Professional Documents
Culture Documents
SKENARIO 3
TRAUMA 2
Auliza Wihardias
112010101012
112010101027
112010101028
Ivan Firmansyah
112010101029
Vidya Muqsita
112010101036
112010101049
112010101054
112010101058
112010101063
112010101066
112010101070
112010101074
112010101079
112010101089
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
SKENARIO 3
TRAUMA 2
Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dan ibunya dibawa ke IGD rumah sakit
karena kecelakaan sepeda motor, sementara ayahnya meninggal di tempat kejadian. Dokter
jaga segera melakukan pemeriksaan, setelah melakukan primary survey, dokter
melanjutkan dengan melakukan secondary survey dan menemukan jejas di dada sebelah
kanan, gerak nafas yang tidak simetris dan suara nafas kanan menghilang, regio abdomen
distensi yang disertai jejas kebiruan pada kuadran kiri atas, jejas di daerah suprapubik,
hematom dan bercak darah di meatus orificium eksterna yang sudah mengering.Dia juga
mengalami luka bakar grade I pada tungkainya, karena terkena knalpot.
Ibunya juga mengalami luka serius, ditemukan crepitasi di daerah mandibula,
sedang di regio ekstremitas didapatkan luka terbuka dan tampak patahan tulang pahakanan.
Dokter jaga selanjutnya meminta dilakukan foto rontgen kepala dan femur dextra.
A. TRAUMATOLOGI
Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang di maksud dengan
2
luka adalah suatu keadaan ketidak sinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat penyebabnya, kekerasan bisa di bedakan atas kekerasan yang bersifat :
Mekanik, terdiri dari :
Suhu
Suhu cairan panas maksimal adalah pada titik didih kerusakan terjadi tergantung
pada tingginya titik didih
Cairan mengalir ke tempat yang rendah
Saat mengalir benda cair akan melepaskan kalorinya sehingga makin lama, makin
rendah suhunya, dan kerusakan terjadi akan makin ringan
Sering ditemukan pada kecelakaan atau pada pembunuhan
Asam kuat
Asam kuat bersifat higroskopis
Bila mengenai kulitmenarik air dari jaringankulit mengering dan mencekung,
teraba kaku,warna coklat kehitaman
Kertas lakmus dapat ditunjukkan reaksi asam pada luka yang terjadi
Ditemukan pada kasus pembunuhan, kecelakaan, bunuh diri
Bila asam kuat masuk melalui mulut terjadi kerusakan sepanjang saluran cerna
dan dapat timbul perforasi
Basa kuat
Larutan basa kuat akan menembus dinding sel menimbulkan kelainan intra sel
berupa reaksi penyabunan
Kulit pada daerah terkena basa kuat berwarna kelabu kekuningan dan menimbul
serta licin pada perabaan
Kertas lakmusdapat ditunjukkan reaksi basa pada luka
Sering ditemukan pada kasus kecelakaan maupun bunuh diri
Bila basa kuat masuk melalui mulutterjadi kerusakan sepanjang saluran cerna,
dapat terjadi perforasi
Biomekanik Trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian cedera pada suatu jenis
kekerasan atau kecelakaan tertentu. Misalnya, jatuh dari sepeda motor akan menimbulkan
cedera yang berbeda dibandingkan dengan orang yang ditabrak mobil.
Biomekanik Trauma penting diketahui karena akan membantu dalam :
Sedangkan jenis perlukaan bisa dibagi menjadi perlukaan yang tampak (kelihatan)
misalnya luka bagian luar, dan perlukaan yg tidak dapat dilihat secara langsung, misalnya
perukaan organ bagian dalam. Organ dalam tubuh dapat dibagi menjadi :
-
Organ yang tidak berongga (padat, solid) contoh : hati, paru, otak
Cedera akibat gaya percepatan (akselerasi) pengendara mobil ditabrak dari belakang
Cedera kompresi (efek kantong kertas) mainan anak2 yaitu sebuah kantong kertas
Sabuk pengaman
Jika mobil kecil kemungkinan mencederai dada, mobil besar kemungkinan mencederai
perut, atau bahkan mencederai dada dan perut sekaligus. Dalam menangani kasus ini,
penolong harus teliti dalam melakukan pemeriksaan.
Fase 3
Tubuh penderita akan naik, lalu kepala membentur kaca mobil. Dalam fase ini yang perlu
diwaspadai adalah cedera kepala atau leher penderita.
Fase 4
Penderita terpental kembali ke tempat duduk. Pada fase ini kemungkinan terjadi cedera
tulang belakang (dari tulang cervikal sampai tulang sakrum). Pada jenis kendaraan yang
tidak memakai sandaran kepala (head rest) harus berhati-hati terhadap kemungkinan cedera
pecut (whiplash injury) pada tulang leher.
Sedangkan kemungkinan yang paling parah pada fase ini adalah penderita bisa terpental ke
luar kendaraan, sehingga cedera yang diakibatkan bisa lebih banyak lagi (multi trauma) .
2. Tabrakan dari belakang
Tabrakan dari belakang bisa terjadi pada kendaraan yang sedang berhenti atau kendaraan
yang kecepatannya lebih lambat. Cedera yang sering terjadi biasanya karena adanya daya
pecut (whiplash injuri) dan cedera yang harus diwaspadai adalah cedera dibawah tulang
leher, apalagi jika kendaraan tersebut tidak memakai headrest.
3. Tabrakan dari samping (lateral)
Tabrakan dari samping yang sering terjadi di perempatan jalan yang tidak ada rambu lalulintasnya. Cedera yang bisa terjadi di bagian samping yang tertabrak kendaraan, yaitu bisa
dari kepala hingga kaki tergantung jenis kendaraan yang menabrak dan yang ditabrak.
4. Terbalik
Kendaraan yang terbalik secara perlahan dan pengemudi atau penumpangnya memakai
sabuk pengaman jarang sekali mengalami cedera yang serius, lain halnya dengan
kendaraan yang terguling (roll over) apalagi penumpangnya tidak memakai sabuk
pengaman, bisa mengakibatkan cedera di semua bagian tubuh (multi trauma).
Dalam menangani kasus seperti ini penolong harus berhati-hati karena semua bagian bisa
mengalami cedera baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pada kejadian
dengankendaraan terbalik yang harus diwaspadai adalah cedera daerah tulang belakang dan
cedera organ dalam.
