You are on page 1of 51

CASE REPORT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD ABDUL MOELOEK
LAPORAN KASUS
EPILEPSI ET KRIPTOGENIK

Oleh :
Anisa Septa Rini, S.Ked
1018011112

Preceptor :
dr. Zam Zanariah, Sp.S, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RSUD ABDUL MOELOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2015

KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena atas rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Epilepsi
Kriptogenik tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Saraf RSUD Abdul Moeloek.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Zam Zanariah, Sp.S, M.Kes yang
telah meluangkan waktunya untuk saya dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Saya
menyadari banyak sekali kekurangan dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bukan hanya untuk saya, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.

Bandar Lampung, Juli 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf yang sering dijumpai, terdapat
pada semua bangsa, segala usia dimana laki-laki sedikit lebih banyak dari wanita.
Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan
usia dewasa muda sampai setengah tua, kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian
epidemiologi tentang epilepsi belum pernah di lakukan, namun bila dipakai angka
prevalensi yang dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia
saat ini sekitar 220juta akan ditemukan 1,1 sampai 4,4 juta penderita penyandang
epilepsi dan 40% masih dalam usia reproduksi.
Epilepsi berasal dari bahasa Yunani yang berarti serangan atau penyakit yang
timbul secara tiba-tiba.Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di
masyarakat.Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan
ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya.Dalam kehidupan sehari-hari,
epilepsy merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi
penderita epilepsi.
Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat
pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang
merugikan baik penderita maupun keluarganya.

BAB II
STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien
Nama

: Ny. SF

Umur

: 27 tahun

Alamat

: Purnawirawan 6 gunung Terang, Tanjung Karang


Barat

Agama

: Islam

Pekerjaan

: -

Status

: Belum menikah

Suku Bangsa

: Jawa

Tanggal Masuk

: 24 Juli 2015

Tanggal pemeriksaan

: 28 Juli 2015

Dirawat ke

: Pertama

B. Riwayat Perjalanan Penyakit


Anamnesis

: Alloanamnesis

Keluhan Utama

: Kejang diseluruh tubuh

Keluhan Tambahan

: Lengan dan kedua tungkai terasa lemah, bicara tidak


lancar dan nyeri kepala

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek (RSUAM) dengan keluhan
kejang diseluruh tubuh sehari 3x sebelum masuk rumah sakit. Kejang diawali dari mata
pasien yang mengarah ke atas kemudian diikuti lengan dan tungkai pasien yang menjadi
kaku. Kejang berlangsung selama 10 menit. Ketika kejang, pasien tidak mengompol
ataupun mengeluarkan air liur. Setelah kejang, pasien sempat tidak sadarkan diri, namun
beberapa saat kemudian pasien sadar. Pasien juga tidak dapat berbicara dan melamun
setelah kejang.
4

Menurut keluarga pasien, ia sedang beraktivitas seperti biasa sebelum kejang terjadi.
Tiba-tiba, pasien merasa tubuhnya lemas, kemudian terjatuh. Pasien sadar dirinya
terjatuh. Menurut keluarga pasien, beberapa saat setelah terjatuh, pasien kejang. Kejang
berlangsung selama 10 menit. Pasien tidak sadar saat kejang terjadi. Pasien kemudian
dibawa ke RSUAM.Menurut keluarga pasien, keluhan kejang sudah dirasakan sejak
pasien berumur 14 tahun. Keluarga mengatakan pernah 3 tahun berobat ke spesialis
syaraf dan dianjurkan minum obat rutin. Obat yang diminum berupa kapsul berwara
merah dan hijau masing-masing diminum 3x sehari. Namun, dalam 4 tahun terakhir ini
pasien tidak minum obat lagi dikarenakan keluarga menganggap tidak ada perubahan,
setiap hari masih saja kejang, dan keluarga sudah merasa tidak mampu lagi untuk
membeli obat tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah dirawat dengan keluhan serupa


Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat diabetes militus tidak ada
Riwayat trauma tidak ada
Riwayat infeksi di telinga, hidung dan tenggorokan tidak ada
Riwayat menderita tumor disangkal
Riwayat batuk lama atau penggunaan obat disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama


Riwayat hipertensi tidak ada
Riwayat DM tidak ada
C. Pemeriksaan Fisik
Status Present

Keadaan umum
Kesadaran
GCS
Tekanan darah
Nadi

: Tampak sakit sedang


: Compos mentis
: E4 M5 V3= 12
:110/80 mmHg
: 88 x/menit
5

RR
Suhu
Gizi

: 16 x/menit
: 36,5 o C
: Cukup

Status Generalis
-

Kepala

: normocephal, tidak ditemukan lesi

Rambut

: hitam, lurus, tidak mudah dicabut

Mata

: sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-

Telinga

: liang lapang, simetris, sekret (-/-)

Hidung

: septum tidak deviasi, sekret (-), pernafasan cuping


hidung (-)

Mulut
-

: bibir kering, tampak simetris

Leher
Pembesaran KGB

: tidak ada pembesaran KGB

Pembesaran kelenjar tiroid

: tidak ada pembesaran

JVP

: 5+2 cm H2O

Trakhea

: di tengah

Toraks
Cor
Inspeksi

: ictus cordis tidak tampak

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: redup

Auskultasi

: Bunyi jantung I/II murni reguler, murmur (-),


gallop (-)

Pulmo

Inspeksi

: pergerakan simetris kiri = kanan, retraksi (-)

Palpasi

: fremitus kanan dan kiri sama

Perkusi

: sonor / sonor

Auskultasi

: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi

: datar, simetris
6

Palpasi

: massa teraba (-), nyeri tekan (-), hepar dan


lien tidak teraba

Perkusi

: timpani (+)

Auskultasi

: bising usus normal

Extremitas
Superior

: oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik

Inferior

: oedem (-/-), sianosis (-/-), turgor kulit baik.

