Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.
Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum terjadi akibat fraktur
berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530 % pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi
tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan
hilangnya darah akibat trauma pelvis. Pasien yang mengalami cedera pelvis berkelanjutan
terbagi dalam dua kategori utama, korban selamat dan tidak selamat. Pada korban yang
tidak selamat, kematian terjadi. Awal kematian umumnya karena perdarahan atau cedera
otak yang terkait. Kematian lanjut biasanya karena sepsis dan kegagalan multiorgan.
Korban sering mengalami implikasi jangka medis dan sosial ekonomi akibat patah tulang
panggul. Ini termasuk masalah kesehatan mental, sakit kronis, arah panggul yang miring,
perbedaan panjang kaki atau rotasi, kelainan gaya berjalan, seksual dan disfungsi urologis
dan pengangguran jangka panjang. Sebuah panggul yang stabil dapat menahan gaya
normal fisiologis vertikal dan rotasi, tetapi baik patah tulang atau cedera ligamen dapat
mengganggu stabilitas pelvis. Gangguan ligamen panggul menciptakan ketidakstabilan
rotasi anterior, sedangkan cedera ligamen posterior menciptakan baik dan vertikal
ketidakstabilan rotasi. Trauma pada pelvis terjadi sekitar 44% kasus. Trauma ini
merupakan akibat dari tabrakan pada salah satu sisi tubuh, yang disebabkan karena mobil
ataupun jalan, fraktur tidak selalu timbul karena hal tersebut. Banyak fraktur minor yang
terjadi pada simphisis pubis atau yang terjadi pada ramus superior dan inferior. Fraktur
lain dapat menjadi luas dan menggangu sendi sacro-iliaca. Trauma pelvis yang lebih berat
terkait dengan perdarahan yang luas di pelvis dan jaringan retroperitoneal dan dapat
berakibat fatal untuk korban, khususnya korban yang lanjut usia.
Kemajuan-kemajuan pada pra rumah sakit, intervensi, bedah dan perawatan krisis
telah menyebabkan peningkatan pada angka ketahanan hidup. Pengikat pelvis secara luas
telah menggantikan celana anti-syok militer (military antishock trousers). Ketersediaan
dan ketelitian intervensi angiografi telah dikembangkan secara luas. Fiksasi pelvis
eksternal dapat diterapkan dengan cepat, seringkali mengurangi volume pelvis, dan
memberikan stabilisasi fraktur sementara. Balutan pelvis, dipopulerkan di Eropa, saat ini
digunakan pada pusat-pusat tertentu di Amerika Utara. Penggunaan algoritma pengobatan
yang telah dibakukan mungkin memperbaiki pengambilan keputusan dan angka ketahanan
2
hidup pasien. Keterlibatan aktif seorang ahli bedah ortopedi yang berpengalaman penting
dalam evaluasi dan perawatan pasien-pasien yang terluka secara serius.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada fraktur pelvic.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui anatomi fisiologis panggul
2. Untuk mengetahui pengertian fraktur pelvic
3. Untuk mengetahui etiologi fraktur pelvic
4. Untuk mengetahui patofisiologi fraktur pelvic
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala fraktur pelvic
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang fraktur pelvic
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan fraktur pelvic
8. Untuk mengetahui komplikasi fraktur pelvic
9. Untuk mengetahui woc fraktur pelvic
10. Untuk mengetahui konsep askep fraktur pelvic
BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR TULANG PANGGUL
A. KONSEP MEDIK
2.1 Anatomi Fisiologi
4
Fraktur panggul adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
fraktur tulang femur pada daerah ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi,
leher, dan daerah trochanter
(http://askep.blogspot.com/)
2.3 Etiologi
1. Trauma
a. Langsung (kecelakaan lalu lintas)
b. Tidak langsung (jatuh dari ketinggian)
2. Patologis : metastase dari tulang
3. Degenerasi
4. Spontan: terjadi tarikan otot sangat kuat
(Brunner & Suddart, 2002)
2.4 Patofisiologi
Menurut Muttaqin, A (2008) patofisiologis terjadinya trauma pelvic sebagai berikut:
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar atau
karena jatuh dari ketinggian .Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia
dapat terjadi fraktur stres pada ramus pubis.oleh karena rigiditas panggul maka
keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali
pada trauma langsung .Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin
terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro iliaka.
