You are on page 1of 18

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fraktur pelvis berkekuatan-tinggi merupakan cedera yang membahayakan jiwa.
Perdarahan luas sehubungan dengan fraktur pelvis relatif umum terjadi akibat fraktur
berkekuatan-tinggi. Kira-kira 1530 % pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi
tidak stabil secara hemodinamik, yang mungkin secara langsung dihubungkan dengan
hilangnya darah akibat trauma pelvis. Pasien yang mengalami cedera pelvis berkelanjutan
terbagi dalam dua kategori utama, korban selamat dan tidak selamat. Pada korban yang
tidak selamat, kematian terjadi. Awal kematian umumnya karena perdarahan atau cedera
otak yang terkait. Kematian lanjut biasanya karena sepsis dan kegagalan multiorgan.
Korban sering mengalami implikasi jangka medis dan sosial ekonomi akibat patah tulang
panggul. Ini termasuk masalah kesehatan mental, sakit kronis, arah panggul yang miring,
perbedaan panjang kaki atau rotasi, kelainan gaya berjalan, seksual dan disfungsi urologis
dan pengangguran jangka panjang. Sebuah panggul yang stabil dapat menahan gaya
normal fisiologis vertikal dan rotasi, tetapi baik patah tulang atau cedera ligamen dapat
mengganggu stabilitas pelvis. Gangguan ligamen panggul menciptakan ketidakstabilan
rotasi anterior, sedangkan cedera ligamen posterior menciptakan baik dan vertikal
ketidakstabilan rotasi. Trauma pada pelvis terjadi sekitar 44% kasus. Trauma ini
merupakan akibat dari tabrakan pada salah satu sisi tubuh, yang disebabkan karena mobil
ataupun jalan, fraktur tidak selalu timbul karena hal tersebut. Banyak fraktur minor yang
terjadi pada simphisis pubis atau yang terjadi pada ramus superior dan inferior. Fraktur
lain dapat menjadi luas dan menggangu sendi sacro-iliaca. Trauma pelvis yang lebih berat
terkait dengan perdarahan yang luas di pelvis dan jaringan retroperitoneal dan dapat
berakibat fatal untuk korban, khususnya korban yang lanjut usia.
Kemajuan-kemajuan pada pra rumah sakit, intervensi, bedah dan perawatan krisis
telah menyebabkan peningkatan pada angka ketahanan hidup. Pengikat pelvis secara luas
telah menggantikan celana anti-syok militer (military antishock trousers). Ketersediaan
dan ketelitian intervensi angiografi telah dikembangkan secara luas. Fiksasi pelvis
eksternal dapat diterapkan dengan cepat, seringkali mengurangi volume pelvis, dan
memberikan stabilisasi fraktur sementara. Balutan pelvis, dipopulerkan di Eropa, saat ini
digunakan pada pusat-pusat tertentu di Amerika Utara. Penggunaan algoritma pengobatan
yang telah dibakukan mungkin memperbaiki pengambilan keputusan dan angka ketahanan

2
hidup pasien. Keterlibatan aktif seorang ahli bedah ortopedi yang berpengalaman penting
dalam evaluasi dan perawatan pasien-pasien yang terluka secara serius.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada fraktur pelvic.
1.2.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui anatomi fisiologis panggul
2. Untuk mengetahui pengertian fraktur pelvic
3. Untuk mengetahui etiologi fraktur pelvic
4. Untuk mengetahui patofisiologi fraktur pelvic
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala fraktur pelvic
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang fraktur pelvic
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan fraktur pelvic
8. Untuk mengetahui komplikasi fraktur pelvic
9. Untuk mengetahui woc fraktur pelvic
10. Untuk mengetahui konsep askep fraktur pelvic

BAB 2
ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR TULANG PANGGUL
A. KONSEP MEDIK
2.1 Anatomi Fisiologi

