You are on page 1of 10

DASAR-DASAR QURANI DAN HADIST TENTANG TASAWUF

17 Februari 2010Hamdan husein Al-ansharyMeninggalkan komentarGo to comments

BAB I
PENDAHULUAN
Apabila kita melihat zaman sekarang banyak orang-orang yang mengejar kemewahan dunia, dan
berlebih-lebihan dalam mencintai keindahan dunia seolah-olah akan hidup selamanya di dunia ini.
Namun, pada akhirnya mereka menyesal setelah mendapat suatu musibah dan banyak yang sadar
karena kesenangan dunia itu tidak bisa membuat orang tenang dan tentram. Dengan demikian
mereka mancari ketenangan dan kedamaian yang dibutuhkan oleh sentuhan-sentuhan spiritual atau
rohani yang bisa diperoleh dengan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dalam makalah ini penulis mencoba membahas sedikit tentang dasar atau landasan-landasan yang
sering digunakan oleh para sufi dalam bertasawuf. Landasan Al-Quran dan Hadist merupakan acuan
pokok yang selalu dijadikan oleh umat Islam untuk berbuat dan bertindak.
Dalam penulisan makalah ini tidak lepas dari kekurangan dan kesalahan, sebagai manusia biasa yang
tidak pernah luput dari salah dan lupa, makalah ini juga belum bisa dikatakan sempurna. Oleh sebab
itu, pemakalah meminta kepada Bapak Dosen dan rekan-rekan mahasiswa agar memberikan kritik
dan saran agar makalah ini nanti lebih baik dan sempurna bahasannya.
Atas kritik dan saran-saran yang diberikan Bapak Dosen ataupun rekan-rekan mahasiswa, pemakalah
lebih dulu mengucapkan terima kasih banyak, sehingga makalah ini nanti bisa lebih bagus.
BAB II
PERMASALAHAN
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari kita sering mendengar pertanyaan-pertanyaan yang
meminta atas landasan atau dasar apa kita berbuat sesuatu. Ataupun langsung orang lain bertanya
kepada kita apa dasar al-Quran dan hadistnya anda berkata demikian? Pertanyaan-pertanyaan seperti
ini sering dilontarkan kepada kita ketika orang itu menerima atau menemukan persoalan-persoalan
yang baru atau persoalan-persoalan yang unik yang mereka temui.
Oleh sebab itu landasan atau dasar-dasar tasawuf dalam Al-Quran dan Hadis urgen untuk dibahas.
Karena tanpa kajian yang khusus kita tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Karena
masa modern ini kita harus lebih banyak mengkaji dan berpegang kepada Al-Quran dan Hadis yang
ditinggalkan oleh Nabi Muhammad sebagai pedoman bagi kita supaya kita tidak terbawa arus
globalisasi yang semakin merajalela ini.

1.

1.

2.
1.
2.

1.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Secara etimologi, pengertian tasawuf dapat dilihat menjadi beberapa macam pengertian, yaitu ;
1. Ahlu suffah (
), yang berarti sekelompok orang dimasa Rasulullah yang hidupnya
banyak berdiam diserambi-serambi mesjid, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah
kepada Allah.
2. Safa (
), orang-orang yang mensucikan dirinya dihadapan Tuhan-Nya.
3. Shaf (
), orang-orang yang ketika shalat selalau berada di shaf yang paling
depan.
4. Shuf (
), yang berarti bulu domba atau wool.
Secara terminologi, telah banyak dirumuskan oleh para ahli, yaitu :
Menurut Juhairi, ketika ditanya tentang tasawuf, lalu ia menjawab :
Memasuki segala budi (akhlak) yang bersifat sunni dan keluar dari budi pekerti yang rendah.

1.
1.

1.

1.

1.

Menurut Junaidi :
Tasawuf ialah bahwa yang Hak adalah yang mematikanmu, dan Hak-lah yang menghidupkanmu.
Menurut Abu Hamzah :
Tanda sufi yang benar adalah berfakir setelah dia kaya, merendahkan diri setelah dia bermegahmegahan, menyembunyikan diri setelah dia terkenal: dan tanda sufi palsu adalah kaya setelah dia
fakir, bermegah-megahan setelah dia hina dan tersohor setelah ia tersembunyi.
B. DASAR-DASAR QURANI DAN HADIST TENTANG
ILMU TASAWUF
Al-Quran merupakan kitab Allah yang didalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik
akidah, syarah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang
termaktub dalam Al-Quran. Ayat-ayat Al-Quran di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara
konstektual-rohaniah. Jika dipahami secara lahiriah saja, ayat-ayat Al-Quran akan terasa kaku,
kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman
terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur
kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran
dan As-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya.[1]
Ayat Al-Quran tentang tasawuf secara eksplisit
Makna eksplisit adalah makna absolut yang langsung diacu oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat
denotatif (sebenarnya) sebagai representasi dari bahasa kognitif. Eksplisit : makna/maksud diajukan
secara langsung dan jelas
Makna eksplisit mengacu pada informasi, sedangkan makna implisit mengacu pada emosi.[2]
Dalam Q.S. Al-Maidah ayat : 54
$pkrt t%!$# (#qZtB#u `tB s?t
N 3YB `t mZ t$q|s At
!$# 5Qqs)/ Nk:t mtRq6tur A! r& n?t tZBsJ9$# >or& n?t
ts39$# crgpg @6y !$# wur tbq$ss