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:
a. Kompresi anteroposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki kendaraan.
Ramus pubis mengalami fraktur ,tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi
eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury.
Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan parsial atau dapat
disertai fraktur bagian belakang ilium.
b. Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini
terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro iliaka atau
fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
c. Trauma vertical
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertical disertai
fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang sama.hal ini
5
terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
d. Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.
2.5 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala menurut Brunner & Suddart (2002):
1. Nyeri hebat pada daerah fraktur.
2. Tak mampu menggerakkan kaki.
3. Terjadi pemendekan karena kontraksi/spasmus otot-otot paha.
4. Eksternal rotasi pada tungkai tersebut.
5. Nyeri pada selangkangan
6. Pendarahan pada subkutan di sekitar panggul (Muttaqin, A. 2008)
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos panggul, toraks, serta daerah lain yang dicurigai mengalami trauma
2. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan ekterna, serta pemeriksaan
foto panggul lainnya
3. Pemeriksaan urologis dan lainnya (katerirasasi, ureterogram, sistogram retrograd
dan postvoiding, pielogram intervena, aspirasi diagnostik dengan lavase
peritoneal)
(Muttaqin, A. 2008)
2.7 Penatalaksanaan
1. Pada setiap pasien yang mengalami cidera berat, langkah pertama adalah
memastikan bahwa saluran nafas bersih dan ventilasi tidak terhalang. Resusitasi
harus segera dimulai dan perdarahan aktif dikendalikan. Pasien dengan cepat
diperiksa untuk mencari ada tidaknya cidera ganda. Foto sinar-X AP harus segera
dilakukan.(Apley, 1995)
2. Kemudian dilakukan pemeriksaan lebih cermat dengan memperlihatkan pelvis,
perut, perineum dan rectum. Liang meatus urethra diperiksa untuk mencari tanda
perdarahan. Tungkai bawah juga diperiksa untuk mencari tanda cidera saraf.
(Apley, 1995)
3. Apabila keadaan umum sudah stabil, pemeriksaan sinar-X dapat dilakukan.
Apabila dicurigai terdapat robekan urethra dapat dilakukan uretrogram secara
pelan-pelan. Sampai tahap ini dokter yang memeriksa sudah mendapat gambaran
yang baik mengenai keadaan umum pasien, tingkat cidera pelvis, ada
tidaknyacidera visceral dan kemungkinan berlanjutnya perdarahan di rongga perut
atau retroperitoneal.(Apley, 1995)
6
4. Untuk perdarahan yang hebat, diagnosisnya sekalipun tampak jelas bahwa
berlanjutnya syok adalah akibat perdarahan, tidaklah mudah untuk menemukan
sumber perdarahan itu. Pasien dengan tanda-tanda abdomen yang mencurigakan
harus diselidiki lebih lanjut dengan aspirasi peritoneum atau pembilasan. Kalau
terdapat aspirasi diagnostic, perut harus dieksplorasi untuk menemukan dan
menangani sumber perdarahan. Tetapi, kalau terdapat hematom retroperitoneal
yang besar , ini tidak boleh dievakuasi karena hal ini dapat melepaskan efek
tamponade dan mengakibatkan perdarahan yang tak terkendali.(Apley, 1995)
5. Cidera urologi terjadi sekitar 10% pasien dengan fraktur cincin pelvis. Karena
pasien sering sakit berat akibat cidera yang lain, mungkin dibutuhkan kateter urin
untuk memantau keluaran urin. Tidak boleh memasukkan kateter diagnostic karena
kemungkinan besar ini akan mengubah robekan sebagian menjadi robekan
lengkap. Untuk robekan yang tak lengkap, pemasukan kateter suprapubiksebagai
prosedur resmi saja yang dibutuhkan. Sekitar 50% robekan tak lengkap akan
sembuh dan tidak banyak memerlukan penanganan jangka panjang (Apley, 1995)
6. Pada laki-laki, munculnya darah pada meatus uretra merupakan indikasi cidera
uretra. Pemasangan kateter tidak boleh dilakukan, tetapi retrograde urethrografi
harus segera dilakukan (Smith, 2008)
7. Terapi robekan uretra lengkap masih controversial. Realignment primer pada
uretre dapat dicapai dengan melakukan sistotomi suprapubik, mengevakuasi
hematom pelvis dan kemudian memasukkan kateter melewati cidera untuk
mendrainase kandung kemih. Kalau kandung kemih mengambang tinggi, ini harus
direposisi dan diikat dengan penjahitan melalui bagian anterior bawah kapsul
prostat.(Apley, 1995)
8. Untuk penanganan fraktur, pada fraktur tipe A hanya membutuhkan istirahat total
di tempat tidur, dikombinasi denagn traksi tungkai bawah kurang lebih 4-6
minggu. Fraktur tipe B, apabila cidera open book kurang dari 2,5cm biasanya
dapat diterapi dengan bed rest total dengan pemasangan korset elastic bermanfaat
untuk mengembalikan ke posisi semula. Apabila lebih dari 2,5cm dapat dicoba
dengan membaringkan pasien miring dan menekan ala ossis ilii. Selain itu juga
dapat dilakukan fiksasi internal apabila fiksasi eksternal tidak berhasil dilakukan.
