You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembalakan liar menyebabkan bencana dan menyengsarakan rakyat.


Hutan gundul menyebabkan banjir bandang, longsor, cadangan air hilang, dan
hasil pertanian turun. "Kita lawan sekarang, beramai-ramai kita tuding, kita cari
siapa pelaku-pelaku pembalakan liar yang tidak bertanggung-jawab itu. Jangan
rakyat jadi korban," ujar dia.

Pembalakan liar, lanjut Presiden, hanya menguntungkan pihak-pihak


tertentu. Yakni otak pembalakan liar, penyandang dana, negara lain yang
menerima kayu hasil pembalakan liar. "Negeri kita rusak, uang tidak dapat.
Mereka yang berpesta pora. Itulah para pelaku illegal logging hidupnya mewah,
untungnya miliaran rupiah, ditengah-tengah banjir bandang, longsor, sulit air, sulit
pangan," kata dia.
Pemerintah, lanjut Yudhoyono, telah menetapkan kebijakan dasar untuk
tidak mengobral izin pemanfaatan hutan. Bahkan, mulai sekarang dan ke depan,
Yudhoyono melarang menteri kehutanan dan kepala daerah memberikan izin
pengelolaan hutan.
Dia mengakui perizinan pengelolaan hutan di waktu lalu sangat lunak.
Namun, jika mereka memenuhi ketentuan, pemerintah tidak begitu saja mencabut
izin pengelolaan hutan yang dikeluarkan secara sembrono tersebut.
Akan tetapi, Yudhoyoo mengancam pemerintah akan melakukan langkah hukum
jika pengelolaan hutan yang mereka lakukan melanggar peraturan. Pengelola
hutan yang melanggar, dapat dicabut izinnya.
Departemen Kehutanan mencanangkan program penanaman 79 juta pohon
diseluruh Indonesia. Gerakan penanaman pohon ini dimaksudkan untuk
merehabilitasi areal hutan yang gundul. Di desa Cibadak, ditanam ribuan pohon
untuk merehabilitasi hutan yang gundul akibat pembalakan liar. Di tempat ini
merupakan muara sungai yang mengalir ke Bekasi. daerah Bekasi sering banjir

1
karena daerah ini gundul
Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging)
adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah
atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat.
Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya
yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari
setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia terjadi di wilayah-wilayah
daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa
negara-negara

a. Fakta penebangan liar


Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998
mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar,
dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS[1]
Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi
domestik ditambah dengan elspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh
kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan lia
Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia.

BAB II

2
PEMBAHASAN

a. Dampak Pembalakan Liar


Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-
1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan
diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan
dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas
terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan
hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun,
luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan
hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di
Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya
hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik
serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak
dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta
hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun
terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini
dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya,
maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut
analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan
kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai
harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5
milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap
tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman
hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia
mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh
aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data

3
Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar
perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar

B. Pembalakan Liar di Pulau Kangean Kian Marak


TEMPO Interaktif, SUMENEP - Badan Lingkungan Hidup Kabupaten
Sumenep, Jawa Timur, mengaku tidak punya data ril tentang kerusakan hutan di
wilayah pulau Kangean yang diduga akibat tindak pidana pembalakan liar atau
ilegal loging.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Sumenep Abdul Muthalib mengatakan hal itu
dikarenakan kawasan hutan di pulau Kangean berada di bawah pengawasan
langsung pihak perhutani Pamekasan. "Antara BLH dan perhutani beda
kewenangan," katanya, Selasa (26/1).
Namun ia mengakui pernah memantau kawasan hutan Kangean melalui udara dan
terlihat di tengah rerimbun hutan jati banyak pohon tumbang dan sebagian
kawasan telah gundul. "Hanya perhutani yang tahu, penebangan itu legal atau
tidak," ujarnya pula.
Muthalib menegaskan ilegal atau tidak, peraturan Departemen Kehutanan
menegaskan bahwa setiap satu pohon ditebang harus dibarengi dengan penanaman
lima bibit pohon di lokasi yang sama.
Terungkapknya aksi pembalakan liar yang kian marak di Pulau Kangean setelah
LSM Lembaga Pengkajian dan Perlindungan Korban Kebijakan Publik (LP2KP)
melakukan investigasi sejak November sampai Desember 2009 lalu. "Sekarang
hutan lindung tinggal 25 persen, hutan produksi tinggal 45 persen," kata Hamid,
ketua LSM tersebut.
Aksi ilegal loging terparah terjadi di kawasan Desa Jukong dan Desa
Torjen, Kecamatan Kangayan, dan di Kecamatan Arjasa. LP2KP mencatat, lebih
dari 4.000 batang pohon jati dan pohon campuran ditebang dan diangkut dengan
empat buah kapal motor setiap hari. Hamid menduga aksi tersebut dibackingi
aparat karena aksi pembalakan liar berjalan lancar tanpa ada penangkapan.
Pembalakan liar merupakan salah satu bentuk kegiatan ekstrem yang
berdampak terjadinya bencana alam di Indonesia, kata Ketua tim Standar Sistem
Manajemen Keadaan Darurat, John Mountanio, dalam sebuah pelatihan di Jambi,

