You are on page 1of 9

Seabad Siauw Giok Tjhan

Asvi Warman Adam1


Dalam bedah buku Renungan Seorang Patriot Indonesia, Siauw Giok
Tjhan tanggal 22 Mei 2010 di Jakarta saya telah membahas dua aspek dalam
buku tersebut yakni, pertama Razia Sukiman dan kedua G30S. Pada diskusi
yang diselenggarakan Gema INTI di Kemayoran Jakarta tanggal 29 Maret 2014
saya menambahkan dua aspek lagi yaitu, ketiga, masalah sejarah Universitas
Res Publica dan Trisakti serta, keempat, penulisan sejarah Tionghoa dalam
buku pengajaran sejarah di sekolah. Untuk penulisan buku ini ditambahkan satu
hal lagi yakni masalah kewarganegaraan yang merupakan sumbangan Siauw
Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia dan diakhiri dengan epilog (mengakhiri
diskriminasi Tionghoa).
Pertama
Pada bulan Agustus 1951 terjadi apa yang disebut Razia Agustus.
Kabinet waktu itu dipimpin oleh Sukiman dari Masyumi dan Suwirjo dari PNI,
sehingga ada yang menjuluki kabinet Su-Su. Kabinet Su-Su ini
menandatangani perjanjian Pertahanan dengan Amerika dan karena AS ketika
itu sedang menghadapi Perang di Korea, suasana Perang Dingin dengan
sendirinya juga terpantul ke Indonesia. Pemerintah Kabinet Su-Su --untuk
membuktikan mereka anti komunis-- menangkap sekitar lebih 2000 orang yang
dianggap komunis dan kiri. Dalam penangkapan terjadi banyak kekeliruan,
banyak salah tangkap. Misalnya terjadi penangkapan atas diri Abdulah Aidit
yang merupakan ayah DN Aidit. Abdullah Aidit ini adalah seorang tokoh dari
fraksi Masyumi, hanya karena sama-sama Aidit kena tangkap juga.
Terjadi juga penangkapan atas diri Sutan Syahrir sekalipun dari Partai
Sosialis, tapi dia itu tergolong Sosialis-kanan. Ketika itu, ditangkap pula Ang Yan
Gwan pendiri Suratkabar Sin Po dan Siauw Giok Tjhan. Dan ketika diinterogasi,
yang menjadi pertanyaan Di mana saat Peristiwa Madiun September 1948.
Pertanyaan yang sama diajukan pada tawanan saat G30S, Di mana
keberadaan saat 30 September 1965, demikian diungkapkan John Roosa,
penulis Buku Dalih Pembunuhan Massal, yang dilarang itu. Patut juga diteliti
lebih lanjut, alasan penangkapan tersebut atau provokasi yang dilakukan agar
ada alasan untuk menangkap. Aksi penyerbuan sekelompok pemuda berkaos

Dr Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI dan anggota Dewan Pakar Yayasan Nabil
1

Palu-Arit pada sebuah kantor Polisi di Tanjung Priok dijadikan alasan untuk
menangkapi orang saat Razia Agustus itu.
Kemudian pada Razia Agustus juga ditangkap Liem Koen Hian, seorang
tokoh Tionghoa yang mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, yang sebetulnya
memperjuangkan Tionghoa untuk menjadi Indonesia. Setelah ditangkap,
melalui anaknya ia meminta bantuan Mr. Achmad Subardjo, Menteri Luar
Negeri ketika itu agar dapat dibebaskan. Achmad Subardjo yang di masa
revolusi Agustus banyak dibantu Liem Koen Hian, tapi ternyata tidak
memberikan pertolongan saat keluarganya datang minta bantuan.
Penangkapan yang dilakukan Pemerintah terhadap Liem Koen Hian ini,
membuat kekecewaan yang sangat berat. Tidak bisa diterima Liem Koen Hian,
Pemerintah yang dulu ia perjuangkan, justru menangkap dirinya dan akhirnya
Liem melepaskan kewarganegaraan Indonesia untuk menjadi warganegara
China. Sangat mengenaskan, karena seorang pejuang patriot yang lama
berjuang untuk kemerdekaan dan berjuang agar Tionghoa menjadi Indonesia,
akhirnya disakiti dengan kekecewaan berat jadi menolak kewarganegaraan RI
dan menjadi warganegara RRC.
Cerita lain yang juga menarik, dalam penangkapan 2 bulan atas diri pak
Siauw ketika itu, beliau sakit mata dan dirawat di RS Yang Sheng Yi, RS Husada
sekarang. Dan sakit matanya itu harus menjalani operasi mata yang dilakukan
oleh dr. Sie Boen Lian. Jadi Pak Siauw ketika memang betul-betul sakit, tidak
seperti kebiasaan setelah zaman Suharto sampai sekarang, orang kalau
ditahan dalam pemeriksaan jadi sakit. Dan setelah ditahan 2 bulan pak Siauw
dari rumah sakit tidak kembali ke penjara, karena diubah statusnya menjadi
tahanan rumah.
Nah, dalam status masih tahanan rumah, pak Siauw pada satu hari
menghadiri Sidang DPR untuk ikut mendengar laporan Perdana Menteri
Sukiman. Kebetulan di depan pintu DPR, pak Siauw bertemu dengan Perdana
Menteri Sukiman yang sambil bersalaman menanyakan tentang operasi mata
pak Siauw. Pak Siauw memberikan penjelasan seperlunya dan melanjutkan
bahwa malam itu karena ingin mendengar laporan Perdana Menteri, ia
melanggar ketentuan hukum karena dirinya masih dalam status tahan rumah.
Karena Jaksa Agung juga berada di situ, Sukiman kemudian juga menegaskan,
bahwa kehadiran pak Siauw di Sidang DPR malam itu atas ijinnya. Baru esok
paginya, pak Siauw kedatangan kurir yang menyampaikan surat keputusan
Jaksa, perubahan status tahanan rumah menjadi tahanan kota, berlaku surut
dari
kemarin.
Kedua
2

