Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Irvan Rahmat Amanu
0961050031
PEMBIMBING
dr. Hannoch, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah:
konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria WHO
anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada pria dan di bawah 12 g% pada
wanita. Gejala utama adalah sesak napas saat beraktivitas, sesak pada saat istirahat, fatigue,
gejala dan tanda keadaan hiperdinamik (denyut nadi kuat, jantung berdebar, dan roaring in
the ears). Pada anemia yang lebih berat, dapat timbul letargi, konfusi, dan komplikasi yang
mengancam jiwa (gagal jantung, angina, aritmia dan/atau infark miokard). Penyebab anemia
harus ditegakkan sebelum pengobatan diberikan. Hal ini dilakukan dengan penilaian klinis
dan pemeriksaan penunjang khusus secara cepat. (1) , (2)
Pemeriksaan penunjang khusus pada anemia dapat berupa Complete blood count
(CBC), parameter MCV, RDW, hitung retikulosit, morfologi apus darah tepi, Hitung TIBC,
transferin, feritin,uji hati, uji hepcidin, pemeriksaan sumsum tulang dan banyak pemeriksaan
lain yang digunakan sebagai petunjuk diagnosis penyebab anemia. (1)
Namun tidak semua pemeriksaan penunjang itu langsung kita lakukan sekaligus pada
satu pasien, selain tidak efisien, memakan waktu, juga akan menambah biaya yang akan
memberatkan pasien nantinya. Untuk itulah diperlukan penilaian klinis. Penilaian klinis untuk
mencari penyebab anemia dilakukan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dan dari
penilaian klinis tersebutlah akan didapatkan apa kira-kira penyakit yang mendasari anemia
pada pasien yang kita hadapi (lebih tepat jika dikatakan akan muncul beberapa diagnosis
banding yang mendasari anemia) dan dari situlah akan diputuskan pemeriksaan penunjang
apakah yang akan kita lakukan untuk menyingkirkan berbagai diagnosis banding dan
menegakan diagnosis utama penyebab anemia, dan setelah diagnosis utama dapat ditegakkan,
pengobatan yang tepat dan sesuai pun dapat diberikan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 DARAH
Darah terbagi atas bagian yang berbentuk (formed elements) dan bagian yang tidak
terbentuk (plasma). Bagian yang berbentuk (formed elements) terdiriatassel-seldarahmerah
(eritrosit), sel-seldarahputih (leukosit), dan keping-kepingdarah (trombosit; platelet). Bagian
yang tidakberbentukterdiriatasmolekul-molekul air, protein, lemak, karbohidrat, vitaminvitamin, enzim-enzimdansebagainya yang larutdalam plasma. (3)
Sifat anatomik yang kedua yang mempermudah transpor SDM adalah kelenturan
membrannya. Sel darah merah, berdiameter 8 mikrometer dapat berubah bentuk.Sifat
anatomik yang ketiga dan yang tepenting adalah adanya hemoglobin di dalam seldarah
merah. Hemoglobin adalah suatu pigmen yang hanya ditemukan di sel darah merah yang
fungsi utamanya adalah untuk mengangkut O2 . (4)
Gambar II.2.3 Permeabilitas Sel darah merah memungkinkan sel darah merah untuk
merubah bentuk saat melewati pembuluh darah kecil sehingga sel darah merah tidak
pecah
Sebuah molekul hemoglobin memiliki dua bagian yaitu hem dan globin. Hem
merupakan empat gugus non-protein yang mengandung besi yang masing-masing terikat ke
salah satu globin.Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversible
dengan satu molekul O2. Globin adalah suatu protein yang terbentuk dari empat rantai
polipeptida yang berlipat-lipat. (4)
Gambar II.2.3Hemoglobin
Harga yang harus dibayar oleh eritrosit atas banyaknya kandungan hemoglobin adalah
usianya yang singkat. Tanpa DNA, RNA, dan ribosom, SDM tidak dapat membentuk protein
untuk perbaikan. Karena itu eritrosit hanya dapat bertahan selama 120 hari (4 bulan) ,
berbeda dengan sel saraf dan otot, yang bertahan sepanjang hayat. Selama masa 4 bulan yang
singkat itu setiap eritrosit berkelana sekitar 700 mil saat mengelilingi pembuluh darah.
Seiring dengan penuaan eritrosit, membran plasma eritrosit yang tidak dapat diperbarui
menjadi rapuh dan mudah pecah ketika melewati titik-titik sempit dalam sistem vaskular.
Sebagian besarSDM tua mengakhiri hidupnya di limpa karena jaringan kapiler organ ini
sempit dan berkelok-kelok sehingga merusak sel-sel rapuh ini. Limpa terletakdengan sel saraf
dan otot, yang bertahan sepanjang hayat. Selama masa 4 bulan yang singkat itu setiap eritrosit
berkelana sekitar 700 mil saat mengelilingi pembuluh darah. Seiring dengan penuaan
eritrosit, membran plasma eritrosit yang tidak dapat diperbarui menjadi rapuh dan mudah
pecah ketika melewati titik-titik sempit dalam sistem vaskular. Sebagian besar SDM tua
mengakhiri hidupnya di limpa karena jaringan kapiler organ ini sempit dan berkelok-kelok
sehingga merusak sel rapuh ini. Limpa terletak di bagian kiri atas abdomen. Selain
menyingkirkan sebagian besar eritrosit tua dari sirkulasi, limpa memiliki kemampuan untuk
menyimpan eritrosit sehat di anterior pulpanya, yang berfungsi sebagai reservoar untuk
trombosit dan mengandung banyak limfosit, salah satu jenis sel darah putih.Karena erirosit
tidak dapat membelah diri untuk mengganti sendiri jumlahnya, sel tua yang pecah harus
diganti oleh sel baru yang diproduksi di pabrik eritrosit yaitu sumsum tulang, melalui proses
eritropoiesis. (4)
II.3 ERITROPOIESIS
Eritropoiesis merupakan proses pembentukan eritrosit. Setiap orang memproduksi sekitar
1012 eritrosit baru tiap hari melalu proses eritropoiesis yang kompleks dan teratur dengan baik
.Penurunan penyaluran O2 ke ginjal akan merangsang ginjal (EPO) mengeluarkan
eritropoietin ke dalam darah . Eritropoietin merangsang eritropoiesis dengan meningkatkan
jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis. BFU E dan CFUE lanjut yang
mempunyai reseptor eritropoietin terangsang untuk berproliferasi, berdiferensiasi, dan
menghasilkan hemoglobin. (4)
Eritropoiesis berjalan dari sel induk melalui sel progenitor CFU GEMM (Colonyforming unit granulocyte, erythroid, monocyte and megakaryocyte/ unit pembentuk koloni
granulosit, eritroid, monosit dan megakariosit), BFUE (Burst-forming unit erythroid / unit
pembentuk eritroid), dan CFUE menjadi prekursor eritrosit yang dapat dikenali pertama kali di
sumsum tulang yaitu pronormoblas. Pronormoblas adalah sel besar dengan sitoplasma biru
tua, dengan inti di tengah dan nukleoli, serta kromatin yang sedikit menggumpal.
