Professional Documents
Culture Documents
Dr Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI dan anggota Dewan Pakar Yayasan Nabil
1
Palu-Arit pada sebuah kantor Polisi di Tanjung Priok dijadikan alasan untuk
menangkapi orang saat Razia Agustus itu.
Kemudian pada Razia Agustus juga ditangkap Liem Koen Hian, seorang
tokoh Tionghoa yang mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, yang sebetulnya
memperjuangkan Tionghoa untuk menjadi Indonesia. Setelah ditangkap,
melalui anaknya ia meminta bantuan Mr. Achmad Subardjo, Menteri Luar
Negeri ketika itu agar dapat dibebaskan. Achmad Subardjo yang di masa
revolusi Agustus banyak dibantu Liem Koen Hian, tapi ternyata tidak
memberikan pertolongan saat keluarganya datang minta bantuan.
Penangkapan yang dilakukan Pemerintah terhadap Liem Koen Hian ini,
membuat kekecewaan yang sangat berat. Tidak bisa diterima Liem Koen Hian,
Pemerintah yang dulu ia perjuangkan, justru menangkap dirinya dan akhirnya
Liem melepaskan kewarganegaraan Indonesia untuk menjadi warganegara
China. Sangat mengenaskan, karena seorang pejuang patriot yang lama
berjuang untuk kemerdekaan dan berjuang agar Tionghoa menjadi Indonesia,
akhirnya disakiti dengan kekecewaan berat jadi menolak kewarganegaraan RI
dan menjadi warganegara RRC.
Cerita lain yang juga menarik, dalam penangkapan 2 bulan atas diri pak
Siauw ketika itu, beliau sakit mata dan dirawat di RS Yang Sheng Yi, RS Husada
sekarang. Dan sakit matanya itu harus menjalani operasi mata yang dilakukan
oleh dr. Sie Boen Lian. Jadi Pak Siauw ketika memang betul-betul sakit, tidak
seperti kebiasaan setelah zaman Suharto sampai sekarang, orang kalau
ditahan dalam pemeriksaan jadi sakit. Dan setelah ditahan 2 bulan pak Siauw
dari rumah sakit tidak kembali ke penjara, karena diubah statusnya menjadi
tahanan rumah.
Nah, dalam status masih tahanan rumah, pak Siauw pada satu hari
menghadiri Sidang DPR untuk ikut mendengar laporan Perdana Menteri
Sukiman. Kebetulan di depan pintu DPR, pak Siauw bertemu dengan Perdana
Menteri Sukiman yang sambil bersalaman menanyakan tentang operasi mata
pak Siauw. Pak Siauw memberikan penjelasan seperlunya dan melanjutkan
bahwa malam itu karena ingin mendengar laporan Perdana Menteri, ia
melanggar ketentuan hukum karena dirinya masih dalam status tahan rumah.
Karena Jaksa Agung juga berada di situ, Sukiman kemudian juga menegaskan,
bahwa kehadiran pak Siauw di Sidang DPR malam itu atas ijinnya. Baru esok
paginya, pak Siauw kedatangan kurir yang menyampaikan surat keputusan
Jaksa, perubahan status tahanan rumah menjadi tahanan kota, berlaku surut
dari
kemarin.
Kedua
2
zaman purbakala sampai era reformasi, hanya ada sebuah tulisan tentang etnis
Tionghoa yaitu artikel Leo Suryadinata Peran Kelompok Etnik Tionghoa dan
Kebijakan Negara setebal 26 halaman. Dibandingkan dengan keseluruhan
buku yang tebalnya 5000 halaman maka ulasan tentang budaya dan etnis
Tionghoa hanya 0,5 persen.
Menurut Prof Denys Lombard ada empat mega budaya yang
mempengaruhi kebudayaan Nusantara yakni budaya yang berasal dari India,
China, Arab dan Eropa. Lombard memakai istilah nebula. Semua nebula itu
diajarkan dalam sejarah resmi Indonesia kecuali nebula China.
Jasa kebudayaan China bagi perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan
teknologi) di Nusantara sangat signifikan. Kehidupan kita sehari-hari bisa
berjalan dan berkembang seperti sekarang ini berkat ilmu dan teknologi yang
berasal dari kebudayaan China, sebagaimana diuraikan dalam berbagai
tulisan Denys Lombard dan Claudine Salmon. Orang Belanda yang berada di
pulau Jawa pada mulanya tidak begitu memperhatikan pertanian. Orang
China-lah yang telah mengembangkan budidaya padi. Setiap tahun banyak
jung (kapal besar dari kayu) datang ke sini untuk berdagang sambil membawa
sekitar 1200-1300 orang China untuk dipekerjakan terutama di tanah pertanian.
Pada abad ke-17 orang-orang China di Batavia mengembangkan budi
daya tebu untuk perdagangan. Penggilingan tebu dilakukan secara sederhana
dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar seekor sapi
dengan
perantaraan sebuah sistem roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4,5 meter.
Kedua tabung itu tegak lurus, tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua
kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Karena kekurangan bahan
bakar untuk tungku, sejak tahun 1815 industri gula ini dipindahkan ke Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Budi daya padi bukanlah monopoli etnis Cina, tetapi mereka berjasa
dalam menemukan teknik baru seperti alat penyosoh padi pada tahun 1750
yang dengan dua-tiga ekor sapi bisa mengolah sampai 500 ton per hari
menggantikan sistem tumbuk tradisional dengan lesung berkapasitas 100 ton
per hari. Penyebaran alat tersebut merangsang produksi beras dan mengatasi
masalah persediaan pangan di Batavia saat itu.
