You are on page 1of 10

JOURNAL READING

REVIEW ARTICLE : ENDOMETRIOSIS IN ADOLESCENCE

Pembimbing:
Kolonel CKM dr. Tri Joko, Sp.OG

Disusun oleh:
Faraida Jilzani

1410221045

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RST TK.II DR. SOEDJONO MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
2015

LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING

Review Article : Endometriosis in adolescence


Margherita Dessole, Gian Bendetto Melis, and Stefano Angioni
Division of Gynecology and Obstetrics, Department of surgical Science, University of Cagliari, Italy
Hindawi Publishing Corporation, 2012

Disusun oleh :
Faraida Jilzani

1410221045

Makalah Journal Reading ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu
persyaratan mengikuti ujian kepaniteraan klinik di Departemen Obstetri dan Ginekologi
RST Tk.II Dr. Soedjono Magelang.

Magelang, Agustus 2015

Mengetahui,
Pembimbing

Kolonel CKM dr. Tri Joko, Sp.OG

Artikel review

ENDOMETRIOSIS PADA REMAJA


Margherita Dessole, Gian Bendetto Melis, And Stefano Angioni
Divisi Obstetri dan Ginekologi, Departemen Surgical Science, Universitas Cagliari, Via Ospedale,
09124 Cagliari, Italia.
Diterima pada 27 Juli 2012, Direvisi pada 20 September 2012, Disahkan pada 20 September 2012
Editor akademik : Edward V. Younglai

Abstrak
Endometriosis merupakan penyebab tersering nyeri pelvis dan infertilitas. Mayoritas wanita
mengeluhkan gejala sejak usia remaja, jarang terjadi endometriosis sebelum usia menarke.
Gejala endometriosis pada usia remaja mirip dengan gejala pada endometriosis dewasa.
Penatalaksanaan endometriosis biasanya terdiri dari pengobatan pil kontrasepsi oral dan anti
inflamsai non steroid (NSAID). Pada kasus-kasus dimana terapi ini tidak berhasil perlu
dilakukan laparoskopi dan biopsi lesi untuk memastikan kebenaran diagnosis. Munculnya
teknologi terkini dapat juga menjadi pilihan sebagai contoh dengan menggunakan marker
serologis.
1. Pendahuluan
Endometriosis adalah penyakit ginekologi umum yang jinak dan kronik berhubungan dengan
adanya kelenjar endometrial dan stroma pada lokasi yang abnormal [1]. Penyakit ini
kebanyakan berawal pada usia remaja, tetapi sering terdiagnosis setelah beberapa tahun
terjadinya episode dismenore. Saat ini deteksi dini dapat dimungkinkan dengan tersedianya
teknologi pencitraan modern seperti ultrasound dan MRI.
2. Epidemiologi
Endometriosis merupakan penyebab tersering dismenore sekunder pada remaja [2]. Prevalensi
endometriosis pada populasi secara umum diperkirakan antara 0,7% dan 44%. Angka
insidensi endometriosis yang sebenarnya pada remaja sulit untuk dihitung dan diperkirakan
serta bervariasi antara beberapa penelitian yang pernah dilakukan [3]. Goldstein, dkk[4]
menemukan 47% insidensi penyakit ini pada wanita remaja yang dilakukan laparoskopi atas
indikasi nyeri pelvis kronik, sedangkan Laufer, dkk [5] menyebutkan endometriosis ditemukan
saat pembedahan pada 67% remaja dengan keluhan nyeri refrakter terhadap pengobatan

