You are on page 1of 29

KEMATIAN AKIBAT

ASFIKSIA
Artikel untuk Memenuhi Tugas Forensik Semester 6

Ditulis oleh :
Luxsy Pertiwi G2A009038
Aderiesta Padmastrimaya G2A009039
Ursula Penny Putrkrislia G2A009040
Edward Tirtananda G2A009041
Hubertus Eko Budidharmaja G2A009042
Dea Kirana Sutandi G2A009043
Anindita Mustika Dewi G2A009044
Michael Birlianto G2A009046
Defita Ratnawati G2A009047

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
DAFTAR ISI
Halaman Judul........................................................................................................ 1
Daftar isi...................................................................................................................2

Bab I
Pendahuluan.............................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...........................................................................................3
1.2 Masalah.....................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................5
Bab II
Pembahasan..............................................................................................................6
2.1 Definisi Asfiksia.........................................................................................6
2.2 Tanda-tanda Umum Asfiksia......................................................................7
2.2.1

Asfiksia Mekanik..........................................................................9

2.2.2

Asfiksia Non Mekanik................................................................16

2.2.3

Asfiksia Tenggelam.....................................................................20

Bab III
Penutup..................................................................................................................27
3.1 Kesimpulan...............................................................................................27
3.2 Saran.........................................................................................................28
Daftar Pustaka........................................................................................................29

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah

Proses kematian merupakan proses pada tubuh manusia menjadi mayat.


Hilangnya suplai oksigen mengakibatkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam
beberapa jam. Dokter memiliki kewajiban membantu penyidik danpenyelidik saat
dibutuhkan. Hal ini mewajibkan dokter mengetahui sebab dancara kematian dengan
benar. Namun banyaknya tanda-tanda dan gejala yangbervariasi setelah kematian
menyebabkan saat kematian seseorang belumdapat ditunjukan secara tepat. Tanda
atau gejala yang ditunjukan dipengaruhioleh beberapa hal diantaranya, umur, kondisi
fisik pasien, penyakitsebelumnya, keadaan lingkungan mayat, sebelumnya makanan
maupun penyebab kematian itu sendiri.
Saat ini semakin meningkat angka kematian tidak wajar yang kadangkadangbelum diketahui penyebabnya. Salah satu penyebab kematian adalah asfiksia.
Asfiksia berasal daribahasa Yunani:a-, "tanpa" dan sphyxis, "detak jantung". Secara
harfiah, asfiksia diartikan sebagai tidak ada nadi atau tidakberdenyut. Asfiksia
dalam bahasa Indonesia disebut dengan mati lemas. Asfiksia berarti absence of
pulse (tidak berdenyut) kondisi karena tubuhkehabisanoksigenyang muncul karena
tidak mampu melakukanpernapasan.asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan terjadinya gangguanpertukaran udara pernafasan, mengakibatkan oksigen
darah

berkurang

(hipoksia)

disertai

dengan

peningkatan

karbondioksida

(hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen


(hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian. Sekitar 95% dilakukan dengan cara gantung
diri. Dari data yang terkumpul, dikelompokkan berdasarkan frekuensi kasus asfiksia,
macam pemeriksaan penunjang yang dilakukan, tanda-tanda asfiksia yang
ditemukan,dan cara kematiannya. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh data
selama 3 tahun dari tahun 2006-2008 diperoleh data sejumlah 36 kasus asfiksia.
Macam Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah Patologi Anatomi,
Parasitologi dengan Toksikologi sebanyak 2 kasus (5,6 %), Patologi Anatomi dengan
Toksikologi sebanyak 3 kasus (8,3 %), Patologi Anatomi sebanyak 3 kasus (8,3 %),
dan yang tidak dilakukan pemeriksaan penunjang sebanyak 28 kasus (77,8%).
Penentuan asfiksia sebagai penyebab kematian berdasarkan tanda-tanda asfiksia yang

ditemukan saat pemeriksaan yaitu 3 pemeriksaan positif sebanyak 5 kasus (13,9 %), 2
pemeriksaan positif sebanyak 5 kasus (13,9 %), dan 1 pemeriksaan positif sebanyak
26 kasus (72,2 %). Berdasarkan cara-cara kematian pada kasus asfiksia, kasus paling
banyak disebabkan karena kekerasan tumpul di leher yaitu sebanyak 13 kasus
(36,1%), kemudian tidak dapat ditentukan penyebabnya sebanyak 10 kasus (27,8%),
tenggelam sebanyak 7 kasus (19,4%), keracunan sebanyak 5 kasus (13,9%), dan
karenapenyakit sebanyak 1 kasus (2,8%). Penentuan standar asfiksia sebagai
penyebab kematian, belum sesuai dengan kriteria karena dari pemeriksaanpaling
banyak ditemukan tanda-tanda asfiksia satu positif (hanya pada satupemeriksaan)
yaitu sebanyak 26 kasus (72,2%). Asfiksia merupakanpenyebab kematian urutan ke3 terbanyak sesudah kecelakaan lalu lintas dantrauma mekanik yang ditemukan
dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya
obstruksi pada saluran pernafasandisebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang
paling sering dijumpaidalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa
manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan
apasaja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanikmempunyai
arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis
merumuskan masalah yang akan difokuskan untuk dibahas sebagai berikut.
1. Apa definisi dari asfiksia?
2. Apa etiologi dari asfiksia?
3. Bagaimana gejala dan tanda pada jenazah dengan sebab kematian
asfiksia?
4. Apa saja tipe asfiksia?
5. Bagaimana klasifikasi asfiksia berdasarkan penyebabnya?
6. Bagaimana cara mendiagnosis kematian akibat asfiksia?
7. Bagaimana pemeriksaan mati tenggelam?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Setelah membaca makalah ini diharapkan mahasiswa dapat memahami
apayang dimaksud dengan asfiksia, bagaimana klasifikasi dan cara mendiagnosis,
sertaberbagai hal lain yang berhubungan dengan asfiksia yang diharapkan dapat
bergunadalam menentukan sebab dan waktu pada suatu kasus kematian.
1.3.2