Kemudian masalah kedua, peristiwa Gerakan 30 September, di mana


pak Siauw namanya dicantumkan dalam 45 anggota Dewan Revolusi.
Sebagaimana kita ketahui, akhirnya pak Siauw harus meringkuk dalam
tahanan selama 12 tahun, sedang Baperki termasuk organisasi yang
dibubarkan dan Universitas Baperki yang kemudian menjadi Universitas Res
Publica juga sempat dirusak dan dibakar. Pak Siauw selama dalam penjara
menjadi ilmuwan sosial, mewawancarai berbagai tahanan dan melakukan
analisa sekitar peristiwa G30S. Catatan-catatan, kumpulan cerita yang
didapatkan pak Siauw dalam penjara Salemba, RTM dan Nirbaya dari
wawancara dengan para tahanan di situ, ternyata menjadi bahan dasar dari
tulisan John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal. Karena
catatan-catatan dan cerita-cerita dari percakapan para tahanan yang
diwawancarai itu merupakan bahan yang lengkap dan meyakinkan,
mengungkap banyak hal, termasuk Biro Khusus, siapa saja yang berperan disitu.
Dan menurut saya, buku John Roosa Dalih Pembunuhan Massal ini
merupakan buku versi terakhir masalah G30S yang paling sahih dan ternyata
buku ini dilandasi oleh catatan yang ditulis oleh pak Siauw Giok Tjhan dari
cerita-cerita hasil wawancara selama di tahanan.
Kemudian saya pada tanggal 7-9 Mei 2010 menghadiri konperensi
Internasional ISSCO (International Society for the Study of Chinese Overseas)
ketujuh di Singapura. Ada pembicara yang membahas masalah Tionghoa
Islam di Indonesia, dari Wali Songo sampai Antonio Safei dengan ekonomi
Syariahnya, juga ada yang menulis masalah Anton Medan dengan ekonomi
spanduknya. Ada juga yang menulis masalah di Rembang, bagaimana
Klenteng berubah menjadi Vihara di masa Orba, tapi kemudian berubah lagi
menjadi Klenteng pasca Orba. Dibahas juga di situ bagaimana hubungan
Tionghoa dengan gereja Kristen dan Pantekosta yang tidak terlepas dari
hubungan bisnis. Disinggung juga kegiatan-kegiatan ritual Tionghoa seperti di
Singkawang, misalnya. Tapi sayang tidak ada yang membahas dan menulis
masalah Tionghoa yang terkait sehubungan dengan Baperki seperti dalam
buku Siauw Giok Tjhan ini.
Ketiga
Dalam pertemuan di rumah Ali Sadikin di Jalan Borobudur Jakarta, saya
diberitahu Pak Ramadhan KH bahwa ia telah menulis buku atau liflet Lahirnya
Universitas Trisakti. Buku itu memang dipesan oleh Yayasan Trisakti yang
diketuai oleh K. Sindhunatha. Namun Pak Ramadhan dikenal piawai dalam
menulis. Ketika menulis Otobiografi Suharto pun ia bisa menggali dan
mengungkapkan fakta yang tidak terduga. Misalnya pengakuan Suharto
tentang kasus Petrus (pembunuhan misterius) tahun 1980-an.
3