Orang-orang Cina mengembangkan penyulingan arak sejak tahun 1611.
Orang Cina pula yang mendatangkan ke pulau Jawa tanaman seperti kapas
dan terung serta membudidayakan bermacam sayur dan buah-buahan.
Tanaman yang mengandung protein yang diperkenalkan etnis Cina adalah
kacang hijau yang semua produk olahannya diberi nama China yaitu tauge
(kecambah), tahu dan taoco. Dari sejenis kacang-kacangan dibuat kecap.
Orang Cina juga pionir dalam bidang metalurgi dan pertambangan. Etnis
China bekerja di tambang timah di Bangka dan emas di Kalimantan Barat
(paruh pertama abad ke-19). Teknik yang digunakan penambang Cina ini
sangat efisien pada zamannya. Barang lain yang juga dibuat orang Cina
adalah jarum jahit (bahkan busana yang dijahit pun berasal dari Cina) dan
perkakas dapur yakni kuali. Etnis Cina juga berperan sebagai pengecor meriam
di Aceh dan Patani.
Etnis Cina juga menyumbang teknologi kelautan. Merekalah yang
membuat kapal yang digunakan oleh Pati Unus, pangeran dari Jepara, untuk
menyerang Malaka. Etnis Cina juga berperan aktif dalam pembudidayaan
tiram, kerang dan ikan di tambak-tambak. Teknik pembuatan garam juga
dikembangkan oleh orang Cina.
Etnis Tionghoa memang minoritas dalam hal jumlah penduduk, tetapi
memegang peran mayoritas dalam sektor perekonomian nasional. Mereka
ditampilkan minimal dalam sejarah Indonesia. Sumbangan budaya Cina
signifikan dalam peradaban Nusantara, sayang ini tidak ditulis dan diajarkan di
sekolah.
Kelima
Salah satu perjuangan Siauw Giok Tjhan yang penting adalah
mewujudkan nasion Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa
termasuk suku Tionghoa. Menurut Siauw, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa
yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan
demikian suku Tionghoa adalah bagian dari nasion Indonesia. Berdasarkan
pengertian inilah, Siauw mengemukakan konsep integrasi. Setiap suku, termasuk
suku Tionghoa harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh nasion
Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi
nasional Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berdasarkan prinsip ini
Siauw Giok Tjhan berpendapat bahwa setiap suku tetap mempertahankan
nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku
lainnya dalam membangun Indonesia. Karena itu Siauw menentang konsep
asimilasi yang dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan
Bangsa). Menurut pandangan ini, menghilangkan ketionghoaannya (ganti
nama dan menanggalkan kebudayaan serta kawin campuran) dapat
melenyapkan diskriminasi rasial. Walaupun Siauw juga tidak menolak proses
asimilasi yang berjalan secara wajar dan sukarela.
Konsep integrasi ini didukung Presiden Sukarno. Pada pembukaan
Kongres Nasional ke-8 Baperki di Istora Bung Karno 14 Maret 1963, Bung Karno
mengecam imperialisme yang tidak boleh ada persatuan antara mayoritas
6
Hal itu ternyata tidak disinggung dalam acara imlek bersama tersebut namun
Murdaya Poo berjanji akan menyampaikan secara langsung kepada Presiden
atau Menteri Sekretaris Negara.
Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono secara resmi mencabut
surat Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28
Juni 1967 dengan Surat Keputusan Presiden no 12, tanggal 12 Maret 2014.
Sebuah masalah besar yang tersisa dari warisan Orde Baru akhirnya dapat
diselesaikan dengan baik. Ini menjadi angpao besar pada Perayaan Cap Go
Meh 2014.
Seperti diketahui adanya surat edaran tersebut telah menekan perasaan
masyarakat Tionghoa dan menimbulkan ketegangan dalam hubungan
dengan pihak Negara Tiongkok, yang sesungguhnya tidak membawa manfaat
pada siapa pun juga. Keputusan Presiden itu mempertimbangkan bahwa
Pertama, penggantian penggunaan istilah Tionghoa/Tiongkok dengan
istilah Tjina telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam
relasi sosial yang dialami warga bangsa yang berasal dari keturunan
Tionghoa.
Kedua, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang,
kelompok, komunitas dan atas ras tertentu pada dasarnya melanggar
nilai, prinsip, perlindungan hak asasi manusia karena itu bertentangan
dengan Undang Undang Dasar
RI tahun 1945, Undang-Undang
tentang HAM dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis.
Ketiga, sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan semakin erat
hubungan bilateral dengan Tiongkok, maka dipandang perlu untuk
memulihkan sebutan yang tepat bagi Negara Peoples Republic of
China dengan sebutan Negara Republik Rakyat Tiongkok.
Presiden memutuskan:
Pertama, mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium
Kabinet Ampera no SE-06/Pres-Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.
Kedua, dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka dalam semua
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang
dan atau komunitas Tjina/China/Cina dirubah menjadi orang dan atau
komunitas Tionghoa dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat
China dirubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.