Pronormoblas menyebabkan terbentuknya suatu rangkaian normoblas yang makin kecil
melalui sejumlah pembelahan sel. Normoblas ini mengandung hemoglobin yang semakin
banyak (yang bewarna merah muda) dalam sitoplasma; warna sitoplasma semakin biru pucat
seiring hilangnya RNA dan apparatus yang mensintesis protein, sedangkan kromatin inti
menjadi semakin padat. Inti akhirnya dikeluarkan dari normoblas lanjut di dalam sumsum
tulang dan menghasilkan stadium retikulosit yang masih mengandung sedikit RNA ribosom
yang masih mampu mensintesis hemoglobin. Sel ini lebih besar dari eritrosit matur, berada
kurang lebih selama 1-2 hari di sumsum tulang dan juga beredar di darah tepi 1-2 hari
sebelum menjadi matur, terutama berada di limpa sebelum RNA hilang seluruhnya. Eritrosit
matur berwarna merah muda seluruhnya, adalah cakram bikonkaf tak berinti. satu
pronormoblas biasanya menghasilkan 16 eritrosit matur (5)
Pematangan dan kecepatan produksi sel darah merah selain dipengaruhi oleh
eritropoietin juga dipengaruhi oleh status nutrisi seseorang. Vitamin yang khususnya berperan
penting dalam pematangan akhir sel darah merah adalah Vitamin B 12 dan asam folat. Kedua
vitamin tersebut untuk sintesis DNA karena dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat,
salah satu zat pembangun essensial DNA3.
Kekurangan vitamin B12 dan asam folat dapat menyebabkan abnormalitas dan
pengurangan DNA sehingga kegagalan pematangan inti dan pembelahan sel. Selain gagal
berproliferasi dengan cepat, sel-sel eritroblastik akan menghasilkan sel yang lebih besar dari
normal, yaitu makrosit dan memiliki membran yang lemah, berbentuk tidak teratur, berbeda
dengan bentuk normalnya bikonkaf. Sel abnormal diatas dapat mauk kedalam pembuluh
darah mampu mengangkut oksigen, akan tetapi kerapuhannya menyebabkan sel memiliki
masa hidup setengah sampai sepertiga normal. Jika kekurangan vitamin B12 dan asam folat
dapat menyebabkan kegagalan pematangan dalam proses eritropoiesis3.
Penyebab utama kegagalan tersebut adalah kegagalan absorbsi vitamin B12 dari
traktus gastrointestinal (anemia pernisiosa) dengan dasar kelainan atrofi mukosa lambung.
Sel-sel parietal pada kelenjar lambung mensekresi glikoprotein yang disebut faktor intrinsik,
yang bergabung dengan vitamin B12 dari makanan, sehingga dapat diabsorbsi oleh usus3.
Setalah diabsorbsi, maka vitamin akan disimpan dalam jumlah besar di hati dan
dilepaskan secara lambat ke dalam sumsum tulang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan
minimum vitamin B12 setiap hari untuk menjaga pematangan sel darah merah tetap normal
sebanyak 1-3 mikrogram dan yang disimpan kira-kira 1000 kali lipat. Jadi untuk
menimbulkan anemia akibat kegagalan pematangan dibutuhkan gangguan absorbsi B12
selama 3-4 tahun3.
Kegagalan pematangan yang disebabkan oleh defisiensi asam folat karena asam folat
merupakan bahan normal yang banyak terdapat pada sayuran hijau, daging (hati), dan buah
tertentu namun mudah rusak selama makanan dimasak atau pada orang yang sering
mengalami penyakit usus halus yang disebut sariawan usus sehingga menyebabkan kesulitan
dalam absorbsi asam folat maupun vitamin B12 yang serius, maka dapat terjadi kegagalan
maturasi oleh defisiensi kedua vitamin ini3.
II.4 GINJAL
II.4.1Struktur
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang bentuknya menyerupai kacang. Permukaan anterior
dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral ginjal berbentuk cembung, sedangkan permukaan
medialnya berbentuk cekung karena adanya hilus. (6) , (7)
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrus tipis yang disebut capsula
fibrosa. Capsula fibrosa merupakankapsul sejati (true capsule)
ginjal, karena
melekat pada parenkim ginjal dan hanya
membungkus ginjal.
Di luar capsula fibrosa terdapat terdapat jaringan lemak yang
disebut capsula adiposa.Karena berada di tepi ginjal maka
capsula adiposa sering disebut juga sebagai jaringan lemak
perirenal atau jaringan lemak perinefrin
GambarII.4.1.1 Anatomi struktur ginjal
Capsula adiposa kemudian dibungkus oleh fasia renalis gerota yang berfungsi sebagai barrier
penyebaran kanker dan perdarahan.Fasia renalis gerota bukan merupakan kapsul sejati ginjal karena
tidak hanya membungkus ginjal, tapi juga kelenjar adrenal yang terletak di superior ginjal. Diantara
capsula fibrosa dan fasia renalis gerota terdapat rongga perirenal yang diisi oleh capsula adiposa. (6), (8),
(9)
Ginjal terdiri atas parenkim ginjal dan sistem saluran ginjal. Parenkim ginjal terdiri daricortex
renalisyang merupakan zona luar ginjal, dan medulla renalisyang merupakan zona dalam ginjal.
