You are on page 1of 15

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Kavum Nasi 1


Rongga hidung dibagi dua bagian, kanan dan kiri di garis median oleh septum nasi yang
sekaligus menjadi dinding medial dari rongga hidung. Kerangka septum dibentuk oleh (a) lamina
perpendikularis tulang etmoid (superior)
(b) kartilago kuadrangularis (anterior)
(c) tulang vomer (posterior)
(d) Krista maksila dan Krista palatina (bawah) yang menghubungkan septum dengan dasar
rongga hidung.
a. Konka nasi
Di dalam kavum nasi terdapat 3 pasng konka nasi, yaitu konka nasi inferior, konka nasi
medius dan konka nasi superior.
b. Meatus nasi
Meatus nasi inferior merupakan celah yang tedapat di bawah konka inferior. Dekat ujung
anteriornya terdapat ostium (muara) duktus nasolakrimalis. Muara ini sering kali dilindungi oleh
lipatan mukosa yang disebut katup dari Hasner (plika lakrimalis Hasner).
c. Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dan n.oftalmikus (N.V-I).
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan
kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga
atas hidung.
B. Histologi Kavum Nasi 8,9
a. Mukosa Hidung
Epitel mukosa hidung terdiri dari beberapa jenis, yaitu epitel skuamous kompleks pada
vestibulum, epitel transisional terletak tepat di belakang vestibulum dan epitel kolumnar berlapis
semu bersilia pada sebagian mukosa respiratorius

Sedangkan pada konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi
menghidu/membau. Epitel olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel
olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan
bersilia, berfungsi sebagai reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron
olfaktorius otak), sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria.
Kelenjar Bowman menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membau zat-zat.
b. Palut lendir
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat, merupakan bahan yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukus dan kelenjar lakrimal. Terdiri dari dua lapisan
yaitu lapisan yang menyelimuti batang silia dan mikrovili (sol layer) yang disebut lapisan
perisiliar
c. Membrana Basalis
Membrana basalis terdiri atas lapisan tipis membran rangkap dibawah epitel. Di bawah
lapisan rangkap ini terdapat lapisan yang lebih tebal yang terdiri atas kolagen dan fibril retikulin.
d. Lamina Propia
Lamina propria merupakan lapisan dibawah membrana basalis. Lapisan ini dibagi atas
empat bagian yaitu lapisan subepitelial yang kaya akan sel, lapisan kelenjar superfisial, lapisan
media yang banyak sinusoid kavernosus dan lapisan kelenjar profundus. Lamina propria ini

terdiri dari sel jaringan ikat, serabut jaringan ikat, substansi dasar, kelenjar, pembuluh darah dan
saraf.
C. Fisiologi Penghidu ,5,6,7
a. Eksitasi pada sel olfaktori
Reseptor penghidu terletak pada superior nostril, yaitu pada septum superior pada
struktur yang disebut membran olfaktori. Bagian dari saraf penghidu yang berkaitan langsung
dengan odoran, molekul penghidu, yaitu silia dari sel olfaktori. Sebelum dapat menempel dengan
silia sel olfaktori, odoran tersebut harus dapat larut dalam mukus yang melapisi silia tersebut.
Odoran yang hidrofilik dapat larut dalam mukus dan berikatan dengan reseptor pada silia
tersebut, yaitu pada protein reseptor pada membran silia sel olfaktori. Pengikatan antara reseptor
dengan odoran menyebabkan aktivasi dari protein G, yang kemudian mengaktivasi enzim adenil
siklase dan mengaktifkan cAMP. Pengaktifan cAMP ini membuka kanal Na+ sehingga terjadi
influks natrium dan menyebabkan depolarisasi dari sel olfaktorius. Depolarisasi ini kemudian
menyebabkan potensial aksi pada saraf olfaktorius dan ditransmisikan hingga sampai ke korteks
serebri.

