Professional Documents
Culture Documents
Hanging
Disusun oleh:
Ramos
100100125
Citra Mega Kharisma
100100003
Supervisor:
dr. H. Mistar Ritonga, SpF
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
DEPARTEMEN KEDOKTERAN FORENSIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya yang memberikan kesehatan dan kelapangan waktu bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dr. Aryani A. Amra, Sp. M,
selaku supervisor, dan dr. Muhammad Faisal yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian makalah ini.
Judul makalah ini ialah mengenai Sumbatan Duktus Lakrimalis Pada Anak. Adapun
tujuan penulisan makalah ini ialah untuk memberikan informasi mengenai berbagai hal yang
berhubungan dengan Sumbatan Duktus Lakrimalis Pada Anak . Dengan demikian diharapkan
dapat memberikan kontribusi positif dalam sistem pelayanan kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
penulis dengan senang hati akan menerima segala bentuk kritikan yang bersifat membangun
dan saran-saran yang akhirnya dapat memberikan manfaat bagi makalah ini. Akhir kata,
penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1.......................................................................................................Latar Belakang
...................................................................................................... 1
1.2.......................................................................................................Tujuan
Penulisan ..................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1. Anatomi dan Fisiologi.................................................................. 3
2.1.1 Anatomi Kelenjar Air Mata ................................................ 2
2.1.2 Air Mata............................................................................... 5
2.1.3. Fungsi Air Mata ................................................................ 7
2.1.4. Sistem Sekresi Air Mata .................................................... 7
2.1.5. Sistem Ekskresi Air Mata .................................................. 8
2.2. Obstruksi Duktus Lakrimalis........................................................ 8
2.2.1 Defenisi ............................................................................. 8
2.2.2 Insidensi.............................................................................. 9
2.2.3.Gejala Klinis...................................................................... 9
2.2.4. Etiologi.............................................................................. 9
2.3. Diagnosis Obstruksi Duktus Lakrimalis...................................... 13
2.3.1 Diagnosis Obstruksi Saluran Lakrimal Kongenital........... 13
2.3.2. Diagnosis Obstruksi Saluran yang Didapat....................... 14
2.3.3. Tes Dianostik Obstruksi Duktus Lakrimalis...................... 15
2.4. Penatalaksanaan Obstruksi Duktus Lakrimalis............................ 18
BAB 3 KESIMPULAN ................................................................................. 23
3.1. Kesimpulan ................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 22
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Asfiksia
2.1.1. Defenisi
Asfiksia berasal dari bahasa Yunani asphyxia yang berarti ketiadaan detak jantung,
dan bagaimana kata ini dapat menjadi berarti keadaan yang diakibatkan kekurangan oksigen
masih belum jelas. Sekarang asfiksia secara umum digunakan untuk menggambarkan kondisi
kekurangan oksigen baik parsial (hipoksia) atau total (anoksia)(simpson).
Defenisi lain mengatakan asfiksia adalah kegagalan masuknya udara ke dalam alveoli
paru atau sebab sebab lain yang mengakibatkan persediaan oksigen dalam jaringan atau darah
atau keduanya berkurang sampai suatu tingkat teretenti dimana kehidupan tidak mungkin
berlanjut(prof).
2.1.2. Klasifikasi
Berdasarkan fisiologinya asfiksia dapat dibagi menjadi(Prof):
1. Anoksia anoksik, pada tipe ini oksigen tidak dapat masuk ke dalam paru- paru karena:
-
Tidak ada atau tidak cukup O2, bernafas dalam ruangan tertutup, kepala
ditutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas
dalam selokan tertutup atau di pegunungan yang tinggi ini dikenal sebagai
asfiksia murni atau sufokasi
Keadaan anoksia yang disebabkan karena tidak lancarnya sirkulasi darah yang
membawa oksigen. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi tetapi sirkulasi
darah tidak lancar, seperti gagal jantung, syok. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas
macet.
4. Anoksia jaringan
Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak
dapat menggunakan oksigen secara efektif
Keadaan ini dapat dibedakan atas:
-
Ekstra seluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan sianida
terjadi kerusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan
kematian segera. Pada keracunan barbiturat dan hipnotik lainnya enzim sitokrom
dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan.
Intraseluler
Disini oksigen tidak dapat memasuki sel- sel tubuh karena penurunan
permeabilitas membrane sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut
dalam lemak seperti kloroform, eter dan sebagainya.