Sistem saluran ginjal terdiri dari kaliks minor, kaliks major, dan juga pelvis. Medulla renalis dibentuk
oleh pyramid renalis dan columna renalis.
Tabel II.1.1.1 Pembagian anatomi ginjal
Pyramid renalis merupakan daerah berwarna gelap dengan bentuk bangunan seperti piramid, bergarisgaris menempati 2/3 bagian dalam permukaan potongan ginjal. Piramid-piramid tersebut tampak
bercorak karena tersususn dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Masing-masing
pyramid memiliki sebuah apeks yang membulat dan bebas, yang menonjol kedalam kaliks pelvis.
Apex dari tiap pyramid membentuk ductus Papillary Bertini Duct yang terbentuk dari persatuan
bagian terminal banyak duktus pengumpul.Setiap papillary bertini duct masuk ke suatu
perluasanujung renal pelvis yang disebut cayx minor, beberapa minor calyx bersatu membentuk major
calyx, yang selanjutnya membentuk renal pelvis. 1/3 bagian ginjal, yaitu bagian yang terdapat diluar
alas renal pyramid disebut renal cortex. Renal column serupa dengan cortex, terbentang antara renal
pyramid. (9),(10)
Pada sisi cekung tepi medial ginjal, tepatnya di bagian sepertiga tengah ginjal ada suatu celah, yakni
hilus atau pintu, yang mengarah kedalam suatu rongga, yakni renal sinus. Melalui hilus melintaslah
renal pelvis atau ujung teratas ureter yang melebar, a. renalis, v. renalis, pembuluh limfe, vasomotor
simpatis serta sedikit lemak kedalam renal sinus.Renal pelvis dibagi menjadi dua atau tiga major
calyx yang terbagi lagi atas minor calyx yang menerima urin dari pyramid medulla melalui papilla (8),
(9), (11)
II.4.2
Posisi
granulosit, eritrosit, monosit, dan megakriosit, dan dinamakan CFU (colony forming unit /
unit pembentuk koloni pada media biakan agar)-GEMM. Sumsum tulang juga merupakan
tempat asal utama limfosit dan terdapat bukti adanya sel prekursor sistem mieloid dan
limfoid. (12)
Gagal sumsum tulang adalah kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah
merah, sel darah putih, dan trombosit yang cukup. Sumsum tulang dapat hipoplastik atau
aplastik, dengan penurunan sel hemopoietik dan peningkatan jaringan lemak ruang lemak.
Alternatifnya, sel hemopoietik dapat digantikan oleh sel abnormal atau sel maligna yang
berasal dari sumsum (primer) maupun yang menginfilrasinya (sekunder), atau produksi
sumsum tulang dapat inefektif(13)
Tabel II.5.1 Gagal sumsum tulang_____________________________________________
Penurunan primer sel-sel hemopoietik
Anemia aplastik
Penggantian sumsum oleh sel ganas
Primer
leukimia, myeloma, limfoma
Sekunder
misalnya karsinoma
Infiltrasi oleh jaringan abnormal
Mielofibrosis
Jarang, penyakit gaucher, amyloidosis, osteopetrosis
Hemopoiesis inefektif
Mielodisplasia, anemia megaloblastik
___________________________________________________________________
Gagal sumsum tulang memberikan gambaran klinis gejala dan tanda anemia, infeksi, mudah
memar atau berdarah dan gejala dan tanda sebagai akibat penyakit penyebab, msialnya efek
samping kemoterapi. (13)
Anemia aplastik merupakan pansitopenia kronik yang berhubungan dengan sumsum tulang
hipoplastik. Terjadi penurunan sel stem sumsum, peningkatan ruang lemak (rasio lemak/hemopoiesis
>75:25%), dan tidak ada tanda keganasan. Lingkungan mikrosumsum utuh. Anemia aplastik dapat
terjadi pada semua usia, pada kedua jenis kelamin, insidensi 2-5 kasus/juta populasi, omsetnya dapat
cepat (beberapa hari) atau lambat (beberapa minggu atau bulan. Gejala dan tanda disebabkan oleh
gagal sumsum tulang (dan tanda anemia, infeksi, mudah memar atau berdarah dan gejala dan
tanda sebagai akibat penyakit penyebab) , hati,limpa, dan kelenjar getah bening tidak teraba
membesar.Anemia aplastik dapat bersifat kongenital ataupun didapat. Anemia aplastik
didapat memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi ( infeksi virus, radiasi, atau pajanan
obat) Anemia fanconi merupakan salah satu anemia aplastik kongenital, biasanya terjadi
pada masa kanak-kanak, temuan dapat berupa defek tulang rangka dan saluran ginjal,
mikrosefali, dan perubahan pigmentasi kulit. (13)
II.6 ZAT BESI (Fe)
Besi merupakan trace element vital yang sangat dibutuhkan untuk pembentukan
hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim. Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam
tubuh berupa (1) senyawa besi fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang
berfungsi dalam tubuh; (2) besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi
berkurang; (3) besi transport, besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya
oleh reseptor (transferin receptors = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel
normoblas. Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh
klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk
endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan
besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan
DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke
permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali. (14)
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted ironstore) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Defisiensi besi dapat disebabkan oleh
kehilangan darah (500mL darah normal mengandung 200-250mg besi) yang merupakan
penyebab dominan di Negara barat, Malabsorpsi, dan asupan besi dari makanan yang
buruk.Patofisiologi anemiadefisiensi besi menjadi tiga tahap, yaitu:
1.1
Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya
masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum
menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya kekurangan besi masih
normal.
1.2
Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron limited
erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis. Dari
hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin
menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan free erythrocyte
porphyrin (FEP) meningkat
.
1.3
Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang
menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb.
Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap
ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.
Defisiensi besi memberikan gambaran klinis umum yaitu anemia, dan gambaran
khusus (sebagian kecil pasien) seperti koilonikia atau kuku rapuh bergerigi, glositis, keilosis
angular (luka pada pinggir mulut), pika (selera makan abnormal), penipisan rambut dan
terbentuknya sarang (web) faringeal (sindrom Paterson-Kelly) yang menyebabkan disfagia
(15)
dan juga gambaran yang dihasilkan oleh penyakit penyebab.
Gambar 6.2.1 dari kiri ke kanan (1) koilonikia (2) Glositis (3) Keilosis angular (4) Web faringeal
II.7
VITAMIN B12
7.1.1
Absorpsi
B12 digabungkan dengan faktor intrinsik glikoprotein (IF) (berat molekul, BM
45000) yang disintesis oleh sel parietal lambung (gastric parietal cell, GPC).
Kompleks IF B12 kemudian dapat berikatan dengan suatu reseptor permukaan
spesifikuntuk IF (yaitu kubilin) di ileum distal tempat B12 diabsorpsi. (15), (16)
7.1.2
Transpor
Vitamin B12 diabsorpsi kedalam darah porta tempat vitamin ini melekat pada
transkobalamin II (TC II) yaitu suatu protein pengikat plasma. TC II kemudaian
mengangkut B12 ke sumsum tulang dan jaringan lain. Jumlah TC II biasanya sangat
rendah, yaitu kurang dari 50ng/l. Tetapi kadar B12 serum pada defisiensi TC II adalah
normal, ini karena sebagian besar B12 dalam plasma terikat ke protein pengangkut
lain, yaitu TC I, suatu glikoprotein yang sebagian besar disintesis oleh granulosit dan
makrofag. Pada penyakit mieloprolireratif dengan produksi granulosit yang sangat
meningkat, kadar TC I maupun B12 dalam serum sangat meningkat. B12 yang terikat
pada TC I tidak langsung terangkutke sumsum tulang; tampaknya ia mati secara
fungsional, (16)
7.1.3
Fungsi biokimiawi
Vitamin B12 merupakan suatu koenzim untuk dua reaksi biokimia dalam tubuh: yang
pertama, sebagai metil B12, suatu kofaktor untuk metionin sintase, yaitu enzim yang
bertanggung jawab untuk metilasi homosistein menjadi metionin dengan(16)
7.1.4
Defisiensi vitamin B12 dapat disebabkan oleh diet tidak adekuat dan juga malabsorpsi.
Vegetarian dapat mengalami defisiensi B12, meskipun sirkulasi enterohepatik lengkap
beberapa mikrogram B12 setiap harinya memperlambat onsetnya. Bayi yang lahor dari ibu
yang mengalami defisiensi B12 dan diberi ASI oleh ibunya bisa menjadi gagal berkembang
dan mengalami MA yang disebabkan oleh defisiensi B12 . Malabsorpsi dapat disebabkan oleh
gangguan pada lambung dan juga intestinal. (15)
II.7
ASAM FOLAT
Asam folat adalah senyawa induk dari sekelompok besar senyawa,yaitu folat. Folat yang
berasal dari makanan diubah menjadi metil THF (seperti folat, namun hanya memiliki satu
molekul glutamat) selama absorpsi melalui usus kecil bagian atas. Begitu masuk ke dalam
sel, metil THF diubah menjadi poliglutamat folat. Semua sel tubuh termasuk sel sumsum
tulang menerima folat dari plasma dalam bentuk metil THF. B12 melalui perantaranya dalam
metilasi homosistein menjadi metionin diperlukan dalam konversi metil THF menjadi THF
adalah suatu substrat untuk sintesis poliglutamat fosfat dalam sel. Oleh karena itu ketiadaan
B12 mencegah terjadinya demetilasi metil THF, sehingga akibatnya sel kekurangan THF, dan
koenzim poliglutamat folat. (15)
sintesis DNA sel - sel eritoblast akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12 dimana vitamin
B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan secara khusus untuk
vitamin B12 penting dalam pembentukan myelin. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti
eritoblast ini maka maturasi inti lebih lambat,sehingga kromatin lebih longgar dan sel
menjadi lebih besar karena pembelahan sel yang lambat. Sel eritoblast dengan ukuran yang
lebih besar serta susunan kromatin yang lebih longgar disebut sebagai sel megaloblast. Sel
megaloblast ini fungsinya tidak normal, dihancurkan saat masih dalam sumsum tulang
sehingga terjadi eritropoesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek yang berujung
pada terjadinya anemia. Gambaran klinis pada defisiensi vitamin B12 dapat berupa gambaran
anemia yang bertahap, ikterus ringan yang disebabkan oleh eritropoiesis yang tidak efektif,
glositis dan keilosis angular, dan jika berat sterilitas (pada kedua jenis kelamin) dan
pigmentasi kulit melamin reversible. Defisiensi B12 menyebabkan neuropati simetris yang
mempengaruhi traktus piramidalis dan kolumna posterior medulla spinalis (degenerasi
kombinasi subakut pada medulla spinalis) dan saraf perifer. Pasien mengalami kedutan pada
kaki (lebih sering daripada tangan), kesulitan berjalan, gangguan pengelihatan, atau gangguan
psikiatrik. Gambaran klinis pada defisiensi folat sama seperti defisiesi B 12 tetapi tidak
menyebabkan neuropati serupa (17)
II.8 DESTRUKSI SEL DARAH MERAH
Destruksi sel darah merah secara normal bersifat ekstravaskular dalam makrofag system
retikuloendotelial (RES), sumsum tulang, hati, dan limpa. Hemoglobin dipecah menjadi hem