4
Selasa. Selain John Mountanio yang merupakan aktifis salah satu LSM di
Amerika Serikat, dalam pelatihan itu juga hadir Kapolda Jambi, Brigjen Pol Budi
Gunawan beserta staf jajarannya. Pelatihan sistem manajemen keadaan darurat
tersebut merupakan bentuk kerjasama Polri dengan Departemen Hukum Amerika
Serikat yang diteruskan ke beberapa Polda di Indonesia.
Dalam pelatihan itu John mengatakan, bentuk bencana alam yang sering
terjadi di Sumatera adalah banjir, longsor dan kebakaran lahan/hutan, untuk itu
perlu adanya latihan manajemen penanganan bencana alam tersebut. Jambi daerah
yang rawan terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor hampir di seluruh
kabupaten/kota, namun yang kerap terjadi longsor di Kab. Kerinci, Merangin dan
Sarolangun. Polri sebagai salah satu ujung tombak dalam membantu mengatasi
pasca terjadinya bencana alam diharapkan dapat berperan penting yang untuk itu
perlu diadakannya pelatihan seperti ini. Seorang warga di pedalaman Kalimantan
menebang pohon secara ilegal menggunakan gergaji mesin. Pembalakan liar
semakin menjadi-jadi karena aparat penegak hukum tidak serius menangani kasus
pembalakan liar.

5
BAB III
PEMBERANTASAN LIAR

A. ILLEGAL LOGGING
Pemberantasan pembalakan liar (illegal logging) di Indonesia belum
efektif. Hal itu ditunjukkan adanya sejumlah fakta, yaitu pelaku pembalakan
banyak yang divonis bebas atau divonis dengan hukuman yang rendah.
Akibatnya, hukuman tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku dan jaringannya.
Selain itu, pelaku yang diproses secara hukum umumnya adalah operator
di tingkat lapangan. Sedangkan, aktor utama (master mind) banyak yang tidak
diproses atau lolos dari jeratan hukum. “Praktik pembalakan liar dilakukan secara
sistematis dan dikendalikan secara rapi oleh aktor utamanya. Maka,
pemberantasannya sering berhasil di tingkat permukaan masalahnya saja,” kata
Betty Setianingsih, saat mempertahankan disertasinya yang berjudul “Kebijakan
Pemberantasan Illegal Logging untuk Perlindungan Sumberdaya Hutan di
Indonesia,” di Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/10).
Betty, yang berpangkat AKBP itu, menerangkan, praktik pembalakan liar
di Indonesia dengan intensitas dampak yang sangat mengkhawatirkan,
dikategorikan sebagai kejahatan terorganisasi, yang melibatkan jaringan yang
solid, rentang kendali yang luas, mapan, menggunakan pola kerja yang
terorganisasi dan modern, dengan sistem manajemen yang rapi, serta jaringan
pemasaran yang luas di dalam dan luar negeri. “Praktik pembalakan liar
merupakan tindak pidana kehutanan,” katanya.
Akibat maraknya praktik pembalakan liar, katanya, proporsi penebangan
kayu ilegal pada tahun 2000 mencapai 64%, dan meningkat menjadi 83% dari
total pemanenan kayu pada tahun 2001. Pada tahun 2001, kayu yang dihasilkan
dari praktik pembalakan liar diestimasikan mencapai 50 juta m3. Apabila terjadi
laju pemanenan kayu ilegal rata-rata sebesar 20 m3/ha, maka areal yang
mengalami praktik pembalakan setidaknya mencapai 2,5 juta ha pada tahun
tersebut.
Dia menerangkan, luasnya hutan yang rusak akibat praktik pembalakan
liar telah mengkhawatirkan keberadaan hutan. “Bahkan, ada yang memperkirakan

6
dalam dekade mendatang, hutan tropis Indonesia akan musnah, apabila langkah-
langkah pemberantasan praktek pembalakan liar tidak dilakukan dengan sangat
serius,” katanya.
Praktik pembalakan liar, katanya, tergolong kepada kejahatan di bidang
kehutanan (forest crimes), yang berdampak negatif terhadap kelestarian
ekosistem, kehidupan masyarakat, dan pembangunan daerah dan nasional. Dia
melanjutkan, sebenarnya pemberantasan pembalakan liar menjadi prioritas
program nasional yang telah menjadi komitmen pemerintah. Berbagai upaya
dilakukan oleh pemerintah, untuk memberantas pembalakan liar di Indonesia,
termasuk mengeluarkan kebijakan berupa Instruksi Presiden (Inpres) No 4/ 2005
tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Kawasan Hutan dan
Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah aparat penegak
hukum yang berdasarkan Inpres No 4/2005, diperintahkan menindak tegas dan
melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara
ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya.
Disebutkan, kasus pembalakan liar dari 2006 hingga Juli 2008 yang
ditangani Polri cenderung menurun, yaitu pada tahun 2006 berjumlah 4.819 kasus,
tahun 2007 berjumlah 1.790 kasus, dan sampai Juli 2008 berjumlah 454 kasus.
Sementara itu, praktik pembalakan liar melibatkan cukup banyak orang.
Pada 2006, jumlah tersangka yang langsung terlibat praktik pembalakan
mencapai 5.217 orang, tahun 2007 jumlah tersangka 2.096 orang, dan tahun 2008
(sampai bulan Juli) sebanyak 579 tersangka. Jumlah tersangka umumnya adalah
pelaku yang langsung di lapangan.
Banyak kasus pembalakan liar di Indonesia yang dituntut, pada akhirnya divonis
bebas murni di pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum
pembalakan belum didukung sepenuhnya oleh semua elemen criminal justice
systems, sehingga dampak jera (deterrent effect) terhadap pelaku dan jaringannya
tidak terjadi.