Gambar 2. Anatomi Extermitas Bawah


Sumber: http://www.google.com
Cincin atau gelang panggul dibentuk oleh dua tulang inominata yang
berhubungan dengan sacrum dibagian belakang dan membentuk sendi sakroiliaka.
Dibagian depan membentuk persendain sebagai satu simpisis pubis. Stabilitas cincin
panggul ditentukan oleh rigiditas tulang yang membentuknya serta ligament-ligamen
yang mengikatnya. Dalam rongga panggul ditemukan beberapa organ, seperti kandung
kemih, prostat, rectum serta uretra pria, dan vagina dan uterus, dan adneksanya wanita.
Selain itu ada juga pembuluh darah besar cabang dari iliaka komunis, vena, serta
fleksus saraf.
Panggul berfungsi untuk mentransmisi berat badan melalui sendi sakroiliaka
keilium, astebulum, dan dilanjutkan kefemur. Selain itu panggul berfungsi untuk
melindungi struktur-struktur yang berada di dalam ronnga panggul.
(Muttaqin, A. 2008)
2.2 Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur
adalah terputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda
paksa.( Brunner & sudarth : 2001 )
Fraktur merupakan diskontinuitas struktural pada tulang. Panggul adalah bagian dari
tulang panggul yang berartikulasi dengan pangkal tulang femur pada asetabulum

4
Fraktur panggul adalah suatu terminologi yang digunakan untuk menggambarkan
fraktur tulang femur pada daerah ujung/pangkal proksimal yang meliputi kepala sendi,
leher, dan daerah trochanter
(http://askep.blogspot.com/)
2.3 Etiologi
1. Trauma
a. Langsung (kecelakaan lalu lintas)
b. Tidak langsung (jatuh dari ketinggian)
2. Patologis : metastase dari tulang
3. Degenerasi
4. Spontan: terjadi tarikan otot sangat kuat
(Brunner & Suddart, 2002)
2.4 Patofisiologi
Menurut Muttaqin, A (2008) patofisiologis terjadinya trauma pelvic sebagai berikut:
Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar atau
karena jatuh dari ketinggian .Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia
dapat terjadi fraktur stres pada ramus pubis.oleh karena rigiditas panggul maka
keretakan pada salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali
pada trauma langsung .Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin
terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro iliaka.
Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:
a. Kompresi anteroposterior
Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki kendaraan.
Ramus pubis mengalami fraktur ,tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi
eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury.
Bagian posterior ligamen sakro iliaka mengalami robekan parsial atau dapat
disertai fraktur bagian belakang ilium.
b. Kompresi lateral
Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini
terjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari
ketinggian . Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya
mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro iliaka atau
fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
c. Trauma vertical
Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertical disertai
fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang sama.hal ini

5
terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.
d. Trauma kombinasi
Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.
2.5 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala menurut Brunner & Suddart (2002):
1. Nyeri hebat pada daerah fraktur.
2. Tak mampu menggerakkan kaki.
3. Terjadi pemendekan karena kontraksi/spasmus otot-otot paha.
4. Eksternal rotasi pada tungkai tersebut.
5. Nyeri pada selangkangan
6. Pendarahan pada subkutan di sekitar panggul (Muttaqin, A. 2008)
2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Foto polos panggul, toraks, serta daerah lain yang dicurigai mengalami trauma
2. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan ekterna, serta pemeriksaan
foto panggul lainnya
3. Pemeriksaan urologis dan lainnya (katerirasasi, ureterogram, sistogram retrograd
dan postvoiding, pielogram intervena, aspirasi diagnostik dengan lavase
peritoneal)
(Muttaqin, A. 2008)
2.7 Penatalaksanaan
1. Pada setiap pasien yang mengalami cidera berat, langkah pertama adalah
memastikan bahwa saluran nafas bersih dan ventilasi tidak terhalang. Resusitasi
harus segera dimulai dan perdarahan aktif dikendalikan. Pasien dengan cepat
diperiksa untuk mencari ada tidaknya cidera ganda. Foto sinar-X AP harus segera
dilakukan.(Apley, 1995)
2. Kemudian dilakukan pemeriksaan lebih cermat dengan memperlihatkan pelvis,
perut, perineum dan rectum. Liang meatus urethra diperiksa untuk mencari tanda
perdarahan. Tungkai bawah juga diperiksa untuk mencari tanda cidera saraf.
(Apley, 1995)
3. Apabila keadaan umum sudah stabil, pemeriksaan sinar-X dapat dilakukan.
Apabila dicurigai terdapat robekan urethra dapat dilakukan uretrogram secara
pelan-pelan. Sampai tahap ini dokter yang memeriksa sudah mendapat gambaran
yang baik mengenai keadaan umum pasien, tingkat cidera pelvis, ada
tidaknyacidera visceral dan kemungkinan berlanjutnya perdarahan di rongga perut
atau retroperitoneal.(Apley, 1995)

