You are on page 1of 16

Teknik Konservasi Waduk

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Secara umum dapat dikatakan bahwa erosi dan sedimentasi merupakan

proses terlepasnya butiran tanah dari induknya di suatu tempat dan terangkutnya
material tersebut oleh gerakan air atau angin kemudian diikuti dengan
pengendapan material yang terangkut di tempat lain. Proses erosi dan sedimentasi
ini baru mendapat perhatian cukup serius oleh manusia pada sekitar 1940-an,
setelah menimbulkan kerugian yang besar, baik berupa merosotnya produktivitas
tanah serta yang tidak kalah pentingnya adalah rusaknya bangunan-bangunan
keairan serta sedimentasi waduk. Daerah pertanian merupakan lahan yang paling
rentan terhadap terjadinya erosi (Suriin, 2002).
Indonesia merupakan Negara agraria dimana pemenuhan utama dalam
alokasi irigasinya bersumber dari sungai. Dari sungai ini kebutuhan air terutama
air irigasi dan air bersih pada umumnya terpenuhi. Akan tetapi permasalahan yang
kerap timbul di sungai-sungai Indonesia adalah erosi dan sedimentasi. Khususnya
mayoritas di daerah-daerah kota besar masalah ini tidak bisa dihindari. Hal ini
dapat mengakibatkan pendangkalan kedalaman sungai, sumbatnya saluran untuk
pengaliran, dan sebagainya. Akibat lebih jauh lagi pemenuhan kebutuhan irigasi
maupun air bersih

berkurang. Selain itu ancaman terjadinya banjir yang

diakibatkan air sungai yang meluap dikarenakan tidak bisa menampung air hujan
maupun air kiriman dari daerah lain meskipun volume air masih dibawah rencana.
Dalam melestarikan waduk sebagai sarana pemanfaatan sumber air,
masalah berat yang dihadapi adalah masalah erosi dan sedimentasi yang
memenuhi seluruh tampungan waduk sehingga dikhawatirkan tidak akan
mencapai umur waduk yang direncanakan. Sehingga di Kabupaten Bandung Barat
diharapkan dapat mengetahui solusi yang ada dari permasalahan dan kondisi
Waduk Saguling pada makalah ini.

13

Teknik Konservasi Waduk


1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan adapun rumusan masalah

yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu sebagai berikut :


1. Bagaimana kondisi umum Waduk Saguling dalam menambah wawasan
dibidang sumber daya air?
2. Bagaimana permasalahan yang ada pada Waduk Saguling saat ini serta
solusi dalam menangani masalah tersebut?

1.3.

Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan dari

makalah ini antara lain adalah sebagai

berikut:
1. Mengetahui kondisi umum Waduk Saguling untuk menambah wawasan
dibidang sumber daya air.
2. Mengetahui permasalahan yang ada pada Waduk Saguling saat ini serta solusi
dalam menangani masalah tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

13

Teknik Konservasi Waduk

2.1.

Kondisi Umum Waduk Saguling


Waduk Saguling terletak terletak di Kabupaten Bandung Barat pada

ketinggian 643 m di atas permukaan laut. Merupakan salah satu dari tiga waduk
yang membendung aliran Sungai Citarum yang merupakan sungai terbesar di
Jawa Barat. Dua waduk lainnya adalah Waduk Jatiluhur dan Waduk Cirata.

Gambar 2.1. Waduk Saguling


Waduk Saguling direncanakan hanya untuk keperluan menghasilkan
tenaga listrik. Pada tahap pertama pembangkit tenaga listrik yang dipasang
berkapasitas 700 MW, tetapi bila di kemudian hari ada peningkatan kebutuhan
listrik pembangkit dapat ditingkatkan hingga mencapai 1.400 MW. Badan yang
bertanggungjawab dalam pembangunannya adalah Proyek Induk Pembangkit
Hidro (PIKITDRO) dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), Depatemen
Pertambangan dan Energi (sekarang menjadi Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia. Selanjutnya, dengan mempertimbangkan
permasalahan lingkungan di daerah itu, Saguling ditata-ulang sebagai bendungan
multiguna, termasuk untuk kegunaan pengembangan lain seperti perikanan, agriakuakultur, pariwisata, dan lain-lain. Sekarang, waduk ini juga digunakan untuk
kebutuhan lokal seperti mandi, mencuci, bahkan untuk membuang kotoran. Hal
ini membuat Waduk Saguling kondisinya lebih mengkhawatirkan ketimbang
Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur yang sudah dibangun lebih dahulu. Hal
tersebut terjadi karena sebagai pintu pertama Sungai Citarum, di Saguling inilah