B. Masalah pembalakan liar


Masalah pembalakan liar (ilegal logging) dari tahun ke tahun nampaknya

7
tak pernah berkesudahan, tak terkecuali di wilayah Provinsi Gorontalo. Berbagai
upaya yang dilakukan pemerintah daerah bersama pihak terkait baik kepolisian,
TNI maupun Kejaksaan tak memberikan efek jerah terhadap para pelaku
pembalakan liar. Akibatnya tingkat kerusakan hutan sangat signifikan, disana
sini diwilayah Provinsi Gorontalo banyak hutan gundul dan lahan kritis ditemui,
yang merupakan penyebab terjadinya bencana alam, banjir dan tanah llongsor.
Guna meminimalisir tingkat kerusakan hutan dan illegal logging di
wilayah Provinsi Gorontalo, kemarin di ruang Huyula Kantor Gubernur dilakukan
pertemuan yang membahas mengenai kedua hal tersebut yang akhir-akhir ini
makin marak saja terjadi.
Pertemuan yang melibatkan unsur seperti Dinas Kehutanan, pihak
kepolisian, TNI (Kodim 1304), Kejaksaan dan LSM Japesda dipimpin langsung
Sekertaris DaerahGubernur Provinsi Gorontalo Drs H Idris Rahim MM.
Pada kesempatan itu Sekprov mengatakan bahwa hutan kita ini sudah
semakin kritis kondisinya, akibatnya berbagai bencana sering terjadi dan yang
menjadi korban adalah masyarakat, sehingga ini diperlukan upaya kongrit untuk
menanggulanginya dengan melibatkan pihak terkait (tim terpadu).
Namun terkadang dalam pelaksanaannya dilapangan banyak kendala yang
dihadapi disamping kurangnya koordinasi diantara tim terpadu, juga akibat terlalu
banyaknya aturan yang terkesan tumpang tindih, disatu sisi aturan untuk
menyediakan 5 persen untuk kebutuhan local tidak dijalankan oleh para pemilik
HPH. “Ini perlu dicarikan solusi dan mekanisme yang tepat untuk
menanggulanginya, disamping komitmen dari semua pihak termasuk masyarakat,”
ungkapnya.
Pada pertemuan itu menghasilkan berbagai kesimpulan diantaranya, semua
instansi haru komitmen dan intens memberantas illegal logging, kewajiban dari
pengusaha HPH untuk memenuhi kebutuhan local sebanyak 5 % harus
dimaksimalkan, perlunya pemetaan wilayah-wilayah kawasan hutan sesuai
peruntukannya, mana yang bisa dilakukan penebangan mana yang tidak untuk
meudian disosialisasikan.
Dalam rangka pelaksanaan operasi harus terpadu, tidak jalan sendiri-
sendiri sesuai kewenangannya, demikian juga dengan waktu operasi agar tidak

8
diketahui dulu oleh khalayak. Demikian juga dengan proses penyitaan harus
sesuai prosedur.
Hal penting lainnya yakni soal penertiban izin yang dikeluarkan dinas
kehutanan diminta agar dapat dikendalikan, karena dapat mempersulit dalam
pemberantasannya. Menyangkut proses lelang hasil sitaan diminta untuk melalui
proses pra kualifikasi dengan berkoordinasi dengan pihak terkait seperti pihak
kepolisian dan kejaksaan.
Sementara di tempat terpisah usai pertemuan nampak ratusan warga dari
wilayah Kabupaten Gorontalo Utara melakukan aksi demo di depan kantor
Gubernur. Mereka menuntut transparansi dari dinas terkait mengenai proses
penyitaan kayu milik masyarakat yang dilakukan sejak beberapa bukan terakhir,
sebab belakangan diketahui ada indikasi kayu sitaan itu oleh oknum-oknum
tertentu kemudian dijual kepada orang lain tanpa melalui proses lelang.
Oleh karena itu mereka juga menuntut oknum yang terlibat diproses sesuai hukum
yang berlaku. Ratusan pendemo yang dikawal puluhan aparat kepolisian itu
diterima Gubernur Gorontalo Ir H Fadel Muhammad
PEMERINTAH pernah mengklaim, sampai dengan 2005, memiliki
kawasan hutan 126,8 juta hektare dengan berbagai pembagian fungsi. Yaitu,
fungsi konservasi (23,2 juta hektare), kawasan lindung (32,4 juta hektare), hutan
produksi terbatas (21,6 juta hektare), hutan produksi (35,6 juta hektare), dan hutan
produksi konversi (14,0 juta hektare).
Namun, beberapa waktu lalu, organisasi lingkungan dunia Green Peace
menyebutkan, 72 % hutan Indonesia musnah. Kemudian, setengah wilayah hutan
yang masih ada dalam kondisi terancam karena penebangan komersial, kebakaran
hutan, dan pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Karena tingkat kerusakan
yang begitu tinggi, Green Peace pernah mengusulkan penghargaan rekor dunia
sebagai negara penghancur hutan tercepat.
Sementara itu, Departemen Kehutanan memperkirakan jumlah lahan hutan
di seluruh Indonesia yang rusak akibat penjarahan mencapai 2,8 juta hektare per
tahun. Hingga kini sudah mencapai 60 juta hektare. Kerugian yang diderita negara
pun tidak sedikit, mencapai Rp 40 triliun-50 triliun per tahun.

