Professional Documents
Culture Documents
Fisika Matematika I
Muhammad Fauzi Mustamin
\ press
2015
KATA PENGANTAR
Ilmu Fisika merupakan ilmu mendasar dengan tujuan mendeskripsikan bagaimana alam semesta
bekerja. Berbagai fenomena alam kemudian diformulasikan ke dalam Matematika untuk mencari
tahu deskripsi tersebut secara terperinci. Hasil perincian ini kemudian dikembangkan menjadi
berbagai bidang keteknikan yang memfokuskan pada salah satu cabang ilmu Fisika. Bahkan
penjabaran ilmu Fisika tidak jarang diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah sosial-politik.
Buku ini merupakan kumpulan catatan kuliah saat mengikuti mata kuliah Fisika Matematika I di
program studi Fisika, Universitas Hasanuddin. Terinspirasi dari hadits Rasulullah, Ikatlah ilmu
dengan menuliskannya, saya memulai sedikit demi sedikit menuliskan bahan perkuliahan.
Setelah satu tahun berlalu, buku ini akhirnya bisa saya rampungkan meskipun masih jauh dari
kata sempurna untuk menjelaskan luasnya samudera Fisika Matematika.
Kepada dosen-dosen pengajar; Prof. Wira Bahari Nurdin dan Dr. Tasrief Surungan, serta temanteman sekelas pada mata kuliah Fisika Matematika semester ganjil 2014, saya mengucapkan
banyak terimakasih atas berbagai inspirasi saat perkuliahan.
Bagi teman-teman, para pembaca sekalian, saran dan feedback selalu dinanti di
muhammadfauzim@gmail.com.
DAFTAR ISI
1. Kalkulus Vektor .........................................................................................................................1
1.1 Diferensial Vektor ..................................................................................................................1
1.2 Integral Vektor .......................................................................................................................2
1.3 Kurva Ruang ..........................................................................................................................3
1.4 Operasi Vektor .......................................................................................................................5
1.5 Kordinat Silinder dan Kordinat Bola .....................................................................................8
1.6 Integral Kalkulus ..................................................................................................................11
2. Deret ..........................................................................................................................................15
2.1 Deret Konvergen dan Deret Divergen ..................................................................................15
2.2 Uji Konvergen Suatu Deret ..................................................................................................15
2.3 Deret Selang Seling ..............................................................................................................17
2.4 Deret Pangkat .......................................................................................................................18
2.5 Deret Taylor .........................................................................................................................18
3. Bilangan Kompleks ..................................................................................................................21
3.1 Dasar Bilangan Kompleks ....................................................................................................21
3.2 Manipulasi Bilangan Kompleks ...........................................................................................22
3.3 Representasi Polar ................................................................................................................25
3.4 Teorema de Moivre ..............................................................................................................26
3.5 Fungsi Hiperbolik .................................................................................................................28
4. Deret Fourier ............................................................................................................................30
4.1 Kondisi Dirichlet ..................................................................................................................30
4.2 Koefisien Fourier..................................................................................................................31
4.3 Fungsi Diskontinu ................................................................................................................32
4.4 Fungsi Non-Periodik ............................................................................................................32
1. KALKULUS VEKTOR
Sebagaimana diketahui bersama, kalkulus merupakan alat yang sangat penting dalam
pendeskripsian berbagai kuantitas fisis. Pada tingkatan sekolah menengah tentu telah
diperkenalkan dasar dari kalkulus; diferensial, integral, dan berbagai materi berkaitan dengan hal
tersebut. Perbedaan mendasar dari kalkulus pada kuantitas skalar, kalkulus vektor, sesuai
namanya, mengolah berbagai vektor dengan menggunakan prinsip kalkulus. Hal ini mengingat
banyaknya kuantitas fisis berupa vektor, misalnya sebaran medan magnet pada sebuah muatan
listrik, kecepatan alir fluida, dan masih banyak lagi fenomena alam lain yang dalam
pendeskripsiannya menggunakan kalkulus vektor.
1.1 Diferensial Vektor
Misalkan sebuah vektor yang terdiri dari fungsi skalar dengan variabel . Kita dapat
menuliskan vektor tersebut sebagai (). Misalnya pada kordinat kartesian, () = () +
() + ().
Perubahan kecil pada vektor () menghasilkan perubahan sehingga = ( + )
(). Diferensial dari () terhadap didefinisikan :
( + ) ()
=
0
(. )
=
+
+
(. )
Pada vektor komposit, setiap vektor atau skalar dapat berupa fungsi dari variabel . Dengan
mengasumsikan dan adalah vektor terdiferensiasi terhadap skalar dan bahwa adalah
fungsi skalar terdiferensiasi terhadap :
() =
+
( ) =
+
( ) =
+
(. )
(. )
(. )
Dari persamaan (1.1), dapat dilihat saat 0, perubahannya terhadap akan sangat kecil.
Sehingga diperoleh persamaan :
=
(. )
Sebagai pemisalan adalah perubahan yang sangat kecil dari vektor posisi sebuah partikel pada
selang waktu :
=
Integral dari vektor atau skalar memiliki perlakuan yang sama dengan integral biasa.
