matrial 1577b dari liver sapi
(National Institute of Standards and Technology) dan pada material postmortem
yang diambil pada autopsy pada kasus keracunan pada seorang wanita muda (22

tahun) seperti yang telah disebutkan di atas. Hasil penelitian ditunjukkan pada
table 3.
Pada pemeriksaan yang dilakukan untuk membuktikan bahwa ketiga
metode dianggap mampu memberikan hasil yang baik dalam hal akurasinya
(dibandingkan dengan kadar Selenium di dalam material referensi). Alasan adanya
perbedaan kandungan selenium yang terdapat pada metode tersebut di dalam
jaringan kemungkinan terletak pada tingkat kesulitannya dalam membuat sampel
homogeny yang sempurna sebelum dimulainya proses digestasi (dalam sampel
darah tidak akan mengalami kesulitan tersebut, karena selenium berada dalam
konsentrasi yang sama. Hal ini juga terlihat lagi pada hasil yang diperoleh HGAFS, sebagai suatu aturan, lebih banyak dapat diulang daripada hasil yang
ditunjukkan oleh metode SF dan ET-AAS.

Kandungan selenium ditemukan dalam lambung kadarnya 30 kali lebih


tinggi daripada kadar fisiologis normal (31). Di bagian organ yang lain, kadarnya
melampaui kadar fisiologis normal hingga 20-30 kali dengan nilai relative yang
terendah terdapat di jaringan paru. Konsentrasi selenium dalam darah sekitar 10
kali lebih tinggi daripada tingkat konsentrasi selenium normal dalam darah pada
orang sehat (10,32-35).
9

Kesimpulan
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan, hal ini dapat dinyatakan
bahwa metode HG-AFS adalah metode analisis yang sangat bermanfaat untuk
menentukan kadar selenium dalam material biologis. Pada kasus menggunakan
jaringan manusia yang diambil setelah keracunan selenium akut, metode ini dapat
dipertimbangkan sebagai metode yang sangat kompetitif dan melengkapi metode
analitik lainnya seperti SF, ET-AAS yang telah diterapkan secara rutin pada
wilayah ini yang bertujuan untuk pemeriksaan forensic. Selain itu, dapat
mendeteksi dalam batas kadar yang rendah, rentang yang relatif berarti tingkat
akurasi dan tingkat ketelitian yang sangat baik. HG-AFS dapat juga menentukan
kadar selenium yang akurat pada konsentrasi yang rendah; oleh karena itu metode
ini dapat digunakan untuk mengatasi berbagai macam masalah toksikologi dan
masalah klinik yang berhubungan dengan unsur ini.

10

Referensi
1. Barceloux DG. Selenium. Clin Toxicol 1999;37:14572.
Hcgberg J, Alexander J. Selenium. In: Nordberg GF, Fowler BA, Nordberg
2. M, Friberg LT, editors. Handbook of the toxicology of metals. Amsterdam, the
Netherlands: Elsevier, 2007;783807.
3. Bedwal R, Nair N, Sharma M, Mathur R. Seleniumits biological
perspectives. Med Hypotheses 1993;41:1509.
4. Hill KE, Xia Y, Akesson B, Boeglin ME, Burk RF. Selenoprotein
P.concentration in plasma is an index of selenium status in selenium-deficient
and selenium supplemented Chinese subjects. J Nutr 1995;126:13845.
5. Clark RF, Strukle E, Williams SR, Manoguerra AS. Selenium poisoning from
a nutritional supplement. JAMA 1996;275:10878.
6. Whanger PD. Selenium in the treatment of heavy metal poisoning and
chemical carcinogenesis. J Trace Elem Electrolytes Health Dis 1992;6:209
21.
7. Gasmi A, Garnier R, Galliot-Guilley M, Gaudillat C, Quarterenoud B, Buisine
A, et al. Acute selenium poisoning. Vet Human Toxicol 1997;39:3048.
8. Lindberg I, Lundberg E, Arkhammar P, Berggren PO. Direct determination of
selenium in solid biological materials by graphite furnace atomic absorption
spectrometry. J Anal At Spectrom 1988;3:497501.
9. Kcppel C, Baudisch H, Byer KH, Kloppel I, Schneider V. Fatal poisoning with
selenium dioxide. J Toxicol Clin Toxicol 1986;24:2135.
10. Matoba R, Kimura H, Uchima E, Abe T, Yamada T, Mitsukuni Y, et al. An
autopsy case of acute selenium (selenious acid) poisoning and selenium levels
in human tissues. Forensic Sci Int 1986;31:8792.
11. Lech T. Suicide by sodium tetraoxoselenate(VI) poisoning. Forensic Sci Int
2002;130:448.
12. Matek M, BlanuDa M. Comparison of two methods for destruction of
biological material for determination of selenium. Arh Hig Rada Toksikol
1998;49:3105.
13. Tamari Y, Ohmori S, Hiraki K. Fluorometry of nanogram amounts of selenium
in biological samples. Clin Chem 1986;32:12647.
14. Petterson J, Hansson L, _rnemark U, Olin _. Fluorimetry of selenium in body
fluids after digestion with nitric acid, magnesium nitrate hexahydrate, and
hydrochloric acid. Clin Chem 1988;39:190810.
15. Maspherson AK, Sampson B, Diplock AT. Comparison of methods for the
determination of selenium in biological fluids. Analyst. 1988;113:2813.
16. Knowles MK, Brodie KG. Determination of selenium in blood by Zeeman
graphite furnace atomic absorption spectrometry using a palladium-ascorbic
chemical modifier. J Anal At spectrom 1988;3:5116.
17. Matek M, BlanuDa M, Grgcic J. Comparison of two methods using
absorption spectrometry for determination of selenium in food. Arh Hig Rada
Toksikol 1999;50:2838.
18. Emteborg H, Bordin G, Rodriguez AR. Speciation of organic and inorganic
selenium in a biological certified reference material based on microbore ion-