Tujuan khusus
1. Mengetahui definisi dari asfiksia
2. Mengetahui etiologi dari asfiksia
3. Mangetahui gejala dan tanda pada jenazah dengan sebab kematian
asfiksia
4. Mengetahui tipetipe asfiksia
5. Mengetahui klasifikasi asfiksia berdasarkan penyebabnya
6. Mengetahui cara mendiagnosis kematian akibat asfiksia
7. Mengetahui pemeriksaan mati tenggelam

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Asfiksia
5

Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyatakan


berhentinya respirasi yang efektif (cessation of effective respiration) atau ketiadaan
kembang kempis (absence of pulsation). Menurut Dorland's Illustrated Medical
Dictionary, asfiksia (asphyxia; Gr. a stopping of the pulse) didefinisikan sebagai
suatu perubahan patologis yang disebabkan oleh karena kekurangan oksigen pada
udara respirasi, yang menimbulkan keadaan hipoksia dan hiperkapnea. Namun
pengertian

asfiksia

dan

anoksia

(atau

lebih

tepatnya

hipoksia)

sering

dicampuradukkan. Maka, sebelum membahas masalah asfiksia lebih lanjut, perlu


dipahami terlebih dulu tentang definisi anoksia. 1,3
Anoksia adalah suatu keadaan dimana tubuh sangat kekurangan oksigen.
Klasifikasi anoksia oleh Gordon dibagi menjadi 4 golongan berdasarkan penyebabnya
yaitu : 1,3,6,7
1. Anoksia anoksik (anoxic anoxia), merupakan keadaan anoksia yang disebabkan
karena oksigen tidak dapat mencapai darah sebagai akibat kurangnya oksigen yang
masuk paru-paru, misalnya: hanging, pencekikan, suffocation kematian.
2. Anoksia Anemik (anemic anoxia), merupakan keadaan anoksia karena darah kurang
mampu menyerap oksigen. Misalnya: anemia, keracunan karbon monoksida, klorat,
nitrat.
3. Anoksia Stagnan (stagnant anoxia), sering juga disebut sebagai circulatoir anoxia,
merupakan keadaan anoksia yang disebabkan karena darah tidak mampu membawa
oksigen ke jaringan, misalnya: heart failure, embolism, syok, stroke.
4. Anoksia Histotoksik (histotoxic anoxia), yaitu keadaan anoksia yang disebabkan
karena jaringan tidak mampu menyerap oksigen, misalnya pada kasus keracunan
sianida.
Dengan melihat keempat jenis anoksia di atas, ketiga jenis anoksia yang
terakhir (yaitu anoksia anemik, stagnan dan histotoksik) disebabkan oleh penyakit
atau keracunan, sedang anoksia yang pertama (yaitu anoksia anoksik) disebabkan
kekurangan oksigen atau obstruksi mekanik jalan nafas.
Asfiksia sebenarnya adalah anoksia anoksik, atau sering juga disebut asfiksia
mekanik (mechnical asphixia).

2.2 Tanda-tanda Umum Asfiksia


Jenazah yang meninggal karena proses asfiksia dapat dikenali melalui tanda
umum asfiksia.

Tanda-tanda umum asfiksia dapat dilihat melalui: gejala klinis

asfiksia dan tanda pada jenazah asfiksia.

Pada umumnya manusia yang telah

meninggal berada dalam posisi lebam dan kaku, diikuti tanda pada jenazah asfiksia
secara umum yaitu: 1,3,6,7

Sianosis, yaitu dilihat melalui darah menjadi encer dan gelap, mukosa biru,
kuku biru, lebam mayat gelap

Kongesti,

karena

terjadi

pelebaran

kapiler

pembuluh darah. Hal ini dapat dilihat dari kapiler


yang ada di konjungtiva.
Manifestasi klinis dari proses kongesti adalah
adanya: (a) pelebaran kapiler, karena adanya
bendungan (dilihat pada selaput lender mata mata merah)
(b) Permeabilitas dinding pembuluh darah bertambah (terjadi bintik-bintik
merah Tardieu Spot, karena sel darah merah keluar dari pembuluh darah),
(c) Oedem (di otak, paru-paru)

Shaking phenomenon (fenomena bendungan), sebagai contoh adalah


menghitamnya bibir atau keluar buih dari jalan nafas pada kasus asfiksia
tenggelam.
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala klinis yang dapat

dibedakan dalam 4 fase, yaitu: 1,3,6,7


1. Fase dispnea
Penurunan kadar oksigen sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam plasma
akan merangsang pusat pernapasan di medula oblongata, sehingga amplitudo dan
frekuensi pernapasan akan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi dan
mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama pada muka dan tangan. Gejala-gejala

tersebut terjadi akibat rangsangan pusat pernapasan di medulla oleh kurangnya


oksigen pada sel-sel darah merah disertai penumpukan kadar CO2
2. Fase konvulsi
Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf
pusat

sehingga terjadi konvulsi, dimulai dengan kejang klonik, kemudian

menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil dilatasi,
denyut jantung menurun, tekanan darah juga turun. Hal ini disebabkan adanya
paralisis pada pusat syaraf yang letaknya lebih tinggi.
3. Fase apnea
Depresi pusat pernapasan menjadi lebih hebat, pernapasan melemah dan dapat
berhenti .Kesadaran menurun

dan akibat relaksasi sfingter dapat terjadi

pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja.


