You are on page 1of 6

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

KELARUTAN MINERAL KALSIUM (CA) DAN FOSFOR (P)


DAN FERMENTABILITAS BEBERAPA JENIS LEGUM
POHON SECARA IN VITRO
(Solubility of Calcium (Ca) and Phosphor (P) of Several Tree Legumes Using
In Vitro Technique)
SUHARLINA1, I.G. PERMANA2 dan L. ABDULLAH2
2

Konsentrasi Studi Peternakan Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai Timur


Jl. Soekarno Hatta No. 1 Sengata, Kutai Timur, Kalimantan Timur
2
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT
An in vitro experiment was carried out to examine the solubility of Ca and P of selected trees legume in
ruminal fluids. The legumes were Pterocarpus indicus, Sesbania grandiflora, Gliricidia sepium, Leucaena
leucocephala and Caliandra calothyrsus. The leaves were dried, ground and incubated in the ruminal fluids at
12 and 24 hours. The observed variables were solubility of Ca and P, concentration of ammonia and total
VFA concentration. The data were analyzed using analysis of variance. The results showed that the VFA
production of legume trees was not different statistically (P > 0.05). However, the solubility of Ca and P and
the ammonia concentration of Sesbania grandiflora were significantly higher than those of other legumes (P
< 0.05). There was significant relationship between solubility of Ca and P and ammonia concentration.
Key Words: Legume Trees, Mineral Solubility, VFA, NH3
ABSTRAK
Penelitian in vitro ini dilakukan untuk menguji kelarutan Ca dan P beberapa jenis leguminosa pohon
dalam cairan rumen. Leguminosa pohon yang digunakan antara lain angsana (Pterocarpus indicus), turi
(Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala) dan kaliandra
(Caliandra calothyrsus) yang dinkubasi selama 12 dan 24 jam pada cairan rumen. Peubah yang diamati
dalam penelitian ini adalah kelarutan mineral Ca da P, konsentrasi amonia (NH3) dan konsentrasi VFA total.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan anova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi VFA dari
beberapa jenis leguminosa pohon tersebut tidak berbeda nyata (P > 0,05). Namun, kelarutan mineral Ca dan P
dan konsentrasi ammonia pada turi (Sesbania grandiflora) nyata lebih tinggi dari leguminosa lainnya (P <
0,05). ada hubungan yang signifikan antara kelarutan Ca dan P dan konsentrasi ammonia.
Kata Kunci: Leguminosa Pohon, Kelarutan Mineral, VFA, NH3

PENDAHULUAN
Hijauan merupakan bahan pakan yang
dibutuhkan
ternak
ruminansia,
namun
ketersediaanya sangat tergantung pada musim.
Pada musim kemarau sering kali terjadi
defisiensi
mineral
yang
disebabkan
menurunnya kualitas padang penggembalaan
alam. Hal ini menyebabkan produktivitas
ternak yang rendah. Upaya perbaikan gizi pada
ternak ruminansia telah banyak dilakukan
dengan cara pemberian hijauan leguminosa.

772

Hijauan legum umumnya hanya digunakan


sebagai sumber protein. Namun, demikian
dengan melihat kandungan mineral makro yang
cukup tinggi, pemanfaatan legum pohon dapat
juga ditujukan sebagai sumber mineral makro.
Seperti yang dilaporkan oleh UNDERWOOD dan
SUTTLE (1999) bahkan kandungan mineral
legum pohon cukup tinggi dibandingkan
rumput. Hal ini juga sejalan dengan penelitian
SUTARDI et al. (1994) yang melaporkan bahwa
legum pohon pada umumnya mengandung
mineral yang cukup tinggi terutama kalsium,