Fraktur tipe C merupakan paling berbahaya dan paling sulit diterapi. Pasien harus
bedrest total kurang lebih selama 10 minggu. Operasi berbahaya dilakukan karena
bias terjadi perdarahan massif dan infeksi. Pemakaian traksi kerangka dan fiksasi
luar mungkin lebih aman (Apley, 1995)
2.8 Komplikasi
a. Komplikasi segera
1) Trombosis vena ilio-femoral
Komplikasi ini sering ditemukan dan sangat berbahaya. Apabila ada keraguan,
sebaiknya beri antikoagulan secara rutin untuk profilaksis.
2) Robekan kandung kemih
Robekan bisa terjadi apabila ada gangguan simpisis pubis atau tujukan dari
bagian tulang belakang panggul yang tajam.
3) Robekan uretra
Robekan uretra terjadi karena adanya gangguan simpisis pubis uretra pada
daerah pars membranosa.
4) Trauma rectum dan vagina
5) Trauma pembuluh darah besar akan menyebabkan pendarahan massif sampai
syok.
6) Trauma pada saraf
Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi.
Lesi pleksus umbosarkalis biasanya terjadi pada trauama sacrum yang
bersifat vertkal disertai pergeseran.
b. Komplikasi lanjut
1) Pembentukan tulang heterotrofik biasanya terjadi setelat trauma jaringan lunak
yang hebat atau setelah diseksi operasi.
2) Nekrosis avaskuler dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah
trauma.
3) Gangguan pergerakan sendi serta osteoatrhitis sekunder
4) Skliosis kompensatoar
2.9 WOC
Trauma mengenai panggul
Cedera pada gelang panggul
Trauma pada tulang panggul
Deformitas kerusakan
Trauma pada
fragmen tulang
saraf
Respons nyeri
Lesi pleksus
lumbosakralis
Nyeri
Disfungsi seksual
Trauma luar
jaringan.lunak
rongga panggul
Luka
Trauma pembuluh
pembengkakan
darah
Resiko tinggi
infeksi
Hematuria,nyeri
Perdarahan
miksi,retensi
urine,dan gangguan
Syok
defekasi.
Ketidakefektifa
n koping
Hipoventilasi
Trauma alat
kelamin
Gangguan
eliminasi urine
Paralisis ekstremitas
bawah
Kelemahan fisik
Ketidakefektifa
n pola nafas
Kerusakan fungsi
vagina dan penis
umum
Hambatan
mobilitas fisik
Resiko
Penekanan jaringan
setempat
Defisit
perawatan diri
trauma(injury)
Sumber: Muttaqin, A. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Sistem
Muskoluskletal.
2008
B. KONSEP ASKEP
2.10 Pengkajian
1. Anamnesis
1) Identitas klien
2) Keluhan utama
Adanya nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstermitas, inkontesia alvi/urine,
nyeri tekan otot, hiperentesia tepat diatas daerah trauma, deformitas pada
daerah trauma.