13

Teknik Konservasi Waduk


semua kotoran "disaring" untuk pertama kali sebelum kemudian disaring kembali
oleh Waduk Cirata dan terakhir oleh Waduk Jatiluhur.
Daerah di sekitar Waduk Saguling berupa perbukitan, dengan banyak
sumber air yang berkontribusi pada waduk. Hal tersebut membuat bentuk Waduk
Saguling sangat tidak beraturan dengan banyak teluk. Daerah waduk ini asalnya
adalah berupa daerah pertanian. Daerah perikanan dari waduk berhadapan dengan
tekanan kuat dari populasi penduduk. Hal tersebut terjadi karena 50% dari
populasi terdiri dari petani dengan tingkat pertumbuhan tinggi. Peningkatan
populasi petani tersebut mengakibatkan berkurangnya lahan yang dapat diolah
sehingga memaksa mereka mengembangkan lahan pertanian mereka dengan
melakukan pembabatan hutan. Sebagai konsekuensinya, muncul masalah banjir
dan longsor di musim hujan.
2.2.

Kondisi Sedimen Waduk Saguling


Sebagai filter pertama, Bendungan Saguling harus memiliki ketahanan

maksimal dalam mengantisipasi permasalahan yang dapat menimbulkan bencana.


Mengingat begitu banyaknya persoalan yang menyangkut pencemaran air di DAS
Citarum pada saat sekarang ini. Dengan adanya UU RI Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 13, kiranya
Pemerintah bersama pihak terkait perlu memberikan perhatian yang sangat serius
dalam menyelesaikan persoalan menyangkut penyelamatan tiga bendungan di
DAS Citarum ini. Kemungkinan rendahnya komitmen pelaksanaan pengelolaan
lingkungan oleh industri yang mengeluarkan limbah ataupun masyarakat yang
membuang limbah domestik ke Citarum yang memberi kontribusi besar pada
penurunan kualitas air dan pendangkalan (sedimentasi) sungai tersebut,
menyebabkan tercemarnya Sungai Citarum oleh limbah industri dan limbah
rumah tangga merupakan pemantik terjadinya penurunan mutu air. Bagi Saguling,
kondisi tersebut berdampak pada berkurangnya usia PLTA.
Sedimentasi Sungai Citarum akibat lahan kritis di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Citarum Hulu mencapai empat juta ton per tahun. Selain menyebabkan
banjir di sejumlah wilayah di Kab. Bandung, tingginya sedimentasi pada aliran
Sungai Citarum juga mengancam tiga waduk utama di Jawa Barat, yaitu Waduk