6
4. Untuk perdarahan yang hebat, diagnosisnya sekalipun tampak jelas bahwa
berlanjutnya syok adalah akibat perdarahan, tidaklah mudah untuk menemukan
sumber perdarahan itu. Pasien dengan tanda-tanda abdomen yang mencurigakan
harus diselidiki lebih lanjut dengan aspirasi peritoneum atau pembilasan. Kalau
terdapat aspirasi diagnostic, perut harus dieksplorasi untuk menemukan dan
menangani sumber perdarahan. Tetapi, kalau terdapat hematom retroperitoneal
yang besar , ini tidak boleh dievakuasi karena hal ini dapat melepaskan efek
tamponade dan mengakibatkan perdarahan yang tak terkendali.(Apley, 1995)
5. Cidera urologi terjadi sekitar 10% pasien dengan fraktur cincin pelvis. Karena
pasien sering sakit berat akibat cidera yang lain, mungkin dibutuhkan kateter urin
untuk memantau keluaran urin. Tidak boleh memasukkan kateter diagnostic karena
kemungkinan besar ini akan mengubah robekan sebagian menjadi robekan
lengkap. Untuk robekan yang tak lengkap, pemasukan kateter suprapubiksebagai
prosedur resmi saja yang dibutuhkan. Sekitar 50% robekan tak lengkap akan
sembuh dan tidak banyak memerlukan penanganan jangka panjang (Apley, 1995)
6. Pada laki-laki, munculnya darah pada meatus uretra merupakan indikasi cidera
uretra. Pemasangan kateter tidak boleh dilakukan, tetapi retrograde urethrografi
harus segera dilakukan (Smith, 2008)
7. Terapi robekan uretra lengkap masih controversial. Realignment primer pada
uretre dapat dicapai dengan melakukan sistotomi suprapubik, mengevakuasi
hematom pelvis dan kemudian memasukkan kateter melewati cidera untuk
mendrainase kandung kemih. Kalau kandung kemih mengambang tinggi, ini harus
direposisi dan diikat dengan penjahitan melalui bagian anterior bawah kapsul
prostat.(Apley, 1995)
8. Untuk penanganan fraktur, pada fraktur tipe A hanya membutuhkan istirahat total
di tempat tidur, dikombinasi denagn traksi tungkai bawah kurang lebih 4-6
minggu. Fraktur tipe B, apabila cidera open book kurang dari 2,5cm biasanya
dapat diterapi dengan bed rest total dengan pemasangan korset elastic bermanfaat
untuk mengembalikan ke posisi semula. Apabila lebih dari 2,5cm dapat dicoba
dengan membaringkan pasien miring dan menekan ala ossis ilii. Selain itu juga
dapat dilakukan fiksasi internal apabila fiksasi eksternal tidak berhasil dilakukan.
Fraktur tipe C merupakan paling berbahaya dan paling sulit diterapi. Pasien harus
bedrest total kurang lebih selama 10 minggu. Operasi berbahaya dilakukan karena
bias terjadi perdarahan massif dan infeksi. Pemakaian traksi kerangka dan fiksasi
luar mungkin lebih aman (Apley, 1995)

2.8 Komplikasi
a. Komplikasi segera
1) Trombosis vena ilio-femoral
Komplikasi ini sering ditemukan dan sangat berbahaya. Apabila ada keraguan,
sebaiknya beri antikoagulan secara rutin untuk profilaksis.
2) Robekan kandung kemih
Robekan bisa terjadi apabila ada gangguan simpisis pubis atau tujukan dari
bagian tulang belakang panggul yang tajam.
3) Robekan uretra
Robekan uretra terjadi karena adanya gangguan simpisis pubis uretra pada
daerah pars membranosa.
4) Trauma rectum dan vagina
5) Trauma pembuluh darah besar akan menyebabkan pendarahan massif sampai
syok.
6) Trauma pada saraf
Lesi saraf skiatik dapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi.
Lesi pleksus umbosarkalis biasanya terjadi pada trauama sacrum yang
bersifat vertkal disertai pergeseran.
b. Komplikasi lanjut
1) Pembentukan tulang heterotrofik biasanya terjadi setelat trauma jaringan lunak
yang hebat atau setelah diseksi operasi.
2) Nekrosis avaskuler dapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah
trauma.
3) Gangguan pergerakan sendi serta osteoatrhitis sekunder
4) Skliosis kompensatoar
2.9 WOC
Trauma mengenai panggul
Cedera pada gelang panggul
Trauma pada tulang panggul