umum seperti agen antiinflamasi nonsteroid (NSAID) atau kontrasepsi oral pil (OCP).
Walaupun sebelumnya dianggap bahwa endometriosis muncul setelah beberapa tahun
mengalami menstruasi, namun penelitian-penelitian menunjukkan bahwa endometriosis dapat
timbul sebelum menarke[6] dan diantara 1-6 bulan[7,8] setelah onset menarke. Menurut asosiasi
endometriosis, 66% wanita dewasa dengan endometriosis melaporkan onset gejala pelvis
timbul sebelum usia 20 tahun. Selain itu diketahui pasien yang mengeluhkan gejala saat
remaja mendatangi rata-rata empat atau lebih dokter sebelum menerima diagnosis yang
benar[3,9].
3. Etiologi
Banyak teori yang telah diajukan untuk menjelaskan patofisiologi endometriosis, dikenal
dengan sebutan disease of theories. Pada 1927, Sampson mengusulkan teori menstruasi
retrograd melalui tuba falopii menyebabkan tertanamnya jaringan endometrial di pelvis. Selsel endometrial ini mengimplantasi diri sendiri pada permukaan peritoneal di abdomen dan
organ serta jaringan pelvis. Dengan siklus menstruasi yang berturut-turut, menghasilkan
proliferasi dan pendarahan, dengan kemungkinan menyebabkan implantasi dan diseminasi
lebih jauh[10]. Teori ini tidak menjelaskan mengenai penyakit pada wanita dengan agenesis
mulleri, aplasia, maupun endometriosis sebelum menarke[4,5,8], dengan atau tanpa anomali
obstruksi. Terakhir dapat dijelaskan dengan teori metaplasia coelomic pada postulat yang
dibuat oleh Meyer pada tahun 1919, yang mengasumsikan bahwa metaplasia epitel coelomic
yang multipotensial merupakan asal mula terjadinya endometriosis, karena sel endometrial
dan peritoneal keduanya berasal dari prekursor embrio yang sama. Adanya faktor stres seperti
inflamasi atau iritasi (dan/atau stimulasi estrogen abnormal) dari refluks jaringan menstruasi,
menyebabkan sel coelomic, yang sebelumnya berdiferensiasi menjadi sel peritoneal,
kemudian bertransformasi menjadi sel endometrial yang berespons menjadi suatu siklus.
Teori ini tidak hanya menjelaskan kemungkinan timbulnya endometriosis di berbagai lokasi
anatomis, tetapi juga membenarkan adanya penyakit tersebut pada wanita tanpa uterus, pada
usia sangat muda sebelum menarke dan bahkan pada pria.
Teori lain yang pantas untuk dipertimbangkan antara lain yang dikemukakan oleh
Halban (1924) yang mengindentifikasi lesi endometrial di luar sel endometrial pelvis yang
telah penetrasi kedalam pembuluh darah dan limfe yang juga bertanggungjawab terhadap
terbentuknya emboli, biasanya terletak ektopik. Teori hormonal milieu mengasumsikan
bahwa penyakit ini bergantung pada hormon steroid di sirkulasi. Terakhir yaitu teori imunitas
yang dikemukakan oleh Weed dan Arquenborg (1980) yang mengaitkan penyakit ini dengan

proses perubahan imun yang mempengaruhi onset terjadinya lesi pada kavum peritoneal
setelah proses menstruasi retrograd yang telah dikemukakan oleh Sampson.
4. Gejala
pada remaja, gejala endometriosis adalah nyeri pelvis kronik (sering asiklik), sementara
gejala pada wanita dewasa adalah nyeri pelvis kronik siklik, dismenore progresif yang
memburuk, dan dispareunia pada kasus-kasus wanita yang aktif secara seksual[11].
Gejala bowel dan bladder juga merupakan gejala yang umum timbul pada remaja [5].
Lokalisasi pada endometrium (endometrioma ovari) jarang terjadi sebelum usia 25 tahun.
Beberapa penulis melaporkan nyeri pelvis kronik asiklik dan nonresponsif terhadap terapi
farmakologis dengan OCP dan NSAID yang terjadi pada remaja sudah cukup
mengindikasikan laparoskopi[12].
5. Diagnosis
Terdapat banyak variasi metode yang dapat dilakukan untuk menilai apakah seorang wanita
mengalami endometriosis, namun salah satu yang terpercaya untuk mengkonfirmasi penyakit
ini adalah dengan inspeksi visual organ abdominal dan biopsi menggunaka metode
laparoskopi. Hal ini menyebabkan kebanyakan wanita dengan nyeri pelvis kronik lebih
memilih terapi empiris sebelum memilih pembedahan. Saat ini dengan adanya teknologi
pencitraan modern seperti ultrasound dan MRI, maka dapat dilakukan pemeriksaan
diagnostik yang non invasif pada kasus endometriosis. Prosedur diagnostik tidak berbeda
pada remaja dan dewasa, namun anamnesis mengenai riwayat penyakit yang mendalam
sangat krusial untuk mengungkapkan nyeri yang kronik terkait masalah bowel dan bladder,
dan respon terhadap obat-obatan. M.R. Laufer, dkk[13] menyarankan pencatatan nyeri, dimana
pasien mencatat deskripsi, frekuensi, karakter setiap kali muncul nyeri. Informasi riwayat
penyakit pada keluarga yang adekuat merupakan hal yang penting, hal ini disebabkan
insidensi endometriosis pada pasien dengan riwayat keluarga adalah 6,9% dibandingkan
dengan pasien tanpa riwayat keluarga yaitu 1-2% pada populasi umum[14].
Pemeriksaan fisik juga sangat penting, walaupun tidak selalu dapat dilakukan pada
semua remaja. Tujuan utama pemeriksaan fisik seharusnya adalah untuk mengungkapkan
etiologi nyeri dan menyingkirkan sebab-sebab lain. Untuk remaja yang tidak aktif seksual,
pemeriksaan rektal abdominal dapat dilakukan. Temuan yang sering ada pada pemeriksaan
pelvis pasien-pasien ini antara lain clu-de-sac tenderness[15].