sptBqs9 5OIw 4
y79s @s !$# m?s `tB !$to 4 !$#ur ur O=t
Artinya ; Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras
terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang
yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.
Berdasarkan dasar Al-Quran tentang tasawuf secara eksplisit, di atas memiliki ciri-ciri yaitu :
1)

Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah.

2)
Bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang
kafir.
Sifat ini merupakan hasil kecintaan kepada Allah. Seorang yang cinta kepada Allah akan menjadi
seorang yang arif bijaksana yang akan selalu gembira dan senyum, bersikap lemah lembut karena
jiwanya dipenuhi oleh sifat Allah yang paling dominan yaitu rahmat dan kasih sayang. Inilah yang
menghasilkan rasa persaudaraan seagama, yang menjadikannya bersikap toleran terhadap
kesalahannya, lemah lembut dalam sikap dan perilakunya termasuk ketika menegur atau
menasehatinya. Sikap ini yang mengantar seorang muslim merasakan derita saudaranya, sehingga
memenuhi kebutuhannya dan melapangkan kesulitannya. Sedang sikap tegas kepada orang-orang
kafir, bukan berarti memusuhi pribadinya, atau memaksakan mereka memeluk islam, atau merusak
tempat ibadah dan menghalangi mereka melaksanakan tuntutan agama dan kepercayaan mereka

tetapi bersikap tegas, terhadap permusuhan mereka, atau upaya-upaya mereka melecehkan ajaran
agama dan kaum muslimin.
3)

Mereka berjihad di jalan Allah

Jihad disini tidak terbatas dalam bentuk mengangkat senjata, tetapi termasuk upaya-upaya membela
islam dan memperkaya peradabannya dengan lisan dan tulisan, sambil menjelaskan ajaran islam dan
menangkal ide-ide yang bertentangan dengannya lebih-lebih yang memburukannya.
4)

1.

1.

Tidak takut kepada celaan pencela

Mereka tidak takut dicela bahwa mereka tidak toleran misalnya jika mereka bersikap tegas terhadap
orang kafir yang memusuhi islam, tidak juga khawatir dituduh fanatik atau fundamentalis jika
menegakkan ukhwah islamiyah.[3]
Bahwa kemungkinan manusia dapat saling mencintai (mahabbah) dengan Tuhan. Hal ini
berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran dalam surah al-Maidah ayat 54 yakni:
$pkrt t%!$# (#qZtB#u `tB s?t
N3YB `t mZ t$q|s At !
$# 5Qqs)/ Nk:t mtRq6tur A! r& n?t tZBsJ9$# >or& n?t
ts39$# crgpg @6y !$# wur tbq$ss

sptBqs9 5OIw 4
y79s @s !$# m?s `tB !$to 4 !$#ur ur O=t
Artinya : Hai orang-orang yang beriman barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allah dan yang
tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah diberikan-Nya kepada siapa
saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha halus (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [4]
Dari ayat diatas para ahli sufi menafsirkannya bahwa akan datang suatu kaum yang dicintai Allah dan
mereka juga mencintai Allah, sebagaimana yang tercantum didalam Tafsir al-Misbah karangan Quraish
Shihab bahwa Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai Allah. Cinta Allah kepada hamba-Nya
dipahami para mufassir dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya. Cinta Allah dan karunianya
tidak terbatas dan cinta manusia kepada Allah bertingkat-bertingkat, tetapi yang jelas adalah cinta
kepada-Nya merupakan dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah, sehingga semua peringkat
(maqam) dapat mengalami kehancuran kecuali cinta. Cinta tidak bisa hancur dalam keadaan apapun
selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri.[5]
Bahwa Allah memerintahkan manusia agar senantiasa bertaubat membersihkan diri dan
memohan ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya.Hal ini sesuai dengan ayat AlQuran surah at-Tahrim ayat 8 yaitu:
$pkrt %!$# (#qZtB#u (#q/q? n<) !$# Zpt/qs? %nqR 4|t
N3/u br& tes3
N3Yt N3?$thy N6n=zur ;MZy_ grB `B
$ygFtrB ygRF{$# tPqt w !$# <Z9$# z`%!$#ur (#qZtB#u
mytB ( NdqR 4to t/ Nkr& Nk]yJ r/ur tbq9q)t !$uZ /u
NJ?r& $uZs9 $tRuqR $#ur !$uZs9 ( y7R) 4n?t e@2 &x
s%
Artinya
: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah
tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia ; sedang cahaya mereka
memancar dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan,Ya Tuhan kami,
sempurnakanlah bagi kami cahaya kami ; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu. [6]
Dari ayat tersebut dijelaskan bahwa seseorang yang bertasawuf harus bertaubat lebih dulu untuk
menghapus segala kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Para sufi berpendapat