9
C. Kehancuran Hutan
Kehancuran hutan atau deforestasi yang terjadi di Indonesia, menurut
Green Peace, disebabkan tiga hal utama. Yakni, illegal logging, legal logging, dan
kebakaran hutan. “Selain pembalakan liar, hancurnya hutan disebabkan
penebangan yang mendapat izin pemerintah melalui HPH (Hak Pengelolaan
Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri),” ujar Hapsoro, juru kampanye hutan
Green Peace Indonesia.
Perang terhadap praktik-praktik pembalakan liar sebenarnya telah
digaungkan pemerintah. Pendukungnya adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan serta Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2005
tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan
Pemberdayaannya di Seluruh Wilayah RI. Namun, praktik-praktik ilegal tersebut
ternyata masih terjadi.
Modus yang digunakan kian beragam. Menurut Direktur Eksekutif
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Rhino Subagjo, modus
pembalakan liar senantiasa berkembang. “Praktiknya selalu menyesuaikan diri,
bahkan cenderung makin sistematis,” ujar Rhino.
Saat ini, lanjutnya, setidaknya terdapat tiga modus yang tengah
berkembang. Pertama, menggunakan surat izin yang tidak sesuai dengan isi yang
tertera dalam surat izin. “Misalnya, izin HTI (Hutan Tanaman Industri) yang
seharusnya hanya untuk semak belukar, namun digunakan di hutan lindung,”
jelasnya.
Kedua adalah sistem lelang. Dengan cara tersebut, oknum-oknum
pembalak liar berusaha melegalkan kayu-kayu yang sebenarnya ilegal. Sedangkan
ketiga, memanfaatkan masyarakat untuk melakukan pembakaran hutan.
Dalam kegiatan tersebut yang diawali dengan menelusuri jalan eks PT
Gema Sanubari pada KM 12 hingga KM 20 pada koordinat 03o39' 03,7" LS,
126o26'59,8" BT sampai dengan 03o36'50,9" LS, 126o26'59,6" BT.
Dari kegiatan monitoring tersebut didapati sepuluh temuan yang memperkuat
adanya pembalakan liar. Pengangkutan pertama sebanyak 1.004 batang kayu bulat
kelompok meranti dengan total volume 6.213,34 meter kubik dan untuk
pengangkutan kedua kalinya juga dari kayu bulat dari kelompok meranti dengan

10
sebanyak 1.345 batang dengan total volume 6.344 meter kubik.
Dengan demikian diperkirakan masih ada kayu yang masih tertinggal sebanyak
5.693 meter kubik yang belum sempat diangkut. Dengan adanya pembalakan liar
ini, PT GHL meminta kepada Kepala Dishut Maluku untuk dapat membentuk tim
terpadu guna melakukan investigasi terhadap kegiatan penebangan liar dimaksud.
Kedua, mohon agar kegiatan penebangan liar di areal kami tersebut dapat
segera dihentikan guna mengamankan asset serta mencegah terjadinya konflik di
lapangan. Ketiga, terhadap kayu-kayu hasil penebangan liar dimohon untuk tidak
dipindahkan dari tempat semula sehingga dapat dijadikan barang bukti. Keempat,
tidak memberikan pelayanan penerbitan dokumen penatausahaan hasil hutan
terhadap kayu-kayu tersebut diatas. Kelima, terhadap pelaku penebangan liar
mohon untuk dapat dipro¬ses sesuai dengan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku.
Dengan semakin banyaknya pembalak-pembalak liar yang tidak
bertanggung jawab…karena dengan pembalakan liar ini hutan di indonesia
semakin menipis. Dengan semakin menipisnya hutan di indonesia ini
kesetimbangan ekosistem alam jadi terganggu, sehingga mahluk hidup tidak bisa
lagi hidup dengan seperti biasanya.
Selain itu pemanasan globalpun semakin terus meningkat dengan terus
menerusnya pembalakan-pembalakan
Di negriku indonesia ini sudah marak-maraknya pembalakan liar hutan di
indonesia ini ……..yang sangat meresahkan seluruh dunia, yang paling utama
adalah masyarakat indonesia yang sangat resah akibat adanya pembalakan
liar…..!!
Dengan semakin banyaknya pembalak-pembalak liar yang tidak bertanggung
jawab…karena dengan pembalakan liar ini hutan di indonesia semakin menipis.
Dengan semakin menipisnya hutan di indonesia ini kesetimbangan ekosistem
alam jadi terganggu, sehingga mahluk hidup tidak bisa lagi hidup dengan seperti
biasanya.
Selain itu pemanasan globalpun semakin terus meningkat dengan terus
menerusnya pembalakan-pembalakan, sudak bisa di bilang dunia ini sudah
terkena dampaknya paling besar dari pembalakan liar oleh orang-orang yang tidak