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

sehingga dapat digunakan untuk mengatasi


kekurangan mineral.
Mineral merupakan zat makanan yang
berperan penting pada berbagai proses
fisiologis
dalam
tubuh
ternak
dan
mempengaruhi efisiensi produksi. Kebutuhan
mineral pada ternak ruminansia tidak hanya
untuk mencukupi kebutuhan pokok ternak
sendiri tetapi juga dibutuhkan oleh mikroba
didalam rumen. Mineral dalam rumen
digunakan untuk aktivitas pembentukan sel,
aktivitas selulolitik dan pertumbuhan mikroba.
Mineral juga berguna dalam mengatur tekanan
osmotik, sebagai larutan penyangga, sebagai
potensi reduksi dan mengatur laju kelarutan
didalam rumen.
Kandungan mineral makro dalam hijauan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
spesies, umur tanaman, pengelolaan, iklim dan
tipe tanah (MCDOWELL dan VALLE, 2000).
Pada daerah pertanian tadah hujan seperti
Indonesia bagian timur yang memiliki potensi
besar dalam pengembangan peternakan,
kandungan mineral hijauan tergantung pada
ketersediaan air. Pada musim hujan kualitas
hijauan relatif baik kandungan mineralnya,
sedangkan pada musim kering akan terjadi
sebaliknya. Untuk mengatasi defisiensi mineral
pada ternak selama musim kemarau maka
dibutuhkan mineral buatan. Namun harga
mineral buatan relatif mahal. Untuk mengatasi
hal tersebut, leguminosa pohon dapat dijadikan
alternatif sebagai pakan sumber mineral.
Kajian penggunaan hijauan legum pohon
selain sebagai sumber suplemen protein juga
perlu dilakukan untuk mengetahui potensi
ketersediaan mineral makro bagi ternak. Akan
tetapi, informasi mengenai ketersediaan
(bioavailability) mineral dalam rumen yang
berasal dari legum pohon masih terbatas.
Mekanisme hubungan antara kelarutan mineral
makro didalam rumen dengan proses
fermentasi juga belum banyak diketahui,
terutama sejauh mana peranan mineral dalam
menunjang aktivitas mikroba rumen sehingga
diperoleh produk-produk fermentasi yang
optimal. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat kelarutan mineral Ca dan P
dan fermentabilitas beberapa legum pohon
didalam cairan rumen secara in vitro.

MATERI DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu
Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian
ini terdiri dari dua tahap pengerjaan yaitu
pengujian kelarutan mineral kalsium dan
fosfor, dan fermentabilitas legum pohon
didalam rumen (produksi VFA dan NH3).
Legum pohon yang mempunyai potensi
sebagai sumber mineral makro yang digunakan
dalam penelitian ini adalah angsana
(Pterocarpus
indicus),
turi
(Sesbania
glandiflora), gamal (Gliricidia sepium),
lamtoro (Leucaena leucocephala), dan
kaliandra (Calliandra calothyrsus). Bagian
yang digunakan dari legum pohon tersebut
adalah daunnya. Proporsi daun yang tua lebih
banyak digunakan dari pada daun yang muda
(pucuk daun). Daun legum pohon dikeringkan
dibawah sinar matahari dan digiling halus.
Daun yang sudah digiling digunakan untuk
inkubasi secara in vitro dalam cairan rumen
dengan waktu inkubasi 12 dan 24 jam. Setelah
inkubasi sample disentrifuge pada kecepatan
3.000 rpm selama 15 menit sehingga residu
dan supernatannya terpisah. Sampel residu
dikeringkan dalam oven untuk pengukuran
kelarutan mineral, sedangkan supernatan
digunakan untuk analisis VFAtotal dan NH3.
Untuk menghitung laju kelarutan mineral
dalam rumen digunakan model matematik
yang dikemukakan oleh RSKOV dan
MCDONALD (1979), yaitu :
Y = a + b (1 e- ct)
dimana:
Y = kelarutan mineral dalam cairan rumen
(mg/gram sample)
a = kelarutan awal pakan(mg/gram sample)
b = kelarutan mineral selama dalam cairan
rumen(mg/gram sample)
c = laju kelarutan mineral(mg/jam)
t = waktu inkubasi (jam)
Kandungan residu mineral setiap sampel
dalam tabung fermentor memperlihatkan
proporsi mineral yang terlarut dalam cairan
rumen. Pengukuran kadar fospor dilakukan
dengan menggunakan spektrofotometer (UV