Pada keadaan istirahat, resting potential dari sel olfaktori yaitu sebesar -55mV.
Sedangkan, pada keadaan terdepolarisasi, membrane potential sel olfaktori yaitu sebesar -30mV.
Graded potential dari sel olfaktori menyebabkan potensial aksi pada sel mitral dan tufted yang
terdapat pada bulbus olfaktorius.

Pada membran mukus olfaktori, terdapat ujung saraf bebas dari saraf trigeminus yang
menimbulkan sinyal nyeri. Sinyal ini dirangsang oleh odoran yang bersifat iritan, seperti
peppermint, menthol, dan klorin. Perangsangan ujung saraf bebas ini menyebabkan bersin,
lakrimasi, inhibisi pernapasan, dan refleks respons lain terhadap iritan hidung.
Terdapat tiga syarat dari odoran tersebut supaya dapat merangsang sel olfaktori, yaitu:

Bersifat larut dalam udara, sehingga odoran tersebut dapat terhirup hidung

Bersifat larut air/hidrofilik, sehingga odoran tersebut dapat larut dalam mukus dan
berinteraksi dengan silia sel olfaktorius

Bersifat larut lemak/lipofilik, sehingga odoran tersebut dapat berikatan dengan reseptor
silia sel oflaktorius
Penghidu pada manusia dapat mendeteksi berbagai jenis odoran yang berbeda, namun

sulit untuk dapat membedakan intensitas odoran yang berbeda. Untuk dapat membedakan
intensitas tersebut, perlu terdapat perbedaan konsentrasi odoran sebesar 30%. Kemampuan
penghidu untuk dapat membedakan berbagai odoran yang berbeda diperankan oleh glomerulus
yang terdapat pada bulbus olfaktorius. Terdapat sekitar 1000 dari protein reseptor untuk odoran
yang berbeda, yang masing-masing reseptor tersebut terdapat pada satu sel olfaktori. Terdapat
sekitar 2 juta sel olfaktori yang masing-masingnya berproyeksi pada dua dari 1800 glomeruli.
Hal ini menyebabkan adanya proyeksi yang berbeda-beda untuk setiap odoran.
b. Adaptasi
Sel olfaktori mengalami adaptasi yang cepat pada detik pertama, yaitu sekitar 50%
adaptasi terjadi. Sedangkan, 50% adaptasi sisanya terjadi dalam waktu yang lambat. Adaptasi ini
diperankan oleh sel-sel pada glomerulus di bulbus olfaktorius dan sistem saraf pusat. Pada
glomerulus, terdapat sel periglomerular dan sel granul. Kedua sel tersebut berperan dalam
inhibisi lateral yang dicetuskan oleh sinyal pada sel mitral dan sel tufted. Sel mitral dan sel tufted
yang teraktivasi kemudian melepaskan neurotransmiter glutamat dan menyebabkan eksitasi sel
granul. Sel granul tersebut kemudian melepaskan GABA dan menginhibisi sel mitral dan sel
tufted. Sel periglomerular dan sel granul tersebut juga berespon terhadap feedback dari sel saraf
pusat yang menginhibisi sel olfaktorius, sehingga terjadi penekanan pada transmisi sinyal yang
menuju bulbus olfaktorius. Selain itu, adaptasi ini juga diperankan oleh aktivasi ion Ca2+
melalui kanal ion CNG (cyclic nucleotide-gated) yang mengaktivasi kalmodulin. Ion Ca2+ ini
menyebabkan adaptasi dari mekanisme transduksi dan penurunan respons terhadap stimulus.
Sedangkan, adaptasi yang diperankan oleh sistem saraf pusat memiliki peran yang lebih besar
dibandingkan adaptasi pada glomerulus.

c. Jaras olfaktorius
Sinyal pada sel mitral dan sel tufted pada bulbus olfaktorius menjalar menuju traktus
olfaktorius. Traktus olfaktorius kemudian menuju area olfaktorius primer pada korteks serebral,
yaitu pada lobus temporalis bagian inferior dan medial. Aktivasi pada area ini menyebabkan
adanya kesadaran terhadap odoran tertentu yang dihirup. Selain itu, traktus tersebut menuju dua
area, yaitu area olfaktorius medial dan area olfaktorius lateral.