Luka pada kecelakaan Sepeda Motor
Luka pada kecelakaan Sepeda motor berhubungan dengan kecelakaan sepeda motor baik
secara tunggal, tabrakan, dengan sepeda motor lain, atau kendaraan beroda 4, dan bisa juga
menyebabkan sepeda motor tersebut menabrak pejalan kaki sehingga akan menyebabkan
perlukaan pada pejalan kaki tersebut (Tedeschi CG, Eckert, & Tedeschi LD 1977). Pola
kelainan pada pengemudi sepeda motor (Idries 1997).
1. Luka karena impak primer pada tungkai, luka Karena impak sekunder pada bagian
tubuh lain, sebagai akibat benturan tubuh dengan bagian lain dari kendaraan lawan.
2. Luka yang terjadi sekunder, sebagai akibat benturan korbandengan jalan.
3. Luka yang terjadi sekunder, seringkali merupakan penyebab kematian pada korban,
karena yang mengalami kerusakan adalahkepalanya.
4. Fraktur pada tengkorak sebagai akibat luka sekunder tersebut dapat mudah
diketahui, yaitu dari sifat garis patahnya, dimana terdapatgaris patah yang linier
(Fraktur Linier), sedangkan pada keadaanlain, misalnya kepala dipukul dengan palu
yang berat frakturnyaadalah fraktur kompresi.
5. Dengan demikian terdapat perbedaan kelainan frakturtengkorak, yaitu bila korban
(kepala), bergerak mendekati bendatumpul (jalan), dengan bila kepala diam akan
tetapi bendatumpulnya (palu), yang datang mendekati kepala.
6. Perlu diketahui bahwa bagi pembonceng kendaraan sepeda motortidak ditemukan
kelainan yang khusus.Harus juga diingat kemungkinan terjadinya cedera perut
padapengemudi motor, dalam hal ini usus terjepit diantara setang setir dan
tulangbelakang, namun pada pemeriksaan fisik hanya ada jejas pada bahu ataukulit
perut (Sjamsuhidajat & Jong 2004)
DEFINISI
Trauma medula spinalis adalah trauma yang mengenai sumsum
tulang belakang( spinal cort / medula spinalis) yang pada umumnya
terletak pada intra-dural ekstra meduler. Selain itu juga ada yang terjadi
pada ekstra dural serta intra-durel walaupun jumlahnya tidak banyak.
ETIOLOGI
Penyebab dari Trauma medula spinalis yaitu karena kecelakaan
mobil, sepeda motor, menyelam, berselancar dan kecelakaan atletik
lain, tembakan senapan merupakan merupakan penyebab utama dari
medula spinalis.
PATOFISIOLOGI
Kerusakan medula spinalis berkisar dari komosio sementara
( dimana pasien sembuh sempurna) sanpai kontusio, laserasi dan
kompresi substansi medula ( baik salah satu maupun kombinasi).
Sampai transeksi lengkap medula ( yang membuat pasien paralisis
dibawah tingkat cidera).
10
ini
umumnya
kebanyakansatu
sama
mempunyaigejala
lainnya,
baik
klinis
intradural
yang
hampir
extra-meduler,
KEMEROSOTAN
NEUROLOGIS
SEHUBUNGAN
11
TINKAT LESI
KEMEROSOTAN NEUROLOGIS
C1 ke C2
ke
C4
Quqrdiplegia
kehilangan
saraf
yang
menyilang.
C6 ke C7
bisep.
C7 ke C8
sexual.
Diagnosis
Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai
dengan dislokasi.
Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat
membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan
likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt
menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat
12
tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi
fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan
antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi
trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada
daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.
Penatalaksanaan (1,2,3)
Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah konservatif dan
simptomatik. Manajemen yang paling utama untuk mempertahankan fungsi
medula spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan
jaringan medula spinalis yang mengalami trauma tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkas sebagai berikut :
stabilisasi, imobilisasi medula spinalis dan penatalaksanaan hemodinamik dan
atau gangguan otonom yang kritis pada cedera dalam fase akut, ketika
penatalaksanaan gastrointestinal (contoh, ileus, konstipasi, ulkus),
genitourinaria (contoh, infeksi traktus urinarius, hidronefrosis) dan sistem
muskuloskletal (contoh, osteoporosis, fraktur).
Jika merupakan suspek trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual
atau dengan collar. Pindahkan pasien secara hati-hati.
Terapi radiasi mungkin dibutuhkan pada penyakit dengan metastasis. Untuk
tumor spinal yang menyebabkan efek massa gunakan deksametason dosis
tinggi yaitu 10-100 mg intra vena dengan 6-10 mg intravena per 6 jam selama
24 jam.Dosis diturunkan dengan pemberian intravena atau oral setiap 1
sampai 3 minggu.
Trauma medula spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otototot interkostal. Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernapasan bahkan
kadangkala apnea. Bila perlu dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian
oksigen saja tidak efektif membantu penderita. Pada trauma servikal,
hilangnya kontrol vasomotor menyebabkan pengumpulan darah di pembuluh
darah abdomen, anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi,
menyebabkan imbulnya hipotensi.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi
gaster akut. Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi
dan akan memperberat pernapasan.
Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan
pemberian enema. Kemudian bila peristaltik timbul kembali dapat diberikan
obat pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema
dapat diganti dengan supositoria.
13
Operasi
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasuskasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi :
Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
Anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat adanya
fraktur servikal dengan lesi parsial medulaspinalis dengan fragmen tulang
tetap menekan permukaan.
Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh
herniasi diskusintervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan
mielografi dan scan tomografi untuk membuktikan fragmen yang menekan
lengkung saraf, adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis
spinalis.
Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada
mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan,
harus dicurigai hematoma.
C. TRAUMA MUSKULOSKELETAL
14
KONTUSIO
a. Pengertian
- Kontusio merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada jaringan
lunak yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang langsung
-
mengenai jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh (Arif Muttaqin,2008: 69).
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul,mis : pukulan,
minggu kemudian, begkak yang merata, sakit, nyeri dan pergerakan terbatas.
Kontusio kecil mudah dikenali karena karakteristik warna biru atau ungunya
15
Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah yang terbatas
disebut hematoma.
Nyeri pada kontusio biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan yang
menyertai sedang sampai berat (Hartono Satmoko, 1993:191).
e.