Ultrasound pelvis masih merupakan dasar diagnosis penyakit ini, walaupun tidak
terlalu membantu pada kasus dengan pasien remaja karena jarang terdapat endimetrioma.
Pemeriksaan MRI merupakan alat diagnosis yang lebih baik, namun harganya yang mahal
merupakan kesulitan pada pasien tertentu. Biopsi endometrial dengan penilaian pada jumlah
fiber nervus baru-baru ini dilaporkan sebagai pendekatan diagnosis yang cukup sukses.
Menurut penelitian terakhir, spesifitas untuk endometriosis dengan pemeriksaan biopsi
endometrial dengan analisis imunohistokimiawi pada fiber nervus adalah 83% dan
sensitivitasnya 98% dengan nilai prediksi positif yaitu 91% dan nilai prediksi negatif yaitu
96%. Penelitian kedua dengan peneliti yang sama menunjukkan densitas fiber nervus pada
endometrial hampir 14 kali lebih besar pada wanita dengan endometriosis. Analisis
imunohistokimiawi yang diperbolehkan untuk lokalisasi marker neural pada lapisan
fungsional nervus sensori C, A delta, adrenergik, dan kolinergik di endometrium. Bagianbagian ini dilakukan immunostain dengan PGP9.5, protein antinerurofilamen, SP, VIP,
antineuropeptida Y, dan polipeptida terkait gen antikalsitonin.
Sensitivitas untuk endometriosis minimal hingga ringan adalah 95%, dengan
menggunakan analisis kombinasi dengan marker neural PGP9.5, SP, dan VIP. Spesifitasnya
yaitu 100% dan akurasi 97,5%[16]. Biopsi endometrial dilakukan dengan histeroskopi
menggunakan pendekatan vaginoskopik[17]. Metode ini dapat digunakan untuk remaja dengan
suspek endometriosis.
Marker biokimia pada penyakit ini telah diketahui selama beberapa tahun, dan
pengembangan yang terbaru dapat memberikan pemeriksaan diagnosis yang non-invasif dan
hemat waktu. CA 125, Ca 19.9, ICAM-1, dan IL-6 bersama dengan folistatin dan urokortin
telah terbukti sebagai marker yang terpercaya untuk diagnosis endometriosis[18].
CA 125 (nv < 35 IU/mL) adalah bagian dari famili glikoprotein musin dan merupakan
tumor marker atau biomarker untuk pasien dengan kanker endometrium, ovarium, payudara,
paru-paru, maupun gastrointestinal. Penelitian menunjukkan bahwa level CA 125 serum
meningkat pada kasus endometriosis dan nilainya cenderung meningkat pada stasium
penyakit yang lebih tinggi (III-IV) dibandingkan stadium awal (I-II). CA 125 memiliki
signifikansi diagnostik yang lebih baik untuk pemeriksaan rekurensi penyakit dan follow-up
setelah terapi pembedahan[19].
CA 19.9 yaitu marker spesifik untuk diagnosis kanker pankreas, meningkat pada kondisikondisi jinak seperti pada penyakit traktus biliaris dan endometriosis. Nilai marker ini tidak
tergantung pada stadium penyakit seperti pada CA 125[20].

