Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Perkembangan bangsa Indonesia telah mengalami banyak perubahan baik
secara konstitusi maupun sistem pemerintahan salah satunya yaitu Sistem
pemerintahan Demokrasi Liberal. Seperti yang kita ketahui Demokrasi Liberal
adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusi hak hak individu dari
kekuasaan pemerintah yang berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Di
Indonesia masa demokrasi Liberal berlaku antara tahun 1950 1959, ditandai
dengan tumbuh suburnya partai politik dan berlakunya kabinet parlementer.
Demokrasi Liberal di Indonesia ditandai oleh prestasi politik dan kemelut politik.
Prestasi politik berupa pemberlakuan sistem multipartai dan penyelenggraan
pemilu yang demokratis, sedangkan kemelut politik yang terjadi ialah berupa
kabinet yang silih berganti.
Di dalam Prestasi politik Demokrasi Liberal selain itu juga dapat
menghidupkan suasana
demokratis
di Indonesia.
menjaga
keamanan
dan
ketertiban
rakyat,
mempersiapkan
dan
BAB II
PEMBAHASAN
Wilopo dengan kabinetnya berusaha melaksanakan program itu dengan sebaikbaiknya. Akan tetapi, kesukaran-kesukaran yang dihadapi tidaklah sedikit.
Diantara
kesukaran-kesukaran
yang
harus
diselesaikan
ialah
timbulnya
Akibat
peristiwa
ini
kedudukan
kabinet
menjadi
goyah.
(Poesponegoro,2008:313)
Kedudukan kabinet juga semakin goyah dengan adanya persoalan tanah di
Sumatera Timur yang terkenal dengan nama Peristiwa Tanjung Morawa.
Akibatnya pada tanggal 2 juni 1953 Wilopo mengembalikan Mandatnya kepada
Presiden. Kabinet kembali demisioner dan Indonesia mengalami krisis pemerintah
lagi.untuk membentuk kabinet baru yang diharapkan mendapat dukungan cukup
dari parlemen, pada tanggal 15 juni 1953 presiden Soekarno menunjuk Sarmidi
Mangunsarkoro (PNI) dan Moh.Roem (Masyumi) sebagai formatur.kedua
formatrur gagal mencapai kesepakatan dengan beberapa partai. Pada tanggal 24
juni 1953 mereka mengembalikan mandat kepada presiden.formatur baru kembali
kabinet
terbentuk,
polisi
militer
menangkap
MR.Djody
terhadap pejabat tinggi. Tindakan ini merupakan salah satu pelaksanaan program
kabinet, yaitu pemberantasan korupsi (Poesponegoro, 2008:317).
Program lain Kabinet Burhanuddin Harahap yang harus diselesaikan
seperti telah dijanjikan dalam pembentukan kabinet ialah pemilihan umum.
Golongan oposisi mendesak terus pada kabinet untuk melaksanakan pemilihan
umum secepat mungkin (Poesponegoro, 2008:317).
Pada kabinet ini pemilu untuk pertama kalinya terlaksana. Pada tanggal 29
september 1955 lebih dari 39 juta orang rakyat Indonesia memberikan hak
suaranya, mewakili 91,5 % dari pemilih terdaftar. Hasil pemilihan umum ini
ternyata dimenangkan oleh empat partai yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI
sedang partai-partai lainnya mendapat suara jauh lebih kecil dari pada ke empat
partai tersebut (Ricklefs, 1991: 376).
Tugas kabinet Bahanuddin dianggap selesai dengan selesainya pemilihan
umum sehingga perlu di bentuk kabinet baru yang akan bertanggung jawab
kepada
parlemen
yang
baru.
Selain
itu,
dalam
pemerintahan
terjadi
itu
kemudian
dimanfaatkan
sebesar-besarnya
untuk
macam dewan seperti Dewan Banteng di Daerah Sumatera Barat, Dewan Garuda
di Daerah Sumatera Selatan, dan Dewan Manguni di Daerah Sulawesi Utara.
Sebagai suatu upaya Pemerintahan Pusat untuk mengatasi krisis nasional,
maka kabinet Djuanda menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) pada
tanggal 15 September 1975. Sejalan dengan tuntutan Dewan-dewan di daerah
itu, Munas juga menginginkan keutuhan kembali Dwitunggal Soekarno-Hatta.
Selain iu Munas menyatakan bahwa perlu kembali ditinjau hubungan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah. Maka tanggal 4 Desember 1957 diselenggarakan
Musyawarah Nasional Pembangunan.