11
bertanggung jawab yang banyak merugikan mahluk hidup yang ada di bumi ini.
Kegiatan penebangan hutan terutama untuk kebutuhan domestik, tentulah kegiatan
yang sungguh sangat tua, mungkin sudah setua peradaban umat manusia.
Pernyataan demikian tentulah tidak dapat dipungkiri, sehingga tidak diperlukan
pembuktian-pembuktian. Tetapi penebangan komersil, itulah yang perlu disigi.
Untuk menyingkat dan menyederhanakan, marilah kita lihat sejarah eksploitasi
hutan Jawa.
San Afri Awang menuliskan, bahwa pada zaman kolonial Belanda,
sumberdaya hutan (SDH) di Jawa sudah memasuki eksploitasi tahap kedua,
karena eksploitasi tahap pertama sesungguhnya telah dimulai sejak jaman raja-
raja. Pada zaman Kolonial, pelaku eksploitasi SDH adalah VOC dan pengusaha
etnis Cina. Penebangan hutan pada masa itu diutamakan untuk memenuhi
kebutuhan kayu jati guna pembuatan kapal-kapal kayu yang industri
perkapalannya berada di Pantai Utara Jawa dan industri perkapalan yang ada di
Rotterdam dan Amsterdam. Hutan di Jawa sudah sejak 1200 dieksploitasi dan
semakin meningkat usaha eksploitasi tersebut di masa VOC. Akibat dari
eksploitasi tersebut maka secara perlahan-lahan tetapi pasti SDH di Jawa
mengalami kerusakan, sejalan dengan bangkrutnya VOC akibat korupsi para
pegawainya. Pemerintah Belanda sangat khawatir dengan kerusakan hutan jati di
Jawa karena industri perkapalan di Rotterdam dan Amsterdam, akan bangkrut
juga. Oleh karena itu ratu Belanda memerintahkan Gubernur Jendral Herman
William Daendles pada tahun 1808-1811 untuk membangun hutan jati yang rusak
di Jawa .
Dari pemaparan diatas, jelas terlihat sesungguhnya kerusakan hutan jati di
Jawa sebenarnya bukanlah hal yang baru, tetapi sudah terjadi sejak raja-raja
feodal menguasi daratan Jawa dan mencapai puncaknya pada masa VOC.
Menariknya, keinginan pemerintah Kolonial Belanda sebagai pengganti VOC
untuk merehabilitasi hutan jati di Jawa bukanlah atas dasar niat untuk
menyelamatkan hutan atau untuk menjaga jangan terjadi bencana, tetapi latar
belakang utama adalah untuk menjaga pasokan bahan baku untuk industri
perkapalan mereka.
Sejak itulah eksploitasi SDH terus berlangsung sampai hari ini. Lalu

12
bagaimanakah kondisi hutan Indonesia sebenarnya ?. Secara sederhana, Hariadi
Kartodihardjo menyampaikan, berdasarkan data Departemen Kehutanan, Januari
2005, hutan Indonesia telah terdegradasi seluas 59, 7 juta hektar dan lahan kritis
mencapai 42, 1 juta hektar. Di huitan produksi, sekitar 21,1 juta hektar saat ini
tidak ada pengelolanya, karena telah bangkrut dengan meninggalkan hutan yang
rusak. Berbanding lurus dengan situasi itu, menurut Kementrian Lingkungan
Hidup 2003, Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26
propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13
propinsi. Dalam tahun yang sama tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di
11 propinsi dan 36 kabupaten. Dalam periode itu juga, 19 propinsi lahan
sawahnya terendam banjir, 263.071 hektar sawah terendam dan gagal panen, serta
66.838 hektar sawah puso .
Lalu bagaimana dengan hutan Jawa sendiri, menurut Forest Watch
Indonesia (FWI), Luas hutan Jawa keseluruhan, menurut perkiraan GFW, pada
tahun 1997 seluas 1,9 juta hektare. Luasan ini berada di bawah angka luasan hutan
di Maluku (5,8 juta ha), Sulawesi (hampir 8 juta ha), dan jauh di bawah Papua
dengan luasan 33 juta hektare lebih. Lebih jauh lagi, persentase hutan di Pulau
Jawa sangat rendah, yaitu hanya 14 % dari total luas daratannya. Sementara di
pulau besar lainnya masih terdapat 35-81 % hutan. Dari angka ini terlihat bahwa
jika hutan di pulau lain masuk dalam kategori ‘rusak parah’, maka hutan Jawa
masuk dalam kategori ‘telanjur dibiarkan rusak parah terlalu lama’. Dalam situasi
demikian, Jawa merupakan pulau terpadat penduduknya, tepatnya, penduduk Jawa
pada tahun 1999 adalah 116.324.536 jiwa. Luas pulau Jawa adalah 131.412 km2.
Kepadatan penduduk Jawa adalah 887 jiwa/km2. Ada 6.381 desa di Jawa yang
bertampalan dengan hutan atau berada di tengah hutan sepenuhnya. Jumlah desa
hutan ini adalah seperempat jumlah desa di Jawa .