Metabolik
Dalam keadaan ini hasil akhir (end product), dari pernafasan seluler tidak dapat di
eliminer, sehingga metabolisme berikutnya tidak dapat berlangsung; misalnya
pada keadaan uremia.
Substrat
Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien,
misalnya pada keadaan yang hipoglikemi.
2.1.3. Patofisiologi
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua
golongan(prof):
1
Fase dispnoe
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan
merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga amplitude dan frekuensi
pernafasan akan meningkat. Nadi cepat, tekanan darah meninggi dan mulai tampak
tanda - tanda sianosis terutama pada muka dan tangan.
Fase konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat sehingga terjadi konvulsi ( kejang ), yang mula - mula berupa kejang klonik
tetap kemudian menjadi kejang tonik, dan akhirnya timbul episode opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini
berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akibat kekurangan O2.
Fase apnoe
Depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat, pernafasan melemah dan dapat
berhenti. Kesadaran menurun dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran
cairan sperma, urin dan tinja.
peccah. Selain di permukaan organ sering didapati konjungtiva palperbra dan kojuntiva bulbi
dan di kulit wajah. Organ organ mengalami pembendungan, sering didapati jantung kanan
masih terisi darah dan jantung kiri kosong. Tanda tanda lain didapati sesuai dengan penyebab
asfiksia, seperti di paru paru pada tenggelam, leher pada penjeratan, pencekikkan dan mati
gantung, luka di mulut dan hidung pada pembekapan dan cidera dada pada traumatik
asfiksia(prof).
Pada mati gantung proses hambatan terjadi serentak pada pembuluh darah arteri dan
vena maka wajah korban tampak pucat(prof).
Terdapat gambaran klasik asfiksia yang ditemukan apabila jalan penapasan
terobstruksi oleh tekanan dari luar ke leher atau dada dan terdapat kesulitan bernapas.
Gambaran tersebut adalah(simpson):
1. Kongesti wajah
2. Edema wajah
3. Sianosis kulit dan wajah
4. Peteki pada kulit wajah dan mata
Kongesti adalah gambaran kemerahan pada kult wajah dan kepala yang terjadi akibat
terhambatnya sistem vena ketika terjadi tekanan pada leher atau obstruksi lain yang
mencegah aliran balik vena ke jantung.
Edema adalah pembengkakan jaringan akibat transudasi cairan dari vena yang
disebabkan karena meningkatnya tekanan vena sebagai hasil dari obstruksi aliran balik vena
ke jantung.
Sianosis adalah kebiruan pada kulit sebagai gambaran dari darah yang terdeoksigenasi
pada sistem vena yang terhambat.
Peteki adalah perdarahan kecil berupa bintik-bintik kemerahan yang sering dijumpai
pada kulit kepala dan wajah. Hal ini juga dapat dijumpai pada konjungtiva dan mata. Hal ini
terjadi akibat bocornya darah dari vena-vena kecil sebagai akibat meningkatnya tekanan pada
sistem vena.
2.2. Hanging
2.2.1. Defenisi
Hanging adalah penekanan pada daerah leher oleh alat pengikat yag diletakkan
mengelilingi leher yang akan melilit leher dengan bantuan seluruh atau sebagian berat badan
tubuh (fp).
Dalam literatur lain menyebutkan hanging adalah kematian akibat tergantungnya
tubuh pada alat pengikat yang terikat pada sekeliling leher dengan tenaga yang berasal dari
seluruh atau sebagian berat badan tubuh(ctfm).
2.2.2. Pembagian hanging
Hanging dapat dibagi berdasarkan :
Asfiksia
Terjadi
karena
alat
penjerat
menghalangi
jalan
pernafasan
yang
Iskemik serebral
Tekanan pada leher dapat menyebabkan pembuluh darah arteri tertutup,
sehingga menyebabkan otak tidak mendapatkan suplai oksigen dan zat makanan yang
dibutuhkan.
Jarak tinggi lilitan terkadang tidak terlalu tinggi. Banyak dilaporkan kasus
dimana korban bunuh diri dengan posisi duduk, berlutut, dan terlentang. Beberapa
penelitian telah menyebutkan bahwa tekanan 3-5 kg dapat menghambat vena jugularis
dan arteri karotid, tekanan 16-30 kg dibutuhkan untuk menyumbat arteri vertebra, dan
tekanan 15 kg juga dapat mengobstruksi trakea(ctfm).
Kematian mendadak ditemukan pada hukuman gantung sementara pada
gantung diri biasa 3-5 menit dibutuhkan agar respirasi dapat berhenti walaupun
jantung masih dapat berdetak 10-15 menit kemudian, jika saluran udara tidak
terobstruksi total, kematian dapat terjadi dalam 10-15 menit(ctfm).