Deformitas kerusakan

Trauma pada

fragmen tulang

saraf

Respons nyeri

Lesi pleksus

hebat dan akut

lumbosakralis

Nyeri

Disfungsi seksual

Trauma luar

Trauma pada alat-alat dalam

jaringan.lunak

rongga panggul

Luka

Trauma uretra, buli

Trauma pembuluh

pembengkakan

-buli dan rektum

darah

Resiko tinggi
infeksi

Hematuria,nyeri

Perdarahan

miksi,retensi
urine,dan gangguan

Syok

defekasi.
Ketidakefektifa
n koping

Hipoventilasi

Trauma alat
kelamin

Gangguan
eliminasi urine

Paralisis ekstremitas
bawah
Kelemahan fisik

Ketidakefektifa
n pola nafas

Kerusakan fungsi
vagina dan penis

umum
Hambatan
mobilitas fisik

Resiko

Penekanan jaringan
setempat

Defisit
perawatan diri

trauma(injury)

Sumber: Muttaqin, A. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Pada Klien Gangguan Sistem
Muskoluskletal.

2008

B. KONSEP ASKEP
2.10 Pengkajian
1. Anamnesis
1) Identitas klien
2) Keluhan utama
Adanya nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstermitas, inkontesia alvi/urine,
nyeri tekan otot, hiperentesia tepat diatas daerah trauma, deformitas pada
daerah trauma.
(1) Provoking Incident: hal yang menjadi prepitasi nyeri adalah trauma
panggul.
(2) Quality of Pain: klien merasakan nyeri yang bersifat menusuk
(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain: klien dapat merasakan nyeri dengan skala 3-4
pada rentang 0-4
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk
pada malam hari atau siang hari
3) Riwayat penyakit sekarang
Kaji adanya riwayat trauma pada panggul akibat kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan lalu lintas atau kecalakaan lainnya. Pengkajian meliputi nyeri,
paralisis ekstermitas bawah, pendarahan sampai syok, kerusakan alat kelamin
sampai rectum, ileus paralitik, retensi urine, dan pada keadaan tertentu dapat
mengalami ARDS.

9
4) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat penyakit
degenerative panggul, seperti osteoporosis dan osteoarthritis, hipertensi,
riwayat cedera panggul, DM, penyakit jantung, anemia, obat-obatan tertentu
yang sering digunakan klien.
5) Riwayat Psikososiospiritual
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran kliendalam
keluargadan masyarakat serta respond an pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat (Muttaqin, A. 2008)
(Muttaqin, A. 2008)

10
2. Pemeriksaan Fisik
a) Gambaran umum
(1) KU : letargi, stupor, semikoma sampai koma
(2) Pemeriksaan persistem (B1-B6)
B1

Inspeksi :

(Breathing)

Batuk (+), peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekunsi
pernapasan, retraksi interkostal dan pengembangan paru tidak simertis. Pada observasi ekspansi dada dinilai penuh
atau tidak penuh kesimetrisannya mungkin adanya atelektasis, lesi apda paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang
iga, dan pneumothorax. Selain itu, juga nilai retraksi otot-otot interkostal, substernal, dan pernapasan abdomen.
Respirasi paradoks (retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak
mampu menggerakan dinding dada akibat adanya blok saraf parasimpatis.
Palpasi: Perkusi: -

B2 (Blood)

Auskultasi: Pengkajian sistem kardiovaskular didapatkan renjatan ( syok hipovolemik atau syok hemoeragik) yang sering terjadi
pada klien cedera panggul sedang dan berat. Hasil pemeriksaan kardiovakular klien cedera panggul pada beberapa
keadaan adalah tekanan darah menurun, bradikardia, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, dan
ekstremitas dingin atau pucat. Bradikardia merupakan tanda perubahan perfusi jaringan otak. Kulit ayng tampak
pucat menandakan adanya perubahan kadar hemoglobin dalam darah. Hipotensi menandakan adanya perubahan
perfusi jaringan dan tanda-tanda awal dari suatu renjatan. Dalam beberapa keadaan yang lain, trauma kepala akan
merangsang pelepasan hormon antidiuretik yang terdampak pada kompensasi tubuh untuk melakukan retensi atau
pengeluaran darah dan air oleh tubulus. Mekanisme akan meningkatkan konsentrasi elektrolit sehingga menimbulkan
risiko terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menimbulkan risiko terjadinya gangguan

11

B3 (Brain)

keseimbangan cairan dan elektrolit pada sistem kardiovaskular.