13

Teknik Konservasi Waduk


Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Jatiluhur. Laju degradasi kawasan hutan di
DAS Citarum Hulu telah melebihi upaya rehabilitasi yang dilakukan sejumlah
pihak. Upaya penghijauan tidak sepadan dengan luasnya lahan kritis yang
menyebabkan sedimentasi di Sungai Citarum, ada baiknya apabila ungkapan yang
disampaikan oleh Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kab.
Bandung pada rapat penanganan DAS Citarum Hulu bulan Juni kemarin bahwa
luas lahan kritis di Kab. Bandung saat ini tercatat 22.076,68 hektare.
Lahan kritis tersebut tersebar di Kec. Rancabali, Nagreg, Cikancung,
Paseh, Kertasari, Pangalengan, Cimenyan, Cilengkrang, Cicalengka, Margahayu,
Baleendah, Arjasari, Ciparay, Pasirjambu, Ciwidey, Banjaran, dan Soreang.
Penanganan lahan kritis disesuaikan dengan anggaran yang sering terbatas
jumlahnya. Belum lagi dengan integrasi antar instansi ataupun dengan masyarakat
sehingga hasilnya belum begitu memuaskan. Menurut Tisna, DAS Citarum Hulu
menyimpan banyak kepentingan, seperti penyelamatan usia pakai Waduk
Saguling dengan kapasitas 982 juta meter kubik, Waduk Cirata (2.165 juta meter
kubik), dan Waduk Jatiluhur (3.000 juta meter kubik). Jika aliran Sungai Citarum
lenyap akibat di kawasan hulunya hancur, daya listrik 5.000 giga watt/jam atau
setara BBM 16 juta ton per tahun senilai Rp 20 triliun per tahun, akan hilang.
Kerugian yang sama akan diderita para petani karena hasil panen padi sawah
seluas 300.000 hektare atau senilai Rp 5,25 triliun per tahun bisa lenyap.
Saat ini, sedimentasi Sungai Citarum sudah parah, mencapai empat juta
ton per tahun sehingga mengancam usia pakai ketiga waduk tersebut. Pemkab
Bandung tidak bisa sendirian menangani DAS Citarum Hulu meski sebagian besar
berada di Kab. Bandung. Kerusakan Waduk Saguling yang luasnya men capai
4.869 hektare itu secara garis besar dise babkan semakin parahnya sedimentasi
dan kualitas air. Transportasi sedimentasi yang ter jadi saat ini sudah me lebihi
dari perencanaan, di dalam perencanaan, transportasi sedimentasi seharusnya
maksimal empat juta meter kubik per tahun. Namun, saat ini sudah mencapai 4,2
juta meter kubik per tahun. Hal tersebut menyebabkan sedimentasi di Saguling
saat ini sudah memakan 38,6 persen atau 64.740.206 meter kubik (dari
167.700.000 meter kubik) volume dead storage.

13

Teknik Konservasi Waduk


Kondisi tersebut menyebabkan ketinggian (elevasi) muka air Saguling
semakin tahun semakin tinggi. Selain sedimentasi yang semakin parah, kualitas
air di Saguling pun kini hanya bisa digunakan untuk industri. Sementara untuk air
minum, bahan baku air minum, dan perikanan sudah dalam kategori buruk yang
selanjutnya dapat menyebabkan menurunnya jumlah keramba jaring apung (KJA)
dan produksi ikan per tahun. Secara signifikan. Manajer Sipil Lingkungan PT
Indonesia Power UBP Saguling Pitoyo Punu mengatakan bahwa persoalan di
Saguling tersebut, belum bisa diselesaikan secara kuratif. Untuk mengeruk
sedimen per tahun sebesar 4,2 meter kubik misalnya, dibutuhkan dua ratus hektare
lahan. "Sulit untuk menemukan lahan yang tidak bermasalah, apalagi sedimennya
sudah mengandung polutan."
Secara garis besar, terganggunya potensi air dan waduk Saguling terjadi
dikarenakan tata guna lahan yang tidak konsisten, pengelolaan lahan yang salah,
dan pola hidup masyarakat yang merusak lingkungan, seperti membuang sampah
sembarangan, ditambah dengan tingginya angka pemukiman di Cekungan
Bandung yang pada 2010 ini yang jumlahnya diperkirakan mencapai kurang lebih
7.867.006 jiwa (idealnya 3-4 juta), merambat kepada persoalan berkembangnya
permukiman tanpa perencanaan yang baik dan selanjutnya akan mengarah pada
permasalahan alih fungsi lahan konservasi menjadi pertanian, permukiman, dan
industri.
Berdasarkan data dari UBP Saguling, lahan hutan di hulu DAS Citarum
yang pada tahun 2000 mencapai 71,750 hektare, pada 2009 tersisa 9,899 hektare.
Sementara untuk permukiman meningkat pesat dari 81,685 hektare (2000)
menjadi 176,441.5 (2009). Melihat kondisi seperti itu, tidak heran apabila air yang
turun ke bumi akan langsung dialirkan ke sungai tanpa penyerapan (infiltrasi).
Kini kondisi lingkungan di waduk saguling cukup memprihatinkan sehingga
pemerintah tidak lagi merekomendasikan kegiatan perikanan disana. Beberapa
jaring ikan tidak beroperasi lagi.
Di samping itu fungsi waduk Saguling sebagai PLTA pun makin
berkurang. Diperkirakan, bila laju sedimentasi yang ada sekarang (yaitu 4,2 juta
meter kubik per tahun) tidak bisa dikurangi maka umur pembangkit listrik tinggal
24 tahun lagi. Karena itu pihak Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkitan

13

Teknik Konservasi Waduk


Saguling melakukan kegiatan penghijauan daerah aliran sungai dan pengerukan
dengan 70 alat berat, namun hal ini cukup sulit dilakukan dan memakan biaya
besar. Oleh karena itu, sebaiknya ada cara atau langkah efektif yang harus
ditempuh dengan

mengantisipasi penyebab kerusakan bendungan di daerah

tangkapan air (catchment area) Saguling di hulu DAS Citarum. Salah satunya
dengan penanaman tanaman keras. Catchment area tersebut mencapai sepertiga
dari luas DAS Citarum atau 2.283 meter persegi dari Gunung Wayang, Majalaya,
Soreang, Bandung, dan Padalarang.
2.3.

Manfaat Waduk Saguling


Berbagai manfaat yang diperoleh dari Pembangunan Waduk Saguling

antara lain :

Sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan kapasitas 700,72

MW,
Untuk keperluan irigasi, air baku air minum, domestik, munisipal, dan

industri di Kabupaten Bandung dan sekitarnya,


Obyek pariwisata yang menyediakan berbagai fasilitas sarana rekreasi,
Budidaya ikan khususnya Sistem Jaring Terapung (Japung).

BAB III
PEMBAHASAN
3.1.

Umum
Waduk Saguling mulai dibangun pada Agustus 1981, dan menghabiskan

dana sebesar 662.968.000 dollar AS. Biaya tersebut termasuk biaya pembebasan
lahan yang menenggelamkan 49 desa, yang didominasi lahan pertanian. Sebanyak
12.489 kepala keluarga terpaksa pindah dari desanya, dan sebagian ada yang
ditransmigrasikan. Pembangunan Saguling menghabiskan waktu yang cukup lama

13

Teknik Konservasi Waduk


hingga dapat dioperasikan pada 1985, dan baru diresmikan pada 1986 oleh
mantan Presiden RI, Soeharto. Waduk ini kemudian dikelola PT Perusahaan
Listrik Negara, untuk memasok listrik kawasan Jawa-Madura-Bali. Struktur
bangunan Waduk Saguling terbuat dari urukan batu dengan inti kedap air. Hal ini
dilakukan untuk efisiensi dana dengan memanfaatkan potensi batu dari Gunung
Karang yang ada di sekitar Saguling. Waduk Saguling pun dibuat dengan
ketinggian muka air maksimum 643 meter sehingga bisa menampung 875 juta
meter kubik air. Saguling dipasangi empat turbin pembangkit listrik masingmasing berkapasitas 175,18 MW yang akan menghasilkan 700-720 kilowatts per
jam. Saguling yang berada di posisi teratas secara otomatis menjadi penerima
awal gelontoran air dari Citarum Hulu, termasuk segala sedimentasi yang dibawa.
Masalah sedimentasi ini menjadi masalah krusial Saguling beberapa tahun
terakhir ini. (Sanusi, 2012)
Adapun masalah yang ada pada Waduk Saguling saat ini, serta solusi
dalam mengatasi permasalahan akan dibahas lebiih lanjut sebagai berikut ;
3.2. Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pengendapan material hasil erosi air, angin,
gelombang laut dan gletsyer. Material hasil erosi yang diangkut oleh aliran air
akan diendapakan di daerah yang lebih rendah. Delta yang terdapat di mulutmulut sungai adalah hasil dan proses pengendapan material-material yang
diangkut oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang terdapat di
gurun dan di tepi pantai adalah pengendapan dari material-material yang diangkut
oleh angin (Sidik, 2013).
3.2.1. Masalah pada Waduk Saguling
Sampah kota Bandung, Cimahi dan Bandung Barat menambah beban
Waduk Saguling. Tak kurang 1 milyar rupiah dana yang digelontorkan oleh otorita
pengelola Saguling tiap tahunnya hanya untuk membersihkan sampah yang masuk
ke Waduk Saguling. Rendahnya komitmen pelaksanaan pengelolaan lingkungan
oleh industri yang menghasilkan limbah ataupun masyarakat yang membuang
limbah domestik ke Citarum memberi kontribusi besar pada penurunan kualitas
air dan pendangkalan (sedimentasi) sungai tersebut.
Adapun logam berat yang terindikasi masuk ke waduk Saguling antara lain
merkuri (Hg), tembaga (Cu), seng (Zn), dan timbal (Pb). Hasil pengujian air oleh