dan globin. Globin didegradasi menjadi asam amino, hem menjadi protoporfirin,
karbonmonoksida dan besi. Protoporfirin dimetabolisme menjadi bilirubin, dikonjugasi
menjadi glukuronida di dalam hati, disekresi melalui feses (sebagai sterkobilinogen), dan
setelah direabsorpsi, melalui urin sebagai urobilinogen. Besi mengalami siklus kembali ke
plasma dan bergabung dengan transferin. (18)
Anemia hemolitik disebabkan oleh memendeknya masa hidup sel darah merah (mean red cell
life, MRCL). MRCL normal adalah 120 hari, Produksi sel darah merah dapat ditingkatkan
enam sampai delapan kali oleh sumsum tulang normal, dan anemia hemolitik terjadi jika
MRCL menurun menjadi 15 hari atau kurang. Gambaran klinis dapat berupa anemia (kecuali
jika hemolisis terkompensasi penuh), ikterus (biasanya ringan) yang disebabkan oleh
bilirubin yang tidak terkonjugasi dalam plasma; bilirubin tidak terdapat di urin, Peningkatan
insidensi batu empedu pigmen, dan splenomegali. (18)
Terdapat dua mekanisme utama penghancuran eritrosit pada anemia hemolitik yang
pertama adalah hemolisis ekstravaskular (penghancuran eritrosit berlebih oleh sistem
retikuloendotelial (RE) dan yang kedua adalah hemolisis intravaskular (eritrosit dihancurkan
langsung dalam sirkulasi) (19) Anemia hemolitik dapat bersifat herediter, didapat , defek
genetik pada hemoglobin, maupun defek herediter pada hemoglobin (18), (19), (20), (21), (22), (23)
Anemia hemolitik didapat dapat disebabkan oleh anemia hemolitik autoimun tipe
hangat, anemia hemolitik autoimun tipe dingin, anemia hemolitik aloimun , anemia
hemolitik imun yang diinduksi obat, sindrom fragmentasi sel darah merah, infeksi, agen
kimiawai dan agen fisik, hemglobinuria noktural proksimal (20)
II.8
Pendekatan morfologi
Penyebab anemia dapat diklasifi kasikan berdasarkan ukuran sel darah merah pada apusan
darah tepi dan parameter automatic cell counter. Sel darah merah normal mempunyai volume 80-96 femtoliter (1 fL = 10-15 liter) dengan diameter kira-kira 7-8 micron, sama dengan
inti limfosit kecil.
Sel darah merah yang berukuran lebih besar dari inti limfosit kecil pada apus darah tepi
disebut makrositik. Sel darah merah yang berukuran lebih kecil dari inti limfosit kecil disebut
mikrositik. Automatic cell counter memperkirakan volume sel darah merah dengan sampel
jutaan sel darah merah dengan mengeluarkan angka mean corpuscular volume (MCV) dan
angka dispersi mean tersebut. Angka dispersi tersebut merupakan koefisien variasi volume sel
darah merah atau RBC distribution width (RDW). RDW normal berkisar antara 11,5-14,5%.
Peningkatan RDW menunjukkan adanya variasi ukuran sel.
Berdasarkan pendekatan morfologi, anemia diklasifikasikan menjadi (1) Anemia makrositik
(gambar 1), (2) Anemia mikrositik (gambar 2), dan (3) Anemia normositik (gambar 3)
Anemia makrositik
Anemia normositik adalah anemia dengan MCV normal (antara 80-100 fL). Keadaan
ini dapat disebabkan oleh anemia pada penyakit ginjal kronik. (Sindrom anemia kardiorenal:
anemia, gagal jantung, dan penyakit ginjal kronik) dan juga anemia hemolitik:
Anemia makrositik merupakan anemia dengan karakteristik MCV di atas 100 fL.
Anemia
makrositik dapat disebabkan oleh. (1)Peningkatan retikulosit Dikarenakan
peningkatan MCV merupakan karakteristik normal retikulosit. Semua keadaan yang
menyebabkan peningkatan retikulosit akan memberikan gambaran peningkatan MCV.
(2).Metabolisme abnormal asam nukleat pada prekursor sel darah merah (defi siensi folat
atau cobalamin, obat-obat yang mengganggu sintesa asam nukleat: zidovudine, hidroksiurea).
(3)Gangguan maturasi sel darah merah (sindrom mielodisplasia, leukemia akut) (4)
Penggunaan alkohol, Penyakit hati, dan Hipotiroidisme.
Anemia mikrositik merupakan anemia dengan karakteristik sel darah merah yang
kecil (MCV kurang dari 80 fL). Anemia mikrositik biasanya disertai penurunan hemoglobin
dalam eritrosit. Dengan penurunan MCH ( mean concentration hemoglobin) dan MCV, akan
didapatkan gambaran mikrositik hipokrom pada apusan darah tepi. Penyebab anemia
mikrositik hipokrom dapat berupa (1) Berkurangnya Fe: anemia defisiensi Fe, anemia
penyakit kronis/anemia inflamasi, defisiensi tembaga. (2) Berkurangnya sintesis heme:
keracunan logam, anemia sideroblastik kongenital dan didapat. (3) Berkurangnya sintesis
globin: talasemia dan hemoglobinopati.
menunjukkan adanya infeksi, infl amasi atau keganasan hematologi. Adanya kelainan tertentu
pada hitungjenis dapat memberikan petunjuk ke arah penyakit tertentu1:
Peningkatan hitung neutrofi l absolut padainfeksi
Peningkatan hitung monosit absolut padamielodisplasia
Peningkatan eosinofi l absolut pada infeksitertentu
Penurunan nilai neutrofi l absolut setelah kemoterapi
Penurunan nilai limfosit absolut pada infeksi HIV atau pemberian kortikosteroid
Jumlah trombosit
Abnormalitas jumlah trombosit memberikan informasi penting untuk diagnostik.