4. Fase akhir (terminal stage)
Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap dari pusat pernapasan. Sebelum
pernapasan berhenti sama sekali dapat terlihat gerakan napas oleh otot-otot
pernapasan sekunder.
2.3 Klasifikasi Asfiksia
Asfiksia dibagi menjadi 3 jenis: 6,7
1. Asfiksia Mekanis (karena kekerasan)
Asfiksia mekanis terbagi lagi berdasarkan daerah di tubuh:
a. di daerah hidung/mulut, disebabkan oleh:

smothering (pembekapan)

gagging (penyumpalan di orofaring)

chocking (penyumpalan di laringofaring)

b. di daerah leher

manual strangulation/throttling

strangulation by ligature

hanging

c. di daerah dada dan perut

Traumatik asfiksia/crush asphyxia

2. Asfiksia Non Mekanis/Sufokasi


3. Asfiksia Tenggelam

2.3.1

Asfiksia Mekanis
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan

terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat


mekanik), misalnya:
a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan
(smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking).
b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation),
pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik) 1,3
2.3.1.1 Smothering (pembekapan)
Tanda-tanda pembekapan pada korban adalah sebagai berikut.
a. Tanda umum asfiksia yaitu berupa sianosis, kongesti, dan shaking phenomenon.
b. Tanda khusus asfiksia, misalnya: 1.3
tanda kekerasan, tergantung pada jenis benda dan kekuatan
Luka lecet gores/ tekan kuku
Luka Memar, misal memar semilinair pada pipi, memar mukosa bibir,
belakang kepala, gusi, dll
Macam smothering berdasarkan cara terjadinya adalah sebagai berikut.
o Suicide Smothering
Misalnya pada Mental Psychosis
o Accidental Smothering, terjadi karena kecelakaan
Misalnya pada Overlying baby, gempa bumi
o Homicidal smothering
Misalnya pada orang tua, atau pengaruh alcohol yang berlebih
2.3.1.2 Gagging, Choking (penyumpalan)

Gagging dan chocking merupakan suatu kejadian adanya sumbatan atau benda
asing di saluran nafas. Gagging merupakan penyumpalan sesuat di orofaring,
sedangkan chocking adalah penyumpalan sesuatu di laringofaring. Pada gagging
terjadi penutupan glottis. Faktor internalnya adalah muntah/vomitus, faktor
eksternalnya adalah adanya benda asing yang menyumbat. 5,6,7
Penyebab kematian adalah adanya asfiksia karena penyumbatan oleh
makanan, bisa karena muntah dan menyumpal saluran nafas, dan bisa juga karena ada
bekuan darah.

Cara kematian bisa melalui kecelakaan, bunuh diri, ataupun

pembunuhan. Mekanisme dari kematian ini adalah anoksia dan vagal reflex (caf
coronaries). 1,3
.
2.3.1.3 Hanging
Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan
dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan
gravitasi dari berat tubuh atau bagian tubuh, tali di leher menjadi erat karena beban
yang diberikan berat badan sendiri.

Cara kematian dapat disebabkan oleh

pembunuhan, bunuh diri, atau kecelakaan


Ada 6 mekanisme kematian pada penggantungan yaitu: 5
Asfiksia
Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada
di atas tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher, sehingga
saluran pernafasan menjadi tersumbat.
Kongesti Vena
Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan
pada vena jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.
Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena
Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada kebanyakan
kasus dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjerat yang berada di
sekitar leher.
Iskemik Otak (anoxia)
Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam
menyuplai darah ke otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.
Syok Vagal ( vagal reflex )

10

Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada


refleks vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf
vagus atau sinus karotid.
Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 1, 2 dan 3
Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada
ketinggian 1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi
dari vertebra servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau merobek spinal cord
sehingga terjadi kematian yang tiba-tiba.
Jenis penggantungan diklasifikasikan sebagai berikut.

. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:
1. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas
lantai.
2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh
tergantung, misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam
posisi telungkup dan posisi lain. arteri karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri
terhambat, korban segera tidak sadar.

Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe yaitu: 6,7


1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di
samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran
nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini. Gambaran post mortemnya :
Muka pucat
Bibir pucat
Keluar tinja
Keluar sperma
Lebam mayat di tungkai bawah dan lengan bawah
Lidah terjulur + / 2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat
miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis
dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
Gambaran post mortemnya :
Muka sembab
Bibir sianosis
Bintik perdarahan pada sklera/selaput lendir kelopak mata.
Keluar sperma

11

Keluar tinja
Lebam mayat di akral
Lidah terjulur + /

Dari keadaan simpul tali dapat dibedakan menjadi: 1,3,6,7


- Simpul hidup atau mati
- Letak simpul di tengah atau di samping
Dari tali atau jerat yang digunakan dapat dibedakan menjadi:
- Tali lunak : selendang, sarung, kain
- Tali keras : Tali, kawat
Jejas jerat 6,7
a. Jejas jerat intravital
o melekuk ke dalam, resapan darah
o warna merah cokelat
o perabaan seperti perkamen
b. Jejas jerat post mortal
o melekuk ke dalam, tak ada resapan
o warna pucat
o perabaan lunak
Ada beberapa istilah kematian karena hanging. Erotic Hanging, biasanya

pada orang yang sedang mencoba-coba melakukan hanging, namun yang terjadi
melebihi apa yang ia rencanakan (mati), dan biasanya terjadi ejakulasi. Judicial
Hanging, disebut juga dengan istilah hukum gantung. Di sini terjadi patah tulang
leher yang menyebabkan rusaknya batang otak, namun kematian bukan disebabkan
oleh asfiksia.

12

Gambar:
Pria berumur sekitar 30 tahun menggantung dirinya dengan sebuah tali.
Tampak lidahnya terjulur keluar, dan adanya tanda sianosis (kebiruan) di
bibirnya.
2.3.1.4 Jerat
Lilitan tali di leher yang menjadi erat karena tarikan ke arah horizontal. Cara
kematian bisa melalui pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan. Beda dengan gantung,
pada jerat terjadi karena terjerat selendang atau sarung. Mekanisme kematian karena
jerat dibagi menjadi dua: (a) anoksia, jalan nafasnya, arteri/vena tertutup, (b) karena
vagal reflex.
Tanda post mortem yang dapat dilihat pada jenazah adalah sebagai berikut.
1. Jejas tak begitu jelas, arah mendatar.
2. Sifat seperti gantung
2.3.1.5 Cekikan (Manual strangulation)
Cekikan merupakan .enekanan jalan nafas dengan tangan. Kematian dapat
terjadi dengan cara pembunuhan atau

kecelakaan. Mekanisme kematian karena

anoksia, bisa karena jalan nafas tertutup, atau pembuluh nadi/vena tertutup.
Pada jenazah, dapat ditemukan tanda Post Mortem sebagai berikut.
1. tanda umum asfiksia, meliputi gejala klinis asfiksia dan tanda pada
jenazah seperti yang telah ditulis.