13

Teknik Konservasi Waduk


peneliti Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2004 menunjukkan bahwa
air Waduk Saguling mengandung logam merkuri (Hg) sebesar 0,236 ppm dari
batas aman 0,002 ppm. Pada kondisi tertentu, pernah ditemukan kandungan
merkuri (Hg) 30 kali di atas batas normal, yakni 0,06 miligram per liter.
(Artihapsari, 2012)
Meskipun banyaknya ketidakpastian terhadap prediksi sedimentasi waduk
terkait dengan ketersediaan data, adalah sangat jarang adanya kasus penghentian
perencanaan bendungan hanya karena tidak cukupnya data sedimen.
3.2.2. Solusi untuk Penanganan Sedimentasi di Waduk
Secara umum, strategi pengelolaan sedimentasi waduk dapat dilakukan
melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan pada daerah tangkapan waduk, dan
pendekatan pada waduk itu sendiri. Beberapa strategi dimaksudkan untuk
menekan laju erosi di daerah tangkapan waduk, mengurangi sedimen yang masuk
ke dalam waduk, memperkecil jumlah sedimen yang mengendap di dalam waduk,
dan mengeluarkan sebanyak mungkin endapan sedimen dari waduk.
Pengelolaan daerah tangkapan air, seringkali dianjurkan sebagai cara
terbaik untuk mengatasi permasalahan sedimentasi waduk. Penekanan laju erosi di
daerah tangkapan waduk dapat dilakukan dengan teknik konservasi, baik secara
mekanis maupun vegetatif atau kombinasi dari kedua cara tersebut (Kironto dan
Yulistiyanto, 2010). Penekanan laju erosi di daerah tangkapan akan berhasil
dengan baik apabila gangguan aktifitas manusia terhadap lahan di kawasan hulu
dapat dikurangi, atau ditekan serendah mungkin. Hal ini ditunjukkan pada hasil
penelitian Pramono et al., (2001) tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
sedimen di Waduk Saguling bukan berasal dari hasil erosi ditempat (sheet-rill
erosion) namun dapat berasal dari erosi tebing sungai, erosi tebing jalan, erosi
parit dan erosi jurang (gully). Hal ini karena ukuran butir material sedimen di
waduk pada sub DAS tersebut lebih kasar dibanding tanah aslinya. Kondisi ini
mencerminkan bahwa penanganan erosi lahan dengan praktek konservasi tanah
seperti terasering dan lain-lain telah dilakukan dengan tepat, namun penangan
erosi pada offsite (pada alur-alur sungai) belum tepat sasaran.
Untuk daerah tangkapan dengan luas lebih dari 1000 km 2, tidak selalu
dapat ditemukan adanya korelasi langsung antara konservasi daerah tangkapan
dengan pengurangan sedimentasi waduk. Disebutkan pula, bahwa untuk dapat

13

Teknik Konservasi Waduk


mengurangi sekitar 10 -20% dari beban sedimen pada derah tangkapan dengan
luas lebih dari 1000 km2, diperlukan upaya konservasi secara intensif dalam
rentang waktu beberapa puluh tahun. Untuk daerah tangkpan air waduk yang tidak
terlalu luas, upaya konservasi dengan konsep pemberdayaan masyarakat relatif
masih dapat diharapkan.
Pengurangan sedimen yang masuk ke dalam waduk dapat dilakukan
melalui dua cara, yaitu penangkapan sedimen melalui sistem alur cekungan, dan
pengalihan sedimen yang akan masuk ke dalam waduk, dialihkan ke lokasi lain di
luar waduk. Penangkapan sedimen dapat dilakukan dengan membangun cekdam ,
sabo dam, consolidation dam dan atau kantong kantong pasir..
1. Sabo Dam
Penerapan teknologi sabo atau lebih populer dengan sebutan Tekno Sabo
atau bendung pengatur adalah teknologi untuk mencegah terjadinya bencana
sedimen dan mempertahankan daerah hulu terhadap kerusakan lahan. Tujuan dari
pembangunan prototipe Sabo dam adalah untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh bangunan prototipe Sabo dam terhadap pengurangan sedimentasi
waduk, karena fungsi dari Sabo dam adalah untuk menahan, menampung dan
mengendalikan

sedimen.