bahwa untuk mencari keridhaan Allah harus bertaubat lebih dahulu dan meninggalkan segala yang
menyangkut dengan kebendaan (dunia) dan menghiasinya dengan akhlak mahmudah, dengan
demikian kita bisa menuju keridhaan Allah SWT.

1.

1.

1.

1.

1.

1.

Dalam tasawuf kata taubat berasal dari kata taaba-yatubu-taubatan yang artinya kembali.
Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat dari kitab Manaajil Al-saairin bahwa taubat adalah
maqam yang kedua. Sedangkan maqam yang pertama adalah yaqzhah atau kesadaran. Dalam
yaqzhah itu, kita tiba-tiba disadarkan oleh Allah SWT akan keburukan-keburukan yang pernah kita
lakukan selama kejauhan kita dari Allah SWT. Bisa jadi kita disadarkan dengan satu musibah yang
menimpa kita atau nasihat orang lain dan perenungan kita sendiri. Allah mempunyai cara untuk
menyadarkan hamba-Nya. Tetapi dalam tasawuf bahkan menurut Al-Quran orang lebih banyak
disadarkan oleh musibah.[7]
Allah juga menegaskan dalam Al-Quran tentang pertemuan manusia dengan Allah
sebagaimana yang tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 115 yaitu :
!ur -pRQ$# >pRQ$#ur 4 $yJuZrs (#q9uq? NsVs m_ur !$# 4 c) !
$# ur O=t
Artinya
: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.[8]
Bagi kaum sufi ayat tersebut mengandung arti bahwa dimana Tuhan ada, di situ pula Tuhan dapat
dijumpai.[9] Maksudnya kapanpun dan dimanapun kita berada Allah selalu bersama kita karena dzatNya tidak dibatasi ruang dan waktu dan tidak pula dibatasi oleh tempat.
Dalam Al-Quran juga dijelaskan tentang kedekatan manusia dengan-Nya seperti yang
tercantum dalam surah al-Baqarah ayat 186 yaitu:
#s )ur y7s9ry $t6 h_t oT*s =
s% ( =_& nouqy #$!$# #s )
b$ty ( (#q6ftGu=s < (#qZBs9ur 1 Ng=ys9 cr t
Artinya
: Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat, Aku
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia panggil Aku. [10]
Dalam surah Qaf ayat 16 juga disebutkan yaitu:
s)s9ur $uZ)n=yz z`|SM}$# On=tRur $tB quq? m/ mtR ( `twUur
>t%r& ms9) `B @7ym uq9$#
Artinya
: Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkannya kepadanya,
Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri. [11]
Berdasarkan ayat tersebut kebanyakan dikalangan para sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan,
orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri.[12]Maksudnya kita
harus intropeksi diri memuhasabahi diri kita atas apa yang telah kita lakukan dan kita perbuat dan
sejauhmana kita mensyukuri anugerah Allah kepada kita.
Ayat Al-Quran Tentang Tasawuf Secara Implisit
Makna implisit adalah makna universal yang disembunyikan oleh bahasa. Konsep makna ini bersifat
konotatif (kias) sebagai representasi dari bahasa emotif. Implisit : makna/maksud diajukan tidak
secara langsung dan sembunyi-sembunyi.
Ada pun ayat-ayat Al-Quran yang menjadi landasan tasawuf secara inplisit dapat dilihat dari tingkatan
(maqam) dan keadaan (ahwal) para sufi yaitu :
Tingkatan Zuhud yakni tercantum dalam surah An-Nisaa ayat 77 yaitu :
@% tFtB $uR9$# @=s% otzFy$#ur yz `yJj9 4s+?$#
Artinya
: Katakanlah kesenangan didunia ini hanya sementara dan akhirat itu lebih baik untuk
orang-orang yang bertakwa[13]
Tingkatan Tawakkal yaitu dalam surah At-Thalak ayat 3 yaitu:

`tBur @.uqtGt n?t !$# uqgs m7ym 4

1.