13

2. jejas kuku, resapan darah


3. os. hyoid, cricoids, thyroid patah
4. edema paru, buih halus
2.3.1.6 Asfiksia traumatik (crush asphyxia)
Asfiksia traumatik merupakan asfiksia akibat dari kompresi (penekanan) yang
berat atau tiba-tiba pada thoraks maupun abdomen bagian atas ataupun keduanya,
contoh:

asfiksia kedudukan

asfiksia dihimpit orang

asfiksia karena tertindih pohon

Hampir semua kasus asfiksia mekanik merupakan kasus kecelakaan.Keadaan


asfiksia traumatik merupakan hasil dari penekanan yang terus-menerus pada dada dan
abdomen oleh kejatuhan sesuatu, kendaraan yang berat, tekanan kerumunan orang
dan sebagainya.
Asfiksia kompresif (juga disebut dengan kompresi dada) adalah suatu
pembatasan mekanik dari ekspansi paru oleh kompresi pada sumbu tubuh, yang
mengakibatkan gerakan berlawanan dengan pergerakan nafas sebenarnya. Asfiksia
kompresif terjadi ketika dada atau abdomen mengalami penekanan (terutama dari
posterior). Pada kecelakaan, istilah asfiksia traumatik atau crush asphyxia biasanya
digunakan untuk menggambarkan asfiksia kompresif yang dihasilkan dari keadaan
tertekan atau terjepit dibawah beban maupun gaya yang berat. Sebagai contohnya
adalah kasus dimana seseorang terjepit di kolong mobilnya ketika mencoba
memperbaiki mobil dan tubuhnya terhimpit oleh beban mobil tersebut.
Pada kasus lainnya, asfiksia traumatik disebut dengan riot-crush. Apabila
suatu tempat penuh sesak dengan manusia, misalnya pada suatu konser musik,
asfiksia dapat terjadi karena terinjak-injaknya korban, tetapi juga bisa karena tekanan
dari kerumunan yang kacau sehingga membentuk gundukan manusia. Dalam
lingkungan yang terkurung, orang-orang saling mendorong dan bersandar pada orang
lain; buktinya adalah terdapatnya pagar terali baja yang bengkok pada beberapa
kecelakaan pada kerumunan kacau yang fatal menunjukkan gaya horizontalnya

14

melebihi 4500 N (sekitar 460kg). Dalam keadaan dimana terdapat kerumunan orang
dewasa dan saling bersandar satu sama lain sehingga membentuk suatu gundukan
manusia, telah dilakukan penilaian dimana terdapat sekitar 380 kg beban tekanan
pada lapisan yang paling bawah.
Asfiksia traumatik terjadi apabila objek yang berat jatuh ke atas atau menekan
dada atau bagian abdomen atas, menyebabkan korban tidak dapat bernafas. Terdapat
juga kasus asfiksia traumatik karena ditekan dengan lemari es atau pepohonan;
terjepit dalam kenderaan sewaktu kecelakaan atau terjepit diantara kayu-kayu besar.
Kompresi dada juga dapat terjadi pada berbagai oleh raga gulat militer, yang kadang
disebut dengan istilah wringing. Berbagai teknik digunakan untuk mengunci lawan.
Sebagai contonya adalah kompresi pada dada yang meliputi posisi yang disebut
dengan knee-on-stomach position, atau teknik seperti leg scissors (juga disebut
dengan body scissors, do-jime, dan trunk strangle) jika pelaku melilitkan kaki di
sekitar pertengahan tubuh lawan dan menekan nya bersamaan.
Gambaran Klinis
Temuan klinisnya adalah craniocervical cyanosis/cervicofacial cyanosis dan
edema, subconjunctival haemorrhage atau petechiae, serta distensi dari vena leher.
Sering dihubungkan dengan cedera yang meliputi kontusio pulmoner dan
hemothoraks.1
Multiple ecchymotic hemorrhage pada wajah, leher dan bagian atas dada
pernah pula didokumentasikan. Pada korban yang masih hidup, pemeriksaan
Glasgow coma scale berkisar dari 8 hingga 15. Diskoloritas kulit menghilang dalam 3
minggu. Resolusi komplit dari perdarahan subkonjungtiva terjadi 1 bulan kemudian.
Pada sebuah penelitian, nyeri tenggorokan, suara serak, pusing, kebas, dan nyeri.
2.3.2

Asfiksia Non Mekanis


Asfiksia non mekanis dapat terjadi sebagai akibat keracunan suatu zat kimia

tertentu seperti karbon monoksida (CO), arsen (As), maupun sianida (Sn)
2.3.2.1 Keracunan karbon monoksida

15

Karbon Monoksida (CO) merupakan gas non iritan, tidak berwarna, tidak
berbau, tidak berasa, serta memiliki densitas yang lebih kecil dari udara. Sumber
penghasilan utama gas karbonmonoksida ini adalah hasil pembakaran (kebakaran),
gas buang kendaraan bermotor, sisa pembakaran yang tidak sempurna misalnya dari
pembakaran batu bara. 4
Gas karbon monoksida mengakibatkan hipoksia jaringan sebab berkompetisi
dengan oksigen pada binding site hemeprotein (haemoglobin, myoglobin, sitokrom C
Oksidase, dan sitokrom P-450). Afinitas dari karbon monoksida bervariasi antara 30
hingga 500 kali terhadap hemeprotein dan 250-300 kali lebih besar dari pengikatan
oksigen pada haemoglobin. Keberadaan karboksihemoglobin ini mempengaruhi
kurva disosiasi yakni terjadi pergeseran ke kiri yang mengakibatkan kurangnya
pelepasan oksigen ke jaringan. Karbon monoksida memiliki efek toksik langsung
pada tingkat seluler yang mengakibatkan gangguan respirasi pada mitokondria. 4
Tabel 2.1 Hubungan Gejala Keracunan CO dengan kadar COHb dalam darah4
Saturasi
CO&Hb
10
10-20

Gejala-gejala
Tidak ada.
Rasa berat pada kening, sakit kepala ringan, pelebaran pembuluh

20-30

darah subkutan, dyspneu, hingga gangguan koordinasi.