Status Neurologis
-

Saraf Cranialis
N.Olfactorius (N.I)
Daya penciuman hidung

: normosmia / normosmia

N.Opticus (N.II)
Tajam penglihatan

2/60 / 2/60 (bedside)

Lapang penglihatan

sama dengan pemeriksa

Tes warna

tidak dilakukan

Fundus oculi

tidak dilakukan

N.Occulomotorius, N.Trochlearis, N.Abdusen (N.III N.IV N.VI)


Kelopak Mata
- Ptosis

: (-/-)

- Endophtalmus

: (-/-)

- Exopthalmus

(-/-)

Pupil
-

Ukuran

: (3mm/3mm)

Bentuk

: (Bulat / Bulat)

Isokor/anisokor

: (isokor)

Posisi

: (Sentral / Sentral)

Refleks cahaya langsung

: (+/+)
7

Refleks cahaya tidak langsung

: (+/+)

Gerakan Bola Mata


-

Medial

: normal / normal

Lateral

: normal / normal

Superior

: normal / normal

Inferior

: normal / normal

Obliqus superior

: normal / normal

Obliqus inferior

: normal / normal

Refleks pupil akomodasi

: (+/+)

Refleks pupil konvergensi

: (+/+)

N.Trigeminus (N.V)
Sensibilitas
-

Ramus oftalmikus

: (+/+)

Ramus maksilaris

: (+/+)

Ramus mandibularis

: (+/+)

Motorik
-

M. masseter

: (+/+)

M. temporalis

: (+/+)

M. pterygoideus

: (+/+)

Refleks
-

Refleks kornea

: (+/+)

Refleks bersin

: (+)

N.Fascialis (N.VII)
Inspeksi Wajah Sewaktu
- Diam
- Tertawa

: simetris
: simetris
8

- Meringis

: simetris

- Bersiul

: simetris

- Menutup mata

: simetris

Pasien disuruh untuk


- Mengerutkan dahi

: dahi terangkat simetris

- Menutup mata kuat-kuat

: mata tertutup rapat simetris

- Menggembungkan pipi

: pipi kembung simetris

Sensoris
- Pengecapan 2/3 depan lidah

: normal

N. Vestibulocochlearis/ N. Acusticus(N.VIII)
N.cochlearis
- Ketajaman pendengaran

: secara umum baik (tidak dilakukan


pemeriksaan dengan penala)

- Tinitus

: tidak ada

N.vestibularis
- Test vertigo

: tidak dilakukan

- Nistagmus

: tidak dilakukan

N.Glossopharingeus dan N.Vagus (N.IX dan N.X)


- Suara bindeng/nasal

: tidak ada

- Posisi uvula

: di tengah

- Palatum mole

: simetris

- Arcus palatoglossus

: simetris

- Arcus palatoparingeus

: simetris

- Refleks batuk

: (+)

- Refleks muntah

: (+)

- Peristaltik usus

: Normal

- Bradikardi

: (-)
9

- Takikardi

: (-)

N.Accesorius (N.XI)
- M.Trapezius

M.Sternocleidomastodeus

: normal

: normal

N.Hipoglossus (N.XII)
- Atropi

: (-)

- Fasikulasi

: (-)

- Deviasi

: (-)

Tanda Perangsangan Selaput Otak


Kaku kuduk

: (-)

Kernig test

: (-/-)

Laseque test

: (-/-)

Brudzinsky I

: (-)

Brudzinsky II

: (-/-)

Sistem Motorik
Gerak
Kekuatan otot

Superior ka/ki

Inferior ka/ki

(aktif/aktif)

(aktif/aktif)

4/4

4/4

Tonus

(Normotonus/Normotonus)

Klonus

(-/-)

(-/-)

Atropi

(-/-)

(-/-)

Biceps ( + / + )

Pattela ( + / + )

Triceps ( + / + )

Achiles ( + / + )

Hoffman Trommer ( - / - )

Babinsky ( - / - )

Chaddock ( - / - )

Oppenheim ( - / - )

Schaefer ( - / - )

Gordon ( - / - )

Refleks fisiologis

Refleks patologis

(Normotonus /Normotonus)

Gonda ( - / - )

10

Sensibilitas
Eksteroseptif / rasa permukaan
-

Rasa raba

: (+/+)

Rasa nyeri

: (+/+)

Rasa suhu panas

: (+/+)

Rasa suhu dingin

: (+/+)

Proprioseptif / rasa dalam


-

Rasa sikap

: (+/+)

Rasa getar

: (+/+)

Rasa nyeri dalam

: (+/+)

Fungsi kortikal untuk sensibilitas


-

Asteriognosis

: (-/-)

Grafognosis

Koordinasi

(-/-)

Tes telunjuk hidung

: normal

Tes pronasi supinasi

: normal

Susunan Saraf Otonom


Miksi

: normal

Defekasi

: normal

Salivasi

: normal

Fungsi Luhur
Fungsi bahasa

: kurang baik

Fungsi orientasi

Fungsi memori

: kurang baik

Fungsi emosi

: kurang baik

kurang baik

D. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (25 Juli 2015)
11

Hb
LED
Leukosit
Hitung jenis
Trombosit
Ureum
Creatinine
Natrium
Kalium
Calsium

12,8 g/dl
10 mm/jam
9.800/ul
0/0/0/80/11/7
214.000/ul
25 mg/dL
1,00 mg/dL
141 mmo/L
4,4 mmo/L
9,0 mg/dl

Clorida

8,6 mmo/L

E. Resume
Pasien datang ke Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek (RSUAM) dengan
keluhan kejang diseluruh tubuh 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Kejang diawali
dari mata pasien yang mengarah ke atas kemudian diikuti lengan dan tungkai pasien
yang menjadi kaku. Kejang berlangsung selama 10 menit. Ketika kejang, pasien tidak
mengompol ataupun mengeluarkan air liur. Setelah kejang, pasien sempat tidak
sadarkan diri, namun beberapa saat kemudian pasien sadar. Pasien juga tidak dapat
berbicara dan melamun. Keluhan kejang sudah dirasakan sejak pasien berumur 14
tahun. Awalnya pasien rutin minum obat namun, dalam 4 tahun terakhir ini pasien tidak
minum obat lagi dikarenakan keluarga menganggap tidak ada perubahan, setiap hari
masih saja kejang, dan keluarga sudah merasa tidak mampu lagi untuk membeli obat
tersebut.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran apatis, GCS E4M5V3 = 12. Tanda vital didapatkan tekanan darah 110/80
mmHg, nadi 88 x/menit, RR 16 x/menit, suhu 36,5 oC. Pada status generalis,
pemeriksaan neurologis, pemeriksaan rangsang meningeal, sistem motorik, reflek
fisiologis dan reflek patologi dalam batas normal. Pada pemeriksaan sensibilitas,
koordinasi, susunan saraf otonom, dan fungsi luhur juga tidak ditemukan adanya
kelainan.
F. Diagnosis
Klinis