Tingkat kesadaran. Tingkat keterjagaan dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk
disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam
kewaspadaan dan keterjagaan. Pada keadaan lanjut, kesadaran klien cedera tulang belakang biasanya berkisar
dari letargi, stupor, semikoma sampai koma.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam. Refleks Achilles menghilang dan refleks patela biasanya melemah karena kelamahan
pada otot hamstring
Pemeriksaan sensorik. Apabila klien mengalami pada kauda ekuina, ia mengalami hilangnya sensibilitas secara
menetap pada kedua bokong, perineum, dan anus. Pemeriksaan sensorik superfisial dapat memberikan petunjuk
mengenai lokasi cedera akibat trauma di daerah panggul

B4

Klien trauma panggul anterolateral yang mengenai kandung kemih mengalami hematuria, nyeri berkemih, deformitas

(Bladder)

pada pubis sampai kelainan alat kelamin sehigga sangat menganggu proses miksi.Pada pemeriksaan tidak ada haluran

B5 (Bowel)

urine.
Pada keadaan trauma panggul yang kombinasi yang mencederai alat dalam abdomen, sering didapatkan adanya ileus
paralitik. Manifestasi klinis menunjukkan hilangannya bising usus, kembung dan tidak adanya defikasi. Pemenuhan

B6 (Bone)
2.11

nutrisi berkurang karena adanya mual dan asupan nutrisi berkurang.


Paralisis motorik ektermitas bawah biasanya terjadi apabila trauma panggul juga mengomprensi sacrum. Gejala

gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari saraf yang terkena.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul
1) Ketidakefektifan pola napas b/d hipoventilasi
2) Nyeri b/d pergerakan fragmen tulang panggul
3) Risiko trauma b/d kelemahan fisik
4) Hambatan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskuler
5) Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik ekstermitas bawah
6) Risiko gangguan eliminasi urine b/d trauma pada kandung kemih

12
7) Risiko infeksi b/d adanya port de entre luka terbuka pada panggul
8) Risiko tinggi ketidakefektifan koping individu b/d disfungsi seksual
(Brunner & Suddart, 2002)
2.12

Perencanaan
No
Tujuan/Kriteria hasil
1 Tujuan perawatan : pola
nafas efektif setelah
diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi

Intervensi
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala
tanpa gerak.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu,
catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.

adekuat, PaO2 > 80, PaCo2


< 45, RR = 16-20 x/mt,

Rasional
Pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan
bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan
nafas.
Jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk
mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi

3. Auskultasi suara napas.

tanda sianosis

pernapasan.
Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan

4. Observasi warna kulit.

akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.


Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang

5. Anjurkan pasien untuk minum minimal


2000 cc/hari
2

Tujuan:
Nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
- Menyatakan nyeri
-

berkurang.
Menunjukkan
penggunaan

1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi,


lamanya, dan intensitas (skala 0 10).
Perhatikan petunjuk verbal dan non-verbal
2. Pertahankan immobilisasi bagian yang
sakit dengan tirah baring, gips, pembebat,
dan traksi

memerlukan tindakan segera


Membantu mengencerkan sekret, meningkatkan
mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.
Membantu dalam mengidentifikasi derajat
ketidaknyamanan dan kebutuhan untuk / keefektifan
analgesic.
Meminimalkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi
tulang / tegangan jaringan yang cedera.

13
keterampilan relaksasi

3. Tinggikan dan sokong ekstremitas yang

Menurunkan aliran balik vena, menurunkan edema, dan

dan aktifitas terapetik

terkena
4. Dorong penggunaan teknik manajemen

rasa nyeri

sesuai indikasi untuk


-

situasi individual.
Edema berkurang /

hilang.
Tekanan darah normal.
Tidak ada peningkatan

stress, contohnya relaksasi progresif,

Meningkatkan sirkulasi umum, mengurangi area tekanan


dan kelelahan. otot.

latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi

dan sentuhan terapeutik.