Sakit kepala, berdenyut pada pelipis, gangguan emosional.

30-40

Sakit kepala hebat, lemas, pusing, penglihatan kabur, mual muntah

40-50

hingga sinkop.
Sama dengan di atas ditambah pernafaan dan nadi yang bertambah

50-60

cepat, dan ataksia.


Sinkop, percepatan nadi dan frekuensi napas (hingga chene stokes),

60-70
70-80

koma dengan kejang intermiten.


Koma dengan kejang. depresi jantung dan pernapasan, mati.
Nadi lemah, pernapasan lambat hingga gagal napas dan mati.

Diagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis


adanya kontak dan di temukannya gejala keracunan CO. Pada korban yang mati tidak
16

lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna merah terang (cherry
pink colour) yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih. Warna
lebam mayat seperti itu juga dapat ditemukan pada mayat yang didinginkan, pada
korban keracunan sianida dan pada orang yang mati akibat infeksi oleh jasad renik
yang mampu membentuk nitrit, sehingga dalam darahnya terbentuk nitroksi
hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan dengan pemeriksaan
sederhana. Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang
ototnya berwarna biasa, tidak merah terang. Pada mayat yang didinginkan, warna
merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah yang
keunguan (livid), sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera dan darah juga
berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda khas lain. Kadang-kadang
dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia visera. Pada otak besar dapat
ditemukan petekiae di substansia alba bila korban dapat bertahan hidup lebih dari
jam. 4
Pada analisa toksikologik darah akan di temukan adanya COHb pada korban
keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di
eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat
berwarna livid seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan darah. Kelainan
yang dapat di temukan adalah kelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang
timbul selama penderita di rawat. 4
Pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat di
temukan petekiae. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO, karena
setiap keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae.
Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran : 3, 4
o Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin
o Nekrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang
mengandung trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya di sebut
ring hemorrage
o Nekrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang
mengandung trombi
17

o Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik akibat
hipoksia dan memecah.
Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di
muskulus papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian
ujung muskulus papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti
kipas berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak. Pada kulit dada, perut,
luka, atau anggota gerak badan, ditemukan eritema dan vesikal/bula, baik di tempat
yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan tersebut di sebabkan oleh
hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit.

Pneunomonia hipostatik paru mudah

terjadi karena gangguan peredaran darah. Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis. 4
2.3.2.2 Keracunan arsen
Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk membunuh
orang lain, dan tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus keracunan dengan arsen
dimasa sekarang ini. Disamping itu keracunan arsen kadang-kadang dapat terjadi
karena kecelakaan dalam industri dan pertanian akibat memakan/meminum
makanan/minuman yang terkontaminasi dengan arsen. Kematian akibat keracunan
arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala keracunan akutnya
menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang hebat sehingga dapat didiagnosa
sebagai suatu penyakit.
Korban mati keracunan akut. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda
dehidrasi. Pada pembedahan jenazah ditemukan tanda-tanda iritasi lambung, mukosa
berwarna merah, kadang-kadang dengan perdarahan (flea bitten appearance). Iritasi
lambung dapat menyebabkan produksi musin yang menutupi mukosa dengan akibat
partikel-partikel As berwarna kuning sedangkan As2O3 tampak sebagai partikel
berwarna putih. Bila korban cepat meninggal setelah menghirup arsin, akan terlihat
tanda-tanda kegagalan kardiorespirasi akut. Bila meninggalnya lambat, dapat
ditemukan ikterus dengan anemia hemolitik, tanda-tanda kerusakan ginjal berupa
degenerasi lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis tubuli. Korban mati akibat

18

keracunan kronik. Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk. Pada kulit
terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenik). 3
Pada jantung ditemukan perdarahan sub-endokard pada septum. Histologik
jantung menunjukkan infiltrasi sel-sel radang bulat pada miokard. Sedangkan organ
lain parenkimnyaberwarna putih.
2.3.2.3 Keracunan sianida
Sianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida
dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang
dengan cepat seperti bunuh diri yang dilakukan oleh beberapa tokoh nazi. 5
Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus bunuh diri dan
pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium, pada
penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudang-gudang
kapal. 3,5
Pada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat
tercium bau amandel yang patognomonig untuk keracunan CN, dapat tercium dengan
cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau
tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indra pencium kita cepat teradaptasi
sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus dingat bahwa tidak semua
orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk mencium bau khas
tersebut bersifat genetik sex-linked trait. 5
Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat
berwarna terang,karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang
mengatakan karena terdapat Cyanmet-Hb. Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat
tercium bau amandel yang khas pada waktu membuka rongga dada, perutdan otak
serta lambung(bila racun melalui mulut) darah, otot dan penampang tubuh dapat
berwarna merah terang. Selanjutnya hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ
tubuh. 5
Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan
pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena

19

terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat
mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal atau posmortal.
2.3.3

Asfiksia Tenggelam
Pada kasus asfiksia tenggelam, seluruh tubuh tidak harus tenggelam di air.

Asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah permukaan air maka hal itu sudah
cukup memenuhi kriteria sebagai peristiwa tenggelam . Berdasarkan pengertian
tersebut maka peristiwa tenggelam tidak hanya dapat terjadi di laut atau sungai tetapi
dapat juga terjadi di dalam wastafel atau ember berisi air. Jumlah air yang dapat
mematikan jika dihirup oleh paru-paru adalah sebanyak 2 liter untuk orang dewasa
dan 30 sampai 40 mililiter untuk bayi. 3
Pengertian lain tentang tenggelam adalah kematian akibat perendaman dalam
cairan dan termasuk jenis mati lemas (asfiksia) oleh karena jalan napas terhalang oleh
air/cairan, yang terhisap masuk ke jalan napas sampai ke alveoli paru-paru.
Reaksi awal pada tenggelam adalah usaha bernafas, yang berlangsung hingga
batas kemampuan dicapai, dimana seseorang harus bernafas, batas kemampuan
ditentukan oleh kombinasi antara kadar CO2 yang tinggi dan konsentrasi O2 yang
rendah. Menurut Pearn, batas kemampuan terjadi pada tingkat PCO2 dibawah 55
mmHg saat terdapat hipoxia dan tingkat PAO2 dibawah 100 mmHg saat PCO2 tinggi.
Melewati batas kemampuan, seseorang menarik nafas secara involuntary, pada saat
ini air mencapai larinks & trakea, menyebabkan spasme laring yang diakibatkan
tenggelam (pada air tawar), terdapat penghirupan sejumlah besar air, tertelan dan
akan dijumpai dalam perut. Selama bernafas di air, penderita mungkin muntah dan
terjadi aspirasi isi lambung. Usaha pernafasan involuntar di bawah air akan
berlangsung selama beberapa menit, hingga pernafasan terhenti. hipoksia serebral
akan berlanjut hingga irreversibel dan terjadi kematian.
Mekanisme tenggelam :
1. Dengan aspirasi cairan (typical atau wet drowning)
2. Tanpa aspirasi cairan (atypical atau dry drowning)

20

3. Near drowning, yaitu kematian terjadi akibat hipoksia ensefalopati atau


perubahan sekunder pada paru
2.3.3.1 Wet drowning
Pada wet drowning terjadi inhalasi cairan dengan mekanisme kejadian sebagai
berikut.
1. korban menahan napas
2. peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 maka korban megap-megap, terjadi
regurgitasi dan aspirasi dari lambung
3. refleks laringospasme yang diikuti dengan pemasukan air
4. korban kehilangan kesadaran
5. apnoe
6. megap-mega kembali, bisa sampai beberapa menit
7. kejang-kejang/konvulsi
8. berakhir dengan henti napas dan jantung
Perubahan-perubahan pada paru :
o Refleks vasokonstriksi akan menyebabkan hipertensi pulmonal
o Bronkokonstriksi akan meningkatkan resistensi jalan napas
o Denaturasi surfaktan yang disertai deplesi yang cepat dari jaringan paru
akan menyebabkan rasio ventilasi/perfusi menjadi abnormal
o Pada tingkat seluler, terjadi kerusakan endotel vaskular dan sel epitel
bronkial/alveoli
o Aspirasi air tawarakanmenyebabkanhemodilusi, aspirasi air laut akan
menyebabkan hemokonsentrasi
o Perubahan tegangan permukaan paru akan menyebabkan ketidakstabilan
alveoli dan paru menjadi kolaps.
2.3.3.2 Dry Drowning
Angka kematian tenggelam dry drowning mencapai 15-20% dari kasus
tenggelam yang lain, cirinya adalah tidak disertai dengan aspirasi cairan. Kematian
ini

biasanya

terjadi

mendadak

dan

tidak

tampak

adanya

tanda-tanda

perlawanan. Mekanisme kematian yang pasti masih tetap spekulatif.


21

Cairan yang mendadak masuk dapat menyebabkan 2 macam mekanisme :

laringospasme yang akan menyebabkan asfiksia dan kematian

mengaktifkan system saraf simpatis sehingga terjadi refleks vagal yang


akan mengakibatkan cardiac arrest.

Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning :


1. intoksikasi alcohol (mendepresiaktivitaskortikal)
2. penyakit yang telahada, misal atherosclerosis
3. kejadian tenggelam/terbenam secara tak terduga/mendadak
4. ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan sirkulasi katekolamin,
disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabkan cardiac arrest
2.3.3.2 Near Drowning
Korban mengalami hipovolemik akibat perpindahan cairan ke paru dan
jaringan seluruh tubuh. Gejala sisa yang lain, seperti disrimia, defisit neurologis dan
renal, dipercaya merupakan akibat langsung dari hipoksia dibanding akibat
tenggelam.
2.3.3.3 Tanda umum dan tipe penyebab pada kematian tenggelam
Air menghantarkan panas 25x lebih cepat dari udara. Kecepatan perpindahan
panas tubuh yang beradadalam air dipengaruhi beberapa hal:
1. bentuk tubuh (lemak merupakan isolator panas)
2. usia (anak-anak memiliki luas permukaan tubuh paling proporsional
sehingga akan menjadi lebih cepat dingin)
3. pergerakan, misalnya berenang (akan memindahkan air yang lebih hangat
ke dekat tubuh)
4. perlengkapan isolator, seperti pakaian
Pada kematian asfiksia tenggelam juga terjadi tiga fase klinis yang secara
umum diakibatkan oleh hipotermia.
1. fase eksitatori, korban gemetaran disertai kebingungan
2. fase adinamik, terjadi rigiditas muscular dan penurunan kesadaran
3. fase paralitik, ketidaksadaran yang akan diikuti oleh aritmia dan kematian.
22