: Kejang disertai gangguan kesadaran

Topis

:12

Etiologi

: Epilepsi Kriptogenik

G. Diagnosis Banding
- Transient Ischemic Attack (TIA)
H. Penatalaksanaan
1. Umum
-

ABC (Airway, Breathing, Circulation)

Observasi klinik (vital sign)

Tirah baring dengan perubahan posisi

Pasang kateter

2. Diet
- Diet padat peroral
3. Medikamentosa
- IVFD RL gtt xv/mnt
- O2 3 L/menit
- Fenitoin 1 amp/8 jam
- Diazepam 10 mg diencerkan iv pelan jika kejang
4. Rehabilitasi
I. Prognosa
-

Quo ad vitam

= dubia ad bonam

Quo ad functionam

= dubia ad bonam

Quo ad sanationam

= dubia ad bonam

J.

Follow up

28/7/2015

29/7/2015

30/7/2015

S : Kejang ( + ) selama 10

S : Kejang ( + ) selama

S : Kejang ( - ), demam (+),

menit

10 menit

sakit kepala (+)

O:
KU/KS : SS/CM
GCS : E4V5M3 = 12

O:
KU/KS : SS/CM
GCS : E4V5M3 = 12

O:
KU/KS : SS/CM
GCS : E4V5M3 = 12
13

TD: 130/70 mmHg


N: 84x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 37,3oC
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

TD: 110/70 mmHg


N: 88x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,5oC
Pemeriksaan fisik

neurologis kesan normal.

pemeriksaan

Kekuatan otot

4
/4
4
4

dan

neurologis

kesan normal.
Kekuatan otot

4
/4
4
4

TD: 110/70 mmHg


N: 88x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 38,3oC
Pemeriksaan
fisik
pemeriksaan
normal.
Kekuatan otot

neurologis

A: Epilepsi Kriptogenik

A: Epilepsi Kriptogenik

P:

P:
1. Umum SDA
2. Medikamentosa SDA

P:

31/7/2015

1/8/2015

S : Kejang (-), demam (-),

S : Kejang ( - ), demam

sakit kepala (+)

(-), sakit kepala (-)

kesan

4
/4
4
4

A: Epilepsi Kriptogenik

1. Umum
ABC
Observasi klinik ( vital
sign)
Tirah baring
2. Medikamentosa
IVFD RL gtt xx/mnt
Diazepam 10 mg
diencerkan iv pelan jika
kejang.
Fenitoin 1 amp/8
jam

dan

1. Umum SDA
2. Medikamentosa SDA
Paracetamol 3x1

14

O:
KU/KS : SS/CM
GCS : E4V5M3 = 12
TD: 120/80 mmHg
N: 80x/mnt
RR: 16x/mnt
S: 37,3oC
Pemeriksaan
fisik

dan

O:
KU/KS : SS/CM
GCS : E4V5M3 = 12
TD: 110/70 mmHg
N: 88x/mnt
RR: 20x/mnt
S: 36,5oC
Pemeriksaan fisik

pemeriksaan neurologis kesan

pemeriksaan

normal.

kesan normal.

Kekuatan otot

4
/4
4
4

dan

neurologis

Kekuatan otot

4
/4
4
4

A: Epilepsi Kriptogenik

A: Epilepsi Kriptogenik

P:

P:
1. Umum SDA
2. Medikamentosa SDA

1. Umum SDA
2. Medikamentosa SDA
Paracetamol
3x1
3. Rencana EEG

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

15

Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak


terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.3
Epilepsi menurut JH Jackson (1951) didefinisikan sebagai suatu gejala akibat
cetusan pada jaringan saraf yang berlebihan dan tidak beraturan.Cetusan tersebut dapat
melibatkan sebagian kecil otak (serangan parsial atau fokal) atau yang lebih luas pada
kedua hemisfer otak (serangan umum). Epilepsi merupakan gejala klinis yang kompleks
yang disebabkan berbagai proses patologis di otak. Epilepsi ditandai dengan cetusan
neuron

yang

berlebihan

dan

dapat

dideteksi

dari

gejala

klinis,

rekaman

elektroensefalografi (EEG), atau keduanya. Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang
ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).3
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International
Bureau for epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan
otak yang ditandai oleh adanya factor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang
epileptik,perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi social
yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epileptik
sebelumnya.Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala
yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron
yang terjadi di otak.4
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan
ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuronneuronotak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.
Status epileptikus merupakan kejang yang terjadi >30 menit atau kejang
berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran diantara dua serangan kejang.(4)

EPIDEMIOLOGI
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi.
Sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsy
lebih tinggi di negara berkembang.Insiden epilepsy di negara maju ditemukan sekitar
50/100.000.sementara di Negara berkembang mencapai 100/100.000.5
16

Di Negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan


pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan
dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia dibawah 2 tahun dan usia
lanjut di atas 65 tahun. Umumnya paling tinggi pada umur 20 tahun pertama, menurun
sampai umur 50 th, dan meningkat lagi setelahnya terkait dengan kemungkinan
terjadinya penyakit cerebrovascular. Pada 75% pasien, epilepsy terjadi sebelum umur 18
tahun.6
ETIOLOGI
Etiologi Epilepsi kemungkinandisebabkan oleh:
A. Aktivitas saraf abnormal akibat proses patologis yang mempengaruhi otak
B. Gangguan biokimia atau metabolik dan lesi mikroskopik di otak akibat trauma
otak pada saat lahir atau cedera lain
C. Pada bayi penyebab paling sering adalah asfiksi atau hipoksia waktu lahir,
trauma intrakranial waktu lahir, gangguan metabolik, malformasi congenital
pada otak, atau infeksi
D. Pada anak-anak dan remaja mayoritas adalah epilepsy idiopatik, pada umur
5-6 tahun disebabkan karena febril
E. Pada usia dewasa penyebab lebih bervariasi idiopatik, karena birth
trauma, cedera kepala, tumor otak (usia 30-50 th), penyakit serebro vaskuler (>
50 th)
Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari penderita


epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetic, awitan biasanya
pada usia >3tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan alat-alat

diagnostic yang canggih kelompok ini semakin sedikit.