1.

Artinya
: Dan barang siapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah mencukupkan
(keperluannya).[14]
Tingkatan Syukur dalam Q.S. Ibrahim ayat 7 yaitu:
s9 O?x6x N3RyV{ (
Artinya
: Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan Kami menambahkan (nikmat)
kepadamu.[15]
Tingkat Sabar berlandaskan Q.S. Al-Baqarah ayat 155 yaitu:
eo0ur 99$#
Artinya

1.

: Dan berikanlah berita gaembira kepada orang-orang yang sabar.[16]


Tingkatan Ridha berdasarkan Q.S. Al-Maidah ayat 119 yaitu:
z !$# Nk]t (#quur mZt 4
Artinya
: Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha terhadap-Nya. [17]
Demikianlah sebagian ayat-ayat Al-Quran yang dijadikan para sufi sebagai landasan untuk
melaksanakan praktek-praktek kesufiannya. Akan tetapi masih banyak ayat-ayat yang lain yang tidak
dicantumkan oleh penulis dalam makalah ini.

1.

Hadist Tentang Tasawuf Secara Eksplisit


Dalam hadis juga banyak dijumpai keterangan-keterangan yang berbicara tentang kehidupan rohaniah
manusia. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Artinya
:
Senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga
Aku mencintainya. Maka tatkala mencintainya, jadilah Aku pendengarnya yang dia pakai untuk
mendengar dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk
mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha ; maka dengan-Ku-lah dia mendengar, melihat,
berbicara, berpikir, meninju dan berpikir.[18]
Dari hadis ini dapat dipahami bahwa manusia dan Tuhan dapat bersatu. Diri manusia dapat lebur
dalam diri Tuhan yang selanjutnya dikenal dengan istilah fana, yakni fana-nya makhluk sebagai yang
mencintai kepada Tuhan seperti yang dicintainya. Fana adalah menghilangnya daripada pengenalan
ghair, baqa adalah pengetahuan Tuhan, yang di dapat oleh seorang yang sudah menghilangnya
pengetahuan tentang ghair. Dalam hal ini nafs kita dalam jalan fana (ubudiyyah yakni penghambaan,
ibadah) dan Tuhan dalam jalan baqaa (rububiyyah yakni penguasaan).[19]
Artinya :

1.

Dari Abi Yahya Suhaib bin Sinan RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda : sangat mengagumkan
keadaan seorang mukmin. Sesungguhnya segala keadaannya untuknya baik sekali, dan tidak
mungkin terjadi demikian kecuali bagi orang mukmin. Kalau mendapat kenikmatan, ia bersyukur,
maka bersyukur itu lebih baik baginya. Dan kalau menderita kesusahan ia sabar, maka kesabaran itu
lebih baik baginya.
(HR. Muslim).
Hadist tentang tasawuf secara inplisit
Artinya :
Dari Umar bin Khattab ra., katanya : Aku mendengar Rasul Allah SAW bersabda :Semua amal
perbuatan itu hanyalah dinilai menurut masing-masing niatnya, dan setiap orang hanyalah menurut
apa yang diniatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya itu kepada keridhaan Allah dan Rasul-Nya,
maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk keduniaan atau

wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu pun diberi penilaian untuk tujuan apa ia hijrah
tadi.
(H.R. Al-Bukhari).
Artinya :
Dari Ibnu Masud ra. Dari Rasul Allah, bersabda : sesungguhnya jujur itu mendorong untuk beramal
saleh, dan sesungguhnya amal saleh itu menunjukkan jalan ke surga. Dan seorang yang benarbenar/terus-menerus berbuat jujur (sehingga menjiwai dan berbudi), ditetapkan disisi Allah sebagai
ahli jujur. Dan sesungguhnya dusta itu mendorong untuk berbuat keji dan perbuatan keji itu
menyampaikan ke neraka. Dan seorang yang benar-benar/terus-menerus berdusta, ditetapkan disisi
Allah sebagai ahli dusta.
(Mutafaq Alaih).
Dalam Hadist Qudsi juga dijelaskan yaitu:
Artinya
: Tidaklah para hamba yang beribadah kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
daripada yang telah Aku fardhukan kepadanya. Dan hamba yang beribadah kepada-Ku dengan
perbuatan-perbuatan sunat, maka Aku juga mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku
adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatan yang ia gunakan untuk melihat,
tangan yang ia pakai memegang dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia memohon
perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan melindunginya.[20]
Hadis ini menjelaskan bahwa sesungguhnya seorang hamba mampu meninggalkan syahwat dan
tenggelam dalam ketaatan, sehingga ia hanya menggunakan anggota badannya sesuai dengan tujuan
penciptaannya, sebagai taufik dan hidayah Allah SWT.