(ii)
(. )
() = (2 ) + (1 )
(. )
(. )
(. )
Sebuah kurva terkadang dideskripsikan dengan formasi parametrik dengan vektor (), dimana
parameter adalah panjang garis sepanjang kurva diukur dari titik tetap. Untuk kurva yang
dideskripsikan dengan (), perubahan vektor yang sangat kecil :
= + +
(. )
yang dapat diformasi ulang menjadi jarak antara dua titik pada kurva (), dengan = 1 dan
= 2 :
1
=
2
(. )
Jika kurva dideskrippsikan dengan (), pada setiap titik di kurva terebut, merupakan
seuah tangen vektor dari pada titik tersebut, dengan arah meningkat. Pada kasus khusus
dimana parameter adalah panjang sepanjang kurva, adalah satuan vektor tangen dari
dan dinotasikan .
=
, tegak lurus terhadap permukaan datar dan
disebut sebagai binormal
Vektor satuan
, , dan
membentuk sistem kordinat kartesian tangan-kanan pada setiap
terhadap . Vektor
titik di .
, t, dan
serta diferensiasinya terhadap saling berhubungan, hubungan ini
Secara ringkas,
disebut juga dengan formula Frenet-Serret :
,
=
,
=
(. )
+
+
(. )
Penjabaran selanjutnya memfokuskan pada sifat matematis dari operator vektor tersebut.
1.4.1 Gradien sebuah Medan Skalar
Gradien dari medan skalar (, , ) didefinisikan :
grad = =
+
+
(. )
Secara matematis, grad merupakan medan vektor yang setiap komponennya diturunkan satu
kali secara parsial terhadap (, , ).
Secara umum, perubahan terhadap jarak pada arah :
= .
(. )
= ||
dengan merupakan sudut antara vektor dan yang ditunjukkan pada gambar 1.3.
(. )
+
+
(. )
Selanjutnya, jika suatu medan vektor merupakan diferensiasi dari medan skalar, = , maka
. akan membentuk . atau 2 , dimana
2
2
2
2
+
+
2 2 2
(. )
) + (
) + (
(. )
dimana , dan merupakan komponen dari vektor . Hasil dari sisi sebelah kanan
persamaan tersebut didapatkan dari proses determinan :
= |
(. )
Untuk medan vektor (, , ) yang mendeskripsikan kecepatan lokal pada setiap titik di dalam
sebuah fluida, adalah pengukuran kecepatan sudut dari fuida pada daerah sekitar titik
tersebut. Jika sebuah kincir air kecil ditempatkan di dalam fluida tersebut, maka kincirnya akan
berotasi pada daerah , sementara kincirnya tidak akan berotasi pada daerah = .
Sebagai rangkuman hasil kombinasi dari ketiga operator vektor, tabel 1.1 menyajikan hal
tersebut.
= sin ,
(. )
(. )
dimana, dengan melakukan diferensial parsial terhadap , dan lalu membagi dengan setiap
modulusnya didapatkan vektor pada kordinat silinder
= = cos + sin
=
1
= sin + cos
= =
(. )
(. )
(. )
+
+
= + +
(. )
Elemen volume dari kodinat silinder diperoeh dengan mengkalkulasi bidang paralelipiped sangat
kecil, didefinisikan oleh vektor , dan :
= | ( )| =
(. )
= sin sin ,
= cos
(. )
(. )
Vektor satuannya, kembali dapat ditelusuri dengan melakukan diferensial parsial terhadap
, , dan , lalu membaginya dengan modulus tiap vektor
= sin cos + sin sin + cos
(. )
(. )
= sin + cos
(. )
(. )
Elemen volume pada kordinat bola merupakan volume dari paralelipiped sangat kecil yang
memenuhi
= | ( sin )| = 2 sin
(. )
10
Tabel 1.3 Operator vektor pada kordinat bola, dengan medan skalar dan medan vektor.
1.6 Integral Kalkulus
1.6.1 Integral Garis
Integral garis secara umum memiliki persamaan
(. )
11
(. )
Esensi dari integral garis ini, kita melakukan perkalian skalar vektor dari dengan vektor
perpindahan elemen kecil sepanjang lintasan. Bagi fisikawan, bentuk paling sering dijumpai
adalah integral garis persamaan kerja oleh sebuah gaya, = . .
Integral garis untuk beberapa kasus memiliki keunikan, dimana integral garis antara dua titik
tidak bergantung pada lintasan yang dilalui. Medan vektor dengan karakteristik tersebut disebut
konservatif. Sebuah vektor dengan diferensial parsial berhubungan pada daerah dikatakan
konservatif jika dan hanya jika memenuhi beberapa syarat berikut.
(i)
(ii)
(iii)
= 0.
(iv)
Kasus lain terjadi untuk menghubungkan integral garis dan integral bidang. Integral garisnya
dapat dihubungkan dengan luas daerah cakupan dengan menggunakan teorema Green untuk
bidang memenuhi
12
( + ) = ( )
(. )
terlihat hubungan integral garis sepanjang lintasan terhadap integral lipat dua dengan luas .
1.6.2 Integral Permukaan
Integral permukaan secara umum memiliki persamaan
.
(. )
(. )
Jika mendeskripsikan aliran fluida (massa persatuan luas persatuan waktu), maka
merepresentasikan massa total persatuan waktu yang melewati permukaan atau lebih sering
disebut sebagai flux.