773

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

Visible) dengan panjang gelombang 660 nm,


sedangkan untuk analisis kalsium dibaca
konsentrasinya pada Spektrofotometer serapan
atom (AAS). Kadar VFAtotal diukur dengan
menggunakan Steam Destilation Method,
sedangkan kadar amonia diukur dengan
metode Micro Diffusion Conway.
Rancangan percobaan yang digunakan
dalam penelitian in vitro adalah Rancangan
Acak kelompok (RAK) 5 x 3, yang terdiri dari
5 perlakuan legum yang berbeda (angsana, turi,
gamal, lamtoro dan kaliandra) dan 3 kelompok
berdasarkan cairan rumen yang berbeda. Data
yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan
sidik ragam (ANOVA) dan untuk mengetahui
perbedaan antar perlakuan dilakukan uji
kontras ortogonal mengikuti STEEL dan TORRIE
(1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan nutrisi legum pohon
Kadungan mineral seperti Ca dan Mg pada
legum pohon lebih tinggi dari rumput (SERRA
et al., 1996). Kualitas hijauan pakan ditentukan
oleh komposisi kimia hijauan. Hasil analisa
komposisi kimia pakan yang digunakan dapat
dilihat pada Tabel 1. Legum pohon yang
digunakan dalam penelitian ini memiliki
kandungan protein kasar 18,58 sampai 22,76%
BK. Lamtoro memiliki kandungan protein
kasar (PK) yang lebih tinggi dan serat kasar
(SK) yang lebih rendah dibandingkan dengan
legum yang lain, tetapi rasio Ca : P sangat

besar (5 : 1). Rasio Ca : P dalam ransum sangat


penting dibandingkan dengan jumlahnya,
karena kedua mineral tersebut saling
mempengaruhi. Rasio Ca : P yang
direkomendasikan adalah (1 : 1) sampai (2 : 1),
tetapi pada umumnya ternak ruminansia lebih
tahan terhap rasio Ca : P yang luas dibanding
hewanhewan
monogastrik
(PARAKKASI,
1999). Rasio Ca : P legum angsana lebih baik
diantara legum yang lain (3 : 1), tetapi
kandungan serat kasar angsana lebih tinggi
yaitu 23,25 % BK. Kandungan serat kasar pada
pakan dapat mempengaruhi kecernaan pakan.
Kelarutan mineral
Mineral merupakan elemenelemen atau
unsur kimia selain dari karbon, hidrogen dan
nitrogen (PILIANG, 2001). Mineral makro (Ca
dan P) yang terlarut dan yang tidak terlarut
dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai kelarutan Ca
dan P dalam cairan rumen berbeda untuk setiap
jenis daun legum. Selama inkubasi 12 jam
kandungan Ca tidak larut yang tertinggi
terdapat pada lamtoro. Jumlah Ca terlarut
selama inkubasi 12 jam pada masingmasing
legum bernilai negatif. Hal tersebut
menunjukkan bahwa jumlah Ca yang tidak
larut lebih besar dibandingkan dengan jumlah
Ca yang terdapat dalam pakan. Hal ini bisa
terjadi pada saat inkubasi selama 12 jam
mikroba sedang aktif mencerna daun legum
tersebut, sehingga Ca yang terdapat dalam
daun mengalami proses mobilisasi menjadi Caorganik yakni terikat dalam sel mikroba.

Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa Jenis Legum Pohon (%BK)


Legum

Nutrien
Angsana

Turi

Gamal

Lamtoro

Kaliandra

6,27

7,60

7,62

7,24

4,46

Protein kasar

20,15

20,99

18,58

22,76

18,70

Serat kasar

23,25

21,71

19,74

18,47

19,46

Lemak kasar

1,33

1,33

2,07

3,02

1,45

Beta-N

33,13

28,57

38,53

37,76

42,93

Ca

1,02

1,27

1,45

1,74

0,95

Abu

0,31

0,37

0,27

0,35

0,25

Ca : P

3:1

3:1

5:1

5:1

4:1

Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB

774

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

Tabel 2. Kelarutan Mineral Selama Inkubasi 12 dan 24 Jam (mg/kg BK Sampel)


Legum
Kaliandra

Angsana

Turi

Gamal

Lamtoro

- 2,68B

- 0,65A

- 0,83A

- 2,09B

- 2,91B

12,09D

12,80D

15,34C

16,54B

19,73A

- 5,80A

- 7,40B

- 7,44B

- 10,07C

12 jam

terlarut
tidak terlarut

7,90

10,27

9,31

12,12

- 7,37B
8,74E

24 Jam
Ca terlarut

1,92A
C

1,29A
B

0,96A
13,48

- 0,15B
16,96

- 0,30B
9,71C

tidak terlarut

10,24

13,21

terlarut

5,33B

2,98C

6,86A

4,75B

0,02D

tidak terlarut

6,83D

11,51A

7,58C

12,06A

9,39B

Superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

Dengan demikian jumlah Ca yang tidak


larut lebih tinggi dibandingkan jumlah Ca
dalam pakan. Akibatnya jumlah Ca yang
terdapat larutan bernilai negatif.
Tidak jauh berbeda dengan Ca yang tidak
terlarut, P yang tidak terlarut tertinggi juga
terdapat pada daun lamtoro, dan lebih rendah
dibawahnya adalah daun turi. P terlarut selama
inkubasi 12 jam juga bernilai negatif. Hal
tersebut karena sifat mineral P yang sangat
mobile. Kondisi ini tidak berbeda dengan yang
terjadi pada mineral Ca. Mineral P mengalami
mobilisasi dan terikat oleh mikroba menjadi Porganik atau mineral P diikat oleh mineral Ca
yang pada saat itu menjadi Ca-organik.
Nilai kelarutan Ca dan P dapat terlihat
setelah inkubasi 24 jam. Kelarutan Ca daun
angsana, turi dan gamal sangat berbeda dengan
lamtoro dan kaliandra. Kelarutan Ca lamtoro
dan kaliandra masih bernilai negatif. Kelarutan
mineral P kelima jenis legum setelah inkubasi
24 jam menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P < 0,01). Kelarutan mineral P diurutkan
dari yang paling tinggi sampai terendah
berturut-turut adalah daun gamal > turi >
angsana dan lamtoro > kaliandra.
Rendahnya kelarutan Ca dan P pada lamtoro
dan kaliandra disebabkan oleh kandungan anti
nutrisi pada kedua legum tersebut. Lamtoro
dan kaliandra mengandung antinutrisi mimosin

dan tannin. KEIR et al. (1997) dalam


penelitiannya menyebutkan bahwa mimosin
dan tannin dapat mengurangi fermentabilitas
pakan oleh mikroba dalam rumen.
Produksi VFA
Volatile Fatty Acids (VFA) yang biasa
disebut asam lemak terbang merupakan hasil
pencernaan karbohidrat oleh mikroba dalam
cairan rumen. Komponen asam lemak terbang
dalam rumen adalah asam asetat, asam
propionat, asam-asam lemak rantai cabang
berasal dari katabolisme protein. Konsentrasi
asam lemak terbang cairan rumen dapat
digunakan sebagai salah satu tolak ukur
fermentabilitas pakan dan sangat erat kaitannya
dengan aktivitas mikroba rumen (SEWET,
1997). VFA mempunyai peran ganda yaitu
sebagai sumber energi utama bagi ternak dan
sumber kerangka karbon untuk pembentukan
protein mikroba (SUTARDI et al., 1983). Jika
produksi VFA yang dihasilkan tinggi, maka
mengindikasikan bahwa energi yang tersedia
bagi mikroba rumen juga semakin tinggi
sehingga aktivitas fermentasi mikroba juga
dapat meningkat. Konsentrasi VFA dari
berbagai jenis legum pohon dapat dilihat pada
Tabel 3.

