You are on page 1of 20

Review article:

ENDOMETRIOSIS IN
ADOLESCENCE
JOURNAL READING
DISUSUN OLEH : Faraida jilzani (1410221046)
PEMBIMBING : KOL.CKM dr. Tri Joko, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN OBSTETRI DAN


GINEKOLOGI
RST TK.II DR. SOEDJONO MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN VETERAN JAKARTA
2015

Artikel review
ENDOMETRIOSIS PADA REMAJA

Margherita Dessole, Gian Bendetto Melis, And


Stefano Angioni
Divisi Obstetri dan Ginekologi, Departemen Surgical
Science, Universitas Cagliari, Via Ospedale, 09124
Cagliari, Italia.
Diterima pada 27 Juli 2012, Direvisi pada 20
September 2012, Disahkan pada 20 September
2012
Editor akademik : Edward V. Younglai

Abstrak
Endometriosis merupakan penyebab tersering nyeri
pelvis dan infertilitas. Mayoritas wanita mengeluhkan
gejala sejak usia remaja, jarang terjadi endometriosis
sebelum usia menarke. Gejala endometriosis pada usia
remaja mirip dengan gejala pada endometriosis
dewasa. Penatalaksanaan endometriosis biasanya
terdiri dari pengobatan pil kontrasepsi oral dan anti
inflamsai non steroid (NSAID). Pada kasus-kasus
dimana terapi ini tidak berhasil perlu dilakukan
laparoskopi dan biopsi lesi untuk memastikan
kebenaran diagnosis. Munculnya
teknologi terkini
dapat juga menjadi pilihan sebagai contoh dengan
menggunakan marker serologis.

Pendahuluan
Endometriosis adalah penyakit ginekologi
umum yang jinak dan kronik berhubungan
dengan adanya kelenjar endometrial dan
stroma pada lokasi yang abnormal [1].
Penyakit ini kebanyakan berawal pada usia
remaja, tetapi sering terdiagnosis setelah
beberapa
tahun
terjadinya
episode
dismenore. Saat ini deteksi dini dapat
dimungkinkan dengan tersedianya teknologi
pencitraan modern seperti ultrasound dan
MRI.

Epidemiologi

penyebab tersering dismenore sekunder pada


remaja[2].
Prevalensi pada populasi umum 0,7% dan 44%.
Insidensi yang akurat pada remaja sulit untuk
dihitung dan diperkirakan serta bervariasi antara
beberapa peneliti[3].
Goldstein, dkk[4] : 47% insidensi pada wanita remaja
yang dilakukan laparoskopi atas indikasi nyeri pelvis
kronik
Laufer, dkk[5] : endometriosis ditemukan saat
pembedahan pada 67% remaja dengan keluhan
nyeri refrakter terhadap pengobatan umum (NSAID
atau OCP).

Dahulu
:
endometriosis
muncul
setelah
beberapa tahun menstruasi,
Sekarang
:
penelitian
menunjukkan
endometriosis dapat timbul sebelum menarke [6]
dan diantara 1-6 bulan[7,8] setelah menarke.
Menurut asosiasi endometriosis, 66% wanita
dewasa dengan endometriosis melaporkan
onset gejala pelvis timbul sebelum usia 20
tahun. Diketahui pasien yang mengeluhkan
gejala saat remaja mendatangi rata-rata empat
atau lebih dokter sebelum menerima diagnosis
yang benar[3,9].

Etiologi

Patofisiologi endometriosis disease of theories.


Teori Sampson 1927
menstruasi retrograd melalui tuba falopii
tertanamnya jaringan endometrial di pelvis.
mengimplantasi diri pada permukaan peritoneal di
abdomen dan organ/jaringan pelvis siklus
menstruasi berturut-turut menghasilkan proliferasi
dan pendarahan implantasi dan diseminasi lebih
jauh[10].
Teori ini tidak menjelaskan mengenai penyakit
pada wanita dengan agenesis mulleri, aplasia,
maupun endometriosis sebelum menarke[4,5,8],
dengan atau tanpa anomali obstruksi.

