You are on page 1of 6

Gus Dur Diantara Pluralisme dan Pluralitas

Ibn Ghifarie
| 15 Januari 2010 | 10:40

“Kami tidak sependapat jika Gus Dur disebut


sebagai Bapak Pluralisme, seperti diungkapkan Presiden di Jombang beberapa waktu lalu
karena dapat menimbulkan konflik agama,” kata Ketua MUI Jatim K.H. Abdusshomad
Buchori di Surabaya, Rabu (13/1).

Ia menilai, pluralisme adalah faham pencampuradukan beberapa ajaran agama sehingga


sangat berbahaya terhadap kehidupan beragama di Indonesia.

“Ada dua hal yang membahayakan hubungan umat beragama di Indonesia, yakni
radikalisme agama dan pluralisme agama,” katanya dalam sidang Badan Pembina
Pahlawan Daerah Jatim untuk membahas pengusulan Gus Dur sebagai pahlawan
nasional.

Shomad menyatakan, sejak Gus Dur disebut sebagai Bapak Pluralisme, MUI Jatim
kebanjiran surat protes dari berbagai kalangan.

“Yang benar adalah pluralitas, bukan pluralisme. Pluralitas adalah upaya untuk
mensejajarkan beberapa agama. Ini harus dicermati agar tidak memicu konflik karena
adanya pelanggaran akidah,” katanya mengingatkan. (hidayatullah/alhikmahonline)

Penafsiran
Memang keberatan MUI mengakui Gus Dur sebagai “Bapak Pluralisme” bukan barang
baru. Pasalnya, MUI perhan mengaluarkan surat Keputusan Fatwa Majelis Ulama
Indoneisa Nomor:7/MUNAS VII/MUI/II/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme dan
Sekularisme Agama
Konon, kemunculan fatwa dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang melarang
pluralisme sebagai respons atas pemahaman yang tidak semestinya.

MUI menggunakan sebutan pluralisme agama (sebagai obyek persoalan yang ditanggapi)
dalam arti “Suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan
karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama
tidak boleh mengkalim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang
lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan
hidup dan berdampingan di surga”. (Adian Husaini, 2005;2-3)

Adian Husaini menilai pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI itu, justru tidak jauh
berbeda dengan pemahaman para tokoh pluralis, sebagaimana dirangkum oleh Adian
Husaini berikut ini; Ulil Abshar Abdalla: Semua agama sama. Semuanya menuju jalan
kebenaran. Jadi Islam bukan yang paling benar; Budhy Munawar Rahman: Karenanya,
yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, yakni
pandangan bahwa siapapun yang beriman–tanpa harus melihat agamanya apa- adalah
sama di hadapan Allah; Abdul Munir Mulkhan: Jika semua agama memang benar sendiri,
penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar.
Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap agama memasuki kamar surganya; Nurcholish
Madjid: Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam
dialog antaragama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan
bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang
sama; Alwi Shihab: Prinsip lain yang digariskan oleh Al-Qur’an, adalah pengakuan
eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan dengan
begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi prinsip ini memperkokoh ide
mengenai pluralisme keagamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain,
eksklusivisme keagamaan tidak sesuai dengan semangat Al-Qur’an. Sebab Al-Qur’an
tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya; Sukidi: Dan
konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama.
Nietzsche menegasikan adanya ”Kebenaran Tunggal” dan justru bersikap afirmatif
terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan
bahwa semua agama –entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster,
maupun lainnya- adalah benar. Dan konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada
semua agama; Sumanto Al-Qurtuby: Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan
kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya
yang Mahaluas, disana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain; Jesus,
Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nuwas, Romo Mangun, Bunda Teresa,
Udin, Baharudin Lopa, dan Munir! (Adian Husaini, 2005; 38-40)

Anis Malik Thoha, dalam makalah “Menengarai Implikasi Faham Pluralisme Agama”
menjelaskan bahwa Professor John Hick, seorang teolog dan filosof Kristen
Kontemporer, memberikan definisi pluralisme agama sebagai berikut:
Pluralism is the view that the great world faiths embody different perceptions and
conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from
within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the
transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is
manifestly taking place ¬ and taking place, so far as human observation can tell, to much
the same extent (John Hick dalam Problems of Religious Pluralism).
Pluralisme, menurut John Hick, adalah pandangan bahwa agama-agama besar memiliki
persepsi dan konsepsi tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragam
terhadap Sang Wujud atau Sang Paripurna dari dalam pranata kultural manusia yang
bervariasi; dan bahwa transformasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju
pemusatan-Hakikat terjadi secara nyata hingga pada batas yang sama.

Dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, Dr. Anis Malik Thoha menuliskan, dengan kata
lain Hick ingin menegaskan bahwa semua agama sejatinya merupakan tampilan-tampilan
dari realitas yang satu. Semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama
validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-
bentuk respons manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas transenden yang satu dan
sama, dan dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the
Real.” Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tak ada satu pun agama
yang berhak mengklaim diri “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya
kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan).

Franz Magnis Suseno menuturkan pluralisme: suatu implikasi dari sikap toleran:
kesediaan untuk menerima dengan baik kenyataan pluralitas agama-agama, artinya
kenyataan bahwa dalam satu masyarakat dan negara hidup orang dan kelompok orang
dengan keyakinan agama yang berbeda. Pluralisme sama sekali tidak menuntut agar
semua–keyakinan itu dianggap benar. Pluralisme tidak bicara tentang kebenaran.
Melainkan pluralisme itu sikap keterbukaan.

Yasraf Amir Piliang bekometar pluralisme adalah kecenderungan atau pandangan yang
menghargai kemajemukan (pluralitas), serta penghormatan terhadap sang lain (the others)
yang berbeda-beda dan beraneka warna, yang membuka diri terhadap keyakinan-
keyakinan berbeda tersebut, serta yang melibatkan diri secara aktif di dalam sebuah
proses dialog di dalamnya, dalam rangka mencari persamaan-persamaan (common belief)
sambil tetap menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.

Bagi Syafii Anwar, Direktur Eksekutif International Center for Islam and Pluralism
(ICIP) menulis: ”Karenanya, saya berpendapat bahwa pluralisme agama bukan
sinkretisme agama yang punya tendensi ke arah relativisme yang mengarah pada
penyamaan dan pembenaran semua agama.” Juga dikatakannya, “Mereka yang concern
dengan pluralisme yang benar tidak pernah merelatifkan ajaran agama masing-masing.
Mereka tentu mempercayai kebenaran agamanya sendiri.” (Majalah AL-
WASATHIYYAH Edisi No 11/2008)

Karen Armstrong menilai pluralisme bisa menjadi jawaban atas agama di abad ke-21.
Pluralisme mengimplikasikan pembentukan iman secara kuat pada seseorang sementara
pada saat yang sama mempelajari dan menghargai jalan orang yang memiliki keyakinan
lain, dan memahami bagaimana mereka ingin dipahami. (Nadi, vol. 03, th. 2007)
Menurut Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kali Jaga berpendapat Pluralisme agama
adalah kenyataan otentik kehidupan dan tiap orang selalu munyikapi kenyataan ini
menurut pandanganya sendiri-sendiri, sesuai dengan konfogurasi budaya, agama dan
tradisi yang melatarbelakanginya. Di indonesia, keanekaragaman (pluralitas) agama,
termasuk keanekaragaman paham keagamaan dalam tubuh internal umat beragama
adalah kenyataan historis yang tidak dapat disangkal siapapun. (Aba Du Wahid,
2004:VIII)

Dimata Bejo. SE, Pluralisme (agama) bisa dipahami dalam minimum tiga kategori.
Pertama, kategori sosial. Dalam pengertian ini, pluralisme agama berarti ”semua agama
berhak untuk ada dan hidup”. Secara sosial, kita harus belajar untuk toleran dan bahkan
menghormati iman atau kepercayaan dari penganut agama lainnya. Kedua, kategori etika
atau moral. Dalam hal ini pluralisme agama berarti bahwa ”semua pandangan moral dari
masing-masing agama bersifat relatif dan sah”. Jika kita menganut pluralisme agama
dalam nuansa etis, kita didorong untuk tidak menghakimi penganut agama lain yang
memiliki pandangan moral berbeda, misalnya terhadap isu pernikahan, aborsi, hukuman
gantung, eutanasia, dll. Ketiga, kategori teologi-filosofi. Secara sederhana berarti
”agama-agama pada hakekatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama
menyelamatkan”. Mungkin kalimat yang lebih umum adalah ”banyak jalan menuju
Roma”. Semua agama menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Selanjutnya, dalam tulisan ini, setiap kali kita menyebut pluralisme agama, yang
dimaksudkan adalah pluralisme agama dalam kategori teologi-filosofi ini.

Pluralis sendiri menurut wikipedia dapat diartikan Suatu kerangka interaksi yg mana
setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, berinteraksi tanpa
konflik atau asimilasi (pembauran/pembiasan).