775

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

Tabel 3. Produksi VFA beberapa legum pohon


Legum

Produksi VFA (mM)


Angsana

Turi

Gamal

Lamtoro

Kaliandra

12 jam

57,73

99,20

79,56

60,24

55,25

24 jam

57,73

75,84

96,08

92,83

93,25

nitrogen (SEWED, 1997). Konsentrasi NH3 dari


beberapa jenis legum pohon disajikan dalam
Tabel 4.
Konsentrasi NH3 yang ditunjukkan
beberapa jenis legume pohon diatas cukup
tinggi. Konsentrasi optimal NH3 untuk
menunjang pertumbuhan mikroba rumen
berkisar antara 85 300 mg/l atau 6 21 mM
(MCDONALD et al., 1995), dengan titik
optimum 8 mM (SURYAPRATAMA, 1999).
Konsentrasi NH3 pada lamtoro, kaliandra dan
gamal yang diinkubasi selama 12 jam nyata
lebih rendah dibandingkan legum yang lainnya.
Legum yang memiliki konsentrasi NH3 yang
paling tinggi baik pada inkubasi selama 12 jam
maupun 24 jam adalah turi. Hal ini karena
kandungan protein kasar pada turi lebih tinggi
dibandingkan dengan legum yang lain,
sedangkan lamtoro mempunyai nilai kecernaan
yang rendah meskipun protein kasarnya tinggi.
Selain itu kaliandra memiliki zat anti nutrisi
tanin yang menghambat kerja mikroba rumen
dalam mencerna pakan. Produksi NH3
tergantung dari kelarutan protein ransum,
jumlah protein ransum, lamanya pakan dalam
rumen dan pH rumen (ORSKOV, 1982).

Produksi VFA rataan hasil penelitian ini


berkisar 55,25 99,20 mM. SURYAPRATAMA
(1999) menyatakan bahwa kisaran konsentrasi
VFA total yang layak bagi kelangsungan hidup
ternak adalah 80 160 mM, dengan titik
optimum 110 mM.
Secara umum konsentrasi VFA dari
berbagai jenis legum pohon tidak menunjukkan
adanya perbedaan (P > 0,05). Banyaknya VFA
yang dihasilkan di dalam rumen sangat
bervariasi tergantung pada jenis ransum yang
dikonsumsi (MCDONALD et al., 1988).
Konsentrasi VFA pada angsana, turi dan gamal
selama inkubasi 12 jam lebih tinggi dari
lamtoro dan kaliandra. Akan tetapi, setelah
inkubasi 24 jam konsentrasi VFA dari daun
turi mengalami penurunan bertolak belakang
dengan konsentrasi gamal, lamtoro dan
kaliandra yang semakin meningkat, disebabkan
oleh aktivitas mikroba rumen. Konsentrasi
VFA meningkat setelah inkubasi selama 24
jam mengindikasikan bahwa mikroba rumen
membutuhkan waktu yang lebih lama dalam
mencerna lamtoro dan kaliandra. Lamtoro dan
kaliandra mengandung anti nutrisi tannin
sehingga daya cernanya rendah.
Produksi amonia (NH3)

KESIMPULAN

Amonia (NH3) merupakan salah satu hasil


perombakan protein oleh mikroba rumen.
Konsentrasi NH3 cairan rumen akan meningkat
jika populasi protozoa meningkat, karena
protozoa ikut berperan dalam proses daur ulang