5. Lakukan kompres dingin/es selama 24-48
jam pertama dan sesuai indikasi.

Diberikan untuk mengurangi nyeri dan spasme otot.

nadi dan pernapasan


3

Tujuan:
Resiko trauma tidak
terjadi
Kriteria hasil:
Klien mau berpartisipasi
dalam pencegahan trauma

1. Pertahankan imobilisasi pada lengan atas

Meminimalkan ransanng nyeri akibat geseskan antara

2. Bila klien mengguankan gips, pantau

fragmen tulang dan jaringan lunak disekitarnya


Mendeteksi adanya sindrom kompatmen dan menilai

adanya penekanan, setempat dan sirkulasi


periper
3. Bila terpasang bebat, sokong fraktur
dengan bantal atau guluunngan selimut
agar posisi tetap netral
4. Evaluasi bebat terhadap resolusi edema.
5. Kolaborasi pemberian antibiotik

Tujuan : Memperbaiki
mobilitas

secara dini adanya gangguan sirkulasi pada bagian distal


lengan atas
Mencegah perubahan posisi dengan tetap
mempertahankan kenyamanan dan keamanan
Bila fase edema telah lewat ,kemungkinan bebat menjadi
longgar akan terjadi.
Antibiotik bersifat bakterisida unntuk menghambat

6. Evaluasi tanda dan gejala perluasan cidera

perkambangan kuman
Menilai perkembangan masalah klien

jaringan (peradangan lokasi/sistemik.


1. Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik

Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4

pasien setiap 4 jam

jam

14
Kriteria Hasil :

2. Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan

Mempertahankan posisi

memperhatikan kestabilan tubuh

fungsi dibuktikan oleh tak

dankenyamanan pasien

adanya

3. Beri papan penahan pada kaki

Mencegah terjadinya foodrop

kontraktur,footdrop,

4. Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplits

Mencegah terjadinya kontraktur

meningkatkan kekuatan

5. Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah

Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.

bagian tubuh yang sakit


/kompensasi,mendemonstr

cedera 4-5 kali /hari


6. Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada

asikan teknik /perilaku


yang memungkinkan
aktifitas
Tujuan: Perawatan klien
dapat terpenuhi
Kriteria hasil:
1. Klien dapat
menunjukkan

7. Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk

merawat diri , mampu


melakukam aktifiatas
perawatan diri sesui
dengan tingkat

Memberikan pancingan yang sesuai.

latihan dan penggunaan otot seperti splints


1.

Kaji kemampuan dan tingkat penurunan

Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan

dalam skala 0-4 untuk melakukan hidup

pertemuan untuk kebutuhan individual

sehari-hari
2. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan
klien dan bantu bila perlu

perubahan gaya hidup


untuk perubahan

Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan

pasien

melakukan kembali
5

Mencegah terjadinya dekubitus

Hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga


harga diri klien dalam keadaan cemas dan membutuhkan

3. Ajak klien untuk berpikir positif terhadap

bantuan orang lain


Klien memerlukan empati dan perawatan yang konsisten,

kelemahan yang dimilikinya. Beriakan

intervensi dapat meningkatkan harga diri, memandirikan

klien motivasi dan dan izinkan ia

klien, dan menganjurkan klien untuk terus mencoba

melakukan tugas, kemudian beri umpan


balik positif atas usaha yang telah dia

15
kemampuan dan
mengidentifikasi

lakukan
4. Identifikasi kebiasaan buang air
besar(BAB).Anjurkan klien untuk minum

individu atau

dan meningkatkan latihan.

masyarakat yang dapat


6

membantu
Tujuan: pola eliminasi

Kaji pola berkemih dan catat produksi

urine setiap 6 jam.


Palpasi kemungkinan adanya distensi

3
4

kandung kemih.
Anjurkan klien minum 2.000 cc/hari.
Pasang kateter dower.

urine kembali pada tahap


yang paling optimal
Kriteria hasil: produksi
urine 50 cc/jam, keluhan
7

eliminasi urine tidak ada.


Tujuan:

1. Kaji dan pantau luka operasi setiap hari

Infeksi tidak terjadi


selama perawatan
Kriteria hasil:
Klien mengenal faktorfaktor resiko mengenai
tidakan pencegahan atau
mengurangi faktor resiko
infeksi , menunjukkan
atau mendemonstrasikan
tehnik-tehnik untuk

Meningkatkan latihan dapat mencegah konstipasi..

Mengetahui fungsi ginjal.