Pak Ramadhan KH mengirim fotokopi tulisan itu kepada saya dengan


catatan pada halaman depan lihat halaman 30+31 dan seterusnya. Apa
yang ada pada halaman tersebut ?
Terdapat catatan kaki no 49 yang berbunyi Surat Dr Go Gien Tjwan
kepada Ramadhan KH. 10 November 2000 Siauw Giok Tjhan minta saya (Go
Gien Tjwan) datang untuk merundingkan naskah surat yang sudah ia tulis sendiri
yang ditujukan pada Kementerian (Departemen?) Pendidikan dan
Pengetahuan (dan) Kebudayaan (Departemen PTIP, Ramadhan KH) dan yang
Sekretaris Jenderalnya adalah Jenderal Dr Sumantri Hardjoprakoso, kakak atau
adik (?) Ir Pudjono. Inti surat itu yang semestinya (?) masih ada dalam arsip
Kementerian (Departemen ?) ialah bahwa Yayasan Pendidikan dan
Kebudayaan Baperki selama tidak atau belum dapat mengurus Ureca
menyerahkan kepengurusannya pada pemerintah. Saya (Go Gien
Tjwan)dengan Siauw Giok Tjhan harus menandatangani surat penyerahan
manajemen (bukan hibah) pada pemerintah.
Keempat
Pada Kongres Pemuda kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda tahun
1928 terdapat beberapa orang pemuda Tionghoa, bahkan gedung tempat
berlangsungnya peristiwa monumental itu juga milik seorang Tionghoa. Ketika
Sukarno-Hatta dibawa pemuda ke Rengas Dengklok 16 Agustus 1945, kedua
tokoh itu beristirahat pada rumah seorang Tionghoa. Dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, beberapa tokoh
Tionghoa terlibat intensif dalam perdebatan tentang konstitusi dan bentuk
negara.
Dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1945-1949
orang-orang Tionghoa turut berjuang. Salah satu di antaranya Mayor John Lie
yang baru diangkat pahlawan nasional tahun 2009 setelah 50 tahun
berlangsung pemberian gelar tersebut. Itu pun belum dimasukkan dalam
pelajaran sejarah di sekolah. Dalam rangka mengisi kemerdekaan etnis
Tionghoa berperan dalam berbagai bidang termasuk olahraga. Dari kalangan
mereka ini lahir juara badminton All England tujuh kali berturut-turut. Kontingen
Indonesia hanya akan pulang tanpa membawa medali emas di Olimpiade bila
tidak ada atlet bulutangkis Tionghoa.
Di bawah pemerintahan Suharto, tiga pilar budaya Tionghoa yakni pers,
organisasi dan sekolah dirubuhkan. Dalam kurikulum sejarah tidak disinggung
sama sekali kebudayaan China atau sumbangan etnis China bagi peradaban
Indonesia. Setelah era reformasi memang terdapat perubahan namun sangat
terbatas. Dalam buku teks Indonesia dalam Arus Sejarah yang terdiri 8 jilid dari
4

zaman purbakala sampai era reformasi, hanya ada sebuah tulisan tentang etnis
Tionghoa yaitu artikel Leo Suryadinata Peran Kelompok Etnik Tionghoa dan
Kebijakan Negara setebal 26 halaman. Dibandingkan dengan keseluruhan
buku yang tebalnya 5000 halaman maka ulasan tentang budaya dan etnis
Tionghoa hanya 0,5 persen.
Menurut Prof Denys Lombard ada empat mega budaya yang
mempengaruhi kebudayaan Nusantara yakni budaya yang berasal dari India,
China, Arab dan Eropa. Lombard memakai istilah nebula. Semua nebula itu
diajarkan dalam sejarah resmi Indonesia kecuali nebula China.
Jasa kebudayaan China bagi perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan
teknologi) di Nusantara sangat signifikan. Kehidupan kita sehari-hari bisa
berjalan dan berkembang seperti sekarang ini berkat ilmu dan teknologi yang
berasal dari kebudayaan China, sebagaimana diuraikan dalam berbagai
tulisan Denys Lombard dan Claudine Salmon. Orang Belanda yang berada di
pulau Jawa pada mulanya tidak begitu memperhatikan pertanian. Orang
China-lah yang telah mengembangkan budidaya padi. Setiap tahun banyak
jung (kapal besar dari kayu) datang ke sini untuk berdagang sambil membawa
sekitar 1200-1300 orang China untuk dipekerjakan terutama di tanah pertanian.
Pada abad ke-17 orang-orang China di Batavia mengembangkan budi
daya tebu untuk perdagangan. Penggilingan tebu dilakukan secara sederhana
dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar seekor sapi
dengan
perantaraan sebuah sistem roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4,5 meter.
Kedua tabung itu tegak lurus, tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua
kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Karena kekurangan bahan
bakar untuk tungku, sejak tahun 1815 industri gula ini dipindahkan ke Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Budi daya padi bukanlah monopoli etnis Cina, tetapi mereka berjasa
dalam menemukan teknik baru seperti alat penyosoh padi pada tahun 1750
yang dengan dua-tiga ekor sapi bisa mengolah sampai 500 ton per hari
menggantikan sistem tumbuk tradisional dengan lesung berkapasitas 100 ton
per hari. Penyebaran alat tersebut merangsang produksi beras dan mengatasi
masalah persediaan pangan di Batavia saat itu.
Orang-orang Cina mengembangkan penyulingan arak sejak tahun 1611.
Orang Cina pula yang mendatangkan ke pulau Jawa tanaman seperti kapas
dan terung serta membudidayakan bermacam sayur dan buah-buahan.
Tanaman yang mengandung protein yang diperkenalkan etnis Cina adalah
kacang hijau yang semua produk olahannya diberi nama China yaitu tauge
(kecambah), tahu dan taoco. Dari sejenis kacang-kacangan dibuat kecap.