Epilepsi simptomatik : disebabkan oleh kelainan / lesi pada susunan saraf pusat.
Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan
metabolic, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang,
gangguan peredaran darah otak, toksik serta kelainan neurodegenerative.

17

Epilepsy kriptogenik : dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum


diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan
epilepsy mioklonik.7

KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan
klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor
tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia dan
situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut
bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.
Klasifikasi ILAE (1981) untuk tipe bangkitan epilepsi adalah :3
1. Bangkitan parsial/fokal
a. Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
1) Dengan gejala motorik
2) Dengan gejala sensorik
3) Dengan gejala otonomik
4) Dengan gejala psikik
b. Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)
1) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran
Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
Dengan automatisme
2) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan
Dengan gangguan kesadaran saja
Dengan automatisme
c. Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau
klonik)
1) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
2) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
3) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum
2. Bangkitan Umum (Konvulsi atau Non-Konvulsi)
a. Bangkitan lena (absence)
Lena (absence), sering disebut petitmal.Serangan terjadi secara tiba-tiba,
tanpa di dahului aura.Kesadaran hilangselama beberapa detik, di tandai
dengan terhentinya percakapan untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata

18

berkedip dengan cepat.Hampir selalu pada anak-anak, mungkin menghilang


waktu remaja atau diganti dengan serangan tonik-klonik.
b. Bangkitan mioklonik
Mioklonik, serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat
dan tiba-tiba, bisa simetris dan asimetris, sinkronis atau asinkronis.Muncul
akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang muncul
secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.Biasanya tidak ada
kehilangan kesadaran selama serangan.Gambaran klinis yang terlihat adalah
gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat.
c. Bangkitan tonik
Tonik, serangan ini terdiri atas tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari
otot ekstremitas, sehingga terbentuk sejumlah sikap yang khas.Berupa
pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi
tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.Biasanya
kesadaran hilang hanya beberapa menit terjadi pada anak 1-7 tahun.
d. Bangkitan atonik/astatik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini
bisa di menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau
kehilangan total dari tonus otot dan Px bisa jatuh serta mendapatkan lukaluka. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh secara
tiba-tiba.Bangkitan ini jarang terjadi.
e. Bangkitan klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan
aleh hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat.Keadaan ini
diikuti sentakan bilateralyang lamanya 1 menit sampai beberapa menit yang
sering asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubh. Serangan ini
bisa bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke
satu saat lain.
f. Bangkitan tonik-klonik
Tonik-Klonik, biasa di sebut grandmal.Merupakan jenis serang klasik
epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi penglihatan atau
pendengaran selama beberapa saat yang diikuti oleh kehilangan kesadaran
secara cepat.Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan,
pernafasan terhenti sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah
19

itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan
relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah
atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas
dan biasanya akan tertidur setelahnya.
3. Bangkitan Epileptik yang Tidak Tergolongkan

Klasifikasi ILAE (1989) untuk tipe epilepsy dan sindrom epilepsi adalah :3
1. Fokal / Partial (localized related)
1.1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1.1.1. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
1.1.2. Epilepsy benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
1.1.3. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
1.2. Simtomatik
1.2.1. Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak anak
(Kojenikows Syndrome)
1.2.2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsy,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
1.2.3. Epilepsi lobus temporal
1.2.4. Epilepsi lobus frontal

20

1.2.5. Epilepsi lobus parietal


1.2.6. Epilepsi lobus oksipital
1.3. Kriptogenik

2. Epilepsi Umum
2.1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
2.1.1. Kejang neonatus familial benigna
2.1.2. Kejang neonatus benigna
2.1.3. Kejang epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.4. Epilepsi lena pada anak
2.1.5. Epilepsi lena pada remaja
2.1.6. Epilepsi mioklonik pada remaja
2.1.7. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik klonik pada saat terjaga
2.1.8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9. Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
2.2. Kriptogenik atau Simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
2.2.1. Sindrom West (spasme infantiil dan spasme salam)
2.2.2. Sindrom Lencox Gastaut
2.2.3. Epilepsi Mioklonik astatic

21

2.2.4. Epilepsi mioklonik lena


2.3. Simtomatik
2.3.1. Etiologi non spesifik

Ensefalopati mioklonik dini

Ensefalopati pada infantiil dini dengan burst supresi

Epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di


atas

2.3.2. Sindrom Spesifik


2.3.3. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain

3. Epilepsi dan Sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
3.1. Bangkitan Umum dan fokal
3.1.1. Bangkitan neonatal
3.1.2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3.1.3. Epilepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
3.1.4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau Kleffner)
3.1.5. Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi diatas
3.2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom Khusus
22

4.1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu


4.1.1. Kejang demam
4.1.2. Bangkitan

kejang

status

epileptikus

yang

timbul

hanya

sekali( isolated)
4.1.3. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut,
atau toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik
4.1.4. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik)

PATOFISIOLOGI
Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan
dari pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, di inhibisi,
pergeseran konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan
menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan
perambatan aktivitas serangan epileptik.Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di
dalam ruang ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion
menerobos membran neuron.

23

Gambar : Silbernagl S. Color Atlas Pathopysiology. New York : Thieme.2000

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri
penting dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam
merespon depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan
inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.