1.

Hadis ini memberi pengertian, bahwa dasar kecintaan Allah kepada hamba-Nya adalah melalui
perbuatan-perbuatan yang sunat. Oleh karena itu, selama seorang hamba beribadah kepada-Nya
melalui ibadah-ibadah sunat hingga sampai pada tingkatan cinta kepada-Nya, maka pada saat itu dia
mampu tenggelam dengan melihat kesucian Allah, tidak melihat sesuatupun kecuali Allah berada di
sisinya. Pengalaman semacam ini merupakan derajat terakhir bagi orang-orang yang menuju akhirat
dan jalan pertama bagi orang yang ingin sampai kepada Allah. Dengan mengikuti sunah tercapailah
marifat, dengan melakukan perbuatan fardhu tercapailah qurbah (dekat dengan Allah) dan dengan
selalu melaksanakan perbuatan sunat tercapailah mahabbah Allah.[21]
Dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW, juga terdapat petunjuk yang menggambarkan bahwa beliau
adalah sufi. Nabi Muhammad telah mengasingkan diri ke Gua Hira menjelang datangnya wahyu.
Beliau menjauhi pola hidup kebendaan yang pada waktu itu diagung-agungkan oleh orang Arab
tengah tenggelam didalamnya, seperti dalam peraktek perdagangan dengan prinsip menghalalkan
segala cara.[22]
5. Kiat/Cara-Cara Menentukan Ayat Ekspelisit dan Impilisit
Meskipun teks-teks Alquran pada mulanya adalah wahyu Tuhan yang transhistoris dan metahistoris,
akan tetapi dalam perjalanan selanjutnya ia diturunkan kepada manusia dan untuk menjadi bacaan
yang harus dipahami manusia. Kenyataan ini bagaimanapun telah merubah teks-teks suci tersebut
menjadi teks-teks yang memasuki ruang dan waktu manusia. Dengan kata lain, Alquran tidak hadir
dalam ruang hampa, melainkan berdialog, merespon, dan berinteraksi dengan manusia yang telah
eksis berikut segala sistem hidup yang dianut.
Secara historis ayat-ayat Alquran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat dan dibagi dalam 114 surat
tersebut diturunkan kepada masyarakat Arabia abad ke 7 M, dalam rentang waktu sekitar 23 tahun.
Ayat-ayat tersebut tidak diturunkan sekaligus, tetapi melalui proses bertahap atau berangsur,
berdasarkan kebutuhan yang relevan dengan peristiwa-peristiwa yang dihadapi Nabi. Seluruh surat
dan ayat Alquran diturunkan dalam dua fase sejarah sosial yang berbeda. Dua fase ini dikenal dalam
terminologi ulum al-Quran sebagai Makkiyyah dan Madaniyyah. Para ahli tafsir merumuskan

Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi masih berada di Mekah. Sebagian ulama
membaginya berdasarkan aspek waktu, yakni Makkiyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum
Nabi hijrah, pindah ke Madinah. Sedangkan Madaniyah adalah ayat-ayat yang diterima Nabi ketika
berada di Madinah atau sesudah hijrah. Pandangan yang lebih tajam, teks tidak semata-mata dilihat
dari soal tempat atau waktu turunnya, tetapi pada kondisi audien, penerima, atau pembacanya.
Teori tentang ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah dengan beragam definisi di atas, pada intinya
memperlihatkan bahwa teks-teks Alquran di arahkan pada dua konteks sosial dan audien yang
berbeda. Sekaligus berada pada konteks perkembangan risalah yang sedang berjalan guna merespon
dan mengatasi problem-problem sosial yang dihadapi. Menurut para ulama teks-teks Makiyyah pada
umumnya menekankan tentang ketauhidan (kemahaesaan Tuhan) dan nilai-nilai kemanusian universal
seperti kesetaraan manusia, keadilan, kebebasan, pluralitas, dan penghargaan terhadap martabat
manusia. Para ulama Alquran mencirikan pesan risalah periode Makkiyyah, meskipun tidak
seluruhnya, dengan (misalnya) penggunaan kata sapa ya ayyuha al- Naas (hai manusia); atau ya
Bani Adam (hai anak Adam); dan kalla (tidak begitu). Teks-teks Alquran pada periode ini dapat
dikatakan mengandung gagasan-gagasan yang progresif dan revolusioner.
Berbeda dengan di Mekah, audien (masyarakat) di Madinah, adalah masyarakat yang pada umumnya
sudah menganut agama langit (samawi) seperti Yahudi dan Nasrani, di samping mereka yang telah
beriman kepada Nabi (Muhajirin dan Anshar). Ayat-ayat Madaniyyah pada umumnya berisi ayat-ayat
yang menetapkan aturan-aturan yang lebih rinci, lebih spesifik dan partikular yang menyangkut
problem-problem aktual yang dihadapi masyarakat Madinah. Beberapa di antaranya tentang hukumhukum personal, hukum keluarga (famili law), dan aturan-aturan tentang kehidupan bersama dalam
masyarakat plural yang telah terbentuk di sana.
Ciri-ciri surah atau ayat Madaniyah dapat dikenali antara lain melalui penyebutan kata sapa ya
ayyuhallazdina amanu (wahai orang-orang yang beriman); atau ayat yang berbicara tentang orangorang munafiq; dan lain-lain. Di sini kita melihat dengan jelas bahwa ayat-ayat Madaniyah
menunjukkan pesan-pesan kepada masyarakat plural dari sisi keyakinan, aturan-aturan yang
menyangkut urusan-urusan dalam kehidupan praktis, hukum-hukum keluarga dan hudud (pidana).
Beberapa contoh ayat/surah Madaniyah adalah Q.S. al-Nisa [4]; Q.S al-Nur [24]; Q.S. al-Ahzab [33];
Q.S. al-Thalaq [65]; dan lain-lain. Dalam surah-surah ini Alquran membicarakan secara cukup detail
tentang sejumlah isu perempuan seperti perkawinan, perceraian, waris, dan yang berkaitan dengan
relasi laki-laki dan perempuan lainnya.
Penyebutan ciri-ciri di atas Makiyyah maupun Madaniyyah- diakui para ahli tafsir tidak berlaku
menyeluruh pada semua ayat melainkan sebagai ciri-ciri umum saja. Hal ini karena ada ayat-ayat
yang menggunakan ciri di atas, misalnya ciri ayat makkiyyah dengan penggunaan kata sapa ya
ayyuha al-Nas, tetapi diturunkan sesudah hijrah (madaniyyah). Boleh jadi hal ini terjadi terkait
dengan upaya mengembalikan kesadaran audien tentang pentingnya mendasarkan aturan-aturan
sosial pada prinsip-prinsip kemanusiaan universal yang menjadi tujuan agama.
Kenyataan sejarah Alquran ini penting dikemukakan agar dapat dipahami bahwa kitab suci ini
berdialog secara dinamis dan akomodatif, bernegosiasi dan melakukan interaksi dengan akal dan
psiko-sosial masyarakat Arabia pada abad ke 7 H dan dengan subyek audien yang tidak tunggal.
Pada sisi lain, historisitas teks-teks Alquran juga muncul dalam pengakuan para ulama tentang teori
Nasikh-Mansukh. Ia adalah terminologi yang biasa digunakan oleh para ahli tafsir untuk menunjukkan
adanya ayat-ayat yang membatalkan (nasikh) dan ayat-ayat yang dibatalkan (mansukh). Teori ini
dimunculkan oleh karena adanya ayat-ayat yang dianggap saling bertentangan, berdasarkan
pemahaman literalnya, yang tidak mungkin lagi dapat dikompromikan. Jika ini yang terjadi, maka
menurut teori ini ayat-ayat yang diturunkan belakangan (nasikh) membatalkan ayat-ayat sebelumnya