Trombositopenia didapatkan pada beberapa keadaan
yang berhubungan dengan anemia, misalnya hipersplenisme, keterlibatan keganasan pada
sumsum tulang, destruksi trombosit autoimun
(idiopatik atau karena obat), sepsis, defisiensi folat atau B12. Peningkatan jumlah trombosit
dapat ditemukan pada penyakit mieloproliferatif,
defi siensi Fe, inflamasi, infeksi atau keganasan. Perubahan morfologi trombosit (trombosit
raksasa, trombosit degranulasi) dapat ditemukan pada penyakit mieloproliferatif atau
mielodisplasia.1
Pansitopenia
Pansitopenia merupakan kombinasi anemia, trombositopenia dan netropenia. Pansitopenia
berat dapat ditemukan pada anemia aplastik, defisiensi folat, vitamin B12, atau keganasan
hematologis (leukemia akut). Pansitopenia ringan dapat ditemukan pada penderita dengan
splenomegali dan splenic trapping sel-sel hematologis.1
Evaluasi kadar hemoglobin dan hematokrit secara serial dapat membantu diagnostik.1
Contoh:
Pada seorang penderita, Hb turun dari 15 g% menjadi 10 g% dalam 7 hari. Bila disebabkan
oleh ganguan produksi total (hitung retikulosit = 0) dan bila destruksi sel darah merah
berlangsung normal (1% per hari), Hb akan turun 7% dalam 7 hari. Penurunan Hb seharusnya
0,07 x 15 g% = 1,05 g%. Pada penderita ini, Hb turun lebih banyak, yaitu 5 g%, sehingga
dapat diasumsikan supresi sumsum tulang saja bukan merupakan penyebab anemia dan
menunjukkan adanya kehilangan darah atau destruksi sel darah merah.1
Klasifi kasi anemia berdasarkan ukuran sel darah merah (MCV) dan RDW
Mean corpuscular volume (MCV)
MCH, MCHC, dan MCV adalah bagian dari indeks sel darah merah (parameter yang
mencerminkan ukuran dan kadar hemoglobin sel darah merah) yang secara tradisional telah
digunakan untuk membantu dalam diagnosis diferensial dari anemia. Pengukuran MCV,
MCH dan MCHC berguna untuk menentukan ukuran, isi, dan konsentrasi hemoglobin. Barubaru ini, red cell distribution width (RDW) juga telah dimasukkan sebagai bagian dari indeks
RBC. Indeks berguna dalam karakterisasi morfologi anemia. Di antara parameter ini, MCV
adalah nilai yang paling berguna digunakan untuk mengklasifikasikan jenis anemia
berdasarkan morfologi sel darah merah. Anemia juga dapat dikategorikan berdasarkan respon
sumsum tulang anemia menggunakan hitung retikulosit dalam anemia hypoproliferative
(penurunan produksi sel darah merah) dan anemia hemolitik (peningkatan penghancuran sel
darah merah).
Mean corpuscular volume (MCV) adalah rata-rata volume sel darah merah dalam
spesimen. MCV meningkat atau menurun sesuai dengan rata-rata ukuran sel darah merah;
MCV rendah menunjukkan mikrositik (kecil rata-rata ukuran RBC), MCV yang normal
menunjukkan normositik (normal rata-rata ukuran RBC), dan MCV tinggi menunjukkan
makrositik (besar rata-rata ukuran RBC). Kisaran referensi untuk MCV adalah 80-96 fL / sel
darah merah pada orang dewasa. Mean corpuscular volume (MCV) dapat langsung diukur
dengan mesin analisa hemotologi otomatis, atau dapat dihitung dari hematokrit (Ht) dan
jumlah sel darah merah (RBC) sebagai berikut:
MCV in fl = (Hct [in L/L]/RBC [in x10 12/L]) x 1000
Baik MCH dan MCHC mencerminkan kadar hemoglobin rata-rata sel darah merah
dalam cara yang sedikit berbeda. MCH mengungkapkan rata-rata isi (massa, berat)
hemoglobin per sel darah merah, MCHC mengungkapkan berat rata-rata hemoglobin per
satuan volume sel darah merah. Meskipun MCH dapat digunakan untuk menentukan apakah
anemia adalah hipo, normo-, atau hiperkromik, Pengukuran MCV harus dipertimbangkan
bersama dengan MCH karena MCV mempengaruhi isi hemoglobin per sel (MCH), dan
(MCH) dapat menurun atau meningkat secara paralel dengan MCV. Dengan demikian,
MCHC di masa lalu telah dianggap sebagai parameter yang lebih baik dari MCH untuk
menentukan hypochromasia. Namun, MCHC, yang diukur dengan analisa multichannel saat
ini, tidak terpengaruh oleh plasma trapping, yang biasanya menyebabkan sedikit peningkatan
hematokrit. MCHC tidak kemudian menurun ketika ada hypochromasia. Oleh karena itu,
MCV bersama-sama dengan lebar distribusi sel darah merah (RDW) telah menjadi dua
parameter yang paling berguna dalam mengklasifikasikan anemia, sementara MCH dan
MCHC tidak menambahkan Informasi relevan klinis Yang signifikan. MCH dan MCHC,
tetap, memainkan peran penting dalam kontrol kualitas laboratorium. Parameter ini
memungkinkan laboratorium untuk mendeteksi penyebab potensial dari hasil yang salah,
seperti hiperlipidemia atau hemolisis (baik in vivo dan in vitro), sehingga hasilnya benar
dapat dilaporkan. MCHC, ketika meningkat, dapat berguna secara klinis sebagai indikator
peningkatan sferosit (sferositosis), seperti pada sferositosis herediter atau anemia hemolitik
autoimun. Hal ini juga meningkat pada sel atau hemoglobin C penyakit sickle homozigot.
Penyebab umum dari anemia mikrositik hipokromik dan (penurunan MCV dan MCH)
dapat berupa anemia defisiensi besi, anemia penyakit kronis, Thalasemia, dan anemia
sideroblastik. Penyebab umum dari anemia makrositik (MCV meningkat) adalah anemia
defisiensi folat, anemia defisiensi vitamin B12, penyakit hati, anemia hemolitik,
Hypothyroidism, asupan alkohol yang berlebihan, anemia aplastik, dan sindrom
myelodysplastic. Penyebab umum dari anemia normositik normokromik dan (normal MCV)
adalah sebagai berikut Anemia penyakit kronis, kehilangan darah akut, anemia hemolitik,
seperti anemia hemolitik autoimun, sferositosis herediter, atau anemia hemolitik kongenital
nonspherocytic (defisiensi G6PD, lainnya), Anemia dari penyakit ginjal, dan anemia aplastik.