Semula,

teknologi

ini

dipergunakan

untuk

mengendalikan material lahar gunung api.


Kondisi alur sungai awal pasca pembangunan Sabo dam perlu diketahui,
dan secara berkala bentuk alur ini diamati perubahan-perubahannya, utamanya
setelah terjadi banjir, sehingga dapat diketahui perubahan dasar sungai (riverbed
fluctuation) dari waktu ke waktu, maka volume sedimen yang mengendap pada
alur sungai dapat dihitung dan selanjutnya dapat dipakai sebagai dasar untuk
memperkirakan pengaruh pembangunan Sabo dam terhadap pengurangan
sedimentasi waduk. Sketsa penampungan sedimen di hulu Sabo dam dan
pembentukan kemiringan dasar sungai statis serta dinamis dapat dilihat pada
Gambar 1.5. berikut;

13

Teknik Konservasi Waduk

Gambar 3.1. Sketsa Pengendalian Aliran Sedimen di Hulu Bangunan Sabo Dam
dan Pembentukan Kemiringan Dasar Sungai Statis Serta Dinamis
Penentuan tempat kedudukan bendung, biasanya didasarkan pada tujuan
pembangunannya sebagaimana tertera di bawah ini (Soetrisno, 2010):

Untuk tujuan pencegahan terjadinya sedimentasi yang mendadak dengan


jurnlah yang sangat besar yang dapat timbul akibat terjadinya tanah
longsor, sedimen luruh, banjir lahar dan lain-lain maka tempat kedudukan
bendung haruslah diusahakan pada lokasi di sebelah hilir dari daerah
sumber sedimen yang labil tersebut, yaitu pada alur sungai yang dalam,
agar dasar sungai naik dengan adanya bendung tersebut

Untuk tujuan pencegahan terjadinya penurunan dasar sungai, tempat


kedudukan bendung haruslah sebelah hilir dari diusahakan penempatannya
di ruas sungai tersebut. Apabila ruas sungai tersebut cukup panjang, maka
diperlukan beberapa buah bendung yang dibangun secara berurutan
membentuk terap-terap sedemikian, sehingga pondasi bendung yang lebih
hulu dapat tertimbun oleh tumpukan sedimen yang tertahan oleh bendung
di hilirnya.

Untuk tujuan memperoleh kapasitas tampung yang besar, maka tempat


kedudukan bendung supaya diusahakan pada lokasi di sebelah hilir ruas
sungai yang lebar sehingga dapat terbentuk semacam kantong. Kadangkadang bendung ditempatkan pada sungai utama di sebelah hilir muara
anak-anak sungai yang biasanya berupa sungai arus deras (torrent) dapat
berfungsi sebagai bendung untuk penahan sedimen baik dari sungai utama
maupun dari anak-anak sungainya.

13

Teknik Konservasi Waduk


2. Cek Dam
Bendung-bendung penahan dibangun di sebelah hulu yang berfungsi
memperlambat gerakan dan berangsur-angsur mengurangi volume banjir lahar.
Adapun penjelasan fungsi lain untuk menahan sedimen untuk tidak masuk ke
dalam waduk terbatas, dimana hanya efektif untuk menahan material berukuran
besar. Untuk menghadapi gaya-gaya yang terdapat pada banjir lahar maka
diperlukan bendung penahan yang cukup kuat. Selain itu untuk menampung
benturan batu-batu besar, maka mercu dan sayap bendung harus dibuat dari beton
atau pasangan yang cukup tebal dan dianjurkan sama dengan diameter maksimum
batu-batu yang diperkirakan akan melintasi. Sangat sering runtuhnya bendung
penahan disebabkan adanya kelemahan pada sambungan konstruksinya, oleh
sebab ini sambungan-sambungan harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Walaupun terdapat sedikit perbedaan perilaku gerakan sedimen, tetapi
metode pembuatan desain untuk pengendaliannya hampir sama, kecuali perbedaan
pada konstruksi sayap mercu serta ukuran pelimpah dan bahan tubuh bendung.
Untuk bendung pengendali gerakan sedimen secara fluvial yang bahannya
berbutir halus, mercunya dapat dibuat lebih tipis. Bahan untuk tubuh beton selain
beton dan pasangan batu dapat juga dari kayu, bronjong kawat, atau tumpukan
batu. Sedangkan untuk bendung penahan gerakan massa biasanya digunakan
beton dan pasangan batu. Tipe bendung yang dipakai adalah tipe gravitasi yang
lebih rendah dari 15 m.