(mansukh). Sebagai contoh yang biasa dikemukakan para ulama misalnya adalah persoalan iddah
(masa menunggu) bagi perempuan yang bercerai dari suaminya karena meninggal dunia. Salah satu
ayat Alquran menunjukkan bahwa perempuan tersebut harus menunggu di rumah selama satu tahun.
Sesudah itu dia bisa bergerak bebas, termasuk untuk menikah lagi. (Q.S. al Baqarah,[2:240).
Sementara ayat yang lain menyebutkan bahwa masa menunggu (iddah) perempuan tersebut adalah
empat bulan sepuluh hari (Q.S. al Baqarah, 234). Para ulama memandang bahwa ayat yang kedua ini
(empat bulan sepuluh hari), meskipun secara urutannya dalam mush-haf disebut lebih dahulu, adalah
menghapus (nasikh) terhadap ayat yang kedua (satu tahun). Para ulama menyebut penghapusan ini
sebagai naskh al hukm duna al tilawah (menghapus hukumnya, bukan menghapus
bacaan/tulisannya). (Al Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Alquran, II/37-38).
Teori nasikh-mansukh dengan pengertian pembatalan hukum teks yang satu terhadap teks yang lain,
dikritik oleh sebagian ulama. Menurut mereka pengertian nasikh-mansukh seperti ini menghadapi
problem serius, karena hal itu berarti mengabaikan keabadian, keutuhan dan ketiadaan kontradiksi
antara teks-teks Alquran. Problem lain adalah bagaimana halnya dengan fakta pengumpulan Alquran
dalam mushaf yang sudah disepakati para sahabat Nabi dan dinyatakan sebagai utuh?. Mana saja dan
berapa banyak ayat-ayat nasikh-mansukh, juga merupakan problem kontroversial di kalangan ulama
sendiri. Sejauh seseorang pembaca mampu mengatasi ayat-ayat yang dipandang kontradiktif, maka
kemungkinan terjadinya naskh (pembatalan) perlu dipertanyakan.
Pandangan lain berpendirian bahwa apa yang dikesankan sebagai naskh sebenarnya adalah
penundaan sementara pemberlakuannya, oleh karena situasi konkrit masyarakat yang dihadapi telah
berubah dan berkembang. Menurut pandangan ini kesan adanya dua ayat yang bertentangan dapat
diselesaikan melalui cara pandang historisitas teks atau pembacaan kontekstual. Hal ini merupakan
pandangan yang wajar saja, mengingat bahwa ayat-ayat Alquran diturunkan secara bertahap, dalam
ruang dan waktu sosial yang berbeda, audien yang berbeda-beda dan tingkat kemajuan yang berbeda
pula. Jadi adalah wajar bahwa keputusan hukumnya berbeda. Dengan demikian, maka istilah naskh,
dengan arti penghapusan atau pembatalan lebih tepat dipandang sebagai penundaan belaka, oleh
karena konteks realitas sosial yang tidak memiliki relevansi untuk diimplementasikan.
Terlepas dari kontroversi mengenai teori nasikh-mansukh di atas, kenyataan tersebut menunjukkan
dengan jelas, bahwa seluruh ulama mengakui adanya dimensi historisitas teks-teks Alquran. Dengan
kata lain teori ini sesungguhnya menunjukkan adanya kehendak perubahan hukum dari satu waktu ke
waktu yang lain dan dari satu ruang ke ruang yang lain. Al Zarkasyi, mengatakan bahwa naskh
merupakan penjelasan tentang masa keberlakuan hukum. (al Burhan, II : 30). Sepanjang teks-teks
Alquran diarahkan kepada manusia yang hidup dalam sejarah, maka ia terlibat dalam dinamika sosial.
Selain teori naskh, para ulama menyatakan bahwa ayat-ayat Alquran tidak diturunkan begitu saja,
tetapi mempunyai Asbab al Nuzul, atau latarbelakang peristiwanya masing-masing. Kenyataan ini
semakin mengukuhkan bahwa ayat-ayat Alquran menjawab peristiwa-peristiwa temporal yang muncul
pada saat itu. Para ulama juga telah menyatakan bahwa kebertahapan Alquran yang berlangsung
selama sekitar 23 tahun mengandung arti bahwa surat-surat atau ayat-ayat dalam Alquran berkaitan
dengan serangkai peristiwa-peristiwa yang bersifat temporal. Pengetahuan tentang asbab an-nuzul
adalah sesuatu yang niscaya bagi para pengkaji Alquran, sebab tanpa ini mereka bisa terjebak pada
kesalahpahaman, kesulitan-kesulitan dan kontradiksi-kontradiksi dan dapat mengakibatkan konflik.
Perlu segera dijelaskan bahwa historisitas ayat-ayat Alquran di atas tidaklah harus dipahami bahwa
Alquran hanyalah terbatas untuk komunitas Arabia pada saat ia diturunkan, dan karena itu tidak
berlaku dan bersifat universal. Sebab pada setiap ayat selalu tersedia, baik secara eksplisit maupun
implisit, alasan dan maksud di balik solusi dan aturan-aturannya, yang dari situ dapat ditarik prinsip-

prinsip umumnya. Di sini seorang pembaca Alquran dituntut untuk bisa menggali tujuan moral dan
nilai-nilai universalitasnya.

1.

1.
2.

3.
4.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas maka penulis dapat menarik berbagai poin kesimpulan yang merupakan intisari
dari pembahasan ini, yaitu :
Al-Quran merupakan dasar-dasar para sufi dalam bertasawuf kedudukannya sebagai ilmu
tentang tingkatan (maqam) dan keadaan (ahwal).
Selain Al-Quran dan Hadis juga merupakan landasan dalam tasawuf sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Rasulullah di Gua Hira yakni tafakkur, beribadah, dan hidup sebagai
seorang zahid, Beliau hidup sangat sederhana, terkadang mengenakan pakaian tambalan, tidak
makan dan minum kecuali yang halal, dan setiap malam senantiasa beribadah kepada Allah SWT.
Dikalangan para sahabat juga banyak yang mempraktekkan tasawuf sebagaimana yang
dipraktekkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Untuk menjadi seorang sufi kita harus bisa meninggalkan segala yang menyangkut dengan
sifat kebendaan dan senantiasa bertaubat serta mendekatkan diri kepada-Nya untuk mencapai ridha
Allah SWT.
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PERMASALAHAN
BAB III
PEMBAHASAN..