24

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang


memungkinkan adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan
menyebarkan aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel
piramidal pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang
bias dikatakan sebagai tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal
ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas
penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon
NMDA) menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren
dihasilkan dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi
secara tepat dan berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila
cetusan listrik dari sejumlah besar neuron abnormal muncul secara bersamasama,
membentuk suatu badai aktivitas listrik di dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan
bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih dari 20 macam), bergantung
pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.Dengan demikian dapat
dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat bervariasi.
Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 kategori yaitu :
1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka
tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang
sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis
rangsangan berbeda-beda.
2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat
diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya

25

epileptiform activity di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja


sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan
epilepsi pada penderita epilepsi yang kronis.Penderita dengan nilai ambang yang
rendah, PF dapat membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.
Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :
Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion
klorida, tetapi sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian
konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion
natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump),
sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini
sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang
berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi
sinkronisasi dari impuls.
Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara
serentak, secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.
1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin )
kurang optimal hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat )
berlebihan hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi
GABA (gamma aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita
epilepsi ternyata kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk
inhibisi potensial postsinaptik ( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat
26

reseptor GABA. Suatu hipotesis mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh
hilang atau kurangnya inhibisi oleh GABA, zat yang merupakan neurotransmitter
inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA ini sama sekali tidak sesederhana
seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa perubahan pada salah satu
komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan menambah
rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja, sekelompok
besar atau seluruh neuron otak secara serentak.Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara
teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA )
sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi
jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator,
misalnya kelainan heriditer, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau
toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan atau
meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada
rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada
abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu
menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang
dan selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas.Pada pemeriksaan jaringan
otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus.
Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya
berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal
epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah
terkena efek traumatik, gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan
sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron serta sel-sel glia atau
kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat neuron glia atau
lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi, gangguan
metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi
anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik
dianggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne
centrotemporal epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi
idiopatik, melalui mekanisme yang sama.
27

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi
pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak mempunyai kegiatan listrik
yang disebabkan oleh adanya potensial membrane sel. Potensial membrane neuron
bergantung pada permeabilitas selektif membrane neuron, yakni membrane sel mudah
dilalui oleh ion K dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca,
Na dan Cl, sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler.
Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran.
Ujung terminal neuron-neuron berhubungan dengan dendrite-dendrit dan badanbadan neuron yang lain, membentuk sinaps dan merubah polarisasi membran neuron
berikutnya. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang
memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi yang
menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah
melepaskan listrik. Diantara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut
glutamate,aspartat dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal
ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis
lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang.Hal ini misalnya terjadi
dalam keadaan fisiologik apabila potensial aksi tiba di neuron.Dalam keadaan istirahat,
membrane neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membrane neuron dan seluruh
sel akan melepas muatan listrik.
Oleh berbagai factor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau
mengganggu fungsi membaran neuron sehingga membrane mudah dilampaui oleh ion
Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membrane dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan epilepsy. Suatu sifat khas serangan epilepsy ialah bahwa beberapa
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic.Selain itu juga system-sistem inhibisi
pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepasmuatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsy terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
penting untuk fungsi otak.
28

Patofisiologi Epilepsi Umum


Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara
lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset
dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien
bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian
kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis
mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain
mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa
absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri.Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya
mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana
secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.
Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik.
Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkodeprotein kanal ion (pada
tabel berikut). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial
neonatal convulsions.
Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6
Kanal
Voltage-gated
Kanal Natrium
Kanal Kalium
Kanal Kalsium

Kanal Klorida

Gen

Sindroma

SCN1A, SCN1B

Generalized epilepsies with febrile

SCN2A, GABRG2
KCNQ2, KCNQ3

seizures plus
Benign
familial

CACNA1A,

convulsions
Episodic ataxia tipe 2

CACNB4

Childhood absence epilepsy

ACNA1H
CLCN2

Juvenile myoclonic epilepsy

neonatal

Juvenile absence epilepsy


Epilepsy with grand mal seizure on
awakening
Ligand-gated
Reseptor asetilkolin

CHRNB2, CHRNA4

Autosomal dominant frontal lobe

Reseptor GABA

GABRA1, GABRD

epilepsy
Juvenile myoclonic epilepsy

29

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium
(natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas
depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada
kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus,
maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium efluks tetap seperti
semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan
cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron.
Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat
mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan
hipereksitasi pada sel neuron.

Patofisiologi Anatomi Seluler


Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala,
stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang
tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan
mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke
ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan
struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di
sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak.
Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus)
di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak
sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental. Dari sudut pandang
biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi
maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak.Keadaan ini bisa
disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang
selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.Keterlibatan
reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai
patologi terjadinya kejang dan epilepsi.Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR
ini merupakan prinsip kerja dari obat antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik
membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi
30

antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga
halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi
lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot
nikotinik subunit alfa.Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan
kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat
reseptor.Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang
dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron.
Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan
listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan
dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu.Dalam hal epilepsi dikenal beberapa
neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai
inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam
penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang
bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.
GEJALA

Kejang parsial simplek


Serangan dimana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa
djvu : perasaan dimana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya.
Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
di jelaskan.
Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada
bagian tubuh tertentu.
Gerakan yang tidak dapat di kontrol pada bagian tubuh tertentu
Halusinasi

Kejang parsial (psikomotor) kompleks

31

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih
lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat
waktu serangan.
Gejalanya meliputi :
gerakan seperti mencucur atau mengunyah
melakukan gerakan yang sama berulang ulang atau memainkan pakaiannya
Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling
dalam keadaan seperti sedang bingung
Gerakan menendang atau meninju yang berulang ulang
Berbicara tidak jelas seperti menggumam

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal).


Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap:
tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis
ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis
ini biasa didahului oleh aura.
Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa :
merasa sakit perut , baal, kunang kunang , telinga berdengung.
Pada tahap tonik pasien dapat : kehilangan kesadaran, kehilangan
keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang
jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik : terjadi
kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air
besar tidak dapat di kontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan
merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.