2.2.4 Tanda post mortem
Tanda post mortem sangat berhubngan dengan penyebab kematian atau tekanan di
leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan maka dijumpai
tanda tanda asfiksia, respiratory distress, sianosis, dan fase akhir komvulsi lebih menonjol.
Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena maka dijumpai tanda pembendungan dan
perdarahan di konjungtiva bulbi, okuli, dan di otak bahkan sampai kekulit muka. Bila tekanan
lebih besar sehingga dapat menutup arteri maka tanda tanda kekurangan darah di otak lebih
menonojol yang mnyebabkan gangguan pada centra respirasi dan berakibat gagal nafas.
Tekanan pada sinus karotis menyebabkan jantung tiba tiba berhenti dengan tanda tanda post
mortem yang minimal. Tanda tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan
diapati tanda tanda gabungan.
2.2.5. Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher yaitu :
1. Bekas jeratan berparit, bentuk oblik seperti v terbalik, tidak bersambung, terletak di
bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas perkamen, kadang
kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung,
dibagian atas jeratan warna kulit lebih gelap karena adanya lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri bekas jeratan. Simpul terletak
di bagian yang tidak ada bekas jeratan, kadang kadang didapati juga bekas tekanan
simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat) maka bekas
jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar seperti selendang, maka
bekas jeratan tidak begitu jelas. bekas jeratan juga dipengaruhi oleh lamanya korban
tergantung, berat badan korban, dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain dapat didapati
leher dibeliti beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam
keadaan ini didapati beberapa berkas jeratan yang lengkap tetapi pada satu bagian
tetap ada bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan
tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bengkak, bintik perdarahan tardieu
spot tidak begitu jelas pada konjungtva bulbi dan palpebra, lidah terjulur kadang
tergigit, tetesan saliva di pinggir salah satu sudut mulut, sianosis, kadang kadang ada
tetesan urine, feses, dan sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan lebam mayat didapati di kaki dan tangan
bagian bawah. Bila segera diturunkan lebam mayat bisa diapati di bagian depan atau
belakang tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan kadang penis tampak
ereksi akibat terkumpulnya darah.
2.2.6. Pemeriksaan dalam
Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan :
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, berwarna putih, kering, dan
berkilau. Saluran pernafasan kongesti, demikian juga paru paru dan organ dalam
lainnya. Terdapat tardieu spot di permukaan paru paru, jantung, dan otak. Darah
berwarna gelap dan encer.
2. Patah tulang lidah (os. hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain
jarang.
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah pada tunika intima
dari arteri karotis interna.
2.2.7. Perbedaan Penggantungan Ante-Mortem dan Post-Mortem
Perbedaan antara penggantungan ante-mortem dan post-mortem dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
Perbedaan
1. Motive
Ante-Mortem
Bunuh diri. Dibunuh pada
Post-Mortem
Disamarkan agar tampak
2. Tanda Penjeratan
terlalu tinggi
4. Tanda Cedera
jeratan tinggi
Air liur ditemukan menetes
Tidak tampak air liur
dari sudut mulut, dengan arah menetes
yang vertikal menuju dada.
Hal ini merupakan pertanda
pasti penggantungan antemortem
Tidak terlihat tanda cedera
5. Tanda Asfiksia
perlawanan
Tidak terlihat tanda tanda
asfiksia
bibir, telinga.
Wajah membengkak dan
mata mengalami kongesti.
Terlihat pada pemeriksaan
6. Bukti di Tempat Kejadian
dalam
Ruangan tertutup. Tidak ada
Tubuh
8. Bekas Tali Penjerat
Tidak terlihat
9. Penis
korban
Ereksi penis disertai dengan
ada
sama sekali
10. Lidah
pencekikan
MATI GANTUNG
PENJERATAN
Motif
Tanda asfiksia
Tanda jeratan di leher
Letak jeratan
Bekas tali
Bunuh diri
Kurang jelas
Miring tidak kontiniu
Antara dagu dan laring
Keras, kering, coklat tua
Pembunuhan
Jelas
Horizontal dan kontiniu
Dibawah tiroid
Lunak dan kemerahan
Umumnya ada
Sering ada
Sering
Jarang
Jarang
Ada bersama buih dari mulut
pernafasan
Air ludah
dan hidung
Tidak ada
Tardieus spot
Muka
sudut mulut
Jarang
Pucat
Sering
Sianosis dan kongestif