Dari data Departemen Kehutanan (2002) diketahui bahwa hutan rusak dan
lahan kritis-yang berada di Daerah Aliran Sungai kritis di P Jawa-seluas 3.2 juta
ha. Sekitar 0,6 juta ha terjadi di dalam kawasan hutan negara, atau 22 persen dari
seluruh kawasan hutan negara, dan sisanya seluas 2,6 juta ha terjadi di luar
kawasan hutan negara, atau 26 persen dari seluruh kawasan selain kawasan hutan

13
negara. Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa masalah lingkungan yang
berkaitan dengan hutan, seperti kerusakan habitat satwa liar, kepunahan spesies,
tata air, banjir, dan lain-lain di Jawa memang sudah sangat memprihatinkan.
Dimana pengelolaan hutan di Jawa saat ini tergantung pada PT. Perhutani untuk
kawasan hutan produksi dan sebagian hutan lindung, pemerintah daerah (pemda)
untuk kawasan lindung dan hutan hak (milik masyarakat), maupun Departemen
Kehutanan untuk kawasan konservasi .
Dari semua cerita sedih tersebut, lahir berbagai analisi yang mencoba
mencarikan penyebab kerusakan hutan yang sangat parah. Salah satu analisa
tersebut menyebutkan kontributor utama kerusakan hutan di Indonesia adalah
aktifitas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang mulai beroperasi sejak tahun 1970-
an. Paling tidak hingga tahun 2001 pemerintah telah mengeluarkan izin HPH
sebanyak 355 dengan luas total 38.025.891 hektar. Sebagian besar dari HPH itu
bermasalah, karena merusak hutan dan menyingkirkan penduduk lokal dari
kawasan hutan. Selain HPH, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan
perkebunan besar terutama kelapa sawit juga merupakan penyebab kerusakan
hutan yang cukup signifikan. Hingga tahun 2000, pemerintah telah mengeluarkan
izin HTI sebanyak 175 dengan luas total 7.861.251 hektar. Diperkirakan hanya 2
juta ha lahan yaang telah ditanami, sedangkan sisanya menjadi lahan terbuka yang
terlantar dan tidak produktif. Kesenjangan antara permintaan dan pasokan kayu
legal mencapai 35-40 juta meter kubik per tahun. Kesenjangan tersebut dipenuhi
dari Pembalakan haram (Ilegal logging). Industri pengolahan kayu yang
bergantung terhadap kayu yang ditebang secara illegal mencapai 65% dari
pasokan total ditahun 2000.10 Data World Bank menyebutkan hingga tahun 1990
volume kerusakan hutan akibat pembalakan haram telah mencapai 80.000 hektar .
Sementara itu penebangan liar dan perdagangan produk hasil hutan ilegal
merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di negara-negara
berkembang, dan menambah kemiskinan masyarakat pedesaan yang hidupnya
tergantung kepada hasil hutan. Kerugian akibat hilangnya pendapatan negara
berkembang diperkirakan antara Euro 10 – 15 milyard per tahun .
Makalah singkat ini akan memaparkan tentang kebijakan Illegal Logging dalam
konteks kebijakan dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya, terutama

14
situasi yang dihadapi oleh petani tepi hutan Jawa. Makalah ini adalah tulisan awal
tentang situasi-situsi petani Jawa, khususnya yang hidup dalam kawasan hutan
maupun disekitar kawasan hutan.
Illegal Logging dalam Aturan dan Situasi Lapangan
Berdasarkan kenyataan-kenyataan diatas, wacana Illegal Logging menjadi sebuah
agenda penting dalam berbagai pertemuan kehutanan baik di daerah setingkat
desa sampai pada panggung Internasional. Pada masa-masa awal reformasi,
pembicaraan mengenai Illegal Logging ini menjadi hangat karena secara kasat
mata eskalasi perusakan hutan secara masif akibat pengaruh booming perubahan
politik. Selanjutnya, mari kita lihat selintas bagaimana peraturan perundangan
hukum positif nasional mengatur.
1.Pengaturan Illegal Logging
Sampai sejauh ini, tidak ada satupun peraturan perundangan memberikan
pengertian (definisi) resmi terhadap Illegal logging, padahal pengertian sehingga
menjadi sangat penting untuk memberikan batasan terhadap tindakan-tindakan
apa yang termasuk kedalam lingkup Illegal logging. Disinilah salah titik masuk
yang menyebabkan operasi pemberantasan Illegal logging cendrung mengenai
masyarakat.

