Professional Documents
Culture Documents
Dari sini saja, kita -atau setidaknya saya- merasa pesimistis: apakah
kini masih ada ulama? Ada saatnya ulama dengan pengertian itu
menjadi sinonim dari istilah kiai yang lebih bersifat budaya dalam
masyarakat kita. Bila orang menyebut kiai, segera teringat pengertian
ulama pewaris Nabi itu. Kenapa? Karena, meski dari segi ilmu dan
lain sebagainya, kiai -betapapun hebatnya- tidak bisa mendekati
ulama seperti yang dicontohkan dalam kitab-kitab kuning. Setidaknya
masyarakat masih melihat mereka mewarisi sifat-sifat keteladanan
mulia dan pengayoman yang teduh. Mereka membangun surau dan
pesantren untuk kepentingan masyarakat. Mendarmakan hidupnya
untuk Allah melalui khidmah (pelayanan)-nya kepada ummat. Karena
itu, bahkan tidak hanya kiainya secara pribadi, tapi juga keluarga dan
putra-putranya dihormati. Putranya yang laki-laki diberi julukan
terhormat: (ba)gus, dengan harapan kelak akan menjadi kiai
sebagaimana ayahnya.
Istilah kiai mubalig ini pun agak rancu. Apalagi akhir-akhir ini di
mana-mana muncul mubalig yang tak jarang dengan sendirinya
disebut kiai. Mungkin karena keterbatasan memahami hadis
"Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat," maka meskipun hanya
punya satu ayat-dua ayat, ditambah ghirah ber-amar ma'ruf nahi
munkar, plus modal pintar ngomong jadilah seseorang sebagai
mubalig. Karena sebelumnya ada kiai yang bertablig, maka siapa pun
yang bertablig disebut juga kiai.