Teori metaplasia coelomic Meyer 1919:


Metaplasia epitel coelomic yang multipotensial
sebagai awal terjadinya endometriosis, karena sel
endometrial dan peritoneal berasal dari prekursor
embrio yang sama Adanya faktor stres : inflamasi/
iritasi (stimulasi estrogen abnormal) akibat refluks
jaringan menstruasi sel coelomic berdiferensiasi
menjadi sel peritoneal bertransformasi menjadi sel
endometrial yang berespons menjadi suatu siklus.
Teori ini tidak hanya menjelaskan kemungkinan
timbulnya endometriosis di berbagai lokasi anatomis,
tetapi juga membenarkan adanya penyakit tersebut
pada wanita tanpa uterus, pada usia sangat muda
sebelum menarke dan bahkan pada pria.

Teori Halban (1924) :


Mengindentifikasi lesi endometrial di luar sel
endometrial pelvis yang telah penetrasi kedalam
pembuluh darah dan limfe juga bertanggungjawab
terhadap terbentuknya emboli.
Teori hormonal milieu
penyakit ini bergantung pada hormon steroid di
sirkulasi.
Teori imunitas Weed dan Arquenborg (1980)
mengaitkan penyakit ini dengan proses perubahan
imun yang mempengaruhi onset terjadinya lesi
pada kavum peritoneal setelah proses menstruasi
retrograd yang telah dikemukakan oleh Sampson.

Gejala

pada remaja, gejala endometriosis adalah nyeri


pelvis kronik (sering asiklik), sementara gejala pada
wanita dewasa adalah nyeri pelvis kronik siklik,
dismenore progresif, dan dispareunia pada kasuskasus wanita yang aktif secara seksual[11].
Gejala bowel dan bladder juga merupakan gejala
yang umum timbul pada remaja[5]. Lokalisasi pada
endometrium (endometrioma ovari) jarang terjadi
sebelum usia 25 tahun. Beberapa penulis melaporkan
nyeri pelvis kronik asiklik dan nonresponsif
terhadap terapi farmakologis dengan OCP dan
NSAID yang terjadi pada remaja sudah cukup
mengindikasikan laparoskopi[12].

Diagnosis

Ada banyak cara namun salah satu yang terpercaya


adalah dengan inspeksi visual organ abdominal dan
biopsi menggunaka metode laparoskopi. (terlalu
invasif)
Saat ini dengan adanya teknologi pencitraan modern
seperti ultrasound dan MRI, maka dapat dilakukan
pemeriksaan diagnostik yang non invasif pada kasus
endometriosis.
Prosedur diagnostik tidak berbeda pada remaja dan
dewasa, namun anamnesis mengenai riwayat penyakit
yang mendalam sangat krusial untuk mengungkapkan
nyeri yang kronik dan respon terhadap obat-obatan.

M.R. Laufer, dkk[13] menyarankan pencatatan


nyeri (deskripsi, frekuensi, karakter) setiap kali
muncul. Informasi riwayat penyakit pada
keluarga
sangat
penting,

insidensi
endometriosis pada pasien dengan riwayat
keluarga adalah 6,9% dibandingkan dengan pasien
tanpa riwayat keluarga yaitu 1-2% pada populasi
umum[14].
Pemeriksaan fisik juga penting, walaupun tidak
selalu dapat dilakukan pada semua remaja. Untuk
remaja yang tidak aktif seksual, pemeriksaan
rektal abdominal dapat dilakukan. Temuan yang
sering ada pada pemeriksaan pelvis pasien-pasien
ini antara lain clu-de-sac tenderness[15].

Ultrasound pelvis masih merupakan dasar


diagnosis penyakit ini, walaupun tidak terlalu
membantu pada kasus dengan pasien remaja
karena jarang terdapat endimetrioma.
MRI merupakan alat diagnosis yang lebih baik,
namun harganya yang mahal dan merupakan
kesulitan pada pasien tertentu.
Analisis imunohistokimiawi yang diperbolehkan
untuk lokalisasi marker neural pada lapisan
fungsional nervus sensori C, A delta, adrenergik,
dan kolinergik di endometrium. Bagian-bagian ini
dilakukan immunostain dengan PGP9.5, protein
antinerurofilamen, SP, VIP, antineuropeptida Y, dan
polipeptida terkait gen antikalsitonin.