Jalaluddin Rahmat, Ia ingin memperlihatkan bahwa pluralisme, berdasarkan dasar


teologis Alquran, bukan faham penyamarataan yang menjelaskan semua kelompok
agama benar, atau semua kelompok agama sama. Ada ayat-ayat yang menegaskan
bahawa semua golongan agama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari
akhir, dan beramal saleh (al-Baqarah: 62, al-Maidah: 69, dan al-Hajj: 17). (Jalaludin
Rahmat, 2006;23)

Alwi Shihab pluralisme harus dibedakan dari; Petama, pluralisme tidak semata
menunjuan pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain,
pluralisme agama adalah bahwa tiap pemluk agama dituntut bukan saja mengakui
keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan
persamaan guna tercipanya kerukunan, dalam kebinekaan.

Kedua, plualisme harus dibedakan dengan kosmpolitanisme. Kosmopolitanisme


menunjukan kepada suatu realita di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup
berdampingan di suatu lokasi. Ambil misal kota New York. Kota ini adlah cosmopolitan.
Di kota ini terdapat agama Yahudi, Kristen, muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang
tanpa agama selakipun.
Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan elativisme. Seorang relativis
akan berasumsi hal-hal yang menyangkut kebenaran atau nilai ditentukan oleh pandangan
hidup serta kerangka berfikir seseorang atau masyarakat.

Keempat, pluralisme agama bukanlah singkretis, yakni menciptakan suatu agama baru
dengan memadukan unsure-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa
agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut. (Islam Inklusif;2001:41-
42)

Keharusan
Diakui atau tidak Indonesia merupakan negara majamuk. Saat John Rawls melihat
kemajemukan sebatas fakta, Gus Dur memahaminya sebagai keharusan seperti ditulis
Benyamin F Intan, Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion & Society

Bagi Gus Dur, keberagaman adalah rahmat yang telah digariskan Allah. Menolak
kemajemukan sama halnya mengingkari pemberian Ilahi. Perbedaan merupakan kodrat
manusia. Gus Dur cenderung memandang perbedaan dalam perspektif, meminjam istilah
Wolfgang Huber, ethic of dignity daripada ethic of interest. Ethic of dignity melihat
perbedaan sebagai pemberian. Ethic of interest memandangnya sebatas pilihan.

Ihwal keragaman agama, pluralisme normatif mengharuskan Gus Dur menolak


pluralisme indifferent, paham relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola
pikir yang mengarah pada sinkretisme agama ini tidak menghargai keunikan beragama.
Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas.
Gus Dur menghargai pluralisme nonindifferent yang mengakui dan menghormati
keberagaman agama. Pola pikir ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama,
apalagi meleburkan satu agama dengan agama lainnya.

Karena perbedaan adalah rahmat, Gus Dur optimistis keberagaman akan membawa
kemaslahatan bangsa, bukan memecah bangsa. Ia menegaskan saat diwawancarai untuk
penyusunan disertasi penulis di Boston College, Gus Dur menandaskan perlunya tiga
nilai universal—kebebasan, keadilan, dan musyawarah—untuk menghadirkan pluralisme
sebagai agen pemaslahatan bangsa. (Kompas, 7/1)

Ingat, pemahaman yang didasarkan kesadaran kemajemukan secara sosial-budaya-religi


yang tidak mungkin ditolak inilah yang oleh Cak Nur disebut sebagai pluralisme. Yaitu
sistem nilai yang memandang secara positif-optimis dan menerimanya sebagai pangkal
tolak untk melakukan upaya konstruktif dalam bingkai karya-karya kemanusiaan yang
membawa kebaikan dan kemaslahatan. (Nurcholis Madjid, 1995;52-67 )

Dengan demikian, Pluralisme merupakan kesadaran tentang koeksistensi yang absah dari
sistem keagamaan, pemikiran, kehidupan sosial dan tindakan-tindakan yang dihakimi
tidak kompatibel. Pluralisme keagamaan mengandung pandangan bahwa bentuk-bentuk
yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinan maupun perilaku keagaman,
harus dapat hidup berdampingan. Persoalan pluralisme muncul ketika suatu tradisi
tertentu mendominasi masyarakat, menafikan legitimasi aliran yang lain dan
menganggapnya sebagai fenomena sektarian.

Kiranya, melestarikan sekaligus memperjuangkan kebebasan beragama merupakan


penghargaan terbesar baginya, daripada hanya penganugerahan gelar pahlawan nasional
semata. Pasalnya, Gus Dur berpesan sebelum meninggal ”Saya ingin di kuburan saya ada
tulisan: Di sinilah dikubur seorang pluralis” (Kompas, 3/1).

You might also like