32

DIAGNOSIS
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.
Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung
maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.8
1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa

hampir

tidak

pemah

menyaksikan

serangan

yang

dialami

penderita.Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah
serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat
berarti dan merupakan kunci diagnosis.Anamnesis juga memunculkan informasi tentang
trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan
metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan

33

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan


- Frekuensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Anamnesa / Alloanamnesa Epilepsi umum :


Major :
Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan
sekunder.Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonikklonik.Manifestasi klinik: kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan
terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan
kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi
manifestasi sesuai dengan letak fokus epileptogen pada permukaan otak.Aura dapat
berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar
suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya.Bangkitan sendiri
dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian
penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita
terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan
deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi.Kejang tonik ini
kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan
membanting-banting tubuh si sakit ke tanah.Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3
menit.Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis
34

pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis.Kejang berhenti secara
berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 4-5 menit
kemudian penderita bangun, termenungdan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam.
Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.
Minor :
Epilepsi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang
idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi..
Bangkitan mioklonus.Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan
kepala, fleksi lengan yang terjadi berulang-ulang.Bangkitan terjadi demikian cepatnya
sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini
sangat peka terhadap rangsang sensorik.(9)
Bangkitan akinetik.Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena
menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari
pegangan dan kemudian dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini(petit mal,
mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias LennoxGastaut.
Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaam spasm atau
sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki.
Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan
otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan
pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan
ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan,miosis
atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat.
Bangkitan motorik.Fokus epileptogen terletak di korteks motorik.Bangkitan
kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang
kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya
dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh
lengan.Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche Epilepsi parsial ( 20% dari
seluruh kasus epilepsi).9

35

Bangkitan sensorik

Bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus

epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di
gyrus postcentralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh,
perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan.Aktivitas
listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neuron sekitarnya dan dapat mencapai
korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.Epilepsi lobus temporalis. Jarang
terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali.
Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di
lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu
dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan.
Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis
ini dulu disebut epilepsi psikomotor.
Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik lazimnya berupa
automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam
keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi
(twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi
dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan
automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap,
halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan,
pendengaran atau perasaan aneh.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
-Pada orang dewasa
Pemeriksaan umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Pada kulit dicari
adanya tanda neurofibromatosis berupa bercak-bercak coklat, bercak-bercak putih, dan
adenoma seboseum pada muka pada sklerosi tuberose.Hemangioma pada muka dapat
menjadi tanda adanya penyakit Sturge-Weber.Pada toksoplasmosis, fundus okuli
mungkin menunjukkan tanda-tanda korio renitis. Mencari kelainan bawaan, asimetri
pada kepala, muka, tubuh,ekstrimitas.
3. Pemeriksaan penunjang

36

a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,
natrium, bilirubin, ureum dalam darah yang memudahkan timbulnya kejang ialah
keadaan hipoglikemia, hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia,
hiperbilirubinemia, dan uremia.Penting pula diperiksa pH darah karena alkalosis
mungkin disertai kejang. Pemeriksaan cairan otak dapat mengungkapkan adanya
radang pada otak atau selaputnya,toksoplasmosis susunan saraf sentral, leukemia
yang menyerang otak, metastasis tumor ganas, adanya perdarahan otak atau
perdarahan subaraknoid.10,11

b. Pemeriksaan radiologis
Arteriografi dan pneumoensefalografi dilakukan bila perlu. Elektroensefalografi
(EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang informatif yang dapat
memastikan diagnosis epilepsy.Gelombang yang ditemukan pada EEG berupa
gelombang

runcing,

gelombang

paku,

runcing

lambat,

paku

lambat.

Pemeriksaan tambahan lain adalah pemeriksaan foto polos kepala


c. Pemeriksaan psikologis atau psikiatris
Untuk diagnosis bila diperlukan uji coba yang dapat menunjukkan naik turunnya
kesadaran.
d. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan
diagnosis epilepsi.Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan
adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.Rekaman
EEG dikatakan abnormal.
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak.

37

2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding


seharusnya misal gelombang delta.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan
gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu
mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme infantile
mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG
nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik
mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
Rekaman video EEG
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang
sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan
lokasi sumber serangan.Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan
antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk
mengulang kembali gambaran klinis yang ada.Prosedur yang mahal ini
sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui
secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan
lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.

38

Gambar Pembentukan EEG

39

Gambar: profil EEG pada pasien Epilepsi

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita
yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain
menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun
dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan
kematian.10
Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar
pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek
inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat. Sekarang ini
dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antiepilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam
(Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin),
lamotrigin (Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital
(Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat
40

(Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996). Protokol
penanggulangan terhadap status epilepsi dimulai dari terapi benzodiazepin yang
kemudian

menyusul

fenobarbital

atau

fenitoin.Fenitoin

bekerja

menginhibisi

hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik.Beberapa


studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa
berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan
sedang.Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat
secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada
kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak.
Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai
aktivator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy-5-methyl-4isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA
akan menyebabkan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian
dari sel.
Levetiracetam,

termasuk

kelompok

antikonvulsan

terbaru

merupakan

antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam
penelitian lanjut. Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi
berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme
berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA
yakni glutamat dan GABA).Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi
levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang
menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.Dari data penelitian ditemukan bahwa
levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf
sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata
levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya.Salah satu andalan dari
levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan
levetirasetam dengan protein SVA2.Dari beberapa penelitian membuktikan bahwa
vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan
dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein
sebagai antikonvulsan.Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian
levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai
antikonvulsan.

41

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi


yakni:13,14
1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah
dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien
dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan
pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap sampai
dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.
4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis
terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan.
5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak
terkontrol dengan pemberian OAE pertama dan kedua.
Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya :
1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada
reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin.
2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida
dan neurotransmitter yang voltage dependen
3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABA , menurunkan
eksitabilitas glutamate, menurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.
4. Valproat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang
konduktan kalsium (T) dan kalium.