(1) Provoking Incident: hal yang menjadi prepitasi nyeri adalah trauma
panggul.
(2) Quality of Pain: klien merasakan nyeri yang bersifat menusuk
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: klien dapat merasakan nyeri dengan skala 3-4
pada rentang 0-4
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari
3) Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma pada panggul akibat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan lalu lintas atau kecalakaan lainnya. Pengkajian meliputi nyeri,
paralisis ekstermitas bawah, pendarahan sampai syok, kerusakan alat kelamin
sampai rectum, ileus paralitik, retensi urine, dan pada keadaan tertentu dapat
mengalami ARDS.
9
4) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degenerative panggul, seperti osteoporosis dan osteoarthritis, hipertensi,
riwayat cedera panggul, DM, penyakit jantung, anemia, obat-obatan tertentu
yang sering digunakan klien.
5) Riwayat Psikososiospiritual
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran kliendalam
keluargadan masyarakat serta respond an pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat (Muttaqin, A. 2008)
(Muttaqin, A. 2008)
10
2. Pemeriksaan Fisik
a) Gambaran umum
(1) KU : letargi, stupor, semikoma sampai koma
(2) Pemeriksaan persistem (B1-B6)
B1
Inspeksi :
(Breathing)
Batuk (+), peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekunsi
pernapasan, retraksi interkostal dan pengembangan paru tidak simertis. Pada observasi ekspansi dada dinilai penuh
atau tidak penuh kesimetrisannya mungkin adanya atelektasis, lesi apda paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang
iga, dan pneumothorax. Selain itu, juga nilai retraksi otot-otot interkostal, substernal, dan pernapasan abdomen.
Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu menggerakan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
Palpasi: Perkusi: -
B2 (Blood)
Auskultasi: Pengkajian sistem kardiovaskular didapatkan renjatan ( syok hipovolemik atau syok hemoeragik) yang sering terjadi
pada klien cedera panggul sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovakular klien cedera panggul pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan
ekstremitas dingin atau pucat. Bradikardia merupakan tanda perubahan perfusi jaringan otak. Kulit ayng tampak
pucat menandakan adanya perubahan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan
perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu renjatan. Dalam beberapa keadaan yang lain, trauma kepala akan
merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang terdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau
pengeluaran darah dan air oleh tubulus. Mekanisme akan meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga menimbulkan
risiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menimbulkan risiko terjadinya gangguan
11
B3 (Brain)
B4
Klien trauma panggul anterolateral yang mengenai kandung kemih mengalami hematuria, nyeri berkemih, deformitas
(Bladder)
pada pubis sampai kelainan alat kelamin sehigga sangat menganggu proses miksi.Pada pemeriksaan tidak ada haluran
B5 (Bowel)
urine.
Pada keadaan trauma panggul yang kombinasi yang mencederai alat dalam abdomen, sering didapatkan adanya ileus
paralitik. Manifestasi klinis menunjukkan hilangannya bising usus, kembung dan tidak adanya defikasi. Pemenuhan
B6 (Bone)
2.11
gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1) Ketidakefektifan pola napas b/d hipoventilasi
2) Nyeri b/d pergerakan fragmen tulang panggul
3) Risiko trauma b/d kelemahan fisik
4) Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler
5) Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik ekstermitas bawah
6) Risiko gangguan eliminasi urine b/d trauma pada kandung kemih
12
7) Risiko infeksi b/d adanya port de entre luka terbuka pada panggul
8) Risiko tinggi ketidakefektifan koping individu b/d disfungsi seksual
(Brunner & Suddart, 2002)
2.12
Perencanaan
No
Tujuan/Kriteria hasil
1 Tujuan perawatan : pola
nafas efektif setelah
diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi
Intervensi
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala
tanpa gerak.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu,
catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
Rasional
Pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan
bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan
nafas.
Jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi
tanda sianosis
pernapasan.
Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan
Tujuan:
Nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
- Menyatakan nyeri
-
berkurang.
Menunjukkan
penggunaan
13
keterampilan relaksasi
terkena
4. Dorong penggunaan teknik manajemen
rasa nyeri
situasi individual.
Edema berkurang /
hilang.
Tekanan darah normal.
