Professional Documents
Culture Documents
Sedangkan pada konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi
menghidu/membau. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel
olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan
bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron
olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria.
Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membau zat-zat.
b. Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan
perisiliar
c. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah
lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril retikulin.
d. Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan
media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini
terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan
saraf.
C. Fisiologi Penghidu ,5,6,7
a. Eksitasi pada sel olfaktori
Reseptor penghidu terletak pada superior nostril, yaitu pada septum superior pada
struktur yang disebut membran olfaktori. Bagian dari saraf penghidu yang berkaitan langsung
dengan odoran, molekul penghidu, yaitu silia dari sel olfaktori. Sebelum dapat menempel dengan
silia sel olfaktori, odoran tersebut harus dapat larut dalam mukus yang melapisi silia tersebut.
Odoran yang hidrofilik dapat larut dalam mukus dan berikatan dengan reseptor pada silia
tersebut, yaitu pada protein reseptor pada membran silia sel olfaktori. Pengikatan antara reseptor
dengan odoran menyebabkan aktivasi dari protein G, yang kemudian mengaktivasi enzim adenil
siklase dan mengaktifkan cAMP. Pengaktifan cAMP ini membuka kanal Na+ sehingga terjadi
influks natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini kemudian
menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan ditransmisikan hingga sampai ke korteks
serebri.
Pada keadaan istirahat, resting potential dari sel olfaktori yaitu sebesar -55mV.
Sedangkan, pada keadaan terdepolarisasi, membrane potential sel olfaktori yaitu sebesar -30mV.
Graded potential dari sel olfaktori menyebabkan potensial aksi pada sel mitral dan tufted yang
terdapat pada bulbus olfaktorius.
Pada membran mukus olfaktori, terdapat ujung saraf bebas dari saraf trigeminus yang
menimbulkan sinyal nyeri. Sinyal ini dirangsang oleh odoran yang bersifat iritan, seperti
peppermint, menthol, dan klorin. Perangsangan ujung saraf bebas ini menyebabkan bersin,
lakrimasi, inhibisi pernapasan, dan refleks respons lain terhadap iritan hidung.
Terdapat tiga syarat dari odoran tersebut supaya dapat merangsang sel olfaktori, yaitu:
Bersifat larut dalam udara, sehingga odoran tersebut dapat terhirup hidung
Bersifat larut air/hidrofilik, sehingga odoran tersebut dapat larut dalam mukus dan
berinteraksi dengan silia sel olfaktorius
Bersifat larut lemak/lipofilik, sehingga odoran tersebut dapat berikatan dengan reseptor
silia sel oflaktorius
Penghidu pada manusia dapat mendeteksi berbagai jenis odoran yang berbeda, namun
sulit untuk dapat membedakan intensitas odoran yang berbeda. Untuk dapat membedakan
intensitas tersebut, perlu terdapat perbedaan konsentrasi odoran sebesar 30%. Kemampuan
penghidu untuk dapat membedakan berbagai odoran yang berbeda diperankan oleh glomerulus
yang terdapat pada bulbus olfaktorius. Terdapat sekitar 1000 dari protein reseptor untuk odoran
yang berbeda, yang masing-masing reseptor tersebut terdapat pada satu sel olfaktori. Terdapat
sekitar 2 juta sel olfaktori yang masing-masingnya berproyeksi pada dua dari 1800 glomeruli.
Hal ini menyebabkan adanya proyeksi yang berbeda-beda untuk setiap odoran.
b. Adaptasi
Sel olfaktori mengalami adaptasi yang cepat pada detik pertama, yaitu sekitar 50%
adaptasi terjadi. Sedangkan, 50% adaptasi sisanya terjadi dalam waktu yang lambat. Adaptasi ini
diperankan oleh sel-sel pada glomerulus di bulbus olfaktorius dan sistem saraf pusat. Pada
glomerulus, terdapat sel periglomerular dan sel granul. Kedua sel tersebut berperan dalam
inhibisi lateral yang dicetuskan oleh sinyal pada sel mitral dan sel tufted. Sel mitral dan sel tufted
yang teraktivasi kemudian melepaskan neurotransmiter glutamat dan menyebabkan eksitasi sel
granul. Sel granul tersebut kemudian melepaskan GABA dan menginhibisi sel mitral dan sel
tufted. Sel periglomerular dan sel granul tersebut juga berespon terhadap feedback dari sel saraf
pusat yang menginhibisi sel olfaktorius, sehingga terjadi penekanan pada transmisi sinyal yang
menuju bulbus olfaktorius. Selain itu, adaptasi ini juga diperankan oleh aktivasi ion Ca2+
melalui kanal ion CNG (cyclic nucleotide-gated) yang mengaktivasi kalmodulin. Ion Ca2+ ini
menyebabkan adaptasi dari mekanisme transduksi dan penurunan respons terhadap stimulus.
Sedangkan, adaptasi yang diperankan oleh sistem saraf pusat memiliki peran yang lebih besar
dibandingkan adaptasi pada glomerulus.
c. Jaras olfaktorius
Sinyal pada sel mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius menjalar menuju traktus
olfaktorius. Traktus olfaktorius kemudian menuju area olfaktorius primer pada korteks serebral,
yaitu pada lobus temporalis bagian inferior dan medial. Aktivasi pada area ini menyebabkan
adanya kesadaran terhadap odoran tertentu yang dihirup. Selain itu, traktus tersebut menuju dua
area, yaitu area olfaktorius medial dan area olfaktorius lateral.