Patofisiologi
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada kerusakan
kulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana pembuluh darah lebih rentan rusak dibanding
orang lain. Saat pembuluh darah pecah maka darah akan keluar dari pembuluhnya ke
jaringan, kemudian menggumpal, menjadi Kontusio atau biru. Kontusio memang dapat
terjadi jika sedang stres, atau terlalu lelah. Faktor usia juga bisa membuat darah mudah
menggumpal. Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut menurun (Hartono Satmoko, 1993:
192).
Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalamifagositosis dan didaurulang
oleh makrofaga. Warna biru atau unguyang terdapat pada kontusio merupakan hasil reaksi
konversi dari hemoglobin menjadi bilirubin. Lebih lanjut bilirubin akan dikonversi
menjadi hemosiderin yang berwarna kecoklatan.
Tubuh harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan dan tetap mengalir
dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi pembuluh darah, jumlah dan
kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme pembekuan darah yang harus baik. Pada
purpura simplex, penggumpalan darah atau pendarahan akan terjadi bila fungsi salah satu
atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu (Hartono Satmoko, 1993: 192).
f.
Penatalaksanaan
2.
Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan jaringanjaringan lunak yang rusak.
3.
Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun pertandingan berikutnya.
SPRAIN
a. Pengertian
Sprain adalah cedera struktur ligamen di sekitar sendi akibat gerakan menjepit atau
memutar. Sprain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada ligament
(jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi, yang memberikan
stabilitas sendi. Kerusakan yang parah pada ligament atau kapsul sendi dapat menyebabkan
ketidakstabilan pada sendi. Fungsi ligamen adalah menjaga stabilitas, namun masih
mampu melakukan mobilitas. Ligamen yang sobek akan kehilangan kemampuan
stabilitasnya. Pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema, yaitu sendi terasa nyeri
tekan dan gerakan sendi terasa sangat nyeri (Brunner & Suddart,2001: 2355).
b. Etiologi
-
Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang normal,
c.
Manifestasi klinis
-
Nyeri
Inflamasi/peradangan
Ketidakmampuan menggerakkan tungkai.
Patofisiologi
Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi, yang
disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong / mendesak
pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan
17
tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi
robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya
tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan (Brunner &
Suddart,2001: 2357).
f.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Riwayat :
a. Tekanan
b. Tarikan tanpa peredaan
c. Daya yang tidak semestinya
2. Pemeriksaan Fisik :
Tanda-tanda pada kulit, sistem sirkulasi dan muskuloskeletal .
g.
Penatalaksanaan
1. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; penguranganpengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
2. Kemotherapi
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri
dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam)
untuk nyeri hebat.
3. Elektromekanis.
a.
b.
Pembalutan
wrapping
eksternal.
Dengan
pembalutan,
cast
atau
pengendongan (sung)
c.
d.
Latihan ROM. Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan
perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan
yang sakit.
e.
3. STRAIN
a. Pengertian
18
Strain merupakan tarikan otot akibat penggunaan dan peregangan yang berlebihan
b. Etiologi
- Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak, seperti pada
pelari atau pelompat.
- Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak.
- Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang
berlebihan/tekanan berulang-ulang,menghasilkan tendonitis (peradangan pada
tendon).
c.
Manifestasi klinis
Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa:
- Nyeri
- Spasme otot
- Kehilangan kekuatan dan
- Keterbatasan lingkup gerak sendi.
Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh karena penggunaan
-
d. Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau
tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang
salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot belum siap,terjadi
pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring (otot paha bagian bawah),dan
otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera
kontusio dan membengkak (Chairudin Rasjad,1998).
e.
Klasifikasi Strain
1. Derajat I/Mild Strain (Ringan)
19
Derajat i/mild strain (ringan) yaitu adanya cidera akibat penggunaan yang
berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa
stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament (Chairudin Rasjad,1998).
a. Gejala yang timbul :
Nyeri local
Meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot
b. Tanda-tandanya :
Adanya spasme otot ringan
Bengkak
Gangguan kekuatan otot
Fungsi yang sangat ringan
c. Komplikasi
Strain dapat berulang
Tendonitis
Perioritis
d. Perubahan patologi
Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon
e.
dan
pemberian
istirahat,kompresi
yaitu
adanya
cidera
pada
unit
20
Perubahan patologi :
Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon.
d. Terapi :
Imobilisasi
dengan
kemungkinan
pembedahan
f.
untuk
mengembalikanfungsinya.
Manifestasi Klinis
1. Biasanya perdarahan dalam otot, bengkak, nyeri ketika kontraksi otot
2. Nyeri mendadak
3. Edema
4. Spasme otot
5. Haematoma
g.
Komplikasi
1. Strain yang berulang
2. Tendonitis
h.
Penatalaksanaan
1. Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat penyembuhan
2. Meninggikan bagian yang sakit,tujuannya peninggian akan mengontrol
pembengkakan.
3. Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau kering diberikan
secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan mengurangi perdarahan
edema dan ketidaknyamanan.
Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 72 jam sedangkan mati rasa
biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung
selama 30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin
untuk menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan
21
DISLOKASI
a. Pengertian
- Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk
sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis
membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya.
-
c.
Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dislokasi congenital:Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
2. Dislokasi patologik: Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi.
misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan
tulang yang berkurang
3. Dislokasi traumatic.Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan
mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena
mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat
mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak
struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada
orang dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi :
- Dislokasi Akut
22
Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan
pembengkakan di sekitar sendi.
-
Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang
berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang.
Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.Dislokasi
biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh
berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
Tidak diketahui
e.
Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan
Nyeri
Deformitas
Kekakuan
g.
Penatalaksanaan
Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan
dijaga agar tetap dalam posisi stabil.
24
Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 34X sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi.
h.
Komplikasi
Komplikasi Dini
Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan
otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot
tesebut.
Fraktur disloksi
Komplikasi lanjut.