Lebih detail, elemen luas dapat dituliskan
=
(. )
13
(. )
dengan fungsi skalar dan elemen volume kecil, dimana untuk kordinat kartesian =
.
Misalnya adalah densitas suatu bahan, maka merepresentasikan massa total.
1.6.4 Teorema Divergence
Teorema divergence menghubungkan flux total dari medan vektor yang menyebar dari
permukaan tertutup menuju integrasi divergence dari medan vektor volume tertutup .
Ungkapan matematis dari teorema divergence memenuhi
= .
(. )
(. )
14
2. DERET
Banyak situasi fisika yang kita sajikan dalam bentuk deret. Sebuah deret dapat berupa
penjumlahan berhingga ataupun penjumlahan tak hingga dari sekumpulan angka. Secara umum,
penjumlahan dari bagian dari sebuah deret dapat ditulis :
= = 1 + 2 + 3 + +
(. )
=1
Jenis deret berhingga, berarti nilai mencapai angka tertentu. Sedangkan untuk deret tak hingga
nilai = . Dalam dunia fisika, banyak kejadian alam yang memenuhi konsep deret tak
berhingga. Atas dasar ini, pembahasan selanjutnya akan fokus pada deret tak hingga.
2.1 Deret Konvergen dan Deret Divergen
Dalam pembahasan deret untuk menganalisa keadaan fisis, perlu diperhatikan bahwa kita akan
menjumlahkan sekian banyak angka yang jumlahnya tak berhingga. Sesuai dengan persamaan
(2.1), karena deretnya tidak berhingga :
= = 1 + 2 + 3 + +
(. )
=1
(. )
Jika nilai menuju sebuah angka tertentu deretnya dikatakan deret konvergen. Sementara jika
menuju , deretnya dikatakan sebagai deret divergen.
2.2 Uji Konvergen Suatu Deret
2.2.1 Nilai Mutlan dan Konvergensi Deret
Secara umum, deret tak hingga dapat memiliki bagian kompleks dan pada kasus khusus
terdiri dari nilai positif dan negatif. Untuk sebuah deret, kita dapat mengasumsikan deret lain
15
| | yang setiap bagiannya merupakan nilai absolut dari deret awal yang hendak dicari.
Setiap bagian dari deret mutak tersebut akan menghasilkan nilai positif.
Jika deret | | konvergen, maka deret juga konvergen, dan dapat dikatakan sebagai
deret konvergen mutlak. Untuk deret konvergen mutlak, setiap bagiannya dapat disusun ulang
tanpa mempengaruhi konvergensi dari deret tersebut.
Jika deret | | divergen namun deret konvergen, deretnya dikatakan konvergen
kondisional. Untuk deret konvergen kondisional, jika urutan bagiannya diubah, maka akan
berpengaruh pada deret semula, sehingga tidak jelas, apakah deretnya konvergen atau divergen.
2.2.2 Konvergensi Deret Positif
Deret positif merupakan deret yang semua bagiannya terdiri dari bilangan konstan positif. Untuk
meguji konvergensitas suatu deret positif, ada beberapa cara yang dapat dilakukan :
1. Uji Awal
Uji awal digunakan untuk mendeteksi apakah deret tersebut sudah pasti divergen. Untuk deret
dikatakan konvergen jika hasilnya menuju nol saat menuju tak hingga.
= 0
Jika kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka deretnya sudah pasti divergen. Namun, meski telah
terpenuhi, deretnya juga bisa berupa deret divergen, sehingga membutuhkan pengujian yang lain
untuk membuktikan.
2. Uji Banding
Uji banding merupakan pengujian paling mendasar dalam menguji konvergensi suatu deret.
Misalkan kita memiliki dua deret, dan dan kita mengetahui bahwa salah satunya deret
konvergen. Sehingga jika setiap bagian pada deret awal kurang dari atau sama dengan bagian
dari deret , untuk setiap yang lebih besar dari nilai tetap yang bisa bervariasi setiap deret,
deret awal juga merupakan deret konvergen.
Dengan kata lain, jika konvergen dan
, untuk >
16
(. )
Berlaku hubungan, jika < 1 deretnya konvergen; jika > 1 deretnya divergen; jika = 1
maka deretnya bisa konvergen mapun divergen.
4. Uji Integral
Misalkan terdapat sebuah fungsi () yang secara monoton menurun sepanjang lebih besar
dari niali tetap 0 dan untuk () = . Deret konvergen jika integral pembandingnya
berhingga :
()
(. )
Namun jika integralnya tak hingga, maka deretnya dikatakan deret divergen.
2.3 Deret Selang Seling
Deret selang seling dapat ditulis sebagai :
(1)+1 = 1 2 + 3 4 + 5
(. )
=1
2. Deret selang-seling haruslah deret yang monoton turun untuk setiap suku mutlaknya.
17
|+1 | < | |
Jika setiap suku dalam deret diambil harga mutlaknya, kita peroleh deret baru yang sema
bagiannya positif. Deret ini disebut deret mutlak, yang bisa bersifat konvergen ataupun divergen.
