You are on page 1of 69

RESUME

SKENARIO 3
TRAUMA 2
Auliza Wihardias

112010101012

Armiriri Mega Nuuru

112010101027

Dewi Puji Astutik

112010101028

Ivan Firmansyah

112010101029

Vidya Muqsita

112010101036

Tri Aji Pujo Sembodo

112010101049

Fajrina Muflihah Ahmad

112010101054

Febriana Sylva Fridayanti

112010101058

Hilwa Alfi Fauziyah


Rastra Defa Sari
I Gede Prima Julianto
Fairuztya Naila Maris
Dimas Noor Zulfikar Fauzi
Dinda Ayu teresha

112010101063
112010101066
112010101070
112010101074
112010101079
112010101089

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
SKENARIO 3
TRAUMA 2

Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dan ibunya dibawa ke IGD rumah sakit
karena kecelakaan sepeda motor, sementara ayahnya meninggal di tempat kejadian. Dokter
jaga segera melakukan pemeriksaan, setelah melakukan primary survey, dokter
melanjutkan dengan melakukan secondary survey dan menemukan jejas di dada sebelah
kanan, gerak nafas yang tidak simetris dan suara nafas kanan menghilang, regio abdomen
distensi yang disertai jejas kebiruan pada kuadran kiri atas, jejas di daerah suprapubik,
hematom dan bercak darah di meatus orificium eksterna yang sudah mengering.Dia juga
mengalami luka bakar grade I pada tungkainya, karena terkena knalpot.
Ibunya juga mengalami luka serius, ditemukan crepitasi di daerah mandibula,
sedang di regio ekstremitas didapatkan luka terbuka dan tampak patahan tulang pahakanan.
Dokter jaga selanjutnya meminta dilakukan foto rontgen kepala dan femur dextra.

A. TRAUMATOLOGI

Traumatologi adalah ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera serta
hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa), sedangkan yang di maksud dengan
2

luka adalah suatu keadaan ketidak sinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan.
Berdasarkan sifat penyebabnya, kekerasan bisa di bedakan atas kekerasan yang bersifat :
Mekanik, terdiri dari :

Kekerasan oleh benda tumpul


Benda- benda yang dapat mengakibatkan luka, dengan sifat luka seperti ini adalah
benda yang memiliki permukaan yang tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa :
- Memar (kontusio,hematom)
- Luka lecet (ekskoriasi, abrasi)
- Luka terbuka atau robek (vulnus laseratum)
Kekerasan oleh benda tajam
Tembakan senjata api

Fisika , terdiri dari

Suhu
Suhu cairan panas maksimal adalah pada titik didih kerusakan terjadi tergantung
pada tingginya titik didih
Cairan mengalir ke tempat yang rendah
Saat mengalir benda cair akan melepaskan kalorinya sehingga makin lama, makin
rendah suhunya, dan kerusakan terjadi akan makin ringan
Sering ditemukan pada kecelakaan atau pada pembunuhan

Listrik dan petir


Bila listrik yang masuk tubuh mengalir melewati medula oblongata pusat vital
akan terganggu
Bila melewati daerah jantungirama sinus jantung terganggufibrilasi ventrikel
Bila melewati otot sela igakejang otot pernafasan
Terjadi akibat sambaran petir yang mengenai tubuh secara langsung maupun tidak
langsung
Dalam petirlistrik bertenaga besar dan tegangan tinggi
Saat tubuh tersambar, dapat terjadi ledakan udara yang juga akan menimbulkan
kerusakan pada tubuh
Tubuh yang tersambar petir memberikan gambaran pada kulit seperti cabang
pohonarborescent mark
Dapat terjadi pecahnya membrana timpani dengan perdarahan pada liang telinga
Pakaian compang camping dengan tepi yang terbakar

Perubahan tekanan udara


Akustik
Radiasi

Kimiawi, terdiri dari

Asam kuat
Asam kuat bersifat higroskopis
Bila mengenai kulitmenarik air dari jaringankulit mengering dan mencekung,
teraba kaku,warna coklat kehitaman
Kertas lakmus dapat ditunjukkan reaksi asam pada luka yang terjadi
Ditemukan pada kasus pembunuhan, kecelakaan, bunuh diri
Bila asam kuat masuk melalui mulut terjadi kerusakan sepanjang saluran cerna
dan dapat timbul perforasi

Basa kuat
Larutan basa kuat akan menembus dinding sel menimbulkan kelainan intra sel
berupa reaksi penyabunan
Kulit pada daerah terkena basa kuat berwarna kelabu kekuningan dan menimbul
serta licin pada perabaan
Kertas lakmusdapat ditunjukkan reaksi basa pada luka
Sering ditemukan pada kasus kecelakaan maupun bunuh diri
Bila basa kuat masuk melalui mulutterjadi kerusakan sepanjang saluran cerna,
dapat terjadi perforasi
Biomekanik Trauma adalah ilmu yang mempelajari kejadian cedera pada suatu jenis

kekerasan atau kecelakaan tertentu. Misalnya, jatuh dari sepeda motor akan menimbulkan
cedera yang berbeda dibandingkan dengan orang yang ditabrak mobil.
Biomekanik Trauma penting diketahui karena akan membantu dalam :

Akibat yang ditimbulkan trauma

Waspada terhadap jenis perlukaan yg diakibatkan trauma

Sedangkan jenis perlukaan bisa dibagi menjadi perlukaan yang tampak (kelihatan)
misalnya luka bagian luar, dan perlukaan yg tidak dapat dilihat secara langsung, misalnya
perukaan organ bagian dalam. Organ dalam tubuh dapat dibagi menjadi :
-

Organ yang tidak berongga (padat, solid) contoh : hati, paru, otak

Organ berongga, seperti usus

Pelukaan organ dalam terjadi melalui mekanisme cedera :


-

Cedera langsung contoh terpukul martil

Cedera tidak langsung contoh pengendara motor menabrak pohon

Cedera akibat gaya percepatan (akselerasi) pengendara mobil ditabrak dari belakang

Cedera kompresi (efek kantong kertas) mainan anak2 yaitu sebuah kantong kertas

yg ditiup, kemudian ditutup, lalu dipukul untuk mendapatkan efek ledakan.


Tabrakan mobil
Tabrakan mobil dapat terjadi dengan cara :
1. Dari depan
2. Dari belakang
3. Dari samping
4. Terbalik
Dalam menangani kasus kasus seperti ini harus lebih hati hati karena semua bagian
bisa mengalami cedera baik yang kelihatan maupun tidak kelihatan. Pada kejadian dengan
kendaraan terbalik yang harus diwaspadai adalah cedera daerah tulang belakang dan cedera
organ dalam.
Alat pelindung kendaraan :
5

Sabuk pengaman

Head rest ( sandaran kepala )

Air bag ( kantong udara )

Biomekanika trauma pada kecelakaan motor


Ada tiga cara yang sering terjadi pada saat kecelakaan :
1. Tabrakan frontal
2. Benturan dari samping
3. Sliding down the bike ( bergeser )
Biomekanika Trauma Tabrakan Mobil
Tabrakan mobil dapat terjadi dengan cara:
1. Tabrakan dari depan (frontal)
Pada suatu benturan dari depan (frontal) dengan penderita tanpa sabuk pengaman
akanterjadi benturan dengan beberapa fase:
Fase 1
Bagian bawah penderita bergeser ke depan, biasanya lutut terbentur dashboard. Tulang
paha akan menahan beban terlalu berat, akibatnya tulang paha bisa patah jika tidak kuat
manahan beban.
Sendi panggul terdorong ke belakang, jika tidak kuat menahan beban sendi panggul bisa
terlepas dari mangkuknya.
Fase 2
Bagian atas penderita turut bergeser ke depan , dada dan perut akan menghantam setir
mobil. Dalam keadaan ini kemungkinan yang cedera adalah dada atau perut tergantung dari
posisi setir (tergantung jenis mobil).