Kelemahan otot
25
D. TRAUMA MAXILOFACIAL
Muka terdiri dari :
- Jaringan lunak (kulit, otot dan jaringan dalamnya)
- Tulang muka, tulang kepala yang tidak membatasi otak yaitu :- tulang hidung
- tulang zigoma
- tulang maksila
- tulang mandibula
Gejala pada fraktur tulang muka :
- Nyeri tekan lokal
- Hematom lokal
- Gangguan oklusi rahang
- Gangguan faal rahang bawah
- Gangguan sensibilitas
- n. supraorbita
- n. infraorbita
- n. mandibularis
- Mata juling disertai bengkak atau hematom orbita
- Arkus zigomatikus kiri kanan tidak simetris
- Perubahan bentuk hidung
PENATALAKSANAAN
- ABCDE
- Terutama perhatikan airway
Adanya suara snoring (mendengkur), gurgling (berkumur), (crowing/stridor)
bersiul, suara parau (sumbatan pada laring)
Teknik mempertahankan airway
- keluarkan semua muntahan
- suction perdarahan
- manuver chinlift/ jaw thrust
- pemasangan orofaringeal
- cricotiroidotomi
Bila terdapat trauma penyerta yang membahayakan jiwa, maka trauma penyerta
tersebut ditangani dulu sedang penanganan definitif trauma maksilofacial belakangan . Bila
disertai gangguan kesadaran, penanganan definitif ditunggu sampai kesadaran baik dan
kooperatif
26
Fraktur zigoma
Zigoma mambentuk dinding lateral orbita, sering terkena trauma langsung.
Klinis :
adanya displaced, diplopia dan enoftalmus (karena fraktur dasar orbita (blow out
frakture)), gangguan n.infraorbita (hipoestesia), trismus.
Pemeriksaan penunjang : Ro. Posisi Waters
27
Fraktur maksila
- Trauma langsung
- Pembagian
- LeFort I
- LeFort II
- LeFort III
Klinis :
Inspeksi : muka asimetris, pembengkakan (wajah balon), hematom, trismus, nyeri
spontan, maloklusi
Palpasi : dilakukan secara serentak (kanan kiri bersamaan), seksama (hati-hati) dan
sistematis (3S)
Pemeriksaan penunjang : Ro Waters
Fraktur mandibula
- Trauma langsung
- Klinis
Inspeksi : asimetris dan maloklusi
Palpasi : teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat
kerusakan n.mandibularis. Fraktur umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang
karena tonus otot yang menginsersi ditempat tersebut.
Pemeriksaan penunjang : Ro. Mandibula AP/Lat. (posisi Eisler)
- Pembagian : fraktur simpisis, korpus, angulus, ramus prosesus kondiloideus &
koronoideus
28
E. TRAUMA TORAX
Merupakan salah satu penyebab utama kematian. Banyak penderita meninggal setelah
sampai di RS, dan banyak diantara kematian ini sebenarnya dapat dicegah dengan
meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi.
Patofisiologi :
Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh cedera toraks.Hipoksia jaringan
merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena
hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion missmatch (contoh :
kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intra toraks (tension
pneumothorax, pneumotoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering diakibatkan oleh tidak
adekuatnyaventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).
Initial Assessment dan pengelolaan :
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey
b. Resusitasi fungsi vital
c. Secondary survey yang rinci
29
d. Perawatan definitif
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada cedera toraks, intervensi
dini perlu dilakukan untk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat
dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam jiwa diterapi dengan mengontrol
airway atau melakukan pemasangan selang toraks atau dekompresi toraks dengan
jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan kewaspadaan yang tinggi
terhadap adanya cedera toraks yang bersifat khusus.
Primary Survey : Cedera Yang Mengancam Nyawa
Dimulai dengan airway :
Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat melakukan primary survey.
Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan udara pada
hidung penderita, mulut dan dada serta dengan inspeksi pada darah orofaring untuk
sumbatan airway oleh benda asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal
dan supraklavikular.
Cedera laring dapat bersamaan dengan cedera toraks. Walaupun gejala klinis yang ada
kadang tidak jelas, sumbatan airway karena cedera laring merupakan cedera yang
mengancam nyawa.
Beberapa kondisi yang jarang ditemukan, mungkin timbul pada penderita dg cedera
skeletal yg menyebabkan gangguan bermakna pada airway dan pernafasan penderita.
Sebagai contoh adalah cedera pada dada bagian atas, yang menyebabkan dislokasi kearah
posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular. Ini dapat menimbulkan
sumbatan airway bagian atas, bila displacement dari fragmen proksimal fraktur atau
komponen sendi distal menekan trakea. Hal ini juga dapat menyebabkan cedera PD pada
ekstremitas yg homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang
utama arkus aorta.
Cedera ini diketahui bila ada : sumbatan airway atas (stridor), adanya tanda berupa
perubahan dari kualitas suara, dan cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya
defek pada regio sendi sternoklavikular.
30
Penanganan pada cedera ini adalh menstabilkan patensi dari airway, yang terbaik dengan
intubasi endotrakeal, walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yg
cukup besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup dari cedera yang terjadi
dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan pointea clamp seperti
towelclip dan melakukan reposisi fraktur secara manual. Cedera seperti ini bila dilakukan
tindakan diatas biasanya akan tetap stabil walaupun penderita dalam posisi berbaring.
Breathing :
Dada dan leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan vena-vena leher.
Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan observasi, palpasi, dan
didengarkan.
Gejala yang terpentingdari cedera toraks adalah hipoksia termasuk peningkatan frekuensi
dan perubahan pada pola pernafasan, terutama pernafasan yang dengan lambat memburuk.
Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma. Tetapi bila sianosis
tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen jaringan adekuat atau airway
adekuat.
Jenis cedera toraks yang penting dan mempengaruhi breathing (yang harus dikenal dan
diketahui slm primary survey) :
1) Tension pneumotorax :
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang
berasal dari paru-paruatau dari luar melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga
pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk
kedalam rongga pleura yang tiddak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural
akan semakin meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong kesisi
berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung, serta akan
menekan paru kontralateral. Penyebab terseing dari tension pneumothorax adalah
komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan
positif pada penderita yang ada
gx
dengan
tamponade
jantung
maka
pada
awalnya
sering
membigungkan, namun perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terkena pada tension pneumotoraks akan dapat membedakannya.
Membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa
insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga 2 grs midclavicular pd hemithorax
yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax
menjadi
dan
distensi atau tidak. Ingat distensi vena leher mungkin tidak nampeak pd px hipovolemia
walaupun ada tamponade jantung, tensio pneumotorax maupun cedera diafragma.
Cedera torax yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus ditemukan pada primary survey
adalah :
Hemotorax masif : Tx awal adl dg penggantian volume darah yang dilakukan
34
Disebabkan oleh adanya sumbatan dari dalam atau luar diri pasien. Missal: gigi palsu,
lidah, muntahan.
Diagnosis
Pasien tidak menjawab saat dipanggil
Sesak nafas, sianosis
Gerakan nafas tidak normal, retraksi dinding dada
Terapi
Heimlich maneuver
Suction (jika cair) / bronchoscopy (jika padat)
ET (Endotracheal tube)
Cricothyroidectomy/tracheostomy
GANGGUAN BREATHING
Open Pneumothorax
Adalah adanya hubungan langsung antara cavum thorax dengan lingkaran luar karena
ekspirasi udara keluar dari luka, mediastinum pindah ke sisi yang luka.
Diagnosis:
Look: tampak luka dada diameter > 2/3 diameter trakea
Listen: sucking chest wound (bunyi seperti siulan/peluit akibat udara yang
keluar-masuk lubang), perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler menghilang
Feel: aliran udara pada luka, ketinggalan gerak
Terapi: menutup lubang dengan kasa, sapu tangan, atau tangan, dibuat simple
pneumothorax.
35
Tension Pneumothorax
Merupakan pneumothorax dengan tension (udara dapat masuk ke cavum thorax tp
tidak dapat keluar lagi sehingga tekanan meningkat). Jadi harus ditegakkan dulu
adanya pneumothorax.
Disebut tension pneumothorax bila sudah mendesak mediastinum, sehingga dapat
mendesak limfe, vena (JVP meningkat), arteri, dan akhirnya jantung.
Terjadi bendungan venous return turun cardiac output turun shock obstruksi
Diagnosis:
Look: ada ketinggalan gerak (paling baik dilihat dari cranial pasien), sesak
Keterangan
1. Emfisema sub kutis tampak dari luar
2. Rongga pleura membesar karena paru-paru kolaps
3. Pengumpulan udara di lapisan sub kutis
4. Defek dinding dada karena trauma
5. Jantung dan aorta yang bergeser
Terapi
Bila disebabkan karena lubang di dinding dada (open pneumothorax), tutup
lubang dengan kasa yang diplester di ketiga sisinya, sisi yang satu biarkan
terbuka. Sehingga seperti katup dimana udara tidak bisa masuk ke rongga
pleira saat inspirasi tapi bisa keluar saat ekspirasi
Bila close pneumothorax, tusuk dengan jarum besar di SIC 2 untuk dekompresi
WSD (Water Seal Drainage) untuk menghilangkan pneumothoraxnya
36
DD :
1. Semua kelainan yang menyebabkan pendarahan dari sumber nontrauma di rongga
dada
2. Efusi pleura
3. Empyema pleura
4. Atelektesis
Manajemen :
37
analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu
dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi
adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka
pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan
pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat
sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih
spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif
ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta
pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada
penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai
diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja
pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan
ventilasi
Karakteristik
Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement,
yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail
chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti
melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan
mekanik pernapasan secara keseluruhan.
Penatalaksanaan
sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan
pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui
pemeriksaan AGD berkala dan takipneu
39
pain control
stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui
operasi)
bronchial toilet
fisioterapi agresif
tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:
1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb)
2. Gagal/sulit weaning ventilator
3. Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)
4. Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)
5. Menghindari cacat permanen
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area
"flail"
TEMPONADE JANTUNG
Definisi
Temponade jantung adalah suatu kondisi saat perikardium terrisi oleh darah, baik dari
jantung, pembuluh darah besar maupun pembuluh darah perikardium.
Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku sehingga meskipun hanya
sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan
mengganggu pengisian jantung.
Temponade jantuung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian cedera
tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah.
Mengeluarkan darah atau cairan perikard, perikardiosintesis, sering hanya keluar 15 ml
sampai 20 ml, sudah akan memperbaiki hemodinamik. Walaupun kecurigaan besar akan
adanya tamponade jantung, tetap dilakukan pemberian cairan infus awal krn akan dapat
meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan CO untuk sementara.
40
Diagnosis
Diagnosis klasik temponade jantung adalah adanya Trias Beck:
1. peningkatan tekanan vena
2. penurunan tekanan arteri
3. suara jantung menjauh
Tanda lain:
Pulsus paradoxus yang lebih dari 10 mmHg. Pulsus paradoxus merupakan kondisi
fisiologis dimana terjadi penurunan tekanan sistolik selama inspirasi spontan.
Namun bila penurunan ini lebih dari 10 mmHg maka menjadi tanda lain temponade
jantung.
PEA pada keadaan tidak ada hipovolemi dan tension pneumotoraks harus dicurigai
temponade jantung.
Tatalaksana
Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah perikardiosentesis.
Indikasi:
Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok
hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada
temponade jantung.
Kecurigaan yang tiggi pada pasien temponade jantung yang tidak memberikan
respon pada resusitasi cairan.
Perikardiosentesis
1. Siapkan passian, berikan sedasi bila perlu.
2. Pasang jalur intravena.
41
RUPTUR AORTA
Ruptur aorta traumatik biasanya menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil
tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Sesampainya di rumah sakit, kemungkinan
dapat selamat apabila ruptur aorta dapat diidentifikasi segera dan ditangani secepatnya.
Penderita ruptur aorta yang masih bisa ditolong adalah bila laserasinya tidak total dan
dekat dengan ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lappisan
adventesia yang masih utuh atau aadanya hematom mediastinum yang mencegah
terjadinya kematian segera.
Hipotensi menetap atau berulang ditemukan sedangkan perdarahan ditempat lain tidak ada.
42
bila rupturnya berupa transeksi aorta, maka darah akan masuk ke rongga pleura yang
menyebabkan hipotensi,
menit.
Tanda
gejala tidak khas, namun berdasarkan kecurigaan aadanya trauma, adanya gaya deselersi
dan temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi.
Gambaran radiologi yang mengindikasikan adanya cedera pembuluh darah besar dalam
toraks.
1. Pelebaran Mediasstinum
2. Obliterasi lengkung aorta
3. Deviasi trakea ke arah kanan
4. Hilangnya ruang antara arteri pulmonal dan aorta
5. Bronkus utama kiri tertekan ke bawah
6. Deviasi esofagus kearah kanan
7. Pelebaran paratrakeal tidak merata
8. Pelebaran paraspinalDitemukan adanya pleura atau apical cap
9. Hemotoraks kiri
10. Fraktur iga 1 atau ke 2 atau scapula.
Angiografi merupakan pemeriksaan gold standar, tetapi transesofageal ekokardiografi
(TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasif yang membentu enegakan diagnosis.
CT-helikal dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta.
Akurasi dengan CT-helikal mencapai 100%, namun sangat tergantung alat dan ahli. Bila
CT-helikal tidak menunjukkan adanya hematoma mediastinum maupun cedera aorta, maka
pemeriksaan selanjutnya tidak diperlukan. Bila CT-helikal positif maka harus dilakukan
aortografi.