Menilai perubahan akibat inkontinesia urine.
Membantu mempertahankan fungsi ginjal.
Membantu proses pengeluaran urine.
Mendeteksi secara dini gejala gejala inflamasi yang
mungkin timbul sebagai dampak adanya luka pasca

2. Lakukan perawatan luka secara steril


3. Pantau atau batasi kunjungan
4. Pertahankan hidrasi dan nutrisi yang
adekuat. Berika cairaan 2500 cc sesuai
tolereransi jantung
5. Bantu perawatan diri dan keterbatasan
aktifitas sesuai toleransi.bantu program
latihan
6. Beriakn antibiotik sesuai indikasi

operasi
Tehnik perawatan luka secara steril dan mengurangi
kontaminasi kuman
Mengurangi kontak infeksi dari orang lain
Membnatu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
penyakit yang menngurangi resiko infeksi akibat sekresi
yabg atastis
Menunjukkan kemampuan secar umum dan kekakuan otot
serta meransang pengambalian sistem imumn
Satu atau beberapa agens diberiakn yang bergantung pada

16
meningkatkan lingkungan
8

yang aman
Tujuan: koping individu
efektif.
Kriteria hasil:
Klien mampu mnyatakan
atau mengkomunikasikan
dengan orang terdekat
tentang situasi dan
perubahan yang terjadi.
Mampu menyatakan
penerimaan diri tentang
situasi

sifat patogen dan infeksi yang terjadi.


1. Kaji perubahan persepsi dam hubungan

Menentukan bantuan individu dan menyusun rencana

dengan ketidakmampuan.
2. Catat jika pasien merasakan seperti sekarat

perawatan dan pemilihan intervensi.

atau mengingkari dan menyatakan inilah

Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau


perasaaan negative.

kematian.
3. Anjurkan kepada orang terdekat untuk
mengizikan klien melakukan banyak tidak
hal untuk dirinya.
4. Pantau gangguan tidur, meningkatnya
kesulitan konsentrasi, letargi, dan gejala
putus obat.
5. Kolaborasi: rujuk pada ahli neurologis dan
konsling bila ada indikasi.

Klien dapat beradaptasi terhadap perubahan dan


pengertian tentang peran individu di masa yang akan
datang.
Mengindikasikan terjadinya depresi sehingga
menfokuskan intervensi dan evaluasi lebih lanjut.
Menfasilitasi perubahan peran yang penting untuk
perkembangan perasaan.

17
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Trauma pelvis sering terjadi terutama disebabkan trauma tumpul yang mana sering
terjadi pada kecelakaan saat berkendara ataupun orang yang tertabrak kendaraan. Angka
kematian pada trauma pelvis cukup tinggi bila tidak disertai penanganan yang baik. Kejadian
trauma terhadap pelvis didominasi oleh fraktur pelvis yang mana mencapai angka 44%.
Perdarahan arteri adalah salah satu masalah yang paling serius yang berhubungan dengan
patah tulang panggul, dan tetap menjadi penyebab utama kematian disebabkan fraktur
panggul dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35 % pada fraktur pelvis berkekuatantinggi. Perdarahan mengancam jiwa yang berkaitan dengan fraktur panggul berasal dari
tulang yang patah, pleksus vena panggul, pembuluh darah panggul besar, dan / atau cabangcabang arteri iliaka. Perdarahan pada fraktur panggul disebabkan oleh cedera vena dan
bagian yang patah dapat diobati secara efektif dengan fiksasi eksternal dengan mengurangi
volume perdarahan dan menstabilkan fraktur.
Kemajuan-kemajuan pada pra rumah sakit, intervensi, bedah dan perawatan krisis
telah menyebabkan peningkatan pada angka ketahanan hidup. Pertanyaan utama untuk
relevansi medikolegal dari semua kejadian yang membuat trauma pelvis yang berakibat
kematian harus memperhatikan cara kematian. Penentuan cara kematian seringkali cukup
sulit, karena banyak temuan yang biasanya sugestif pembunuhan. Jadi, adalah penting dalam
kasus ini untuk menilai kematian seseorang tidak hanya pada pemeriksaan otopsi tubuh tetapi
juga mendapatkan informasi tambahan sebanyak mungkin. Penyelidikan kematian secara
menyeluruh harus selalu dilakukan, sejarah sosial dan medis harus dievaluasi, dan hasil
toksikologi harus selalu diperhitungkan.
3.2 Saran
Diharapkan makalah ini sebagai bahan untuk menambah wawasan bagi pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

18

Apley, A. G. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Jakarta: Widya Medika
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah ed 8 Volume 3. Jakarta:
EGC
Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC

You might also like