Jika mobil kecil kemungkinan mencederai dada, mobil besar kemungkinan mencederai
perut, atau bahkan mencederai dada dan perut sekaligus. Dalam menangani kasus ini,
penolong harus teliti dalam melakukan pemeriksaan.

Fase 3
Tubuh penderita akan naik, lalu kepala membentur kaca mobil. Dalam fase ini yang perlu
diwaspadai adalah cedera kepala atau leher penderita.
Fase 4
Penderita terpental kembali ke tempat duduk. Pada fase ini kemungkinan terjadi cedera
tulang belakang (dari tulang cervikal sampai tulang sakrum). Pada jenis kendaraan yang
tidak memakai sandaran kepala (head rest) harus berhati-hati terhadap kemungkinan cedera
pecut (whiplash injury) pada tulang leher.

Sedangkan kemungkinan yang paling parah pada fase ini adalah penderita bisa terpental ke
luar kendaraan, sehingga cedera yang diakibatkan bisa lebih banyak lagi (multi trauma) .
2. Tabrakan dari belakang
Tabrakan dari belakang bisa terjadi pada kendaraan yang sedang berhenti atau kendaraan
yang kecepatannya lebih lambat. Cedera yang sering terjadi biasanya karena adanya daya
pecut (whiplash injuri) dan cedera yang harus diwaspadai adalah cedera dibawah tulang
leher, apalagi jika kendaraan tersebut tidak memakai headrest.
3. Tabrakan dari samping (lateral)
Tabrakan dari samping yang sering terjadi di perempatan jalan yang tidak ada rambu lalulintasnya. Cedera yang bisa terjadi di bagian samping yang tertabrak kendaraan, yaitu bisa
dari kepala hingga kaki tergantung jenis kendaraan yang menabrak dan yang ditabrak.
4. Terbalik
Kendaraan yang terbalik secara perlahan dan pengemudi atau penumpangnya memakai
sabuk pengaman jarang sekali mengalami cedera yang serius, lain halnya dengan
kendaraan yang terguling (roll over) apalagi penumpangnya tidak memakai sabuk
pengaman, bisa mengakibatkan cedera di semua bagian tubuh (multi trauma).

Dalam menangani kasus seperti ini penolong harus berhati-hati karena semua bagian bisa
mengalami cedera baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pada kejadian
dengankendaraan terbalik yang harus diwaspadai adalah cedera daerah tulang belakang dan
cedera organ dalam.
Luka pada kecelakaan Sepeda Motor
Luka pada kecelakaan Sepeda motor berhubungan dengan kecelakaan sepeda motor baik
secara tunggal, tabrakan, dengan sepeda motor lain, atau kendaraan beroda 4, dan bisa juga
menyebabkan sepeda motor tersebut menabrak pejalan kaki sehingga akan menyebabkan
perlukaan pada pejalan kaki tersebut (Tedeschi CG, Eckert, & Tedeschi LD 1977). Pola
kelainan pada pengemudi sepeda motor (Idries 1997).
1. Luka karena impak primer pada tungkai, luka Karena impak sekunder pada bagian
tubuh lain, sebagai akibat benturan tubuh dengan bagian lain dari kendaraan lawan.
2. Luka yang terjadi sekunder, sebagai akibat benturan korbandengan jalan.
3. Luka yang terjadi sekunder, seringkali merupakan penyebab kematian pada korban,
karena yang mengalami kerusakan adalahkepalanya.
4. Fraktur pada tengkorak sebagai akibat luka sekunder tersebut dapat mudah
diketahui, yaitu dari sifat garis patahnya, dimana terdapatgaris patah yang linier
(Fraktur Linier), sedangkan pada keadaanlain, misalnya kepala dipukul dengan palu
yang berat frakturnyaadalah fraktur kompresi.
5. Dengan demikian terdapat perbedaan kelainan frakturtengkorak, yaitu bila korban
(kepala), bergerak mendekati bendatumpul (jalan), dengan bila kepala diam akan
tetapi bendatumpulnya (palu), yang datang mendekati kepala.
6. Perlu diketahui bahwa bagi pembonceng kendaraan sepeda motortidak ditemukan
kelainan yang khusus.Harus juga diingat kemungkinan terjadinya cedera perut
padapengemudi motor, dalam hal ini usus terjepit diantara setang setir dan
tulangbelakang, namun pada pemeriksaan fisik hanya ada jejas pada bahu ataukulit
perut (Sjamsuhidajat & Jong 2004)