Tidak ada peningkatan
Tujuan:
Resiko trauma tidak
terjadi
Kriteria hasil:
Klien mau berpartisipasi
dalam pencegahan trauma
Tujuan : Memperbaiki
mobilitas
perkambangan kuman
Menilai perkembangan masalah klien
jam
14
Kriteria Hasil :
Mempertahankan posisi
dankenyamanan pasien
adanya
kontraktur,footdrop,
meningkatkan kekuatan
sehari-hari
2. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan
klien dan bantu bila perlu
pasien
melakukan kembali
5
15
kemampuan dan
mengidentifikasi
lakukan
4. Identifikasi kebiasaan buang air
besar(BAB).Anjurkan klien untuk minum
individu atau
membantu
Tujuan: pola eliminasi
3
4
kandung kemih.
Anjurkan klien minum 2.000 cc/hari.
Pasang kateter dower.
operasi
Tehnik perawatan luka secara steril dan mengurangi
kontaminasi kuman
Mengurangi kontak infeksi dari orang lain
Membnatu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit yang menngurangi resiko infeksi akibat sekresi
yabg atastis
Menunjukkan kemampuan secar umum dan kekakuan otot
serta meransang pengambalian sistem imumn
Satu atau beberapa agens diberiakn yang bergantung pada
16
meningkatkan lingkungan
8
yang aman
Tujuan: koping individu
efektif.
Kriteria hasil:
Klien mampu mnyatakan
atau mengkomunikasikan
dengan orang terdekat
tentang situasi dan
perubahan yang terjadi.
Mampu menyatakan
penerimaan diri tentang
situasi
dengan ketidakmampuan.
2. Catat jika pasien merasakan seperti sekarat
kematian.
3. Anjurkan kepada orang terdekat untuk
mengizikan klien melakukan banyak tidak
hal untuk dirinya.
4. Pantau gangguan tidur, meningkatnya
kesulitan konsentrasi, letargi, dan gejala
putus obat.
5. Kolaborasi: rujuk pada ahli neurologis dan
konsling bila ada indikasi.
17
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma pelvis sering terjadi terutama disebabkan trauma tumpul yang mana sering
terjadi pada kecelakaan saat berkendara ataupun orang yang tertabrak kendaraan. Angka
kematian pada trauma pelvis cukup tinggi bila tidak disertai penanganan yang baik. Kejadian
trauma terhadap pelvis didominasi oleh fraktur pelvis yang mana mencapai angka 44%.
Perdarahan arteri adalah salah satu masalah yang paling serius yang berhubungan dengan
patah tulang panggul, dan tetap menjadi penyebab utama kematian disebabkan fraktur
panggul dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35 % pada fraktur pelvis berkekuatantinggi. Perdarahan mengancam jiwa yang berkaitan dengan fraktur panggul berasal dari
tulang yang patah, pleksus vena panggul, pembuluh darah panggul besar, dan / atau cabangcabang arteri iliaka. Perdarahan pada fraktur panggul disebabkan oleh cedera vena dan
bagian yang patah dapat diobati secara efektif dengan fiksasi eksternal dengan mengurangi
volume perdarahan dan menstabilkan fraktur.
Kemajuan-kemajuan pada pra rumah sakit, intervensi, bedah dan perawatan krisis
telah menyebabkan peningkatan pada angka ketahanan hidup. Pertanyaan utama untuk
relevansi medikolegal dari semua kejadian yang membuat trauma pelvis yang berakibat
kematian harus memperhatikan cara kematian. Penentuan cara kematian seringkali cukup
sulit, karena banyak temuan yang biasanya sugestif pembunuhan. Jadi, adalah penting dalam
kasus ini untuk menilai kematian seseorang tidak hanya pada pemeriksaan otopsi tubuh tetapi
juga mendapatkan informasi tambahan sebanyak mungkin. Penyelidikan kematian secara
menyeluruh harus selalu dilakukan, sejarah sosial dan medis harus dievaluasi, dan hasil
toksikologi harus selalu diperhitungkan.
3.2 Saran
Diharapkan makalah ini sebagai bahan untuk menambah wawasan bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
18
Apley, A. G. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Widya Medika
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah ed 8 Volume 3. Jakarta:
EGC
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC