You are on page 1of 5

Skrofuloderma

SKROFULODERMA
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi yang berefek pada paru paru,
kelenjar getah bening, tulang dan persendian, kulit, usus dan organ lainnya.
Tuberkulosis kutis terjadi saat bakteri mencapai kulit secara endogen maupun
eksogen dari pusat infeksi. Klasifikasi tuberculosis kutis yaitu tuberculosis kutis yang
menyebar secara eksogen (inokulasi tuberculosis primer, tuberculosis kutis
verukosa), secara endogen (Lupus vulgaris, skrofuloderma, tuberculosis kutis
gumosa, tuberculosis orifisial, tuberculosis miliar akut) dan tuberkulid (Liken
skrofulosorum, tuberkulid papulonekrotika, eritema nodosum).
Salah satu tuberculosis kutis yang menyebar secara endogen adalah skrofuloderma.
Skrofuloderma adalah tuberculosis kutis murni sekunder yang timbul akibat
penjalaran perkontinuitatum dari jaringan atau organ di bawah kulit yang telah
terserang penyakit tuberculosis misalnya tuberkulosis kelenjar getah bening,
tuberculosis tulang dan keduanya atau tuberculosis epididimis atau setelah
mendapatkan vaksinasi.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini dapat terjadi di belahan dunia manapun, terutama di Negara Negara
berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang termasuk Indonesia,
tuberculosis kutis sering ditemukan. Penyebarannya dapat terjadi pada musin hujan
dan diakibatkan karena gizi yang kurang dan sanitasi yang buruk. Skrofuloderma
menyerang semua usia tetapi lebih sering terjadi pada anak anak dan dewasa
muda. Prevalensinya tinggi pada anak anak yang mengonsumsi susu yang telah
terkontaminasi Mycobacterium bovis.
ETIOLOGI
Penyebab utamanya adalah Mycobacterium tuberculosis. M. tuberculosis berbentuk
batang, panjang 2-4/ dan lebar 0,3-0,5/ , tahan asam, tidak bergerak, tidak
membentuk spora, bersifat aerob dan suhu optimal pertumbuhan 37C. Selain M.
tuberculosis, M. bovisjuga dapat menyebabkan terjadinya skrofuloderma.
PATOGENESIS
Pada penyakit ini biasanya menular melalui percikan air ludah dan oleh
karenanya porte dentre skrofuloderma di daerah leher adalah pada tonsil atau
paru, jika di ketiak maka kemungkinan porte dentre pada apeks pleura, jika di
lipat paha porte dentre pada ekstrimitas bawah. Kadang kadang ketiga tempat
predileksi tersebut terserang sekaligus, yakni pada leher, ketiak dan lipatan paha.

Krofuloderma merupakan hasil dari adanya penjalaran jaringan di bawah kulit yang
terserang tuberculosis, biasanya kelenjar getah bening, tetapi kadang kadang
dapat juga berasal dari tulang, atau kedua duanya atau tuberculosis epididimis.
Tuberkulosis kelenjar getah bening tersering terjadi dan yang terkena adalah
kelenjar getah bening pada supraklavikula, submandibula, leher bagian lateral,
ketiak, dan lipatan paha (jarang terjadi). Fokus primer didapatkan pada daerah yang
aliran getah beningnya bermuara pada kelenjar getah bening yang meradang.
Penyebaran penyakit terjadi secara cepat melalui limfatik ke kelenjar getah bening
dari daerah yang sakit dan melalui aliran darah. Granuloma yang terbentuk pada
tempat infeksi paru disebut ghonfocus dan bersamaan kelenjar getah bening
disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre. Bila kelenjar getah bening
pecah timbul skrofuloderma. Reinfeksi eksogenous bisa terjadi meskipun jarang dan
reaksinya pada host yang telah tersensitasi oleh infeksi sebelumnya berbeda
dengan mereka yang belum tersensitasi.
GAMBARAN KLINIK
Skrofuloderma biasanya dimulai sebagai infeksi kelenjar getah bening (limfadenitis
tuberculosis) berupa pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening ini
konsistensinya padat pada perabaan. Mula mula hanya beberapa kelenjar yang
diserang, lalu makin banyak dan berkonfluensi. Selanjutnya berkembang menjadi
periadenitis yang menyebabkan perlekatan kelenjar tersebut dengan jaringan
sekitarnya. Kemudian kelenjar tersebut mengalami perlunakan yang tidak serentak,
menyebabkan konsistensinya menjadi bermacam macam, yaitu didapati kelenjar
getah bening melunak dan membentuk abses yang akan menembus kulit dan
pecah, bila tidak disayat dan dikeluarkan nanahnya, abses ini disebut abses dingin
artinya abses tersebut tidak panas maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi
(bergerak bila ditekan, menandakan bahwa isinya cair). Pada stadium selanjutnya
terjadi perkejuan dan perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar dengan
menembus kulit di atasnya dengan demikian membentuk fistel. Kemudian fistel
meluas hingga mejadi ulkus yang mempunyai sifat khas yakni bentuknya panjang
dan tidak teratur, dan di sekitarnya berwarna merah kebiruan, dindingnya tergaung,
jaringan granulasinya tertutup oleh pus yang purulen, jika mongering menjadi
krusta warna kuning.
Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa
tahun dengan meninggalkan bekas luka (sikatriks) yang memanjang dan tidak
teratur. Jembatan kulit (skin bridge) kadang kadang terdapat di atas sikatriks,
biasanya berbentuk seperti tali yang kedua ujungnya melekat pada sikatriks
tersebut.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan bakteriologik

Pemeriksaan bakteriologik penting untuk mengetahu penyebabnya. Pemeriksaan


bakteriologik menggunakan bahan berupa pus. Pemeriksaan bakteriologik yang
dapat dilakukan antara lain pemeriksaan BTA, kultur dan PCR. Pemeriksaan BTA
dengan menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson mendeteksi kurang lebih 10.000
basil per mL. Pada pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) dapat juga
digunakan untuk mendeteksi M. tuberculosis. Pemeriksaan kultur menggunakan
medium non sekeltif (Lowenstein-Jensen), tetapi hasilnya memerlukan waktu yang
lama karena M. tuberculosis butuh waktu 3 4 minggu untuk berkembang biak.
2. Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis. Pada gambaran
histopatologi tampak radang kronik dan jaringan nekrotik mulai dari lapisan dermis
sampai subkutis tempat ulkus terbentuk. Jaringan yang mengalami nekrosis kaseosa
oleh sel sel epitel dan sel sel Datia Langhans.
3. Tes Tuberkulin (Tes Mantoux)
Diagnosis pasti tuberculosis kutis tidak dapat ditegakkan berdasarkan tes tuberculin
yang positif karena tes ini hanya menunjukkan bahwa penderita pernah terinfeksi
tuberculosis tetapi tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut masih
berlangsung aktif atau telah berlalu.
4. LED
Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami peningkatan tetapi LED ini lebih penting
untuk pengamatan obat daripada untuk membantu menegakkan diagnosis.
DIAGNOSIS
Diagnosis pada skrofuloderma dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran
klinis dan ditunjang oleh pemeriksaan histopatologi. Selain itu dapat juga ditunjang
dengan pemeriksaan bakteriologik.
DIAGNOSIS BANDING
1. Aktinomikosis
Skrofuloderma di leher biasanya mempunyai gambaran klinis yang khas sehingga
tidak perlu diadakan diagnosis banding. Walaupun demikian aktinomikosis sering
dijadikan diagnosis banding terhadap skrofuloderma di leher. Aktinomikosis
biasanya menimbulkan deformitas atau benjolan dengan beberapa muara fistel
produktif.
2. Hidradenitis supurativa
Jika skrofuloderma terdapat di daerah ketiak dibedakan dengan hidradenitis
supurativa yakni infeksi oleh Piokokus pada kelenjar apokrin. Penyakit tersebut

bersifat akut dan disertai dengan tanda tanda radang akut yang jelas, terdapat
gejala konstitusi dan leukositosis. Hidradenitis supurativa biasanya menimbulkan
sikatriks sehingga terjadi tarikan tarikan yang mengakibatkan retraksi ketiak.
3. Limfogranuloma venereum
Skrofuloderma yang terdapat di lipatan paha kadang kadang mirip dengan
penyakiy venerik yaitu limfogranuloma venereum (LGV). Perbedaan yang penting
adalah pada LGV terdapat riwayat kontak seksual pada anamnesis disertai gejala
konsitusi (demam, malese, artralgia) dan terdapat kelima tanda radang akut.
Lokalisasinya juga berbeda, pada LGV yang diserang adalah kelenjar getah bening
inguinal medial, sedangkan pada skrofuloderma menyerang getah bening inguinal
lateral dan femoral. Pada stadium lanjut LGV terdapat gejala bubo bertingkat yang
berarti pembesaran kelenjar di inguinal medial dan fosa iliaka. Pada LGV tes frei
positif, pada skrofuloderma tes tuberculin positif.
PENGOBATAN
Pengobatan tuberkulosis kutis pada prinsipnya sama dengan pengobatan
tuberkulosis paru, yaitu menggunakan kombinasi beberapa obat dan diberikan
dalam jangka waktu tertentu. Sesuai rekomendasi WHO, untuk kasus tuberkulosis
kutis maka pengobatan yang diberikan dimasukkan dalam kategori III (2HRZ 6HE,
2HRZ4HR, 2HRZ4H3R3)
Kriteria penyembuhan pda skrofuloderma ialah semua fistel dan ulkus telah
menutup, seluruh kelenjar getah bening mengecil (kurang dari 1 cm dab
berkonsistensi keras), dan sikatriks yang semula eritematosa menjadi tidak eritema
lagi. LED dapat dipakai sebagai pegangan untuk menilai penyembuhan pada
penyakit tuberculosis. Jika terjadi penyembuhan, LED akan menurun dan menjadi
normal.
Pengobatan topical pada pasien tuberculosis kutis tidak sepenting pengobatan
sistemik. Jika basah, kompres dengan kalium permanganate 1/50.000. Jika kering
diberikan salep antibiotic.
Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan. Terapi pembedahan pada
skrofuloderma biasanya diindikasikan untuk kasus :
- terapi dengan antituberkulosis gagal
- penderita skrofuloderma disertai penurunan kekebalan tubuh
- penderita skrofuloderma berulang
- penderita skrofuloderma disertai dengan penyakit yang berat.
PROGNOSIS

Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan waktu dalam beberapa
tahun dengan meninggalkan bekas Lukas (sikatriks) yang memanjang dan tidak
teratur. Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah
diseburkan, prognosisnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nascimento LV. Mycobacteria. In: Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors.
Tropical dermatology. China: Elsevier Churchill Livingstone; 2006. p. 253-4.
2. Suhariyanto B, Prasetyo R. Terapi alternative pada pengobatan
skrofuloderma. Berkala ilmu penyakit kulit & kelamin airlangga periodical of
dermato-venerology 2006 Agust 2:18:133-5.
3. Tappeiner G, Wolff Klaus. Tuberculosis and other mycobacterium infection. In:
Feedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors.
Fitzpatricks dermatology in general medicine. 6 th ed. New York: McGraw-Hill;
2003. p. 1933-46.
4. Djuanda A. Tuberkulosis kulit. Dalam: Djuanda A, Djuanda S, Hamzah M, Aisah
S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 4 th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI;1999. p. 64-72.
5. Meltzer MS. Cutaneous tuberculosis [Online] 2006 Nov 20 [cited 2007 March
7];[10 screens]. Available from:URL:http://www.eMedicine.com.
6. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja E. Skrofuloderma pada dada. Berkala
ilmu penyakit kulit & kelamin airlangga periodical of dermato-venerology
2002 Apr 1:14:101-5.
7. Siregar HS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Ed.2. Jakarta: EGC;2004.
8. Silva MR, Catro MCR. Mycobacterium infection. In: Bologna J, Jorizzo J, Rapini
RP, editors. Dermatology. Vol.1. London: Mosby;2003. p. 1145-58.

You might also like