Walaupun membantu mempertimbangkan penyebab anemia pedoman
diatas tetap memiliki keterbatasan. Misalnya, anemia hemolitik dan anemia
aplastik dapat bermanifestasi sebagai anemia normokromik normositik dan atau
anemia makrositik; anemia penyakit kronis dapat anemia normokromik
normositik dan atau anemia mikrositik; anemia sideroblastik bisa anemia
mikrositik, anemia makrositik, anemia normokromik atau normositik dan (karena
kehadiran penduduk dimorfik dari microcytes dan makrosit). Selain itu, setelah
penyebab anemia dicurigai, korelasi dengan temuan klinis, termasuk sejarah dan
pemeriksaan fisik, sangat penting, misalnya, jika diperlukan, melakukan tes yang
lebih definitif untuk tiba dengan diagnosis definitif.
BAB III
PEMBAHASAN
Gejala umum anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinismus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan dispepsia. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,
mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku. Anemia bukan merupakan
suatukesatuan penyakit tersendiri (disease enityty), tetapi merupakan gejala berbagai macam
penyakit dasar.
Anemia dapat disebabkan oleh gangguan dalam proses eritropoiesis dan gangguan
setelah proses eritropoiesis. Gangguan dalam proses eritropoiesis dapat disebabkan oleh
gangguan pada ginjal yang dapat menyebabkan menurunnya produksi eritropoietin, sehingga
menyebabkan terjadinya penurunan ertrosit juga. Tidak ada gangguan terhadap morfologi
ukuran eritrosit (Anemia Normositik Normokrom).
Yang pertama adalah gangguan pada ginjal yang dapat menyebabkan menurunnya
produksi eritropoietin, gangguan pada ginjal tersebut dapat berupa keganasan pada ginjal,
infeksi, maupun Penyakit ginjal kronis. Pada penyakit ginjal kronis kadang dijumpai
Yang kedua adalah gangguan pada sumsum tulang, sumsum tulang adalah tempat
terjadinya proses hemopoiesis, sehingga gangguan pada sumsum tulang tidak hanya akan
menurunkan kadar eritrosit, tetapi juga leukosit, dan trombosit. Gagal sumsum tulang adalah
kegagalan sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah merah, sel darah putih, dan
trombosit yang cukup. Sumsum tulang dapat hipoplastik atau aplastik, dengan penurunan sel
hemopoietik dan peningkatan jaringan lemak ruang lemak. Alternatifnya, sel hemopoietik
dapat digantikan oleh sel abnormal atau sel maligna yang berasal dari sumsum (primer)
maupun yang menginfilrasinya (sekunder), atau produksi sumsum tulang dapat inefektif.
Gagal sumsum tulang memberikan gambaran klinis gejala dan tanda anemia, infeksi, mudah
memar atau berdarah dan gejala dan tanda sebagai akibat penyakit penyebab, msialnya efek
samping kemoterapi.
Yang ketiga adalah gangguan zat besi. Zat besi diperlukan dalam pembentukan
hemoglobin, sehingga kurangnya bahan ini dapat menyebabkan penurunan produksi
hemoglobin, karena hemoglobin dalam sel eritrosit menurun maka ukuran eritrosit akan lebih
kecil (mikrositik) dan warnanya akan memudar (hipokrom) eritrosit terjadilah anemia
mikrositik hipokrom atau juga dikenal dengan anemia defisiensi besi. Defisiensi besi dapat
disebabkan oleh kehilangan darah (500mL darah normal mengandung 200-250mg besi) yang
merupakan penyebab dominan di Negara barat, Malabsorpsi, dan asupan besi dari makanan
yang buruk Anemia defisiensi besi memberikan gambaran klinis umum yaitu nemia, dan
gambaran khusus (sebagian kecil pasien) seperti koilonikia atau kuku rapuh bergerigi,
glositis, keilosis angular (luka pada pinggir mulut), pika (selera makan abnormal), penipisan
rambut dan terbentuknya sarang (web) faringeal (sindrom Paterson-Kelly) dan juga gambaran
yang dihasilkan oleh penyakit penyebab.
Selain karena defisiensi zat besi, anemia juga dapat disebabkan oleh overload zat besi
(anemia sideroblastik). Overload besi adalah keadaan patologi dimana simpanan besi total
dalam tubuh meningkat, seringkali dengan disfungsi organ sebagai akibat deposisi besi.
Gambaran klinis pada overload besi dapat berupa (1) Kardiomiopathi yang menyebabkan
disritmia dan gagal jantung kongestif; penyebab utama kematian, (2) Perkembangan
pertumbuhan/seksual berkurang pada anak-anak: pubertas terlambat, diabetes melitus,
hipotiroidisme dan hipoparatiroidisme jarang terjadi, (3) Pigmentasi kulit melamin berlebih,
dan (4) Infeksi berlebih (5) Hati dapat memperlihatkan hemosiderosis dan sirosis. Namun
demikian, kelainan hati pada overload besi transfungsional sering disebabkan oleh infeksi
hepatitis B atau C
Yang keempat adalah karena kurangnya Vitamin B12 dan juga atau asam folat .
Gambaran klinis pada defisiensi vitamin B12 dapat berupa gambaran anemia yang bertahap,
ikterus ringan yang disebabkan oleh eritropoiesis yang tidak efektif, glositis dan keilosis
angular, dan jika berat sterilitas (pada kedua jenis kelamin) dan pigmentasi kulit melamin
reversible. Defisiensi B12 menyebabkan neuropati simetris yang mempengaruhi traktus
piramidalis dan kolumna posterior medulla spinalis (degenerasi kombinasi subakut pada
medulla spinalis) dan saraf perifer. Pasien mengalami kedutan pada kaki (lebih sering
daripada tangan), kesulitan berjalan, gangguan pengelihatan, atau gangguan psikiatrik.