42

5. Levetiracetam : Tidak diketahui


6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent
8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium,
modulasi aktivitas channel.
9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated
chloride, modulasi efek reseptor GABA.
10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi
glutamate.
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
tanpa kekambuhan.Penghentian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun
bebas dari bangkitan kejang. Ada 2 syarat yang penting diperhatikan ketika hendak
menghentikan OAE yakni:
Jenis Obat Antiepilepsi
Berikut ini akan diuraikan mengenai beberapa obat anti epilepsi yang sering digunakan.
Asam valproat
Digunakan pada epilepsi motor minor (mioklonik), absens, tonik-klonik dan
serangan parsial maupun kompleks. Asam valproat dianggap meninggikan efek inhibisi
postsinaptik GABA, menghambat pembentukan gelombang paku dan menghambat jaras
neuronal eksitatorik. Dosis awal pada orang dewasa adalah 500-1000 mg/hari,
kemudiandosis rumatan 500-2500 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 12-18 jam,
waktu tercapainya steady state 2-4 jam.
Hubungan dosis dengan kadar serum cukup kompleks, karena masa paruh yang
pendek dan ikatan protein yang besar. Pada kadar plasma valproat yang rendah, ikatan
protein mencapai 90-95%, namun dengan meningkatkan dosis, maka ikatan proteinnya
menurun drastis, sehingga kadar serum tidak naik secara proporsional dengan dosis.
Interaksi dengan fenobarbital akan meningkatkan kadar fenobarbital sehingga
menimbulkan sedasi berat. Kombinasi dengan fenitoin dan karbamazepin dapat
43

meningkatkan kadar kedua otot, sedangkan kombinasi dengan aspirin akan


menyebabkan kenaikan kadarvalproat.
Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit, gagal hati akut, pankreatitis akut
dan diskrasia darah (trombositopenia, anemia dan leukopenia). Gejala intoksikasi
berupa mengantuk, vertigo dan perubahan perilaku. Efek pemberian kronik adalah
mengantuk, perubahan perilaku, tremor, hiperamonia, bertambahnya berat badan,
rambut rontok, penyakit perdarahan dan gangguan lambung.
Karbamazepin
Merupakan obat utama untuk epilepsi parsial (sederhana dan kompleks) dan
epilepsi umum tonik-klonik. Dosis pada orang dewasa 400-600 mg/hari, kemudian
dosis rumatan 400-1600 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 15-35 jam, waktu
tercapainya steady state 2-7 hari. Efek idiosinkratik berupa ruam kulit dan diskrasia
darah. Gejala intoksikasi berupa diplopia, vertigo, pusing, inkoordinasi dan kadangkadang gejala distonik. Akibat pemberian kronik dapat menimbulkan hiponatremia,
gangguan fungsi hati dan leukopenia. Karena rumus kimianya serupa antidepresan
trisiklik, maka obat ini sering memberikan perasaan enak dan peningkatan kesadaran.
Pemberian dosis terapeutik pada pasien absens atipis atau serangan epilepsi
minor lainnya akan memperberat serangan status absens atau miokonus nonepilepsi
yang terus menerus. Pemberian bersama obat lain misalnya Ca channel blocker, INH
dan erittromisin dapat mempercepat timbulnya toksisitas karena menghambat
metabolismenya.
Pemeriksaan laboratorium rutin berupa darah tepi lengkap dalam waktu 2
minggu, 1 bulan dan 2 bulan setelah dimulinya pengobatan, dan kemudian setiap 6
bulan.
Meskipun karbamazepin mempunyai banyak efek samping, tapi obat ini lebih
unggul dibanding fonobarbital dan fenitoin karena memperbaiki fungsi kognitif.
Fenobarbital
OAE ini berguna untuk mengatasi kejang tonik-klonik umum (grand mal),
serangan parsial sederhana-kompleks, sebagian besar kejang lain. Fenobarbital
diberikan dengan dosis awal 50-100mg/hari, dengan dosis rumatan 50-200 mg/hari,
waktu paruh dalam plasma 50-170 jam. Efek samping idiosinkratik fenobarbital berupa
ruam kulit dan diskrasia darah (jarang), sedangkan efek intoksikasi terbanyak adalah
mengantuk dan hiperaktivitas. Kadang-kadang terdapat mual, sakit kepala dan
gangguan keseimbangan. Akibat pemberian kronik adalah mengantuk, perubahan
44

perilaku, perubahan perasaan, gangguan intelektual, penyakit tulang metabolik dan


gangguan jaringan ikat.
Pada PET Scan tampak adanya penurunan metabolisme glukosa lokal pada otak pada
37% kasus dan secara klinis ditemukan adanya depresi, gangguan tidur, konsentrasik
dan fungsi kognitif. Meskipun banyak efek sampingnya, kelebihan fenobarbital adalah
merupakan antikonvulsan yang aman dan murah. Substitusi karbanazepin untuk
fenobarbital atau fenitoin akan memperbaiki memori, konsentrasi dan kecepatan mentalmotor. Fenobarbital dapat merangsang metabolisme dan mengurangi efektivitas
antikonvulsan lain seperti karbamazepin dan fenitoin. Pemberian bersamaan dengan
asam valproat dapat menimbulkan somnolensi yang nyata. Pemeriksaan laboratorium
rutin tidak diperlukan.
Fenitoin
Berguna untuk kejang tonik-klonik umum, serangan parsial (sederhanakompleks) dan beberapa jenis kejang lainnya. Fenitoin tidak boleh diberikan pada
serangan bangkitan atonik, karena dapat memperberat serangan bangkitan atonik.
Dosis awal adalah 200-300 mg/hari, kemudian dosis rumatan 400-1600 mg/hari,
waktu paruh dalam plasma 10-80 jam, waktu tercapainya steady state 3-15 hari.
Penggunaan bersama fenobarbital, karbamazepin, valproat, INH dan kloramfenikol
dapat meningkatkan kadar bebas fenitoin. Efek samping idiosinkratik berupa ruam kulit,
diskrasia darah dan reaksi imunologis. Efek intoksikasi berupa vertigo, gerakan
involunter, pusing, mual, nistagmus, sakit kepala, ataksia, letargi dan perubahan
perilaku. Efek samping pemberian kironik berupa hirsutisme, hipertrofi ginggiva,
gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Dapat terjadi peniggian SGOT-SGPT yang
secara klinis kurang berarti.
Efek samping yang berat adalah kelainan hematologis (trombositopenia,
leukopenia, anemia) dan sindrom Steven Jhonson. Untuk pemeriksaan rutin diperlukan
pemeriksaan darah tepi lengkap setiap tahun.
Penghentian OAE
Dalam hal penghentian OAE maka ada dua hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu
syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan kambuhnya bangkitan
setelah OAE dihentikan.
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut :
Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya
setelah bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun.
45

Gambaran EEG normal


Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25 % dari dosis semula,

setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.