Legum pohon memiliki rasio Ca - P dan


laju kelarutan mineral yang berbeda. Kelarutan
Ca dan P dapat terlihat setelah inkubasi 24 jam.
Kelarutan Ca pada angsana, turi dan gamal
lebih tinggi dibandingkan dengan lamtoro

Tabel 4. Konsentrasi NH3 beberapa jenis legum pohon


Produksi NH3 (mM)
12 jam
24 jam

Legum
Angsana
12,28

19,93

Turi

Gamal

28,83

39,55

8,30

13,33

Lamtoro
6,30

11,30

Superkrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P < 0,01)

776

Kaliandra
2,51C
3,49E

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2008

dan kaliandra. Sedangkan kelarutan P tertinggi


pada legum gamal. Kelarutan mineral P setelah
inkubasi 24 jam diurutkan dari yang paling
tinggi sampai terendah berturut-turut adalah
daun gamal > turi > angsana dan lamtoro >
kaliandra.
DAFTAR PUSTAKA
KEIR, B., N.V. LAI., T.R. PRESTON and E.R. ORSKOV.
1997. Nutritive value of leaves from tropical
trees and shrubs: 1. In vitro gas production
and in sacco rumen degradability. Livestock
Research for Rural Development. 9. 4.
MCDONALD, P., R.A. EDWARDS, J.F.D. GREENHALG,
and C.A. MORGAN. 1988. Animal Nutrition. 4th
Edition. Longman Scientific and Technical,
New York
MCDONALD, P., R.A. EDWARDS and J.F.D.
GREENHALG, and C.A. MORGAN. 1995. Animal
Nutrition. 5th Ed. Longman Scientific and
Technical, New York.
MCDOWELL, L., and R., G. VALLE. 2000. Major
mineral in forage. In: Forage Evaluation in
Ruminant Nutrition. GIVEN, D.I., E. OWEN, R.
F. E. AXFORD and H.M. OMED (Eds.) CABI
Publishing. UK, London.
ORSKOV, E.R.1982. Protein Nutrition in Ruminants.
Academic Press, London.
ORSKOV, E.R. and I. MCDONALD. 1979. The
estimation of protein degradability in rumen
from incubation measurements weighed
according to rate of passage. J. Agri. Sci.
1979: 499 503.
PARAKKASI, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan
Ternak Ruminan. UI Press, Jakarta.

PILIANG, W.G. 2001. Nutrisi Mineral. Edisi ke-4.


Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
SEWET, U. 1997. Dinamika Populasi dan Aktivitas
Fermentasi Mikriba Rumen Kambing yang
Diberi
Pakan
Kaliandra
(Calliandra
calothyrsus). Tesis. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
SERRA, S.D., A.B. SERRA, T. ICHINOHE and T.
FUJUHARA. 1996. Ruminal sulubilization of
macrominerals in selected Philippine forages.
AJAS. 9 : 75 81.
STEEL, R.G.D. and J.H. TORRIE. 1981. Principles and
Procedures of Statistic. Mc Grow Hill Book
Co. Inc., New York.
SURYAPRATAMA, W. 1999. Efek suplementasi asam
lemak volatil bercabang dan kapsul lisin serta
treonin terhadap nutrisi protein sapi Holstein.
Disertasi. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
SUTARDI, T. , N. A. SIGIT dan T. TOHARMAT. 1983.
Standarisasi mutu protein bahan makanan
ruminansia
berdasarkan
parameter
metabolismenya oleh mikroba Rumen.
Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
SUTARDI, T., D. SASTRADIPDRADJA, T. TOHARMAT,
A. SARDIANA dan I.G. PERMANA. 1994.
Peningkatan produksi ternak ruminansia
melalui amoniasi pakan serat bermutu rendah,
defaunasi dan suplementasi protein tahan
degradasi dalam rumen. Laporan Penelitian.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
UNDERWOOD, E.J. and N.F. SUTTLE. 1999. The
Mineral Nutrition of Livestock. 3rd Edition.
CABI Publishing. London.

777

You might also like