3. Consolidation Dam
Peningkatan agradasi dasar sungai di daerah kipas pengendapan dapat
dikendalikan dan dengan demikian alur sungai di daerah ini tidak mudah
berpindah-pindah. Guna lebih memantapkan serta mencegah terjadinya degradasi
alur sungai di daerah kipas pengendapan ini, maka dibangun bendung-bendung
konsolidasi (consolidation dam). Jadi bendung konsolidasi tidak berfungsi untuk
menahan atau menampung sedimen yang berlebihan.
Apabila elevasi dasar sungai telah dimanfaatkan oleh adanya bendungbendung konsolidasi, maka degradasi dasar sungai yang diakibatkan oleh gerusan

13

Teknik Konservasi Waduk


dapat dicegah. Dengan demikian dapat dicegah pula keruntuhan bangunan
perkuatan lereng yang ada pada bagian sungai tersebut. Selanjutnya bendungbendung konsolidasi dapat pula mengekang pergeseran alur sungai dan dapat
mencegah terjadinya gosong pasir.
Tempat kedudukan bendung konsolidasi ditentukan berdasarkan tujuan
pembuatannya dengan persyaratan sebagai berikut:

Untuk tujuan pencegahan degradasi dasar sungai, bendung-bendung


konsolidasi ditempatkan pada ruas sungai yang dasarnya selalu menurun.
Jarak antara masing-masing bendung didasarkan pertimbangan kemiringan
sungai yang stabil.

Apabila terdapat anak sungai, mesti dipertimbangkan penempatan


bendung-bendung konsolidasi pada lokasi yang terletak di sebelah hilir
muara anak sungai tersebut.

Untuk tujuan pencegahan gerusan pada lapisan tanah pondasi suatu


bangunan sungai, bendung-bendung konsolidasi ditempatkan di sebelah
hilir bangunan tersebut.

Untuk menghindarkan tergerus dan jebolnya tanggul pada sungai-sungai


arus deras serta mencegah keruntuhan lereng dan tanah longsor, bendungbendung konsolidasi ditempatkan langsung pada kaki-kaki tanggul, kaki
lereng dan kaki tebing bukit yang akan diamankan.

Apabila

pembangunan

sederetan

bendung-bendung

konsolidasi

dikombinasikan dengan perkuatan tebing, jarak antara masing-masing


bendung yang berdekatan supaya diarnbil 1,5 2,0 kali lebar sungai
Untuk memperkecil penegendapan sedimen di dalam waduk dapat
dilakukan

dengan cara perlewatan (sluicing) sedimen yang masuk ke dalam

waduk, dan cara pelepasan (venting) turbidity density current. Cara pelewatan dan
pelepasan sedimen dapat berhasil dengan baik bilamana bentuk kolam waduk
memanjang tersedia cukup air selama waktu pelewatan atau pelepasan sedimen,
dan jenis sedimen yang akan dikeluarkan mempunyai ukuran relatif kecil.
Bilamana usaha usaha yang telah di sebutkan masih belum mencukupi,
maka upaya terakhir yang dapat dilakukan adalah mengeluarkan sedimen waduk.
Banyak cara dan teknologi ditawarkan untuk mengeluarkan endapan sedimen di

13

Teknik Konservasi Waduk


dalam waduk, yaitu pengerukan (dredging), penggalian (excavation), sistem sipon
(siphoning), dan penggelontoran (flushing). Cara pengerukan terutama dilakukan
untuk waduk waduk kecil dan sedang yang tidak tersedia cukup air untuk
penggelontoran. Sistem ini telah digunakan pada lebih dari 10 waduk di cina,
yang diantaranya pada waduk Tianjiwan, Waduk Xi-dia dan Waduk Taoshupo
(Zhou, 2007).