ICAM-1 adalah bagian dari superfamili imunoglobulin yang terlibat dalam respon imun
dan inflamasi. Marker ini telah dievaluasi sebagai marker baru yang potensial terhadap
endometriosis. Sel stroma endometrial ektopik memiliki ICAM-1 pada permukaannya yang
secara fisiologi dilepaskan dalam bentuk yang larut dan terdeteksi dalam serum. Pada kasus
endometriosis, jumlah ICAM-1 yang lebih besar dilepaskan oleh endometrium ektopik dan
oleh implantasi endometriosis serta ditemukan konsentrasi yang secara signifikan lebih tinggi
di dalam serum (nv :410.4 ng/mL) dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi yang lebih
tinggi dilaporkan pada kasus endometriosis dalam dibandingkan endometriosis di permuaan
superfisial peritoneal[21].
Mempertimbangkan famili interleukin, pasien dengan endometriosis memiliki level IL-6
yang lebih tinggi. Diagnosis yang secara signifikan akurat (sensitivitas 75%, spesifitas
83,3%) ditemukan pada stadium awal penyakit (I-II) menggunakan niali cut-off 25.75 pg/mL.
Evaluasi kombinasi dengan dosis CA 125, CA 19.9, dan IL-6 tidak memberikan informasi
diagnostik yang signifikan dibandingkan dengan penilaian level CA 125 serum saja. Di sisi
lain, pemeriksaan dengan ICAM-1 dan CA 125 meningkatkan sensitivitas dan spesifitas
hingga 28% dan 92%. Untuk itu, pengukuran secara simultan dapat meningkatkan spesifitas
diagnosis pada endometriosis infiltrasi dalam[22].
Baru-baru ini ditemukan dua molekul baru yaitu urokortin (UCN) dan follistatin (FS).
UCN adalah molekul dari famili kortikotropin-relasing factors (CRF) yang terlibat dalam
modulasi sistem imun dan inflamasi, secara fisiologi diekspresikan pada endometrium selama
siklus menstruasi, lebih banyak selama fase sekretorik. Diketahui bahwa konsentrasi UCN
pada pasien dengan endometriosis ovarium lebih tinggi dibandingkan dengan kista ovarium
benigna. Konsentrasinya dua kali lebih tinggi pada wanita dengan endometrioma
dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan konsentrasi lebih tinggi secara signifikan
pada cairan kista endometrioma dibandingkan cairan di peritoneal dan plasma. Konsentrasi
UCN yang lebih tinggi ditemukan pada 88% kasus endometrioma dengan spesifitas 90%,
sementara dengan CA 125 meningkat hanya pada 62% kasus. Pengukuran UCN merupakan
marker yang cukup menjanjikan untuk deteksi dini endometrioma diferensial dibandingkan
kista ovarian benigna[23].
Hasil serupa diperoleh melalui evaluasi FS, suatu protein binding A aktif yang
menghambat fungsinya, namun biasanya diekspresikan pada endometrium normal. Studi
terakhir mengungkapkan ekspresi FS ke jaringan yang lebih besar pada kasus endometriosis
dan konsentrasi FS yang tinggi pada cairan kista dibandingkan dengan plasma dan cairan
peritoneal. Ditemukan peningkatan level serum dalam kasus-kasus endometrioma

dibandingkan dengan lesi kista benigna lainnya. FS menunjukkan sensitivitas sebesar 92%
dan spesifitas 96% dengan nilai cut-off 1433 pg/mL, sementara CA 125 menunjukkan hanya
44% pada endometrioma dengan spesifitas yaitu 90%[24].
6. Penatalaksanaan
Terapi lini pertama pada remaja dengan endometriosis atau suspek endometriosis diberikan
pil kontrasepsi oral dan analgesik (NSAID). Sayangnya banyak pasien yang tidak respon
terhadap obat-obatan ini. Pilihan alternatif yaitu terapi dengan analog GnRH (hanya untuk
pasien diatas 18 tahun) atau laparoskopi. Penggunaan analog GnRH pada pasien remaja
sangat kontroversial, karena kemungkinan efek samping pada massa tulang pernah
dilaporkan. Beberapa peneliti berpendapat bahwa terapi ini terlalu invasif. Sebuah studi di
tahun 2007 oleh Divasta, dkk yang meneliti 36 remaja antara usia 13 dan 21 tahun
menunjukkan bahwa penggunaan norethindrone astetat sebagai terapi tambahan pada remaja
yang diterapi dengan agonis GnRH untuk endometriosis meningkatkan kesehatan tulang[25].
Laparoskopi masih menjadi alat diagnosis yang fundamental untuk endometriosis, pada
kasus dimana terapi farmakologis tidak berhasil. Laproskopi pembedahan memungkinkan
diagnosis yang definitif sama baiknya untuk penatalaksanaan endometriosis itu sendiri [26,27].
Pembedahan harus dilakukan oleh ginekolog yang terbiasa menatalaksana wanita usia sangat
muda, juga dengan ahli pada penyakit ini. Pemahaman yang jelas mengenai perbedaan lesi
endometrial pada remaja dibandingkan dengan usia dewasa sangat diperlukan. Pada remaja,
lesi merah merupakan predominan dengan atipikal atau lesi warna putih, jarang biru atau
kecoklatan yang dapat ditemukan pada dewasa[28]. Pada pasien muda, terapi bedah saja tidak
direkomendasikan karena penyakit mikroskopik residual dapat persisten. Untuk itu, terapi
farmakologis dianjurkan setelah pembedahan untuk mencegah rekurensi[29]. Faktanya, usia
muda telah diketahui sebagai faktor risiko independen terhadap rekurensi endometriosis
setelah terapi pembedahan konservatif pada endometriosis[30].
7. Kesimpulan
Sebuah diagnosis dini endometriosis dan terapi yang cepat mengurangi risiko sequele di masa
mendatang termasuk diantaranya laparoskopi multipel pada masa dewasa, keperluan akan
bantuan teknologi reproduksi, dan penurunan kualitas hidup. Faktanya, untuk pasien muda,
penyakit kronik ini dapat berdampak signifikan terhadap kondisi sosial dan pendidikan.
Pasien-pasien ini juga perlu mendapatkan konseling dan dukungan psikologis yang tepat.