Biopsi endometrial dengan penilaian pada


jumlah fiber nervus baru-baru ini dilaporkan
sebagai pendekatan diagnosis yang cukup
sukses.
Menurut
penelitian
terakhir,
spesifitas untuk biopsi endometrial dengan
analisis imunohistokimiawi pada fiber
nervus adalah 83% dan sensitivitasnya 98%
dengan nilai prediksi positif yaitu 91% dan
nilai prediksi negatif yaitu 96%. Penelitian
kedua
dengan
peneliti
yang
sama
menunjukkan densitas fiber nervus pada
endometrial hampir 14 kali lebih besar pada
wanita dengan endometriosis.

Sensitivitas untuk endometriosis minimal hingga


ringan adalah 95%, dengan menggunakan analisis
kombinasi dengan marker neural PGP9.5, SP, dan
VIP. Spesifitasnya yaitu 100% dan akurasi
97,5%[16]. Biopsi endometrial dilakukan dengan
histeroskopi
menggunakan
pendekatan
vaginoskopik[17]. Metode ini dapat digunakan untuk
remaja dengan suspek endometriosis.
Marker biokimia pada penyakit ini telah diketahui
selama beberapa tahun, dan pengembangan yang
terbaru dapat memberikan pemeriksaan diagnosis
yang non-invasif dan hemat waktu. CA 125, Ca
19.9, ICAM-1, dan IL-6 bersama dengan folistatin
dan urokortin telah terbukti sebagai marker yang
terpercaya untuk diagnosis endometriosis[18].

Penatalaksanaan
Terapi lini pertama pada remaja dengan endometriosis atau
suspek endometriosis diberikan OCP dan analgesik
(NSAID). Sayangnya banyak pasien yang tidak respon
terhadap obat-obatan ini.
Pilihan alternatif : analog GnRH (hanya untuk pasien diatas
18 tahun) atau laparoskopi.
analog GnRH pada remaja sangat kontroversial efek
samping
pada
massa
tulang.
Beberapa
peneliti
berpendapat bahwa terapi ini terlalu invasif.
studi Divasta, dkk (2007) meneliti 36 remaja antara usia 13
dan
21
tahun
menunjukkan
bahwa
penggunaan
norethindrone astetat sebagai terapi tambahan pada
remaja yang diterapi dengan agonis GnRH untuk
endometriosis meningkatkan kesehatan tulang[25].

Laparoskopi masih menjadi alat diagnosis


yang fundamental untuk endometriosis,
pada kasus dimana terapi farmakologis tidak
berhasil.
Laproskopi
pembedahan
memungkinkan diagnosis yang definitif
sama
baiknya
untuk
penatalaksanaan
endometriosis itu sendiri[26,27]. Pembedahan
harus dilakukan oleh ginekolog yang terbiasa
menatalaksana wanita usia sangat muda,
juga dengan ahli pada penyakit ini.
Pemahaman yang jelas mengenai perbedaan
lesi endometrial pada remaja dibandingkan
dengan usia dewasa sangat diperlukan.

Pada remaja, lesi merah merupakan


predominan dengan atipikal atau lesi
warna putih, jarang biru atau kecoklatan
yang dapat ditemukan pada dewasa[28].
Pada pasien muda, terapi bedah
saja tidak direkomendasikan karena
penyakit mikroskopik residual dapat
persisten. Untuk itu, terapi farmakologis
dianjurkan setelah pembedahan untuk
mencegah rekurensi[29].
Faktanya, usia muda telah diketahui
sebagai
faktor
risiko
independen
terhadap
rekurensi
endometriosis
setelah terapi pembedahan konservatif

Kesimpulan

Sebuah diagnosis dini endometriosis dan


terapi yang cepat mengurangi risiko sequele
di masa mendatang termasuk diantaranya
laparoskopi multipel pada masa dewasa,
keperluan akan bantuan teknologi reproduksi,
dan penurunan kualitas hidup. Untuk pasien
muda, penyakit kronik ini dapat berdampak
signifikan terhadap kondisi sosial. Pasienpasien ini juga perlu mendapatkan konseling
dan dukungan psikologis yang tepat.

You might also like