43
Tatalaksana
Ahli bedah berpengalaman harus membantu penegakan diagnosis. Terapi yang dapat
dilakukan adalah penjahitan primer aorta dan dipasang graft.
F. TRAUMA ABDOMEN
Pendahuluan
Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup deteksi dini dari
kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi di abdomen dan pelvis pada trauma
tumpul.Trauma tajam pada dada antara nipple dan perineum harus dianggap berpotensi
mengakibatkan cedera intra abdominal.Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode
apa yang terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat, dan lokasi trauma
maupun status hemodinamik penderita. Trauma abdomen yang tidak terdeteksi menjadi
salah satu penyebab kematian, selain trauma spinal. Bisa juga kita mendapatkan adanya
44
kehilangan darah yang bermakna di dalam rongga abdomen tanpa adanya perubahan yang
dramatis dalam bentuk abdomen maupun tanda-tanda peritonitis yang jelas. Setiap pasien
yang mengalami trauma tumpul pada dada baik karena pukulan langsung maupun
deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma visera
ataupun trauma vaskuler abdomen.
Mekanisme Trauma
A. Trauma Tumpul
1) Trauma kompresi (crush injury) terhadap organ viscera akibat pukulan
langsung, misalnya terbentur stir ataupun bagian pintu mobil melesak
kedalam karena tabrakan. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ
berongga dan bisa menyebabkan ruptur, terutama organ-organ yang
distensi(misalnya uterus pada ibu hamil) dan mengakibatkan perdarahan
maupun peritonitis.
2) Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera adalah crush injury
yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt) tidak digunakan
dengan benar.
3) Trauma decelerasi pada tabrakan bermotor, akibat pergerakan antara suatu
bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti ruptur lien ataupun
ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang
terfiksir)
4) Pemakaian air bag tidak mencegah seseorang mengalami trauma abdomen.
Trauma tumpul paling banyak mengenai lien(40-55%), hepar (33-45%) dan
usus halus (5-10%). Sebagai tambahannya, 15 % nya mengalami hematoma
retroperitoneal.
B. Trauma Tajam
1) Luka tembak (kecepatan rendah)ataupun luka tusuk akan mengakibatkan
kerusakan
jaringan.Luka
tembak
dengan
kecepatan
tinggi
akan
maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus
halus (50%), colon(40%), hepar(30%) dan pembuluh darah abdominal
(25%).
2) Luka tusuk tersering mengenai hepar(40%), usus halus (30%), diafragma
(20%) dan colon (15%).
Penilaian
Pada pasien yang mengalami hipotensi, tentukan ada tidaknya trauma abdomen dan apakah
hal tersebut yang menyebabkan hipotensi. Pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa
tanda-tanda peritonitis bis adiperiksa lebih detail untuk menentukan adanya trauma
spesifik, ataukah selama observasi timbul tanda peritonitis ataupun perdarahan.
A. Anamnesis
1) Pada tabrakan bermotor harus mencakup kecepatan kendaraan, proses
tabrakan(dari samping, terserempet, dari belakang atau depan), berapa besar
kerusakan kendaraan kedalam ruang penumpang, jenis pengaman yang
dipakai, keadaan pasien dalam kendaraan dan status pasien lainnya.
2) Pasien dengan trauma tajam, yang perlu ditanyakan, waktu terjadi trauma,
jenis senjata yang digunakan, jarak dari pelaku (shotgun pada jarak lebih
dari 3m atau 10 kaki jarang menyebabkan trauma viscera) jumlah tikaman
atau tembakan dan jumlah perdarahan eksternal yang tercatat di tempat
kejadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus diperoleh dari pasien
mengenai hebatnya maupun lokasi nyeri di abdomen dan ada tidaknya nyeri
alih ke bahu.
B. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Pasien umumnya diperiksa tanpa pakaian. Abdomen bagian depanbelakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti adakah ekskoriasi
ataupun memar karena alat pengaman, laserasi, liang tusukan atau pun
benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar dan
status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.
2) Auskultasi
Periksa adatidaknya bising usus. Darah bebas di retroperitoneum ataupun
gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus yang mengakibatkan hilangnya
46
bisis usus. Meskipun demikian, ileus juga dapat disebabkan karena cedera
struktur yang berdekatan seperti iga, vertebra maupun pelvis walaupun tidak
ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus bukan
diagnosis terjadinya trauma intraabdominal.
3) Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda
peritonitis. Nada timpani karena dilatasi lambung akut pada kwadran kiri
atas ataupun perkusi adanya nada redup akibai hemoperitoneum.
4) Palpasi
Kekakuan
dinding
perut
volunter(sengaja
oleh
pasien)
membuat
47
gaster
sebelum
melakukan
DPL,dan
tube h a r u s d i m a s u k k a n m e l a l u i m u l u t (Orogastric)
bila ada kecurigaan fraktur tulang facial ataupun fraktur basis
cranii agar bisa mencegah tube masuk melalui lamina cribiformis
menuju otak.
2) Kateter urine
Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urine, dekompresi
bulu-bulisebelum melakukan DPL, dan untuk monitor urinary
output sebagai salahsatu indeks perfusi jaringan. Hematuria
menunjukkan adanya cedera traktus urogenitalis.
Perhatian: ketidak mampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang
tidak stabil, darah pada meatus urethra, hematoma skrotum
ataupun ecchymosis perineum maupun prostat yang letaknya tinggi
pada
colok
dubur
menjadi
petunjuk
agar
dilakukan
dengan
itu,
di
periksa
darah
rutin,
kadar
49
diafragma
ataupun
udara
diluar
lumen
dilakukannya
laparotomi.
Hilangnya
bayangan
psoas
50
b) Sistografi
Ruptur
buli-buli
intra-
ataupun
extraperitoneal
terbaik
detik.
20
merit
sesudah
injeksi
kita
akan
memperoleh visualisasi calyx pads x-ray. Bilamana. 1 sisi nonvisualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis
maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang
mengalami
kerusakan
massif.Nonvisualisasi
keduanya
morbid
obesity,sirrhosisy a n g
lanjut,
dan
adanya
52
koagulofati
sebelumnya.