Gangguan penghidu. 2
Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia. Sedangkan Anosmia
B.
a. Anamnesis
Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis gangguan
penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat trauma kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi
saluran nafas atas, riwayat penyakit sistemik, riwayat penyakit neurodegeneratif, kebiasaan
merokok, dan semua faktor yang bisa menyebabkan gangguan penghidu.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi anterior, posterior
dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan di hidung, seperti inflamasi, polip,
hipertrofi konka, septum deviasi, penebalan mukosa, dan massa tumor akan mempengaruhi
proses transport odoran ke area olfaktorius.
c. Pemeriksaan pencitraan.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan evaluasi
kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau kelainan dihidung.
Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak memberikan data tentang kelainan ini. Pemeriksaan
tomografi komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk memperlihatkan adanya
massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan pada celah olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk kelainan pada
jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan adanya tumor.
d. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.
Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan menggunakan odoran
tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada beberapa jenis pemeriksaan ini, diantaranya
yang paling sederhana adalah tes alkohol 12 inci, namun untuk memperoleh derajat keparahan
gangguan penghidu dapat menggunakan tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell
Identification)
1. Tes alkohol 12 inci
Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 12 inci,
menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12
inci dari hidung pasien.
2. Tes UPSIT
Tes UPSIT berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku yang masing-masing
berisi 10 odoran.2 Pemeriksaan dilakukan dengan menghidu buku uji, dimana didalamnya
8
terkandung 10-50 odoran. Hasilnya pemeriksaan akan dibagi menjadi 6 kategori yaitu
normosmia, mikrosmia ringan, mikrosmia sedang, mikrosmia berat, anosmia, dan malingering.
C.
Penatalaksanaan 2.3.4
a. Memutus infeksi
b. Antihistamin apabila diindikasikan pada penderita alergi dan menghindari
allergen
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat
d. Penggunaan dekongestan nasal dapat membantu melebarkan rongga
hidung
e. Penggunaan kortikosteroid sistemik atau topical bila diperlukan
f. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman
g. Koreksi operasi pada gangguan neoplasma
h. Anosmia akibat proses degenerasi tidak ada pengobatannya
i. Kerusakan N. Olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk
10
BAB II PEMBAHASAN
A. Identitas penderita
Nama
: Ny. S
Umur
: 47 tahun
Alamat
: Kraksaan
Jenis kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
Diperiksa
: 24 Juni 2015
B. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 24 Juni 2015
Keluhan Utama : Tidak bisa membau
Riwayat Penyakit Sekarang :
Lokasi
: Hidung
Onset
Kronologi: tidak bisa membau sejak 1 bulan yang lalu. Kemampuan membau menurun sejak
5 bulan yang lalu semakin lama semakin memburuk. Hidung tersumbat dan meler lendir
bening tidak ada darah tidak nyeri terutama saat malam hari kemudian membaik saat pagi
hari. Untuk mengatasi keluhan tersebut pasien mengkonsumsi obat minum yang diperoleh
dari dokter umum. Pasien merasa hidungnya tidak bau, saat dikonfirmasi ke suami pasien,
suami pasien membenarkan hal tersebut.
Faktor
memperberat/memperingan:
memburuk
saat
malam
hari.
Membaik
saat
mengkonsumsi obat
Rhinitis kronis
Penderita dari ekonomi menengah rutin berobat ke dokter umum bila gejalanya kambuh
Riwayat Pengobatan
Pasien sering minum obat pilek bila gejalanya kambuh
C. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 24 juni 2015
Keadaan umum
: Cukup
Kesadaran
TV
:T
: tidak diperiksa
: tidak diperiksa
RR
: tidak diperiksa
: tidak diperiksa
Kepala
Kulit
Mata
Leher
Dada
Jantung
Paru-paru
Abdomen
Hidung
Mulut
D. Daftar Abnormalitas
12
: tes allergen
MRI
F. Diagnosa
Anosmia ec rhinitis alergi kronis
G. Penatalaksanaan
Medikamentosa:
Corticosteroid nasal spray 1-0-0
Non medikamentosa:
Menghindari alergen
Memakai masker
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting.
2. Area penghidu terdapat di atap rongga hidung, stimuli akan diteruskan ke bulbus olfaktorius,
dan traktus olfaktorius di otak.
3. Penyebab gangguan penghidu adalah gangguan transport, gangguan sensoris, dan gangguan
pada saraf olfaktorius.
4. Penyakit gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi saluran
nafas atas.
5. Pada pasien diatas penyebab dari penurunan fungsi penghidu disebabkan oleh penyakit
sinonasal yaitu rhinitis alergi
6. Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik dan rhinitis alergi dapat berupa gangguan
konduktif dan gangguan saraf
7. Pemberian kortikosteroid nasal spray dapat mengurangi peradangan mukosa hidung
8. Pasien akan bisa membau kembali jika berupa ganguan konduktif
9. Prognosa buruk bila ganguan terdapat pada saraf olfaktorius
10. Memerlukan follow-up lebih lanjut.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Herawati sri, Rukmini Sri. Ilmu penyakit hidung tenggorok. ECG 2003
2. Effy huriyati, Bestari Jaka Budiman, Tuti nelvia. Gangguan fungsi penghidu dan
pemeriksaannya Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. RSUP Dr. M. Djamil
Padang
3. selvianti, irwan kristyono. Patofosiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa. RSUD dr. Soetomo Surabaya
4. stenner M, topical therapy in anosmia: relevance of steroid-responsivenes. Laryngoscope.
2008
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2006.
6. Tortora GJ, Derrickson B. Principples of Anatomy and Physiology. USA: John Wiley and
Sons. 2009
7. Ganong WF. Review Of medical Physiology. Ed ke-21. USA : McGraw-Hill. 2003
8. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC; 2007.
9. Kuehnel.Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy, 4th ed Stuttgart:
15