Gambaran klinis pada defisiensi folat sama seperti defisiesi B 12 tetapi tidak menyebabkan
neuropati serupa
Gangguan setelah proses eritropoiesis dapat disebabkan oleh proses penghancuran
eritrosit yang dapat disebabkan mekanisme hemolitik . Anemia hemolitik terjadi jika MRCL
menurun menjadi 15 hari atau kurang. Gambaran klinis dapat berupa anemia (kecuali jika
hemolisis terkompensasi penuh), ikterus (biasanya ringan) yang disebabkan oleh bilirubin
yang tidak terkonjugasi dalam plasma; bilirubin tidak terdapat di urin, Peningkatan insidensi
batu empedu pigmen, dan splenomegali. Anemia hemolitik dapat bersifat herediter, didapat ,
defek genetik pada hemoglobin, maupun defek herediter pada hemoglobin. Pada anemia
hemolitik autoimun tipe hangat didapatkan gejala dan tanda anemia hemolitik dan dapat
disertai dengan limfadenopati. Pada anemia hemolitik autoimun tipe dingin hemolisis timbul
setelah pajanan dengan udara dingin, ditemukan gejala dan tanda anemia hemolitik ditambah
seringnya terjadi akrosianosis dan splenomegali. Anemia hemolitik aloimun dapat disebabkan
oleh : (1) Transfusi darah yang tidak cocok, (2) Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, (3)
Setelah transplantasi organ padat atau sumsum tulang. Pada anemia hemolitik diinduksi obat
didapatkan Pada riwayat penggunaan obat tertentu. Pada setiap kasus anemia hemolitik
menghilang secara perlahan jika obat dihentikan. Infeksi dapat menyebabkan hemolisis
karena kerusakan langsung pada sel darah merah (misalnya malaria), produksi toksin
(misalnya clostridium perfingrns), stres oksidan pada orang yang mengalami defisiensi
G6PD, MAHA (misalnya septikemia meningokokal), pembentukan autoantibodi (misalnya
mononukleosis infeksiosa), destruksi ekstravaskular (misalnya malaria). Beberapa obat ,
misalnya dapson, atau zat kimia, misalnya klorat, menyebabkan hemolisis karena oksidasi
bahkan pada tingkat G6PD normal. Luka bakar dan gigitan ular yang berat juga dapat
menyebabkan hemolisis.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1
Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Gangguan sel darah merah. Dalam At a glance
Hematologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 24-25
Sudoyono, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Et al. 2009. Hemopoiesis. Dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. Hal 1105-1108
Sherwood, Lauralee. 2015. Darah. Dalam Fisiologi Manusia dari sel ke sistem Edisi 8.Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC. Hal 415-439
Hoffbrand, A.V . Pettit, J.E . Moss, P.A.H. 2012. Eritropoiesis dan Aspek umum anemia.
Dalam Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC. Hal 11-24
Purnomo, Basuki B. 2011. Anatomi Sistem Urogenitalia. Dalam Dasar-dasar Urologi. Edisi 3.
Cetakan 1, Malang:Sagung Seto. Hal: 5-20
Price Sylvia, A. Wilson, Lorraine M. 2005. Anatomi dan Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih.
Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi6. Cetakan 1, Jakarta:
Penerbit Buku EGC. Hal 867-894
Faiz, Omar . Moffat, David. 2002. Abdomen dan Pelvis. Dalam At a Glance ANATOMI, Edisi
1, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 52-65
Basmajian, John V. Slonecke, Charles. Alat-alat Belakang Perut. Dalam Grant Anatomi
Klinik. Edisi 10. Tangerang: BINARUPA AKSARA Publisher. Hal 222-239
10 Basmajian, John V. Slonecke, Charles. Sistem Kemih Kelamin dan Kulit Dalam Grant
Anatomi Klinik. Edisi 10. Tangerang: BINARUPA AKSARA Publisher. Hal 75-88
11 OCallaghan, Chris. Ginjal: Gambaran Umum Struktural. Dalam At a Glance SISTEM
GINJAL. Edisi2, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 12-13
12 Hoffbrand, A.V . Pettit, J.E . Moss, P.A.H. 2012. Pembentukan sel darah (hemopoiesis) .
Dalam Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC. Hal 1-10
13 Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Gagal sumsum tulang. Dalam At a glance Hematologi
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 44-45
14 Sudoyono, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Et al. 2009. Anemia defisiensi besi.
Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing. Hal
1127-1137
15 Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Anemia megaloblastik I: defisiensi vitamin B12 dan
asam folat. Dalam At a glance Hematologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 30-31
16 Hoffbrand, A.V . Pettit, J.E . Moss, P.A.H. 2012. Anemia megaloblastik dan anemia
makrositik lain. Dalam Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC. Hal 38-50
17 Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Anemia megaloblastik II: Gambaran klinis, pengobatan,
dan anemia makrositik lain. Dalam At a glance Hematologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Erlangga. Hal 32-33
18 Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Anemia hemolitik I : Umum. Dalam At a glance
Hematologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 34-35
19 Hoffbrand, A.V . Pettit, J.E . Moss, P.A.H. 2012. Anemia megaloblastik dan anemia
makrositik lain. Dalam Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC. Hal 38-50
20 Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Anemia hemolitik II : Defek membran dan defek enzim
herediter. Dalam At a glance Hematologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 36-37
21 Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Anemia hemolitik III : didapat. Dalam At a glance
Hematologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 38-39
22 Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Anemia hemolitik IV : Defek genetik pada hemoglobin.
Dalam At a glance Hematologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal 38-39
23 Hoffbrand, Victor. Mehta, Atul 2008. Anemia hemolitik V : Defek herediter pada hemoglobin
penyakit sel sabit. Dalam At a glance Hematologi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal
38-39
24 Sudoyono, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Et al. 2009. Anemia hemolitik
autoimun. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal
Publishing. Hal 1152-1156
25 Sudoyono, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Et al. 2009. Anemia hemolitik nonimun. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Internal Publishing.
Hal 1157-1164
26 Hoffbrand, A.V . Pettit, J.E . Moss, P.A.H. 2012. Anemia hemolitik. Dalam Kapita Selekta
Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC. Hal 51-63