Bisa
dipakai
tehnik
terbuka
atau
kembali
dan
diperiksa
dilaboratorium
untuk
melihaty isi gastrointestinal, serat maupun empedu. Test (+) bila eri
>100.000/mm3, leuko > 500/mm3, atau pengecatan Gram (+) untuk bakteri.
mereka
yang
berpengalaman,
ultrasound memiliki
bedside
dikamar
scan
bisa
luput
memeriksa
beberapa
cedera
akan
adanya
cedera
traktus
gastrointestinal
maupun
mesenterium, dan beberapa ahli bedah trauma memakai ini sebagai indikasi
untuk melakukan tindakan.
FAST
CT Scan
hiportensif
Kerugian
hipotensif
*Deteksi dini
Semua Pasien
Noninvasive
Cepat
86-97% akkurat
Transport tidak
Invasive
Hasil
bergantung I Mahal & memakan
Spesifitas rendah
Distorsi krn udara usus Trauma
Trauma diafragma dan Trauma diafragma usu, pancreas luput
retro peritoneum lupus
Transport dibutuhkan
55
diagnostik
bisa
menyingkirkantembusnya
mengkonfirmasi
peritoneum,
ataupun
tetapi
dalam
mendeteksi
diagnostik
serial,
akan
observasi
dirumah
sakit
selama
24
jam,
tumpul
abdomen
dengan
5.
6.
7.
Adanya peritonitis
8.
9.
G. COMBUSTIO
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau
terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal),
atau radiasi (radiation) .
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab luka bakar. Beratnya luka bakar juga
dipengaruhi oleh cara dan lamanya kontak dengan sumber panas (misal suhu benda yang
membakar, jenis pakaian yang terbakar, sumber panas : api, air panas dan minyak panas),
listrik, zat kimia, radiasi, kondisi ruangan saat terjadi kebakaran dan ruangan yang tertutup.
57
listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya
kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
d. Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri
ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber
radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari
akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.
Faktor Resiko
Data yang berhasil dikumpulkan oleh Natinal Burn Information Exchange menyatakan
75 % semua kasus injuri luka bakar, terjadi didalam lingkungan rumah. Klien dengan usia
lebih dari 70 tahun beresiko tinggi untuk terjadinya luka bakar.
Fase Luka Bakar
1. Fase akut.
58
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme bernafas),
dan circulation (sirkulasi).
Gnagguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah
terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera
inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian
utama penderiat pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat cedera termal yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan
atau kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas.
Luka yang terjadi menyebabkan:
Proses inflamasi dan infeksi.
Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak
berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ organ fungsional.
Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan
pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah
penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan
kontraktur.
Penyebab
Penampilan
Warna
Perasaan
Ketebalan
partial Jilatan api, sinar ultra Kering
tidak
ada Bertambah Nyeri
superfisial(tingkat I)
violet (terbakar oleh gelembung.Oedem
merah.
matahari).
minimal atau tidak ada.
Pucat bila ditekan
dengan ujung jari,
berisi kembali bila
tekanan dilepas.
Lebih
dalam
dari Kontak dengan bahan Blister
besar
dan Berbintik- Sangat nyeri
ketebalan partial(tingkat air
atau
bahan lembab
yang bintik yang
II)
padat.Jilatan
api ukurannya bertambah kurang
kepada pakaian.
besar.Pucat
bial jelas, putih,
59
Superfisial
Dalam
Jilatan
kimiawi.
Ketebalan
Kontak dengan bahan Kering disertai kulit Putih,
sepenuhnya(tingkat III) cair atau padat.Nyala mengelupas.Pembuluh kering,
api.
darah seperti arang hitam,
Kimia.
terlihat dibawah kulit coklat
tua.Hitam.
Kontak dengan arus yang mengelupas.
Gelembung
jarang,
Merah.
listrik.
dindingnya
sangat
tipis, tidak membesar.
Tidak
pucat
ditekan.
Tidak sakit,
sedikit
sakit.Rambut
mudah lepas
bila dicabut.
bila
3.
4.
Umur klien.
5.
6.
Parah critical:
a.
b.
c.
d.
Sedang moderate:
Tingkat II : 15 30%
Tingkat III : 1 10%
Ringan minor:
Tingkat II : kurang 15%
Tingkat III : kurang 1%
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
b.
c.
Gas-gas darah arteri (GDA) dan sinar X dada mengkaji fungsi pulmonal,
khususnya pada cedera inhalasi asap.
61
d.
e.
f.
g.
h.
PENATALAKSANAAN
Resusitasi A, B, C.
Pernafasan:
a.
RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.
RL : Dextran = 17 : 3
2 cc x BB x % LB.
Kebutuhan faal:
1 3 tahun : BB x 75 cc
3 5 tahun : BB x 50 cc
62
Hari kedua:
( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100
Tulle.
63
Neonatus adalah organisme yang berada pada periode adaptasi kehidupan intrauterin ke
ekstrauterin. Masa neonatus adalah periode selama satu bulan tepat 4 minggu atau 28 hari
setelah lahir). Kondisi neonatus yang memerlukan resusitasi :
a. Sumbatan jalan napas akibat lendir / darah, mekonium atau akibat dah yang jatuh ke
posterior.
b. Kondisi depresi pernapasan akibat obat obatan yang diberikan kepada ibu. Misalnya,
obat anestesik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat, dan sebagainya.
c. Kerusakan neurologis.
d. Kelainan / kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat, dan /
atau kelainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan / sirkulasi.
e. Syok
hipovolemik,
misalnya
akibat
kompresi
tali
pusat
atau
perdarahan.
Penyebab kematian yang paling cepat pada neonatus adalah asfiksia dan perdarahan.
Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting. Akibat
jangka panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki secara bermakna jika gangguan ini
diketahui sebelum kelahiran (misal, pada keadaan gawat janin) sehingga dapat diusahakan
memperbaiki sirkulasi / oksigenasi janin intrauterin atau segera melahirkan janin untuk
mempersingkat masa hipoksemia janin yang terjadi.
a. Asfiksia yang terdeteksi sesudah lahir, prosesnya berjalan dalam beberapa fase /
tahapan.
Janin bernapas megap-megap (gasping), diikuti dengan
b. Masa henti napas (fase henti napas primer).
c. Jika asfiksia berlanjut terus, timbul pernapasan megap-megap yang kedua selama 4 5
menit (fase gasping kedua) diikuti masa henti napas kedua (henti napas sekunder).
64
kelangsungan hidup. Nilai pada menit kelima untuk menilai prognosis neurologis.