11

exchange chromatography coupled to inductively coupled plasma atomic


emission spectrometry via a direct injection nebulizer or coupled to
electrothermal atomic absorption spectrometry. Analyst 1998;123:24553.
19. Wietecha R, Koscielniak P, Lech T, Rymanowski M. Determination of
selenium in human blood using atomic fluorescence spectrometry. Probl
Forensic Sci 2002;52:2136.
20. Wietecha R, Koscielniak P, Lech T, Kielar T. Simple method for simultaneous
determination of selenium and arsenic in human hair by means of atomic
fluorescence spectrometry with hydride generation technique. Microchim Acta
2005;149:13744.
21. Wietecha-Posuszny R, Dobrowolska J, Koscielniak P. Method for
determination of selenium and arsenic in human urine by atomic fluorescence
spectrometry. Anal Lett 2006;39:278796.
22. Cai Y. Speciation and analysis of mercury, arsenic, and selenium by atomic
fluorescence spectrometry. Trends Anal Chem 2000;19:626.
23. Rahman L, Corn WT, Bryce DW, Stockwell PB. Determination of mercury,
selenium, bismuth, arsenic and antimony in human hair by microwave
digestion atomic fluorescence spectrometry. Talanta 2000;52: 83343.
24. G_miz-Gracia L, Luque de Castro MD. Determination of selenium in
nutritional supplements and shampoos by flow injection-hydride generationatomic fluorescence spectrometry. Talanta 1999;50:87580.
25. Ingrao G, Belloni P, Di Pietro S, Santaroni GP. Levels of some trace elements
in selected autopsy organs, and in hair and blood samples from adult subjects
of the Italian population. Biol Trace Elem Res 1990;26:699708.
26. Turner J, Hill SJ, Evans EH, Fairman B. The use of ETV-ICP-MS for the
determination of selenium in serum. J Anal At Spectrom 1999;14:1216.
27. Lobinski R, Edmonds JS, Suzuki KT, Uden PC. Species-selective
determination of selenium compounds in biological materials. Pure Appl
Chem 2000;72:44761.
28. Tinggi U, Gianduzzo T, Francis R, Nicol D, Shahin M, Scheelings
P.Determination of selenium in red blood cells by inductively coupled plasma
mass spectrometry (ICP-MS) after microwave digestion. J Radioanal Nucl
Chem 2004;259:46972.
29. Mach_t J, Otruba V, Kanicky V. Matrix interferences in determination of
selenium by inductively coupled plasmaatomic emission spectrometry.
Proceedings of the 2002 Winter Conference on Plasma Spectrochemistry;
2002 Jan 612; Scottsdale, AZ. Hadley, MA: ICP Information Newsletter,
Inc., 2002;2245.
30. Recknagel S, Br_tter P, Tomiak A, Rcsick U. Determination of selenium in
blood serum by ICP-OES including an on-line wet digestion and Sehydride
formation procedure. Fresenius J Anal Chem 1993;346:8336.
31. Wietecha-Posuszny R, Dobrowolska-Iwanek J, Koscielniak P, Zagrodzki P.
Determination of selenium as a biomarker of thyroid cancer by HG-AFS
method. Acta Chim Slov 2009;56:4416.
32. Oster O, Schmiedel G, Prellwitz W. The organ distribution of selenium in
German adults. Biol Trace Elem Res 1988;15:2344.

12

33. Yoshinaga J, Matsuo N, Imai H, Nakazawa M. Interrelationship between the


concentrations of some elements in the organs of Japanese with special
reference to selenium-heavy metal relationships. Sci Total Environ
1990;91:12740.
34. Kraus T, Quidenus G, Schaller KH. Normal values for arsenic and selenium
concentrations in human lung tissue. Arch Environ Contam Toxicol
2000;38:3849.
35. Kinova L, Penev I. Selenium in organs and hair. Trace Elem Med 1990;7:155
6.
36. Miller JN, Miller JC. Statistics and chemometrics for analytical chemistry, 5th
edn. Harlow, UK: Pearson, Prentice-Hall, 2005.

13

You might also like