Fase-fase ini penting diketahui untuk keperluan resusitasi pada korban yang
hampir mati tenggelam sebab pada fase paralitik korban dapatdikira telah meninggal.
Sebab Kematian
Kematian sebelum badan korban berada di dalam air. Dapat disebabkan oleh
penyakit, kematian mendadak, menyebabkan korban jatuh ke air dari perahu.
Penyebab kematian lainnya pada kasus kriminal, merupakan korban pembunuhan
yang sengaja dibuang ke air, dengan harapan identitas dan kausa kematian dapat
disembunyikan dengan pembusukan yang timbul. Oleh trauma yang disebabkan
karena terjatuh (seperti luka akibat bentur batu, sisi kolam renang, dermaga,
jembatan, dll) atau trauma saat di dalam air (terbentur dasar sungai, kolam atau
terhanyut gelombang pasang dan terbentur lengkungan jembatan, batu atau obstruksi
lainnya) atau akibat trauma oleh karena perahu atau mesin perahu.
Kematian yang terjadi pada peristiwa tenggelam dapat disebabkan oleh tipe I
dan tipe II.
Vagal reflex (tenggelam tipe Ia)
Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan pos mortem tidak
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam paru-parunya (paru-paru
kering) sehingga sering disebut tenggelam kering (dry drwoning).
Spasme laring (tenggelam tipe Ib)
Kematian karena spasme laring pada peristiwa tenggelam sangat jarang sekali.
Spasme laring tersebut disebabkan karena rangsangan air yang masuk ke laring. Pada
pemeriksaan pos mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, tetapi paru-parunya
tidak didapati adanya air atau benda-benda air, ditemukan pada kasus dry drowning.
Tipe II adalah penyebab kematian akibat pengaruh air yang masuk paru-paru,
dibagi menjadi tenggelam di air tawar (tenggelam tipe IIa) dan di air asin (tenggelam
tipe IIb).
Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia disertai
gangguan elektrolit. Perlu diketahui bahwa masuknya air tawar di dalam paru-paru
akan mengakibatkan hemodilusi dan hemolisis. Dengan pecahnya eritrosit maka ion
kalium intrasel akan terlepas sehingga menimbulkan hyperkalemi yang akan

23

mempengaruhi kerja jantung (terjadi fibrilasi ventrikel). Pemeriksaan pos mortem


ditemukan tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl jantung kanan lebih tinggi dari jantung
kiri dan adanya buih serta benda-benda air di paru-paru
Pada peristiwa tenggelam di air asin akan mengakibatkan terjadinya anoksia
dan hemokonsentrasi. Tidak terjadi gangguan keseimbangan elektrolit. Pemeriksaan
pos mortem ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri
lebih tinggi daripada jantung kanan dan ditemukan buih serta benda-benda air pada
paru-paru. Kematian di air asin terjadi lebih lama daripada kematian tenggelam di air
tawar.
Setelah mengetahui tipe penyebab kematian asfiksia, maka tanda-tanda post
mortem yang dapat dilihat adalah melalui pemeriksaan luar, otopsi (pemeriksaan
dalam), dan melalui tes konfirmasi, dengan rincian sebagai berikut.
1. Pemeriksaan luar pada kasus tenggelam
Pada pemeriksaan luar akan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut :

Pakaian basah, kadang-kadang bercampur lumpur


Kulit basah , keriput dan kadang-kadang seperti kulit angsa (cutis anserina)
Kulit telapak tangan dan telapak kaki kadang-kadang menyerupai washer

womans skin
Lebam mayat terutama pada kepala dan leher
Dapat ditemukanadanya tanda-tanda asfiksia
Kadang-kadang ditemukan cadaveric spasm
Satu-satunya tanda pada pemeriksaan luar yang memberi petunjuk kuat
terjadinya peristiwa tenggelam adalah adanya buih halus yang terbentuk akibat
acut pulmonary edema, berwarna putih dan persisten. Buih menjadi banyak jika
dada ditekan.

2. Pemeriksaan dalam/Otopsi
Tujuan pemeriksaan dalam atau otopsi adalah untuk mencari sumbatan
makroskopis di jalan nafas sehingga benar dapat dipastikan kematian korban adalah
akibat asfiksia. Trakea dibuka dengan gunting, lalu diperhatikan mukosa trakea.
Bronkus dibuka dengan gunting sampai ke cabang yang paling kecil, cari bendabenda air. Bila paru diiris : keluar darah campur buih.

24

Pada pemeriksaan dalam ditemukan tanda-tanda sebagai berikut.

Saluran napas (trakhea dan bronkus) ditemukan adanya buih.


Paru-paru membesar dan pucat seperti layaknya paru-paru penderita asma tetapi
lebih berat dan basah, di banyak bagian terlihat gambaran seperti marmer, bila
permukaannya ditekan meninggalkan lekukan dan bila diiris terlihat buih berair.
Kondisi paru-paru seperti itu disebut emphyema aquosum, yang merupakan

petunjuk kuat terjadinya peristiwa tenggelam .


Lambung dan esofagus berisi air dengan butir-butir pasir dan algae
Bila terjadi hemolisis maka akan terlihat adanya bercak hemolisis pada dinding
aorta
Sedangkan tanda Tenggelam yang Bermakna

o Busa yang berasal dari hidung dan mulut dapat timbul pada kasus tenggelam
dan merupakan salah satu tanda klasik edema pulmonum tetapi dapat pula
timbul pada beberapa keadaan.
o Bila tidak ditemukan penyebab lain maka adanya busa dapat diterima sebagai
tanda tenggelam.
o Busa ini terdiri dari protein dan air yang terkocok dan membentuk gelembunggelembung kecil bersama-sama dengan surfaktan paru akibat kontraksi
respirasi.
o Adanya air dalam mulut, saluran pernapasan, paru-paru, esofagus dan perut
bukan merupakan petunjuk yang dapat diterima, karena dapat timbul setelah
kematian.
o Distensi paru yang hebat

salah satu tanda klasik (kadang tidak ditemukan)

dan dibedakan dengan penyakit seperti asma bronchiale.