1. Area olfaktorius medial


Area ini terdiri atas sekumpulan nukleus yang terletak pada anterior dari hipotalamus.
Nukleus pada area ini merupakan nukleus septal yang kemudian berproyeksi ke hipotalamus dan
sistem limbik. Area ini berperan dalam ekspresi respons primitif terhadap penghidu, seperti
salivasi.
2. Area olfaktorius lateral
Area ini terdiri atas korteks prepiriformis, korteks piriformis, dan nukleus amygdala
bagian korteks. Dari area ini, sinyal diteruskan ke sistem limbik dan hipokampus. Proyeksi
tersebut berperan dalam pembelajaran terhadap respon dari odoran tertentu, seperti respon mual
atau muntah terhadap odoran yang tidak disukai.
Jaras pada kedua area tersebut tidak melewati talamus, seperti jaras pada saraf sensori
lainnya. Namun, terdapat satu jaras olfaktori yang melewati talamus, yaitu nukleus talamus
dorsomedial, dan bersinaps di korteks orbitofrontal kuadran lateroposterior. Jaras ini berperan
pada analisis sadar dari odoran tertentu.
A.

Gangguan penghidu. 2
Kemampuan penghidu normal didefinisikan sebagai normosmia. Sedangkan Anosmia

yaitu hilangnya kemampuan menghidu. Penyebab gangguan penghidu dapat diklasifikasikan


menjadi 3, yaitu gangguan transpor odoran, gangguan sensoris atau reseptor, dan gangguan saraf.
Gangguan transpor disebabkan pengurangan odoran yang sampai ke epitelium olfaktorius,
misalnya pada inflamasi kronik dihidung. Gangguan sensoris disebabkan kerusakan langsung
pada neuroepitelium olfaktorius, misalnya pada infeksi saluran nafas atas, atau polusi udara
toksik. Sedangkan gangguan saraf disebabkan kerusakan pada bulbus olfaktorius dan jalur
sentral olfaktorius, misalnya pada penyakit neurodegeneratif, atau tumor intracranial
Penyakit yang sering menyebabkan gangguan penghidu adalah trauma kepala, infeksi
saluran nafas atas, dan penyakit sinonasal
a. Trauma kepala
Trauma kepala dapat menyebabkan kehilangan sebagian atau seluruh fungsi penghidu.
Hal ini disebabakan kerusakan pada epitel olfaktorius dan gangguan aliran udara dihidung.
Adanya trauma menyebabkan hematom pada mukosa hidung, atau luka pada epitel olfaktorius.
Kerusakan dapat terjadi pada serat saraf olfaktorius, bulbus olfaktorius dan kerusakan otak di
regio frontal, orbitofrontal, dan temporal. Prevalensi gangguan penghidu yang disebabkan
trauma kepala terjadi 15-30% dari kasus gangguan penghidu.