Referensi
[1] A. Y. Black and M. A. Jamieson, Adolescentendometriosis,Current Opinion in
Obstetrics and Gynecology, vol. 14, no. 5, pp. 467474, 2002.
[2] Z. Harel, Dysmenorrhea in adolescents and young adults: etiology and management,
Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology, vol. 19, no. 6, pp. 363371, 2006.
[3] American College of Obstetricians and Gynecologists, ACOG Committee Opinion.
Number 310, April 2005. Endometriosis in adolescents, Obstetrics and Gynecology, vol.
105, no. 4, pp. 921927, 2005.
[4] D. P. Goldstein, C. De Cholnoky, and S. J. Emans, Adolescent endometriosis, Journal
of Adolescent Health Care, vol. 1, no. 1, pp. 3741, 1980.
[5] M. R. Laufer, L. Goitein, M. Bush, D. W. Cramer, and S. J. Emans, Prevalence of
endometriosis in adolescent girls with chronic pelvic pain not responding to conventional
therapy, Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology, vol. 10, no. 4, pp. 199202, 1997.
[6] M. R. Laufer, Premenarcheal endometriosis without an associated obstructive anomaly:
presentation, diagnosis, and treatment, Fertility and Sterility, vol. 74, article S15, 2000.
[7] D. P. Goldstein, C. DeCholnoky, J. M. Levanthal, and S. J. Emans, New insights into the
old problem of chronic pelvicpain, Journal of Pediatric Surgery, vol. 14, no. 6, pp. 675680,
1979.
[8] K. Yamamoto, Y.Mitsuhashi, T. Takaike, K. Takase,H.Hoshiai, and K. Noda, Tubal
endometriosis diagnosed within one month after menarche: a case report, Tohoku Journal of
Experimental Medicine, vol. 181, no. 3, pp. 385387, 1997.
[9] M. L. Ballweg, Big picture of endometriosis helps provide guidance on approach to
teens: comparative historical data show endo starting younger, is more severe, Journal of
Pediatric and Adolescent Gynecology, vol. 16, no. 3, pp. S21S26, 2003.
[10] J. A. Sampson, Peritoneal endometriosis due to themenstrual dissemination of
endometrial tissue into the peritoneal cavity, American Journal of Obstetrics and
Gynecology, vol. 14, pp. 422469, 1927.
[11] A. Drosdzol and V. Skrzypulec, Endometriosis in pediatric and adolescent gynecology,
Ginekologia Polska, vol. 79, no. 2, pp. 133136, 2008.
[12] N. Bouedel, S. Matsusaki, H. Roman et al., Endometriosis in teenagers, Gynecologie
Obstetrique & Fertilite, vol. 34, no. 9, pp. 727734, 2006.
[13] M. R. Laufer, J. Sanfilippo, and G. Rose, Adolescent endometriosis: diagnosis and
treatment approaches, Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology, vol. 16, no. 3, pp.
S3S11, 2003.
[14] J. L. Simpson, S. Elias, L. R.Malinak, and V. C. Buttram, Heritable aspects of
endometriosis. I. Genetic studies, American Journal of Obstetrics and Gynecology, vol. 137,
no. 3, pp. 327331, 1980.
[15] D. B. Redwine and L. B. Yocom, A serial section study of visually normal pelvic
peritoneum in patients with endometriosis, Fertility and Sterility, vol. 54, no. 4, pp. 648
651, 1990.
[16] M. Al-Jefout, G. Dezarnaulds, M. Cooper et al., Diagnosis of endometriosis by
detection of nerve fibres in an endometrial biopsy: a double blind study, Human
Reproduction, vol. 24, no. 12, pp. 30193024, 2009.
[17] A. Di Spiezio Sardo, S. Bettocchi, M. Spinelli et al., Review of new office-based
hysteroscopic procedures 20032009, Journal of Minimally Invasive Gynecology, vol. 17,
no. 4, pp.436448, 2010.
[18] R. Socolov, S. Butureanu, S. Angioni et al., The value of serological markers in the
diagnosis and prognosis of endometriosis: a prospective case-control study, European
Journal of Obstetrics Gynecology and Reproductive Biology, vol. 154, no. 2, pp. 215217,
2011.