2.4 Deret Pangkat
Formasi umum dari deret pngkat adalah :
() = 0 + 1 + 2 2 + 3 3 +
(. )
Dimana 0 , 1 , 2 , 3 , . Meruakan konstanta. Deret tersebut secara umum sering muncul dalam
fisika dan sangat berguna, untuk || < 1, bagian seanjutnya deret tersebt dapat menjadi sangat
kecil dan diabaikan.
Dengan menggunakan uji perbandingan dAlembert, kita dapat melihat bahwa () konvergen
mutlak jika :
+1
+1
0 = |
| = || |
|<1
Atau dapat ditulis :
|| <
(. )
Konvergensi dari () bergantung pada nilai , dimana daerah bergantung pada nilai .
1. Jika = 0, deretya konvergen untuk semua nilai .
2. Jika = , deretnya konvergen hanya untuk nilai = 0.
3. Jika 1 < < +1, deretnya konvergen untuk daerah antara 1 sampai +1.
2.5 Deret Taylor
Ekspansi Taylor merupakan alat yang sangat berguna untuk menjabarkan deret pangkat dari
sebuah fungsi. Dengan mengasumsikan fungsi () memiliki sebuah turunan ke- yang kontinu
pada selang , kemudan mengintegralkanya sebanyak :
18
()
( )2 (1)
()
2!
() (1 ) 1
= () () ( )
()
( )2
( )1 1
()
()
( 1)!
2!
( )2
( )1 1
() + +
() +
( 1)!
2!
(. )
= () (1 ) 1
(. )
() = ( )()
(. )
(. )
19
() = () + ( ) () +
( )2
( )1 1
()
()
+ +
( )!
( 1)!
(. )
() =
=0
( ) ()
()
!
(. )
Deret Taylor yang didapatkan mendefinisikan nilai fungsi pada titik , yang merupakan bagian
dari nilai fungsi dan turunannya pada titik . Ini merupaan ekspansi pangkat dari perubahan
variable, atau . Definisi ini dapat memperjelas deret Taylor dengan menggunakan formasi
alternative, menggantikan dengan + dan dengan :
()
( + ) = ()
!
(. )
=0
() =
=0
() ()
(0)
!
(. )
20
3. BILANGAN KOMPLEKS
(3.1)
4
2
(3.2)
Setiap persamaan kuadrat selalu memiliki dua solusi dan tentunya juga berlaku untuk persamaan
(3.2). Bagian kedua dari persamaan sebelah kanan disebut bagian karena memilii akar
dari sebuah bilangan negative, sementara bagian pertamanya disebut bagian . Solusi totalnya
merupakan jumlah antara bagian ril dan bagian imajiner yang disebut dengan bilangan kompleks.
Fungsinya dapat dilihat dari gambar di bawah.
(3.3)
21
Dengan digunakan sebagai symbol dari akar -1. Bagian ril dinotasikan dengan sementara
bagian imajiner dinotasikan sebagai .
Pada contoh di atas, 4 = 21 = 2, sehingga solusi yang kita dapatka adalah :
1,2 = 2
2
=2
2
Dengan = 2 dan = 1.
Persamaan bilangan kompleks biasa ditulis dengan bentuk :
= (, )
Dimana komponen dari bisa umpamakan berada pada koordinat kartesian. Plot fungsi tersebut
disebut diagram Argand.
(3.4)
Sehingga modulus dapat diartikan sebagai jarak sebuah titik dar titik pada diagram Argand.
Argumen dari bilangan kompleks dinotasikan dengan arg dan didefinisikan :
22
arg = 1 ( )
(3.5)
Dapat pula dilihat bahwa arg adalah sudut yang menghubungan titik asal sampai pada
diagram Argand dengan sumbu- positif. Menurut hasil konvensi, arah berlawanan jarum jam
adalah positif.
23
(3.6)
Untuk perkalian :
1 2 = (1 + 1 )(2 + 2 ) = (1 2 1 2 ) + (1 2 + 1 2 )
(3.7)
Perkalian dari suatu bilangan kompleks memenuhi aturan komutatif dan asosiatif :
1 2 = 2 1
(3.8)
(1 2 )3 = 1 (2 3 )
(3.9)
(3.10)
(1 2 ) = 1 + 2
(3.11)
Untuk bilangan kompleks yang dikalikan dengan 1 dan , menghasilkan suatu pola yang
menarik. Ketika mengalikan dengan kesatuan (yang memiliki argument nol) memberikan
yang tetap dikedua modulus dan argument.
Adapun dengan mengalikan 1 (argumennya ) mengakibatkan rotasi, sepanjang sudut , dari
garis yang menghubungkan titik asal dengan pada diagram Argand. Sama halnya dengan
mengalikan atau yang menghasilkan putaran 2 atau 2.