b. Infeksi saluran nafas atas


Infeksi saluran nafas atas yang sering menyebabkan gangguan penghidu yaitu common
cold. Kemungkinan mekanismenya adalah kerusakan langsung pada epitel olfaktorius atau jalur
sentral karena virus itu sendiri yang dapat merusak sel reseptor olfaktorius. Prevalensi gangguan
penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas 11-40% dari kasus gangguan
penghidu. Gangguan penghidu yang disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas tidak seberat
gangguan penghidu yang disebabkan trauma kepala.
c. Penyakit sinonasal
Gangguan penghidu pada penyakit sinonasal seperti rinosinusitis kronik atau rinitis alergi
disebabkan inflamasi dari saluran nafas yang menyebabkan berkurangnya aliran udara dan
odoran yang sampai ke mukosa olfaktorius. Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik dan
rinitis alergi dapat berupa gangguan konduktif atau dan gangguan saraf. Perubahan pada aliran
udara di celah olfaktorius yang disebabkan rinosinusitis kronik yaitu edem atau adanya polip
yang menyebabkan gangguan konduksi.
Inflamasi pada epitel olfaktorius menghasilkan mediator inflamasi yang akan merangsang
hipersekresi dari kelenjar bowmans. Hal ini akan mengubah konsentrasi ion pada mukus
olfaktorius yang akan mengganggu pada tingkat konduksi atau transduksi. Mediator inflamasi
yang dilepaskan oleh limfosit, makrofag, dan eosinofil yaitu sitokin yang bersifat toksik terhadap
reseptor neuron olfaktorius. Disini yang terlibat adalah proses di saraf. Proses inflamasi kronik
bisa menyebabkan kerusakan permanen pada reseptor olfaktorius.11,14,18 Hasil penelitian
Chang20 pada pasien rinosinusitis kronik didapatkan 21%-25% anosmia. Guilermany21
mendapatkan pasien dengan rinitis alergi persisten sedang berat yang mengalami hiposmia
sebesar 84,8%, dan rinitis alergi persisten ringan yang mengalami hiposmia sebesar 20%.
Penyakit lain yang menyebabkan gangguan penghidu adalah penyakit endokrin
(hipotiroid, diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit liver), Kallmann syndrome, penyakit
degeneratif (alzheimer, parkinson, multipel sklerosis), pasca laringektomi, paparan terhadap zat
kimia toksik, peminum alkohol, skizofrenia, tumor intranasal atau intrakranial.
Gangguan penghidu juga ditemukan pada perokok. Disini temukan kerusakan dari
neuroepitel olfaktorius. Pada analisis imunohistokimia ditemukan adanya apoptosis proteolisis
pada neuroepitel olfaktorius.
Obat-obatan dan polusi udara juga berpengaruh terhadap fungsi penghidu seperti obat
kanker, antihistamin, anti mikroba, anti tiroid dan lain lain. Polusi udara yang berpengaruh yaitu
aseton, gas nitrogen, silikon dioksida, dan lain-lain.
7

B.

Diagnosa gangguan fungsi penghidu

a. Anamnesis
Anamnesis sangat diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis gangguan
penghidu. Pada anamnesis ditanyakan riwayat trauma kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi
saluran nafas atas, riwayat penyakit sistemik, riwayat penyakit neurodegeneratif, kebiasaan
merokok, dan semua faktor yang bisa menyebabkan gangguan penghidu.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik THT meliputi pemeriksaan hidung dengan rinoskopi anterior, posterior
dan nasoendoskopi untuk menilai ada atau tidaknya sumbatan di hidung, seperti inflamasi, polip,
hipertrofi konka, septum deviasi, penebalan mukosa, dan massa tumor akan mempengaruhi
proses transport odoran ke area olfaktorius.
c. Pemeriksaan pencitraan.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menyingkirkan kelainan intrakranial dan evaluasi
kondisi anatomis dari hidung, misalnya pada kasus tumor otak atau kelainan dihidung.
Pemeriksaan foto polos kepala tidak banyak memberikan data tentang kelainan ini. Pemeriksaan
tomografi komputer merupakan pemeriksaan yang paling berguna untuk memperlihatkan adanya
massa, penebalan mukosa atau adanya sumbatan pada celah olfaktorius. Pemeriksaan Magnetic
Resonance Imaging (MRI) merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk kelainan pada
jaringan lunak. Pemeriksaan ini dilakukan bila ada kecurigaan adanya tumor.
d. Pemeriksaan kemosensoris penghidu.
Pemeriksaan kemosensoris penghidu yaitu pemeriksaan dengan menggunakan odoran
tertentu untuk merangsang sistem penghidu. Ada beberapa jenis pemeriksaan ini, diantaranya
yang paling sederhana adalah tes alkohol 12 inci, namun untuk memperoleh derajat keparahan
gangguan penghidu dapat menggunakan tes UPSIT (University of Pennsylvania Smell
Identification)
1. Tes alkohol 12 inci
Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap bau, tes alkohol 12 inci,
menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12
inci dari hidung pasien.
2. Tes UPSIT
Tes UPSIT berkembang di Amerika, pada tes ini terdapat 4 buku yang masing-masing
berisi 10 odoran.2 Pemeriksaan dilakukan dengan menghidu buku uji, dimana didalamnya
8