Ternyata krisis nasional telah semakin parah karena ada berbagai
kepentingan politk dan ideologi yang menjegal idealisme yang dipancarkan dari
Munas dan Munas Pembangunan tersebut. Peristiwa Cikini pada tanggal 30
November 1957 dan usaha pembunuhan atas Presiden Soekarno. Peristiwa itu
menjadi sebabb atau alasan untuk tidak diteruskannya usul pemecahan kemelut
intern Angkatan Darat sebagaimana diusulkan Munas. Ketegangan memuncak dan
dialog bertukar dengan ultimatum. Kemudian terjadi serentetan pertemuan yang
diprakasai dan dihadiri oleh Dewan Benteng dan Dewan Garuda di daerah-daerah
di Sungai Daerah.
Melalui serentetan pertemuan itu, Dewan-dewan di daerah itu kemudian
mengeluarkan suatu pernyataannya yang menuntut agar Drs. Mohamad Hatta dan
Sri Sultan Hamengku Buwono IX tampil untuk memimpin pemerntahan. Kegiatan
tuntutan
itu
ditolak,
maka
ketegangan
politik
berkembang
ke
arah
pembangkangan.
Pada tanggal 15 Februari 1958, Dewan Perjuangan mengeluarkan suatu
pengumuman bahwa mereka tidak lagi mengakui Kabinet Djuanda dan
menyatakan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), di
bawah Perdana Menteri Mr. Syafruddin Prawiranegara. Pada tanggal 17 Februari
1958 Mayor Somba dari Minahasa menyatakan dukungan kepada PRRI tersebut.
Politik Mayumi dan PSI menunggangi kekecewaan terhadap pembangunan daerah
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kabinet Natsir terbentuk pada 6 September 1950 dan berakhir pada 20 Maret
1951 yang diketuai oleh Natsir. Kabinet Ntasir merupakan koalisi yang dipimpin
oleh partai Mayumi. Dimana PNI sebagai partai kedua terbesar lebih memilih
kedudukan sebagai oposisi, karena PNI merasa tidak diberi kedudukan yang
sesuai (Lapian, dkk, 1996: 174).
2. Kabinet Sukiman ( 27 April 1951 3 Aril 1951 )
Setelah Natsir mengembalikan mandatnya Presiden Soekarno kemudian
menunjuk Mr.Sartono dari PNI untuk membentuk kabinet baru, dimana kedua
partai ini merupakan partai yang terkuat dalam DPR saat itu. Akan tetapi, usaha
Sartono menemui kegagalan. Sehingga Akhirnya, setelah diadakan perundingan
pada tanggal 26 April 1951 diumumkan susunan kabinet baru di bawah pimpinan
dr.Sukiman Wijosandjojo (Masyumi) dan Suwirjo (PNI).
3. Kabinet Wilopo ( 3 April 1952 3 Juni 1953 )
Kesulitan2 yang muncul pada masa kabinet wilopo adalah timbulnya
provinsialisme dan bahkan separatisme. Di beberapa tempat diSumatera dan
Sulawesi timbul rasa tidak puas terhadap pemerintah pusat. Alasan utama adalah
kekecewaan karena tidak seimbang alokasi keuangan yang diberikan oleh pusat
kepada daerah. Daerah merasa bahwa sumbangan yang mereka berikan kepada
pusat dari hasil ekspor misalnya, lebih besar dari pada yang dikembalikan oleh
pusat kepada daerah. Mereka juga menuntut diperluasnya hak otonomi daerah.
Selain soal kedaerahan dan kesukuan, pada tanggal 17 oktober 1952 timbul soal
dalam Angkatan Darat yang terkenal dengan peristiwa 17 oktober.
4. Kabinet Ali Sastroamindjojo 1 ( 30 Juli 1953 12 Agustus 1955 )
Pada tanggal 30 juli kabinet baru dilantik tanpa mengikutsertakan Masyumi, tetapi
memunculkan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan baru. Ali Sastroamidjojo
diangkat sebagai perdana menteri. Kabinet ini dikenal dengan nama kabinet Ali 1
atau kabinet Ali-Wongso.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap
Burhanuddin Harahap membentuk kabinet baru tanpa PNI. Kabinet ini terdiri dari
23 menteri dan didominasi oleh Masyum.
6. Kabinet Ali Sastroamindjojo II
Kabinet ini disebut kabinet Ali II. Inti kabinet adalah koalisi PNI, Masyumi, dan
NU
Program:
belanja
mewujudkan pergantian ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.
Daftar Pustaka
Lapian, A.B, dkk. Terminologi Sejarah 1945-1950 & 1950-1959. Jakarta : CV.
Defit Prima Karya
Ricklefs, M. C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press
Pakan Djon. Kembali ke Jatidiri Bangsa. 2002. Jakarta: Millenium Publisher.