Gambar 3.5 Pola menarik saat menglikan bilangan kompleks dengan 1 dan
24
Sementara untuk operasi pembagian, misalkan diketahui bilangan kompleks 1 dan 2 , jika
keduanya dibagi akan membentuk formasi :
1 1 + 1
=
2 2 + 2
(. )
Untuk mendapatkan hasil yang terpisah antara bagian ril dan kompleksnya, kita kalikan dengan
rasio kompleks konjugat dari pembagi atau dalam persamaan (3.12) adalah 2 :
1 (1 + 1 )(2 2 ) 1 2 + 1 2
2 1 1 2
=
=
+
2 (2 + 2 )(2 2 )
2 2 + 2 2
2 2 + 2 2
(. )
Sama halnya dengan perkalian, pembagian bilangan kompleks juga menghasilkan beberapa
persamaan yang sesuai dengan persamaan (3.10) dan (3.11) :
|1 |
1
| |=
|2 |
2
(. )
1
arg ( ) = arg 1 arg 2
2
(. )
= sin ,
atau = 2 + 2 ,
= tan ( )
(. )
Dengan melakukan subtitusi pada persamaan umum bilangan kompleks pada kordinat kartesian,
= + , diperoleh persamaan :
= cos + sin =
(. )
(. )
25
(. )
Jika kita memiliki dua buah bilangan kompleks dengan formasi polar, 1 = 1 1 dan 2 =
2 2 , jika dikalikan :
1 2 = 1 2 (1 +2 )
(. )
(. )
(. )
Hasil ini disebut teorema de Moivre dan sering digunakan dalam maniulasi bilangan kompleks.
Manipulasinya anatara lain; mencari identitas trigonometri, mencari akar ke- suatu besaran.
26
1
= (cos + sin ) + (cos + sin )
1
= cos + sin + cos() + sin() = 2 cos
(. )
Dan
+
1
= (cos + sin ) (cos + sin )
1
= cos + sin cos() + sin() = 2 sin
(. )
(. )
27
(. )
1
( )
2
(. )
sinh =
Dengan fungsi tersebut, leih jauh dapat dicari hubungan dari fungsi hiperbolik lain untuk tanh ,
sech , csch , dan coth .
28
1
( + )
2
sin =
1
( )
2
Sehingga didapat hubungan yang sangat jelas antara fungsi hiperbolik dengan fungsi
trigonometri :
cosh = cos
(. )
sinh = sin
(. )
cos = cosh
(. )
sin = sinh
(. )
29
4. DERET FOURIER
Fenomena periodik seperti gelombang, gerak harmonis, atau gaya-gaya berulang lain
dideskripsikan dengan fungsi berulang. Deret dan transformasi Fourier merupakan media yang
menjadi dasar untuk memecahkan berbagai fenomena berulang tersebut.
4.1 Kondisi Dirichlet
Deret Fourier dapat digunakan untuk merepresentasikan suatu fungsi yang tidak dapat dilakukan
dengan ekspansi Taylor. Agar fungsi () memenuhi kriteria deret Fourier, maka deret tersebut
harus memenuhi kondisi Dirichlet :
(i)
(ii)
Bernilai tunggal dan kontinu, kecuali mungkin pada nilai berhingga tertentu.
(iii)
Memiliki hanya satu titik maksimum dan minimum pada satu periode.
(iv)
Gambar 4.1 Sebuah contoh fungsi yang dapat direpresentasikan dengan deret Fourier
Deret Fourier terdiri dari fungsi sinus dan kosinus. Esensi dari hal ini adalah sinus merupakan
fungsi ganjil sementara kosinus merupakan fungsi genap, dimana keduanya merupakan fungsi
periodik.
30
Setiap bagian pada deret Fourier saling ortogonal, setiap satu periode. Setiap bagiannya
memenuhi sifat matematis berikut :
0 +
0
0 +
0 +
2
2
sin (
) cos (
) = 0
2
2
1
cos (
) cos (
) = {
2
0
0
2
2
1
sin (
) sin (
) = {
2
0
(. )
untuk = = 0
untuk = > 0
(. )
untuk
untuk = = 0
untuk = > 0
(. )
untuk
dengan dan merupakan bilangan bulat lebih besar atau sama dengan nol.
Ekspansi Fourier dari fungsi () memiliki bentuk umum :
0
2
2
() =
+ [ cos (
) + sin (
)]
2
(. )
=1
(. )
2 0 +
2
=
() sin (
)
0
(. )
dimana 0 adalah nilai sembarang namun sering diambil sebagai 0 atau /2. Penjabaran
formula ini dapat dilakukan dengan mengalikan () pada persamaan (. ), dengan cos(2/
), lalu mengintegralkan sepanjang satu periode penuh terhadap . Hasil dari tahap tersebut,
kemudian diselesaikan dengan menggunakan persamaan (. ), (. ), dan (. ).
Fungsi yang simetri atau asimetri pada titik awal dapat mempermudah perhitungan dari koefisien
Fourier. Fungsi dengan ganjil tidak memiliki bagian kosinus dan semua koefisien bernilai
31
nol. Sebaliknya, fungsi dengan genap tidak memiliki bagian sinus dan semua koefisien
bernilai nol. Karena deret Fourier dengan fungsi ganjil atau genap hanya menyisakan setengah
koefisien untuk menjabarkan perilaku keseluruhan periode, perhitungan deret Fourier akan
menjadi lebih mudah.
4.3 Fungsi Diskontinu
Ekspansi deret Fourier juga dapat diimplementasikan untunk fungsi diskontinu pada selang
tertentu. Hasil ekspansinya sendiri tidak lah diskontinu dan nilain dari fungsi () hasil ekspansi
akan bernilai setengah antara nilai batas atas dan nilai batas bawahnya.