Afiksia berat (nilai Apgar 0-3) diatasi dengan memperbaiki ventilasi paru dengan
memberi oksigen tekanan langsung dan berulang. Ada pembatasan dalam penilaian Apgar
ini.
a. Resusitasi segera dimulai jika diperlukan dan tidak menunggu sampai ada penilaian
pada menit pertama.
b. Keputusan perlu tidaknya resusitasi maupun penilaian respons resusitasi cukup dengan
menggunakan evaluasi frekuensi jantung, aktivitas respirasi, dan tonus neuromuskular,
bukan dengan nilai Apgar total. Hal ini untuk menghemat waktu.
Perencanaan berdasarkan perhitungan nilai Apgar.
a. Nilai Apgar menit pertama 7 10, biasanya bayi hanya memerlukan tindakan
pertolongan berupa pengisapan lendir / cairan dari orofaring. Tindakan ini harus
dilakukan secara hati hati, karena pengisapan yang terlalu kuat / traumatik dapat
menyebabkan stimulasi vagal dan bradikardia sampai henti jantung.
b. Nilai Apgar menit pertama 4 6, hendaknya orofaring cepat diisap dan diberikan
oksigen 100%. Bayi diberi stimulasi sensorik dengan tepukan atau sentilan di telapak
kaki dan gosokan selimut kering ke punggung. Frekuensi jantung dan respirasi terns
dipantau ketat. Jika frekuensi jantung menurun atau ventilasi tidak adekuat, harus
diberikan ventilasi tekanan positif dengan kantong resusitasi dan sungkup muka. Jika
tidak ada alat bantu ventilasi, gunakan teknik pernapasan buatan dari mulut ke hidung
mulut.
65
c. Nilai Apgar menit pertama 3 atau kurang menunjukkan bayi mengalami depresi
pernapasan yang berat dan orofaring harus cepat diisap. Ventilasi tekanan positif
dengan oksigen 100% sebanyak 40-50 kali per menit harus segera dilakukan.
Kecukupan ventilasi dinilai dengan memerhatikan gerakan dinding dada dan auskultasi
bunyi napas. Jika frekuensi jantung tidak meningkat sesudah 5-10 kali napas, kompresi
jantung harus dimulai. Frekuensi 100-120 kali per menit dengan 1 kali ventilasi setiap 5
kali kompresi (5:1). Penyulit yang mungkin terjadi selama resusitasi meliputi hipotermia,
pneumotoraks, trombosis vena, atau kejang. Hipotermia dapat memperberat keadaan
asidosis metabolik, sianosis, gawat napas, depresi susunan saraf pusat, dan hipoglikemia.
Pneumotoraks diatasi dengan pemberian ventilasi tekanan positif dengan inflasi yang
terlalu cepat dan tekanan yang terlalu besar dapat menyebabkan komplikasi ini. Jika bayi
mengalami kelainan membran hialin atau aspirasi mekonium, risiko penumotoraks lebih
besar karena komplians jaringan paru lebih lemah. Tombosis vena diatasi dengan
pemasangan infus / kateter intravena dapat menimbulkan lesi trauma pada dinding
pembuluh darah, potensial membentuk trombus.
melalui pembuluh darah tali pusat juga dapat mengakibatkan nekrosis hati dan trombosis
vena. Pencegahan hipotermia merupakan komponen asuhan neonatus dasar agar bayi baru
lahir tidak mengalami hipotermia. Hipotermia terjadi jika suhu tubuh di bawah 36,5C
(suhu normal pada neonatus adalah 36,5 37,5C) pada pengukuran suhu melalui ketiak.
Bayi baru lahir mudah sekali terkena hipotermia. Hal ini disebabkan oleh hal hal berikut :
Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna.
Permukaan tubuh bayi relatif luas.
Tubuh
bayi
terlalu
kecil
untuk
memproduksi
dan
menyimpan
panas.
Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakaiannya agar ia tidak
kedinginan.
Hipotermia pada bayi baru lahir timbul karena ada penurunan suhu tubuh yang dapat
terjadi akibat :
a. Radiasi, yaitu panas tubuh bayi memancar ke lingkungan di sekitar bayi yang lebih
dingin. Misalnya, bayi baru lahir diletakkan di tempat yang dingin.
66
b. Evaporasi, yaitu cairan ketuban yang membasahi kulit bayi menguap. Misalnya, bayi
lahir tidak langsung dikeringkan dari air ketuban.
c. Konduksi, yaitu pindahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak
dengan permukaan yang lebih dingin, Misalnya, popok/ celana bayi basah yang tidak
langsung diganti.
d. Konveksi, yaitu hilangnya panas tubuh bayi karena aliran udara sekeliling bayi.
Misalnya, bayi diletakkan dekat pintu / jendela terbuka.
Tindakan pencegahan hipotermia meliputi ibu melahirkan di ruangan yang hangat, segera
mengeringkan tubuh bayi yang lahir, segera meletakkan bayi di dada ibu dan kontak
langsung kulit ibu dan bayi, dan menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh
stabil.
67
TRAUMA ANAK
Penyebab tertinggi kematian pada anak
Sering terjadi gangguan oksigenasi dan ventilasi
Gangguan perfusi lebih jarag terjadi tapi berpotensi mematikan
Penyebab kematian yang utama meliputi gangguan jalan napas dan
resusitasi volum
yang tidak adekuat
Trauma tumpul lebih sering dijumpai daripada luka tembus
o Cedera kepala 55%
o Cedera organ dalam 15%
Tatalaksana awal dibagi menjadi empat fase:
1. Survei primer
2. Resusitasi awal
3. Survei sekunder
4. Terapi definitif
Survey Primer
ikuti algoritme pengkajian primer menurut Advanced Trauma Life Support :
A, Airway maintenance with C-spine protection (mempertahankan jalan napas
sambil
melindungi tulang servikal
B, Breathing and ventilation ( pernapasan dan ventilasi)
C, Circulation with hemorrage control (sirkulasi dan pengendalian perdarahan)
68
DAFTAR PUSTAKA
American Collage Of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Program For Doctors.
Chicago, 2005. Hal 111-124.
Kebidanan Komunitas, Oleh Safrudin, SKM, M.Kes & Hamidah, S.Pd, M.Kes, EGC.
Djohansjah, M. (1991). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press. Surabaya.
Price, Sylvia, 1992. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8
Vol.3. EGC : Jakarta
Salomone, Joseph. 2007. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency Medicine,
Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City School of Medicine.
http://www.emedicine.com
69