Orang Cina juga pionir dalam bidang metalurgi dan pertambangan. Etnis
China bekerja di tambang timah di Bangka dan emas di Kalimantan Barat
(paruh pertama abad ke-19). Teknik yang digunakan penambang Cina ini
sangat efisien pada zamannya. Barang lain yang juga dibuat orang Cina
adalah jarum jahit (bahkan busana yang dijahit pun berasal dari Cina) dan
perkakas dapur yakni kuali. Etnis Cina juga berperan sebagai pengecor meriam
di Aceh dan Patani.
Etnis Cina juga menyumbang teknologi kelautan. Merekalah yang
membuat kapal yang digunakan oleh Pati Unus, pangeran dari Jepara, untuk
menyerang Malaka. Etnis Cina juga berperan aktif dalam pembudidayaan
tiram, kerang dan ikan di tambak-tambak. Teknik pembuatan garam juga
dikembangkan oleh orang Cina.
Etnis Tionghoa memang minoritas dalam hal jumlah penduduk, tetapi
memegang peran mayoritas dalam sektor perekonomian nasional. Mereka
ditampilkan minimal dalam sejarah Indonesia. Sumbangan budaya Cina
signifikan dalam peradaban Nusantara, sayang ini tidak ditulis dan diajarkan di
sekolah.
Kelima
Salah satu perjuangan Siauw Giok Tjhan yang penting adalah
mewujudkan nasion Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa
termasuk suku Tionghoa. Menurut Siauw, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa
yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan
demikian suku Tionghoa adalah bagian dari nasion Indonesia. Berdasarkan
pengertian inilah, Siauw mengemukakan konsep integrasi. Setiap suku, termasuk
suku Tionghoa harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh nasion
Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi
nasional Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berdasarkan prinsip ini
Siauw Giok Tjhan berpendapat bahwa setiap suku tetap mempertahankan
nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku
lainnya dalam membangun Indonesia. Karena itu Siauw menentang konsep
asimilasi yang dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan
Bangsa). Menurut pandangan ini, menghilangkan ketionghoaannya (ganti
nama dan menanggalkan kebudayaan serta kawin campuran) dapat
melenyapkan diskriminasi rasial. Walaupun Siauw juga tidak menolak proses
asimilasi yang berjalan secara wajar dan sukarela.
Konsep integrasi ini didukung Presiden Sukarno. Pada pembukaan
Kongres Nasional ke-8 Baperki di Istora Bung Karno 14 Maret 1963, Bung Karno
mengecam imperialisme yang tidak boleh ada persatuan antara mayoritas
6