Pada titik diskontinu, representasi deret Fourier akan meampaui nilainya. Lebih banyak bagian
digabungkan, posisi nilai lampauannya menyebabkan fungsi ekspansi bergerak mendekati
diskontinu, tidak akan pernah hilang meskipun terdapat takberhingga bagian. Hal ini dikenal
sebagai fenomena Gibbs.
Gambar 4.2 Konvergensi deret Fourier fungsi setengah gelombang, dengan (a) satu bagian, (b)
dua bagian (c) tiga bagian, dan (d) 20 bagian dengan menunjukkan lampauan fungsi.
4.4 Fungsi Non-Periodik
Deret Fourier dapat pula digunakan untuk mengekspansi suatu fungsi non-periodik pada selang
tertentu. Hasil dari selang tersebut kemudan diterapkan kepada selang lain sehingga membentuk
suatu fungsi ekspansi periodik.
32
Misalnya mencari deret Fourier () = 2 pada selang 2 2. Dari gambar 4.3 terlihat
periodenya 4. Catat juga bahwa fungsinya merupakan fungsi genap, mengakibatkan bagian
bernilai nol dan menyisakan bagian kosinus.
2
2 2 2
2
cos (
) = 2 cos (
)
4 2
4
2
0
= [
=
2 2
2 4 2
sin (
)] sin (
)
2
0 0
2
16
(1)
22
adapun untuk 0 ,
2
2 2 2
1
2 8
0 = = 2 = [ 3 ] =
4 2
3
0 3
0
(1)
4 16
() = + 2 2 cos (
)
3
untuk 2 2
=1
33
() = exp (
=0
2
)
(. )
(. )
) dan
exp (
2
2
) exp (
) = {
0
, =
,
(. )
1 0 +
|()|2 = | |2
0
=
2
1
1
= ( 0 ) + (2 + 2 )
2
2
(. )
=1
Persamaan tersebut menyatakan penjumlahan dari modulus kuadrat dari koefisien deref Fourier
kompleks memiliki nilai yang sama dengan |()|2 dalam satu periode. Teorema Parseval biasa
digunakan dalam penjumlahan deret.
34
5. TRANSFORMASI FOURIER
() = 2/ =
=
(. )
Saat periode menuju tak terhingga, frekuensi quantum, = 2/ menjadi sangat kecil dan
spektrum frekuensi yang diizinkan menjadi kontinu. Penjumlahan tak terhingga berbentuk
deret Fourier menjadi sebuah integral, dan koefisien menjadi fungsi kontinu dengan variabel
, dimana persamaannya
1 /2
/2
2/
= ()
=
()
/2
2 /2
(. )
() =
=
/2
()
2 /2
(. )
( )
2
1
( )
2
35
Gambar 5.1 Hubungan bagian Fourier untuk fungsi periode dan integral Fourier dari suatu
fungsi
dimana
/2
( ) =
()
/2
1
()
2
(. )
1
2
()
(. )
dengan inversnya
() =
1
2
()
(. )
untuk 0
(. )
36
(. )
menghasilkan selang integasi pada titik = ; selain itu integralnya sama dengan nol. Hal ini
mengarahkan pada dua hasil lebih lanjut
() = 1
(. )
dan
( ) = 1
(. )
() =
1
(),
||
() = 0
(. )
1
0
untuk > 0
untuk < 0
(. )
namun fungsi ini diskontinu pada = 0. Hubungannya dengan fungsi delta Dirac
() = ()
(. )
Dari teorema inversi Fourier, persamaan (. ), dapat dilihat hubungannya dengan fungsi delta
Dirac
1 ()
( ) =
(. )
1
2
() =
1
2
(. )
37
2
sin { () sin }
0
0
(. )
2
() = () sin
0
(. )
2
cos { () cos }
0
0
(. )
2
() = () cos
0
(. )
38
= (, ),
(, ) + (, ) = 0
(. )
= ()()
(. )
Dimana () dan () adalah fungsi dari x dan y, termasuk juga dalam kasus () atau ()
adalah sebuah konstanta. Dengan melakukan pengaturan ulang, persamaan tersebut dapat ditulis
kedalam bentuk integral
= ()
()
(. )
39
dimana
(. )
+
= +
(. )
(, ) =
(. )
(. )
+ () = ()
(. )
Persamaan tersebut dapat dirubah menjadi persamaan eksak dengan mengalikan factor
pengintegralan. Faktor pengintegralan disini hanya berupa fungsi x semata.
40
[(, )] = (, )()
+ (, )() =
() =
+
=
+ ,
= ()()
() = ()
Sehingga penyelesaian umumnya memenuhi persamaan
= () () ()
(. )
+ () = () ,
dengan 0 atau 1
(. )
PDB Bernoulli merupakan kasus khusus dari PDB linear, tapi PDB Bernoulli ini tidaklah linear.
Hal ini disebabkan karena adanya . Namun, PDB Bernoulli dapat diubah menjadi PDB linear
dengan melakukan pemisalan sebuah variable baru = 1 yang mengakibatkan =
(1 ) .
=
(1 )
41
+ (1 )() = (1 )()
(. )
yang merupakan bentuk PDB linear. Tentu saja, solusinya dicari dengan metoda PDB linear.