terkandung 10-50 odoran. Hasilnya pemeriksaan akan dibagi menjadi 6 kategori yaitu
normosmia, mikrosmia ringan, mikrosmia sedang, mikrosmia berat, anosmia, dan malingering.

Gambar alat tes UPSIT


e. Pemeriksaan elektrofisiologis fungsi penghidu. Pemeriksaan ini terdiri dari Olfactory EventRelated Potentials (ERPs), dan Elektro-Olfaktogram (EOG).
1. Olfactory Event - Related Potentials (ERPs).
ERPs adalah salah satu pemeriksaan fungsi penghidu dengan memberikan rangsangan
odoran intranasal, dan dideteksi perubahan pada elektroencephalogram (EEG).
Rangsangan odoran untuk memperoleh kemosensori ERPs harus dengan konsentrasi dan
durasi rangsangan yang tepat. Waktu rangsangan yang diberikan antara 1-20 mili detik.
Jenis zat yang digunakan adalah vanilin, phenylethyl alkohol, dan H2S.
2. Elektro-Olfaktogram (EOG).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan elektroda pada permukaan epitel
penghidu dengan tuntunan endoskopi. Kadang pemeriksaan ini kurang nyaman bagi pasien
karena biasanya menyebabkan bersin pada waktu menempatkan elektroda di regio
olfaktorius dihidung.
f. Biopsi neuroepitel olfaktorius.
Biopsi neuroepitel olfaktorius berguna untuk menilai kerusakan sistem penghidu.
Jaringan diambil dari septum nasi superior dan dianalisis secara histologis. Pemeriksaan ini
jarang dilakukan karena invasif.

C.

Penatalaksanaan 2.3.4

a. Memutus infeksi
b. Antihistamin apabila diindikasikan pada penderita alergi dan menghindari
allergen
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat
d. Penggunaan dekongestan nasal dapat membantu melebarkan rongga
hidung
e. Penggunaan kortikosteroid sistemik atau topical bila diperlukan
f. Berhenti merokok dapat meningkatkan fungsi penciuman
g. Koreksi operasi pada gangguan neoplasma
h. Anosmia akibat proses degenerasi tidak ada pengobatannya
i. Kerusakan N. Olfaktorius akibat infeksi virus prognosisnya buruk

10

BAB II PEMBAHASAN
A. Identitas penderita
Nama

: Ny. S

Umur

: 47 tahun

Alamat

: Kraksaan

Jenis kelamin

: Perempuan

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Diperiksa

: 24 Juni 2015

B. Anamnesis
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 24 Juni 2015
Keluhan Utama : Tidak bisa membau
Riwayat Penyakit Sekarang :

Lokasi

: Hidung

Onset

: >5 bulan, progresif

Kualitas : tidak bisa membau total sejak 1 bulan ini

Kuantitas : setiap hari

Kronologi: tidak bisa membau sejak 1 bulan yang lalu. Kemampuan membau menurun sejak
5 bulan yang lalu semakin lama semakin memburuk. Hidung tersumbat dan meler lendir
bening tidak ada darah tidak nyeri terutama saat malam hari kemudian membaik saat pagi
hari. Untuk mengatasi keluhan tersebut pasien mengkonsumsi obat minum yang diperoleh
dari dokter umum. Pasien merasa hidungnya tidak bau, saat dikonfirmasi ke suami pasien,
suami pasien membenarkan hal tersebut.

Faktor

memperberat/memperingan:

memburuk

saat

malam

hari.

Membaik

saat

mengkonsumsi obat

Gejala penyerta: Pusing, meler, mampet.