Penghentian dimulaidari satu OAE yang bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinanya pada
keadaan sebagai berikut :
Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan semakintinggi.
Epilepsi simtomatik
Gambaran EEG normal
Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita ; sangat jarang pada
sindrom epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentrotemporal, 5-25 % pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75 % epilepsi
partial kriptogenik / simtomatik, 85-95 % pada epilepsi mioklonik pada

anak.
Penggunaan lebih dari satu OAE
Masih mendapat satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
Mendapat terapi 10 tahun atau lebih
Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul
kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE)
kemudian di evaluasi kembali. Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu
tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Penghentian sebaiknya
dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Ada 2
syarat yang penting diperhatikan ketika hendak menghentikan OAE yakni:

BAB III
PEMBAHASAN

46

A. Apakah diagnosis pada pasien ini sudah tepat? Bagaimana menegakkan


diagnosisnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang?
Adapun diagnosis pada pasien ini adalah sebagai berikut:
Klinis

: Kejang disertai gangguan kesadaran

Topis

:-

Etiologi

: Epilepsi Kriptogenik

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum
2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.
Secara sistematis, ururtan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis epilepsi adalah
sebagai berikut :
1. Langkah pertama : ditempuh melalui anamnesis (allo-anamnesis)
a. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan :

pasien sedang beraktivitas biasa (berjalan)

Beberapa saat setelah terjatuh, pasien kejang.

Kejang diawali dari mata pasien yang mengarah ke atas kemudian

diikuti lengan dan tungkai pasien yang menjadi kaku (tonik)


Setelah kejang, pasien sempat tidak sadarkan diri, namun

beberapa saat kemudian pasien sadar


b. Ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit
neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang
mungkin menjadi penyebab
Tidak ada
c. Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, interval terpanjang antar bangkitan
Usia 14 tahun; durasi 10 menit; frekuensi 1-2x/ hari
d. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya dan respon terhadap terapi (dosis, kadar
OAE, kombinasi terapi)
Pasien sudah pernah mengonsumsi AOE
e. Riwayat epilepsi dalam keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat penyakit yang sama
f. Riwayat keluarga dengan penyakit neurologik lain, penyakit psikiatrik atau
sistemik
Tidak ada
g. Riwayat pada saat dalam kandungan, kelahiran, dan perkembangan bayi/ anak
Tidak ada
h. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
Tidak ada
i. Riwayat trauma kepala, infeksi SSP dll
Tidak ada
47

2. Langkah kedua : untuk menentukan jenis bangkitan, dilakukan dengan


memperhatikan klasifikasi ILEA 1981
Bangkitan Umum (Bangkitan Tonik)
3. Langkah ketiga : untuk menentukan etiologi, sindrom epilepsi atau penyakit
epilepsi apa yang diderita oleh pasien, dilakukan dengan memperhatikan klasifikasi
ILAE 1989
Epilepsi Umum (Kriptogenik)
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pasien, pemeriksaan fisik umum dan neurologik dalam batas normal
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, ureum
dalam darah yang memudahkan timbulnya kejang ialah keadaan hipoglikemia,
hypokalemia, hipomagnesia, hiponatremia, hypernatremia, hiperbilirubinemia, dan
uremia.
- Laboratorium (24 Juli 2015)
dalam batas normal
B. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat?
Terapi awal untuk pasien tersebut seharusnya dimulai dengan pemberian obat
anti epilepsi dengan monoterapi. Akan tetapi, selama perawatan, pasien sering
kejang dengan durasi lebih dari 5-10 menit. Sehingga, penanganan bangkitan
konvulsif harus segera dimulai dengan pemberian obat anti kejang kerja singkat yaitu
diazepam.
Pemberian fenitoin pada kasus ini sudah tepat karena berguna untuk kejang tonikklonik umum, serangan parsial (sederhana-kompleks) dan beberapa jenis kejang
lainnya. Fenitoin tidak boleh diberikan pada serangan bangkitan atonik, karena dapat
memperberat serangan bangkitan atonik. Dosis awal adalah 200-300 mg/hari,

48

kemudian dosis rumatan 400-1600 mg/hari, waktu paruh dalam plasma 10-80 jam,
waktu tercapainya steady state 3-15 hari.

BAB IV
KESIMPULAN

Epilepsi didefenisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi
berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan yang
dimaksud dengan bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah menifestasi klinik yang
disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok
neuron. Manifestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan

49

perilaku stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik,


sensorik, otonom, ataupun psikik.
Pada kasus ini penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang sudah cukup sesuai. Penatalaksaan pada pasien ini kurang
sesuai dengan pedoman tatalaksana epilepsi yang diterbitkan oleh PERDOSSI. Hal ini
dikarenakan oleh kondisi pasien itu sendiri yang membutuhkan terapi anti kejang kerja
singkat untuk mengatasi kejangnya.

DAFTAR PUSTAKA

Mardjono M, Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis Dasar Edisi VI. Jakarta : Dian Rakyat.
Mani J, Barry E. 2006. Posttraumatic epilepsy: The Treatment of Epilepsy: Principles
and Practice. Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins.
PERDOSSI. 2011. Pedoman Penatalaksanaan Kejang dan Epilepsi. Perhimpunan
Dokter Saraf.
50

Price S, Wilson L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2


Edisi 6. Jakarta: EGC.

Tobing SM. 1998. Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : FKUI.

51

You might also like