Dalam pendekatan kata-kata, Illegal logging terdiri dari kata Illegal dan
Logging. Arti kata Illegaal/onwettig (belanda) adalah tidak syah, tidak menurut
undang-undang, gelap, melanggar hokum . Sedangkan onwettig berarti tidak syah,
haram, melanggar undang-undang, bertentangan dengan undang-undang .
Sementara itu arti kata Logging adalah kegiatan untuk menebang kayu. Maka
dalam pendekatan sederhana kita dapat mengartikan Illegal logging sebagai
penebangan kayu yang melanggar peraturan perundangan. Sebagian kelompok
menyebut Illegal logging dengan kata pembalakan liar, penebangan liar atau
penebangan tanpa izin.
Untuk peristilahan, setidaknya ada dua peraturan perundangan yang
menyebut Illegal logging sebagai penebangan kayu Ilegal yaitu Inpres Nomor 5
tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) Dan
peredaran hasil hutan illegal di kawasan ekosistem Leuser dan taman nasional

15
tanjung puting dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh
Wilayah Republik Indonesia. Untuk memudahkan, dalam makalah ini akan
digunakan istilah penebangan kayu illegal (PKI).
Sebagai disampaikan diatas, aturan tentang Illegal logging tidak terdapat
pada satu aturan perundangan saja. Dalam proses penelusuran ditemukan sekitar
150 peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan undang-undang
terkait yang mengatur mengenai illegal logging,diantaranya ; 1) UU No. 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, 2) UU
No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan, 3) UU No. 23
Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, 4) UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, 5) PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, 6) PP No. 13
Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru, 7) PP No. 68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, 8) PP No. 7 Tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan 9) PP No. 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar .
Dengan menggunakan pendekatan fungsi hutan berdasarkan UU 41 Tahun 1999
Tentang kehutanan (UUK), dimana hutan dikelompokkan dalam tiga fungsi yaitu
fungsi konserfasi, fungsi lindung dan fungsi produksi . Termasuk kedalam fungsi
konserfasi, terdapat hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru .
Maka aturan tentang PKI itu tersebar pada aturan kehutanan dalam lingkup
konserfasi, lindung dan produksi.
Tetapi sebelum masuk lebih jauh, ada baiknya kita lihat terlebih dulu aturan yang
terdapat pada Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan
Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah
Republik Indonesia, karena inilah aturan pertama yang menyebut istilah PKI
dengan lingkup berlaku, seluruh Indonesia.
Inpres ini menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan
percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan
peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan
terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:
a.Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal

16
dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang
b.Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui
atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara
tidak sah.
Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak
dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu.
d.Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga
akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin
pejabat yang berwenang
.Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau
membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang
dewasa ini pada aturan kehutanan setingkat undang-undang, setidaknya terdapat
tiga undang-undang yang krusial merumuskan perbuatan-perbuatan PKI yaitu UU
No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (UUK), UU No. 23 Tahun 1997 Tentang
Lingkungan Hidup dan UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konserfasi Sumberdaya
Alam dan Ekosistemnya. Dalam ketiga UU ini diatur beberapa kegiatan yang
termasuk kedalam TKI.
2.Sekelumit Pertarungan Analisa Normatif dan Sosiologis Illegal Logging

Sebelum kita memaparkan sekelumit Pertarungan Analisa Normatif dan


Sosiologis Illegal Logging, marilah kita lihat bagan dibawah ini.
Bagan sederhana ini menggambarkan konstruksi logika aturan logging di
Indonesia. Pada prinsipnya setiap penebangan kayu baik oleh swasta ataupun oleh
masyarakat haruslah berdasarkan ijin yang diberikan oleh aparat yang berwenang,
yang akan memberikan hak penebangan. Penebangan yang dilakukan tanpa
adanya ijin akan menghasilkan kayu (log) yang ilegal dan pelakunya dapat
dihukum pidana dan denda.
Tetapi setelah memperoleh hak menebang dari aparat yang berwenang,
sipenerima ijin tidaklah dapat sesuka hatinya untuk menebang, mengangkut dan
memasarkan kayu-kayu yang ada dalam areal ijinnya. Selanjutnya bagaimana
menebang, mengangkut dan memasarkan kayu tersebut diataur dalam aturan tata