o Bila sternum diangkat saat otopsi, paru-paru akan terlihat memenuhi rongga
mediastinum, sehingga rongga kosong di atas jantung hilang.
o Paru-paru pucat, spongios dan dapat tertekan pada bagian dalam thorax dengan
sangat kuat sehingga tampak indentasi costa pada permukaan paru.
o Merupakan bukti kuat diagnosa tenggelam dan lebih bermakna dibandingkan
cairan pada paru dan saluran pernapasan.
3. Pemeriksaan Khusus Tenggelam/Tes Konfirmasi
a. Pemeriksaan getah paru

25

Mencari benda asing (pasir, lumpur, tumbuhan, telur cacing) yang diambil
daerah subpleura. Interpretasi:

Positif + tidak ada sebab kematian tenggelam lain

Positif + ada sebab lain tenggelam atau sebab lain tersebut

Negatif: korban meninggal dulu, tenggelam dalam air jernih, mati sebab
vagal reflex/spasme laring

b. Tes destruksi jaringan/destruction test


Tujuan tes destruksi jaringan adalah:
o Untuk mencari diatome (ganggang kersik). Diperiksa bagian perifer paru
o Harus sama dengan yang ada dalam perairan tersebut
Interpretasi:
1)

Postif sampai 5/LPB (paru), 1/LPB(sumsum tulang)

2) Positif palsu pada penyelam yang mencari pasir, batuk kronis


c. Penentuan berat jenis
a) Dengan CuSO4, normal=1,059 (1,0595-1,060)
b) Air tawar = 1,055
c) Air laut = 1,065
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asfiksia adalah istilah yang sering digunakan untuk menyatakan berhentinya
respirasi yang efektif (cessation of effective respiration)atau ketiadaan kembang
kempis (absence of pulsation).
Asfiksia sering dirancukan dengan Anoksia/Hipoksia, namun yang disebut
Asfiksia adalah Anoksia Anoksik yaitu keadaan Anoksia yang disebabkan oleh
kekurangan oksigen yang memasuki paruparu ataupun obstruksi mekanik pada jalan
napas.

26

Asfiksia menjadi salah satu cara kematian baik dalam kejadian kecelakaan,
bunuh diri, ataupun pembunuhan. Bunuh diri ataupun pembunuhan dengan teknik
-teknik asfiksia cukup banyak dilakukan karena dapat dilakukan dengan alatalat
yang sederhana, kematian berlangsung secara cepat, dan meninggalkan bekas luka
(ataupun ceceran darah) yang minimal.
Penyebab-Penyebab kematian yang tergolong dalam asfiksia antara lain
Gantung (hanging), Jeratan dengan tali (Striangulation by Ligature), Cekikan
(Manual Striangulation), Sufokasi, Pembekapan (Smothering), Penyumpalan
(Choking / Gaging), Crush Asphyxia, dan Tenggelam, sedangkan cara kematian pada
kejadian asfiksia dapat terjadi akibat kecelakaan, bunuh diri, ataupun pembunuhan.3,6,7
Sebelum kematian, makan pada korban asfiksia akan terjadi gejala gejala
klinik antara lain dyspneu (pernapasan meningkat, denyut nadi meningkat, tekanan
darah naik, dan cyanosis), konvulsi (konvulsi klonik lalu tonik, dan diikuti spasme
opistotonik, jantung melambat dan pupil melebar), apneu (terjadi depresi napas
sehingga nafas menjadi sangat minimal, penderita tidak sadar dan dapat disertai
pengeluaran sperma, urine, atau feces), dan stadium akhir (terjadi paralise secara
komplit dari pusat pernapasan, dapat terlihat kontraksi dari otot pernapasan
sekunder).
Kematian akibat asfiksia dapat dikenali dari tandatanda umum pada jenazah
yang meninggal akibat asfiksia, antara lain Cyanosis (darah menjadi lebih encer dan
gelap karena kekurangan oksigen, warna kulit, mukosa, dan lebam mayat menjadi
lebih gelap, kecuali pada kematian akibat keracunan CO), Kongesti Vena (kongesti
khas pada asfiksia yaitu kongesti sistemik yang yang terjadi pada kulit dan organ lain,
kongesti vena juga berdampak menjadi petechial haemorraghes), dan Edema (akibat
kerusakan dari pembuluh darah kapiler).
Kejadian tenggelam juga digolongkan ke dalam kejadian asfiksia, hal yang
khas pada kejadian tenggelam yaitu korban kekurangan oksigen karena air yang
memenuhi saluran pernapasan. Air yang masuk ke dalam paru paru menyebabkan
gagalnya pertukaran oksigen dan perpindahan cairan karena perbedaan tekanan
osmotik. Salah satu tanda pada pemeriksaan luar yang memberi petunjuk kuat

27

terjadinya peristiwa tenggelam adalah adanya buih halus yang terbentuk akibat acute
pulmonary edema, buih menjadi banyak bila dada ditekan. Diagnosis kematian akibat
tenggelam juga dapat ditunjang dengan pemeriksaan khusus seperti tes getah paru, tes
destruksi jaringan, dan penentuan berat jenis air.
3.2 Saran
1. Mahasiswa perlu mempelajari dan mengetahui kematian akibat asfiksia guna
kepentingan hukum dan peradilan.
2. Mahasiswa perlu mempelajari proses kematian oleh sebab asfiksia sehingga dapat
memberikan pertolongan pertama pada korban asfiksia yang belum mengalami
kematian.
3. Mahasiswa perlu mempelajari ciriciri khusus pada kematian akibat asfiksia
sehingga dapat membedakan sebab kematian dan cara kematian korban.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Tanya
Jawab Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta : 2010
2. www.aic.cuhk.edu/subconjungtiva.htm
3. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu
Kedokteran Forensik, Edisi Kedua. Jakarta : 1997
4. Etam Odah. Keracunan Karbon Monoksida. http://www.kutaikartanegara.com,
diakses Oktober 2008.
4

Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik.pdf. Authors : Mohan S.

5
6

Dharma, S.Ked;
Slide kuliah Asfiksia oleh Dr.Santosa, Sp. F
Slide kuliah Asfiksia oleh Dr. Bambang PN, Sp.F
28

29

You might also like