BAB IV
KESIMPULAN
Pembangunan sumber daya air dalam kaitannya dengan pengembangan
wilayah sungai merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional secara
menyeluruh untuk mencapai tujuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat. Waduk merupakan salah satu cara untuk memenuhi
sumber daya air yang tidak selamanya terpenuhi sehingga diperlukan tampungan

13

Teknik Konservasi Waduk


untuk menampung kelebihan air pada saat kelebihan dan menyalurkan pada saat
dibutuhkan.
Dalam melestarikan waduk sebagai sarana pemanfaatan sumber air,
masalah berat yang dihadapi adalah masalah erosi dan sedimentasi sehingga
dikhawatirkan tidak akan mencapai umur waduk yang direncanakan salah satunya
terjadi pada Waduk Saguling.
Waduk Saguling terbuat dari urukan batu dengan inti kedap air. Hal ini
dilakukan untuk efisiensi dana dengan memanfaatkan potensi batu dari Gunung
Karang yang ada di sekitar Saguling. Waduk Saguling pun dibuat dengan
ketinggian muka air maksimum 643 meter sehingga bisa menampung 875 juta
meter kubik air. Saguling yang berada di posisi teratas secara otomatis menjadi
penerima awal gelontoran air dari Citarum Hulu, termasuk segala sedimentasi
yang dibawa. Masalah sedimentasi ini menjadi masalah krusial Saguling beberapa
tahun terakhir ini. Saguling yang terletak di daerah perbukitan, menjadi tempat
bermuara banyak sumber air yang ada di daerah tersebut. Belum lagi limbahlimbah industri, maupun rumah tangga, ikut berkontribusi pada kualitas air yang
tidak memenuhi baku mutu. Saguling yang diperkirakan memiliki masa hidup 59
tahun, akan terus berkurang usianya, jika keadaan seperti ini tak cepat diatasi.
Adapun solusi penanganan masalah tersebut dengan penangkapan sedimen
melalui sistem alur cekungan, dan pengalihan sedimen yang akan masuk ke dalam
waduk, dialihkan ke lokasi lain di luar waduk. Penangkapan sedimen dapat
dilakukan dengan membangun cekdam , sabo dam, consolidation dam dan atau
kantong kantong pasir.
DAFTAR PUSTAKA
Sanusi,

2012. Waduk Saguling.


(diunduh 20 September 2014).

http://www.tamanbudaya.jabarprov.go.id.

Enan M. A, H. Sigid, T.M.P. Niken. 2009. Perilaku Oksigen Terlarut selama 24


Jam pada Lokasi Karamba Jaring Apung di Waduk Saguling, Jawa
Barat. Jurnal Limnotek. Vol. XVI, No. 2, p. 109-118.
Kironto, Bambang Agus dan Yulistiyanto, B. 2010. Sedimentasi Waduk dan
Teknik Pengendaliannya. Bahan Kuliah Program S2 Teknik Sipil, Minat

13

Teknik Konservasi Waduk


Teknik Keairan. Program Studi Teknik Sipil. Program Pascasarjana
Fakultas Teknik UGM. Yogyakarta.
Anonim,
2012.
Kondisi
Bendungan
Saguling
http://www.alpensteel.com. (diunduh 20 September 2014).
Sidik,

Memburuk.

Khusnul.
2013.
Pengertian
Sedimentasi
dan
Macamnya.
http://zonangelmu.blogspot.com. (diunduh 24 September 2013).

Soemarwoto, O. 1991. Analisis Dampak Lingkungan. Gadjah Mada University


Press. Yogyakarta. 378 hal.
Soetrisno,
Fadly.
2010.
Bangunan
Pengendali Sedimen.
http://fadlysutrisno.wordpress.com. (diunduh 24 September 2013).
Zhou, Z. 2007. Reservoir Sedientaion Management in China. Advance Training
Workshop on Reservoir Sedimentaion Management. 10-16 October 2007.
Cina.

13

You might also like