17
niaga kayu. Mengenai tata niaga kayu ini diataur dalam Keputusan Menteri
Kehutanan No 126/Kpts-Ii/2003 Tentang Penatausahaan Hasil Hutan untuk kayu-
kayu yang berasal dari wilayah diluar wilayah kelola Perum Perhutani dan
Keputusan Menteri Kehutanan No: 127/Kpts-Ii/2003 Tentang Penatausahaan
Hasil Hutan Yang Berasal Dari Wilayah Kerja Perhutani Untuk Provinsi Di
Wilayah Jawa.
Kayu yang dihasilkan tanpa mengikuti ketentuan tata niaga kayu akan
berstatus kayu Ilegal sama dengan kayu yang dihasilkan dalam penebangan tanpa
ijin. Namun demikian, kegiatan penebangan yang dilakukan tanpa mengikuti
aturan tata niaga kayu nyaris luput dari penindakan seperti pada tindak pidana
PKI. Akibatnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan perusahaan-
perusahaan yang mendapat hak menebang hampir-hampir luput dari perhatian.
Titik tekan pemberantasan PKI hanyalah pada tindakan-tindakan orang-orang
yang menebang kayu tanpa ijin.
Lebih parahnya, karena ruang lingkup PKI tersimplifikasi pada perbuatan-
perbuatan pada box diatas, yang banyak terkena tindakan adalah pelaku-pelaku
kecil seperti buruh penebang, pengangkut kayu, supir truk dan masyarakat yang
tinggal dalam kawasan hutan atau yang tinggal berbatasan langsung dengan
kawasan hutan. Sementara cukong-cukong yang mendanai kegiatan PKI dan
aparat-aparat yang ikut terlibat nyaris tidak terkena sanksi pidana karena secara
materil, keterlibatannya tidak dapat dibuktikan di pengadilan.
Meskipun akses masyarakat atas sumberdaya hutan dijamin dalam pasal 33 UUD
1945 dan Pasal 68 UUK, namun dalam PP 34 Tahun 2002 dinyatakan
pemanfaatan hasil hutan non kayu oleh masyarakat harus seijin Bupati dan
pemanfaatan hasil hutan kayu harus seijin Menteri. Dalam situasi masyarakat saat
ini, dimana rata-rata masyarakat tepi hutan dan dalam kawasan hutan hidup dalam
kemiskinan, amatlah sulit memenuhi ketentuan tersebut. Akibatnya, dalam
pemenuhan kebutuhan domestik, mereka ini terancam dengan aturan PKI. Karena
itu, teranglah bagi kita, bahwa orientasi pemanfaatan sumberdaya hutan itu adalah
padat modal, skala besar, padat teknologi sehingga jauh dari jangkauan
kemampuan masyarakat.
Melihat situasi demikian, ada upaya untuk mempertanyakan tentang

18
legalitas/keabsahan kayu tersebut, karena ketentuan perundangan yang ada tidak
memadai dan cendrung berlaku tajam pada masyarakat kecil. Saat ini sedang
disusun standar legalitas kayu terutama bagi perusahaan-perusahaan perkayuan
besar. Devinisi sementara bagi kayu legal adalah; “ Kayu disebut sah jika
kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan,
administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau
pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang
berlaku. Penyusunan pengertian kayu legal ini berada dalam lingkup kegiatan
FLEGT.
Luasan definisi/pengertian demikian juga dapat kita lihat pada catatan dan
analisa Natural Resources Management (NRM)–Program dari USAID yang
memfokuskan pada kebutuhan bahan baku dan produksi kayu untuk pabrik
penggergajian kayu dan pabrik kayu lapis di Indonesia. Dalam satu

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
kesimpulannya menyebutkan setiap pembahasan mengenai kelebihan kapasitas
industri dan keterkaitannya dengan pembalakan ilegal harus mengakui bahwa
"pembalakan ilegal" terjadi dalam berbagai bentuk dan bukan hanya sekedar

19
penebangan pohon di hutan. Beberapa contoh dapat ditemukan dalam sistem HPH
dan sistem HTI. HPH yang terkait dengan Fasilitas Pengolahan Kayu

• Pemanenan kayu lebih dari Jatah Tebangan Tahunan,


• Pemanenan kayu di kawasan-kawasan Hutan Lindung (lereng yang curam dan
bantaran sungai),
• Volume panenan yang dilaporkan lebih kecil sehingga pajak yang dibayar
juga lebih sedikit,
• Mengabaikan panduan tebang pilih,
• Pemanenan di luar batas HPH, dan
• Pemalsuan dokumen-dokumen transportasi kayu.

B. Saran
Akan tetapi, faktor lain yang sangat berpengaruh dalam melakukan penegakan
hukum terhadap PKI, yaitu konflik tenurial hutan (penguasaan hutan). Konflik
tenurial disebabkan oleh salah satunya adalah ketidak pastian kawasan hutan
sehingga perbuatan masyarakat menebang kayu dalam wilayah adatnya dapat
dikenai pidana PKI.
3.Illegal Logging di Jawa
Jauh dipedalam Kalimantan Barat, penulis bertemu dengan satu orang
penduduk asli setempat ketika dengan takjub memandang hutan tropis yang
dengan sangat cepat telah berubah menjadi bentangan palm-palm raksasa (Sawit).
Diketertegunan saya bertanya, siapakah yang memiliki kawasan hutan ini ?.

DAFTAR PUSTAKA

Ewusie, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Membicarakan pembalakan


liar illegal logging. Penerbit ITB, Bandung.
Kusmana C. dan Istomo, 1995. Ekologi Hutan. Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.

20
www.id.wikipedia.org./wiki/berkas/kerusakan_hutan. Kerusakan Hutan
Mempengaruhi Lingkungan pembalakan hutan illegal longging. diakses
Pebruari 2008.

21

You might also like