dan minoritas. Dipisah-pisahkan mayoritas dari minoritas. Malahan dibentuk


minoritas yang benci kepada mayoritas dan dibuat mayoritas ini benci kepada
minoritas. Sukarno mengatakan Buat apa saya mesti menuntut, yang orang
Peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia,
mau menjadi orang Indonesia, mau mengubah namanya Indonesia, ini sudah
bagus kokTjam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Bahkan Bung
Karno juga menganjurkan rakyat berjuang agar perkataan asli dalam
konstitusi Presiden Republik Indonesia harus orang Indonesia asli dicoret sama
sekali. Keinginan Bung Karno itu kini telah terwujud.
Epilog (Mengakhiri diskriminasi Tionghoa)
Sejak era reformasi telah dilakukan berbagai koreksi terhadap kebijakan
diskriminatif Orde Baru terhadap keturunan Tionghoa. Hari raya Imlek dijadikan
libur fakultatif pada era Presiden Abdurrachman Wahid dan menjadi libur
nasional pada masa kepresidenan Megawati. Konghucu telah kembali diakui
sebagai agama resmi negara walaupun belum dibentuk Direktorat Jenderal di
Kementerian Agama seperti lima agama lainnya. Tidak ada lagi istilah asli
pada warganegara Indonesia.
Walaupun telah dilakukan perbaikan yang signifikan, masih terdapat
aturan yang mengganjal misalnya mengenai penggunaan istilah yang
berkonotasi negatif. Seminar ke-2 Angkatan Darat di Bandung pada tanggal
25 sampai dengan 31 Agustus 1966 mengusulkan penggantian sebutan
Republik Rakjat Tiongkok dan warga-negaranya, menjadi Republik Rakjat
Tjina dan warga negara Tjina, dengan alasan Untuk mengembalikan
sebutan umum kepada pemakaian jang telah lazim terdapat di mana-mana,
baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, dan dalam berbagai bahasa,
sebagai sebutan bagi Negara dan Warga-Negara jang bersangkutan, tetapi
terutama untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknja
menghilangkan rasa superior pada golongan jang bersangkutan di dalam
Negara kita. Hal tersebut di atas kemudian dituangkan ke dalam Surat Edaran
Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 tentang
Masalah Cina.
Peraturan itu bersifat menghasut. Kita tahu sepanjang Orde Baru bukan
hanya penggantian nama etnis tetapi juga penggantian nama perorangan
keturunan Tionghoa dilakukan dengan setengah memaksa. Segala
buku/dokumen yang beraksara Cina disensor oleh pihak imigrasi. Eddie
Lembong dari Yayasan Nabil meminta agar Murdaya Po yang menjadi
penyelenggara Imlek yang diadakan Forum Bersama Indonesia-Tionghoa
Februari 2014 menyampaikan permintaan agar surat edaran tahun 1966 itu
dicabut dalam pidato sambutan yang dihadiri oleh Susilo Bambang Yudoyono.
7

Hal itu ternyata tidak disinggung dalam acara imlek bersama tersebut namun
Murdaya Poo berjanji akan menyampaikan secara langsung kepada Presiden
atau Menteri Sekretaris Negara.
Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono secara resmi mencabut
surat Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28
Juni 1967 dengan Surat Keputusan Presiden no 12, tanggal 12 Maret 2014.
Sebuah masalah besar yang tersisa dari warisan Orde Baru akhirnya dapat
diselesaikan dengan baik. Ini menjadi angpao besar pada Perayaan Cap Go
Meh 2014.
Seperti diketahui adanya surat edaran tersebut telah menekan perasaan
masyarakat Tionghoa dan menimbulkan ketegangan dalam hubungan
dengan pihak Negara Tiongkok, yang sesungguhnya tidak membawa manfaat
pada siapa pun juga. Keputusan Presiden itu mempertimbangkan bahwa
Pertama, penggantian penggunaan istilah Tionghoa/Tiongkok dengan
istilah Tjina telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam
relasi sosial yang dialami warga bangsa yang berasal dari keturunan
Tionghoa.
Kedua, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang,
kelompok, komunitas dan atas ras tertentu pada dasarnya melanggar
nilai, prinsip, perlindungan hak asasi manusia karena itu bertentangan
dengan Undang Undang Dasar
RI tahun 1945, Undang-Undang
tentang HAM dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis.
Ketiga, sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan semakin erat
hubungan bilateral dengan Tiongkok, maka dipandang perlu untuk
memulihkan sebutan yang tepat bagi Negara Peoples Republic of
China dengan sebutan Negara Republik Rakyat Tiongkok.
Presiden memutuskan:
Pertama, mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium
Kabinet Ampera no SE-06/Pres-Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.
Kedua, dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka dalam semua
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang
dan atau komunitas Tjina/China/Cina dirubah menjadi orang dan atau
komunitas Tionghoa dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat
China dirubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

Terlepas dari waktu keluarnya Keputusan Presiden menjelang pemilihan


umum sehingga bisa ditafsirkan untuk menarik dukungan kelompok tertentu
kebijakan itu sangat positif dalam pembentukan nation building yang lebih
pluralis.

You might also like