Riwayat penyakit dahulu :

Rhinitis kronis

Riwayat trauma disangkal

Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat darah tinggi disangkal


11

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita sakit seperti ini

Riwayat sosial ekonomi

Penderita dari ekonomi menengah rutin berobat ke dokter umum bila gejalanya kambuh

Riwayat Pengobatan
Pasien sering minum obat pilek bila gejalanya kambuh
C. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 24 juni 2015
Keadaan umum

: Cukup

Kesadaran

: komposmentis, GCS E4M6V5

TV

:T

: tidak diperiksa

: tidak diperiksa

RR

: tidak diperiksa

: tidak diperiksa

Kepala

: bentuk mesosefal, rambut lurus, turgor dahi cukup

Kulit

: Dalam batas normal

Mata

: Dalam batas normal

Leher

: Dalam batas normal

Dada

: Dalam batas normal

Jantung

: Dalam batas normal

Paru-paru

: Dalam batas normal

Abdomen

: Dalam batas normal

Status lokalis (pemeriksaan THT)


Telinga

: deformitas (-), sekret (-/-),membran timpani intact, nyeri ketok


mastoid (-)

Hidung

Mulut

oral thrush (-), faring

hiperemis, oral ulcer di palatum durum (-),

pembesaran tonsil (-)

D. Daftar Abnormalitas
12

1. Tidak bisa membau


2. Meler
3. Hidung tersumbat
4. Pusing
5. Konka pucat
E. Pemeriksaan penunjang
Prick test

: tes allergen

MRI

: menyingkirkan adanya kelainan anatomi dan neoplasma

F. Diagnosa
Anosmia ec rhinitis alergi kronis
G. Penatalaksanaan
Medikamentosa:
Corticosteroid nasal spray 1-0-0
Non medikamentosa:
Menghindari alergen
Memakai masker

13

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Fungsi penghidu pada manusia memegang peranan penting.
2. Area penghidu terdapat di atap rongga hidung, stimuli akan diteruskan ke bulbus olfaktorius,
dan traktus olfaktorius di otak.
3. Penyebab gangguan penghidu adalah gangguan transport, gangguan sensoris, dan gangguan
pada saraf olfaktorius.
4. Penyakit gangguan penghidu adalah trauma kepala, penyakit sinonasal, dan infeksi saluran
nafas atas.
5. Pada pasien diatas penyebab dari penurunan fungsi penghidu disebabkan oleh penyakit
sinonasal yaitu rhinitis alergi
6. Gangguan penghidu pada rinosinusitis kronik dan rhinitis alergi dapat berupa gangguan
konduktif dan gangguan saraf
7. Pemberian kortikosteroid nasal spray dapat mengurangi peradangan mukosa hidung
8. Pasien akan bisa membau kembali jika berupa ganguan konduktif
9. Prognosa buruk bila ganguan terdapat pada saraf olfaktorius
10. Memerlukan follow-up lebih lanjut.

14

DAFTAR PUSTAKA
1. Herawati sri, Rukmini Sri. Ilmu penyakit hidung tenggorok. ECG 2003
2. Effy huriyati, Bestari Jaka Budiman, Tuti nelvia. Gangguan fungsi penghidu dan
pemeriksaannya Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. RSUP Dr. M. Djamil
Padang
3. selvianti, irwan kristyono. Patofosiologi, diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa. RSUD dr. Soetomo Surabaya
4. stenner M, topical therapy in anosmia: relevance of steroid-responsivenes. Laryngoscope.
2008
5. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical Physiology. Ed ke-11. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2006.
6. Tortora GJ, Derrickson B. Principples of Anatomy and Physiology. USA: John Wiley and
Sons. 2009
7. Ganong WF. Review Of medical Physiology. Ed ke-21. USA : McGraw-Hill. 2003
8. Junqueira LC, Carneiro J. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC; 2007.
9. Kuehnel.Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy, 4th ed Stuttgart:

15

You might also like