6.1.6 Persamaan Homogen
Persamaan diferensial homogen merupakan PDB yang dapat ditulis :
(, )
=
= ( )
(, )
(. )
dimana (, ) dan (, ) merupakan fungsi homogen dengan derajat yang sama. Sebuah
fungsi (, ) homogen dengan derajat n jika, untuk setiap , memenuhi
(, ) = (, )
Misalnya, jika = 2 2 dan = 3 3 , kita lihat bahwa A dan B merupakan fungsi
homogen dengan derajat 3. Secara umum, untuk fungsi dengan bentuk A dan B, keduanya
merupakan fungsi homogen, dan dengan derajat yang sama. Kita menjumlahkan setiap pangkat
dari x dan y pada bagian A dan B untuk menjadi sama. Sisi kanan dari PDB homogen dapat
ditulis sebagai fungsi y/x. Persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan substitusi
= , sehingga
=+
= ()
Ini kemudian merupakan PDB variabel pisah dan dapat langsung diintegralkan
=
()
(. )
() + (1) () (1) + + 1 ()
+ 0 () = ()
42
() 2 + ()
+ () = ()
Dimana (), () dan () adalah sebuah fungsi yang kontinu. Persamaan ini biasa digunakan
untuk mempelajari gerak dari sebuah pegas.
6.2.2 PD Linear Homogen Orde Dua dengan Koefisien Konstan
Seperti di awal pembahasan, saat () = 0, persamaannya menjadi homogen. Bentuk umunya :
()
+
()
+ () = 0
2
Dua fakta dasar membantu kita untuk dapat memecahkan solusi untuk persamaan di atas.
Pertama adalah jika kita mengatahui dua solusi 1 () dan 2 () untuk persamaan tersebut,
kombinasi linearnya juga merupakan solusi :
() = 1 1 () + 2 2 ()
Dengan 1 dan 2 adalah suatu konstanta tertentu. Hal ini dapat dibuktikan dengan melakukan
subtitusi 1 () dan 2 () pada persamaan yang menghasilkan nilai 0 dan menurunkan () dua
kali lalu melakukan subtitusi pada persamaan awal.
Fakta lain yang membuat kita mampu memecahkan solusi persamaan ini adalah, solusi
umumnya berupa kombinasi linear dari dua solusi linear yang independen 1 () dan 2 (). Ini
berarti antara 1 () dan 2 () bukanlah merupakan kelipatan antara satu sama lain. Lebih
jelasnya, fungsi () = 2 dan () = 2 2 merupakan fungsi tidak bebas secara linear, tapi
() = dan () = merupakan fungsi bebas secara linear.
Secara umum tidak mudah mencari solusi khusus untuk PD linear orde dua. Namun saat
koefisiennya, (), () dan () adalah sebuah konstanta, hal tersebut dapat dengan mudah
43
dilakukan. PD linear homogen orde dua dengan koefisien konstan akan memiliki formula
sebagai berikut :
+ + = 0
(. )
(. )
2 4
2
44
= 1 1 + 2 2
(. )
Kasus kedua, saat 2 4 = 0. Pada kasus ini r1 = r2. Sehingga akar-akarnya real dan sama.
Kita misalkan akar-akar sama ini dengan . Sehingga, rumus akar persamaan kuadrat :
=
sehingga 2 + = 0
Dari syarat-syarat tersebut, didapatkan solusi untuk PD linear homogen orde dua dengan
koefisien konstan dan akar-akar yang sama memberikan :
= 1 + 2
(. )
Kasus ketiga, saat 2 4 < 0. Pada kasus ini, r1 dan r2 terdiri dari bilangan kompleks. Kita
dapat menuliskan :
1 = + dan 2 =
Dimana dan adalah bilangan real ( = (2) dan = 2 4 (2)), sehingga
dengan menggunakan persamaan Euler :
= +
Solusi yang kita dapatkan menjadi :
= 1 (+) + 2 ()
= 1 ( ) + 2 ( )
= 1 (cos + sin ) + 2 (cos sin )
= (1 cos + 1 sin + 2 cos 2 sin )
= ((1 + 2 ) cos + (1 2 ) sin )
atau disederhanakan
= (1 cos + 2 sin )
(. )
45
(. )
Dengan () adalah solusi khusus dari persamaan linear orde dua tidak homogen dengan
koefisien konstan.
Salah satu metode menyelesaikan persamaan jenis ini, pertama-tama, kita ilustrasikan sebuah
persamaan :
+ + = ()
Dimana () adalah sebuah polynominal. Masuk akal ketika kita menebak bahwa terdapat
solusi partikular yang merupakan polynominal dengan derajat yang sama dengan karena
jika adalah polynominal, maka + + juga merupakan polynominal. Kemudian
dilakukan subtitusi () sebuah polynominal kedalam persamaan tersebut dan menentukan
koefisiennya.
Misalkan () adalah sebuah polynominal 2 , kita dapat mencari solusi khususnya dengan
formasi :
() = 2 + +
(. )
Kemudian melakukan diferensiasi sebanyak dua kali, lalu subtitusikan hasilnya pada persamaan
awal untuk mencari koefisien.