1.
2.
1.
2.
3.
1.
2.
3.

Pengertian Tasawuf ..
Dasar-dasar Qurani Tentang Ilmu Tasawuf
Ayat Al-Quran tentang Tasawuf secara eksplisit.
Ayat Al-Quran tentang Tasawuf secara implisit
Dasar-dasar Hadist Tentang Ilmu Tasawuf
Hadist tentang Tasawuf secara eksplisit
Hadist tentang Tasawuf secara implisit..
Kiat-kiat menentukan ayat eksplisit dan implisit
BAB IV
PENUTUP

1.
2.

Kesimpulan..
Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon dan Mukhtar Solihin. Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2006.
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya, Bandung : Diponegoro,

2005.
Rahmat, Jalaluddin. Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, Bandung:Remaja
Rosdakarya, 2001.
Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, Yogyakarta : Mitra
Pustaka, 2002.
Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Misbah, Jakarta : Lentera Hati, 2001.
[1] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia, 2006), hlm.16.
[2] Copyright 2003 Lampung Post. All rights reserved. Minggu, 24 Februari 2008
[3] Ibid., hlm. 122.
[4] Q.S Al-Maidah: 54
[5] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001), hlm. 121.
[6] Q.S At-Tahrim: 8
[7] Jalaluddin Rahmat, Meraih Cinta Ilahi ; Pencerahan Sufistik, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2001), hlm. 8.
[8] Q.S Al-Baqarah: 115
[9] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit., hlm. 19.
[10] Q.S Al-Baqarah: 186
[11] Q.S Qaf : 16
[12] Rosihin Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit., hlm. 21.
[13] Q.S An-Nisa : 77
[14] Q.S At-Thalak : 3
[15] Q.S Ibrahim : 7
[16] Q.S Al-Baqarah : 155
[17] Q.S Al-Maidah : 119
[18] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit., hlm. 26.
[19] Shayk Ibrahim Gazuri Ilahi, Anal Haqq, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 152.
[20] Sayyid Abi Bakar Ibnu Muhammad Syatha, Missi Suci Para Sufi, (Yogyakarta : Mitra Pustaka,
2002), hlm. 78.
[21] Ibid., hlm. 80.
[22] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Op.cit., hlm. 26.

https://ibdaanakpasid.wordpress.com/2010/02/17/dasar-dasar-qurani-dan-hadisttentang-tasawuf/

You might also like

  • Tum Bang
    Tum Bang
    Document66 pages
    Tum Bang
    Fitri Gessia
    No ratings yet
  • Tum Bang
    Tum Bang
    Document66 pages
    Tum Bang
    Fitri Gessia
    No ratings yet
  • Tum Bang
    Tum Bang
    Document66 pages
    Tum Bang
    Fitri Gessia
    No ratings yet
  • 42 129 1 PB
    42 129 1 PB
    Document10 pages
    42 129 1 PB
    Adriana Anastasia Jenahat
    No ratings yet
  • Tum Bang
    Tum Bang
    Document66 pages
    Tum Bang
    Fitri Gessia
    No ratings yet
  • Hadis
    Hadis
    Document12 pages
    Hadis
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet
  • Tumbuh Kembang
    Tumbuh Kembang
    Document14 pages
    Tumbuh Kembang
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet
  • Hadis
    Hadis
    Document12 pages
    Hadis
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet
  • Ruang Berbagi Untuk Menjadi Lebih Baik
    Ruang Berbagi Untuk Menjadi Lebih Baik
    Document20 pages
    Ruang Berbagi Untuk Menjadi Lebih Baik
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet
  • Defenisi Manusia
    Defenisi Manusia
    Document4 pages
    Defenisi Manusia
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet
  • DASAR
    DASAR
    Document10 pages
    DASAR
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet
  • Analisis Data Deskriptif Ok
    Analisis Data Deskriptif Ok
    Document8 pages
    Analisis Data Deskriptif Ok
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet
  • Defenisi Manusia
    Defenisi Manusia
    Document4 pages
    Defenisi Manusia
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet
  • Bab I
    Bab I
    Document10 pages
    Bab I
    SuciZulhijjahPartII
    No ratings yet