[19] B.W. J. Mol, N. Bayram, J. G. Lijmer et al., The performance of CA-125 measurement
in the detection of endometriosis: a meta-analysis, Fertility and Sterility, vol. 70, no. 6, pp.
1101 1108, 1998.
[20] T. Harada, T. Kubota, and T. Aso, Usefulness of CA19-9 versus CA125 for the
diagnosis of endometriosis, Fertility and Sterility, vol. 78, no. 4, pp. 733739, 2002.
[21] M. H.Wu, B. C. Yang, Y. C. Lee, P. L.Wu, and C. C. Hsu, The differential expression of
intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) and regulation by interferon-gamma during the
pathogenesis of endometriosis, American Journal of Reproductive Immunology, vol. 51, no.
5, pp. 373380, 2004.
[22] S. Martnez, N. Garrido, J. L. Coperias et al., Serum interleukin- 6 levels are elevated
in women with minimal-mild endometriosis, Human Reproduction, vol. 22, no. 3, pp. 836
842, 2007.
[23] P. Florio, F. M. Reis, P. B. Torres et al., Plasma urocortin levels in the diagnosis of
ovarian endometriosis, Obstetrics and Gynecology, vol. 110, no. 3, pp. 594600, 2007.
[24] P. Florio, F. M. Reis, P. B. Torres et al., High serum follistatin levels in women with
ovarian endometriosis, Human Reproduction, vol. 24, no. 10, pp. 26002606, 2009.
[25] A. D. DiVasta, M. R. Laufer, and C. M. Gordon, Bone density in adolescents Treated
with a GnRH agonist and add-back therapy for endometriosis, Journal of Pediatric and
Adolescent Gynecology, vol. 20, no. 5, pp. 293297, 2007.
[26] S. Angioni, M. Peiretti, M. Zirone et al., Laparoscopic excision of posterior vaginal
fornix in the treatment of patients with deep endometriosis without rectum involvement:
surgical treatment and long-termfollow-up,Human Reproduction, vol. 21, no. 6, pp. 1629
1634, 2006.
[27] S. Angioni, L. Mereu, G. Maricosu, L. Mencaglia, and G. B. Melis, Single port access
laparoscopy (SPAL) for endometrioma excision, Journal of Endometriosis, vol. 2, no. 2, pp.
95 98, 2010.
[28] J. D. Roman, Adolescent endometriosis in theWaikato region of New Zealanda
comparative cohort study with a mean follow-up time of 2.6 years, Australian and New
Zealand Journal of Obstetrics and Gynaecology, vol. 50, no. 2, pp. 179
183, 2010.
[29] J. C. Gambone, B. S. Mittman, M. G. Munro, A. R. Scialli, and C. A. Winkel,
Consensus statement for the management of chronic pelvic pain and endometriosis:
proceedings of an expert-panel consensus process, Fertility and Sterility, vol. 78,
no. 5, pp. 961972, 2002.
[30] L. Fedele, S. Bianchi, G. Zanconato, G. Bettoni, and F. Gotsch, Long-term follow-up
after conservative surgery for rectovaginal endometriosis, American Journal of Obstetrics
and Gynecology, vol. 190, no. 4, pp. 10201024, 2004.

You might also like