46
Adapun ketika Q(x) adalah sebuah fungsi dengan formasi dengan C dan k adalah konstanta,
kita menggunakannya solusi percobaan dengan formasi sama
() =
(. )
(. )
Kasus lain, ketika () merupakan hasil dari suatu fungsi yang didahuli oleh sebuah variabel,
kita mengambil solusi percobaan partikular yang sesuai dengan fungsi tersebut. Misalkan :
+ 2 + 4 = 3
Kita mencoba solusi khususnya :
() = ( + ) cos 3 + ( + ) sin 3
47
7. TRANSFORMASI LAPLACE
7.1 Definisi
Transformasi Laplace dapat digunakan untuk menyelesaikan suatu persamaan diferensial. Meski
berbeda dan menjadi alternatif untuk variasi parameter dan koefisien yang tidak ditentukan,
metode Laplace bermanfaat secara terpisah untuk masukan bagian yang hanya terdefinisi
sebagian, periodic, ataupun impulsive.
Transformasi Laplace () dari fungsi () didefinisikan :
() = {()} = ()
(. )
yang merupakan bentuk umum integral biasa. Karena bentuk integral, sifat-sifat dari integral
juga berlaku untuk transformasi Laplace ini. Misalnya :
{() + ()} = {()} + {()}
(. )
1
{1} = = , > 0
Contoh lain,
() = , > 0
48
= =
0
1
, >
Dari dua bentuk diatas, transformasi Laplace untuk fungsi hiperbolikus dan dapat
diketahui. Kita tahu,
1
cosh = 2 ( + ),
sinh = 2 ( ) ,
{cosh } = 2 ( + +) = 2 + 2 ,
{sinh } = 2 ( +) = 2 + 2 ,
Dimana keduanya terpenuhi untuk > .
Hal tersebut juga dapat dibuktikan untuk mencari transofmasi dari cos dan sin , dimana :
{cos } = 2 + 2 ,
{sin } = 2 + 2,
Keduanya berlaku untuk > 0.
Fungsi elementer lain yang juga sering digunakan, adalah () = , yang transformasi
Laplacenya :
{ } = 0 ,
dengan menyelesaikan bentuk integral tersebut, didapatkan :
!
() = +1
untuk > 0
dan
> 1.
Dari beberapa persamaan di atas, setiap transformasi memiliki variabel pada pembagi,
sehingga muncul sebagai pangkat negative. Dari definisi awal transformasi Laplace dan syarat
keadaannya, dapat kita lihat bahwa jika () adalah sebuah transformasi Laplace, () = 0.
49
Suatu hal penting dari fakta ini adalah jika () bersifat asymptotis untuk nilai yang besar
sebagai pangkat positif dari , tidak ada transformasi invers yang memenuhi persamaan tersebut.
7.3 Hubungan Fungsi Tertentu dengan Transformasi Laplace
Secara umum, fungsi Heaviside merupakan fungsi diskontinu yang nilainya nol untuk bagian
negative dan nilainya satu untuk bagian positif. Misalkan fungsi Heaviside kita definisikan
sebagai ( ),
( ) = {
0,
1,
< ,
> ,
(. )
1
{( )} = =
{()} = (1 0 ).
Penggunaan lebih lanjut pada persamaan diferensial akan berguna dengan menggunakan konsep
fungsi Delta Dirac. Transformasi dari fungsi Delta Dirac :
{( 0 )} = ( 0 ) = 0 ,
untuk
0 > 0
(. )
50
Transformasi
Laplace
menjadikan
persamaan
diferensial
yang
dianalisis
ditransformasi ke ruang Laplace menjadi fungsi (). Fungsi terebut dapat dirubah bentuknya
menjadi aljabar sederhana, lalu melakkukan transformasi balik fungsi tersebut sehingga
didapatkan solusi dengan variabel asal fungsi.
51
()}
=
0
()
(. )
(. )
Dari pemaparan tersebut, transformasi laplace untuk turunan dengan orde lebih tinggi akan
mengikuti pola :
{ ()} = {()} 1 (0) (1) (0)
(. )
Setelah mendapatkan fungsi dari (), persamaan tersebut diolah dengan operasi aljabar
sederhana kemudian melakukan transformasi balik untuk mendapatkan nilai () yang kembali
pada variabel awal :
1 {()} = ()
Transformasi balik Lapace ini dikaji lebih dalam dengan teorema konvolusi. Misalkan {()} =
() dan {()} = (), transformasi balik dari hasil kalinya :
1 {()()} =
(. )
= ()( )
(. )
[ ()] =
1
1
() = [ ()] 0 +
()
52
[ ()] =
1
[()]
(. )
() = ()
0
() = () =
()
()
= [
]
(. )
Dari berbagai penjabaran tentang transformasi Laplace di atas, berikut adalah table transformasi
Laplace untuk fungsi-fungsi standard.
53
DAFTAR PUSTAKA
[1]. K. F. Riley, M. P. Hobson, S.J. Bence, Mathematical Methods for Physics and
Engineering, 3rd Ed., Cambridge University Press, London, (2006)
[2]. G. B. Arfken, H. J. Weber, F. E. Harris, Mathematical Methods for Physicists, 7th Ed.,
Elsevier, Walthman, (2013)
[3]. T.Surungan, Fisika Matematika, Vol. 1, Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan
Universitas Hasanuddin, Makassar, (2012)
54