B. TRAUMA MEDULA SPINALIS

DEFINISI
Trauma medula spinalis adalah trauma yang mengenai sumsum
tulang belakang( spinal cort / medula spinalis) yang pada umumnya
terletak pada intra-dural ekstra meduler. Selain itu juga ada yang terjadi
pada ekstra dural serta intra-durel walaupun jumlahnya tidak banyak.
ETIOLOGI
Penyebab dari Trauma medula spinalis yaitu karena kecelakaan
mobil, sepeda motor, menyelam, berselancar dan kecelakaan atletik
lain, tembakan senapan merupakan merupakan penyebab utama dari
medula spinalis.
PATOFISIOLOGI
Kerusakan medula spinalis berkisar dari komosio sementara
( dimana pasien sembuh sempurna) sanpai kontusio, laserasi dan
kompresi substansi medula ( baik salah satu maupun kombinasi).
Sampai transeksi lengkap medula ( yang membuat pasien paralisis
dibawah tingkat cidera).

10

Bila hemoragi terjadi pada daerah spinalis, darah dapat


merembes ke extradural subdural atau daerah subarahnoid pada kanal
spinal. Segera Setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cidera,
serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke
substansia griseria medula spinalis menjadi terganggu tidak hanya hal
ini saja yang terjadi pada cidera pembuluh darah medula spinalis, tetapi
proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada
cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian- kejadian
yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema dan lesi-lesi hemoragi,
yang pada gilirannya mengakibatkan keruskan mielin dan akson.
Reaksi sekunder ini, diyakini penyebab prinsip desenerasi
medula spinalis pada tinkat cudera, sekarang dianggap reversibel 4
sampai 6 jam setelah cidera. Untuk itu jika kerusakan medula tidak
dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan
dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti inflamasi
lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari
perkembangannya, masuk ke dalam kerusakan total dan menetap.
MANIFESTASI KLINIS
Trauma

ini

umumnya

kebanyakansatu

sama

mempunyaigejala
lainnya,

baik

klinis

intradural

yang

hampir

extra-meduler,

extraduller atau intra-duller yaitu sebagai berikut:


1.Gejala-gejala radikular :hipertensi,nyeri akar
2.Gejala penekanan
3.gejala sensorik
4.Peninggian reflek fisiologis dan timbul reflek patologis.
5.Sindrom Bladder-Rectum Incontinensia urin, retensio urin, konstipasi
6. gangguan saraf simpatis : reflek pilomotor (merinding), reflk
vasomotor (pucat kalau kulit ditusuk), berkeringat.
KLASIFIKASI

KEMEROSOTAN

NEUROLOGIS

SEHUBUNGAN

DENGAN TINGKAT LESI SPINAL CORD.

11

TINKAT LESI

KEMEROSOTAN NEUROLOGIS

C1 ke C2

Quardiplegia; tidak ada fungsi pernafasan karena

hambatan pernafasan jika tidak diobati ( Respiratory Arrest )


C3

ke

C4

Quqrdiplegia

kehilangan

saraf

yang

mempersarafi saraf diafragma ( Phrenic Meive ) tidak ada pernafasan.


C4 ke C5
C5 ke C6

Quardiplegia ; tidak ada kekuatan mator lengan.


Quardiplegia ; fungsi motor lengan yang

menyilang.
C6 ke C7

Quardiplegia ; tidak ada fungsi trisep kecuali

bisep.
C7 ke C8

Quardiplegia ; tidak ada fungsi intrinsik otot

tangan kecuali trisep.


T1 ke T2 & L1 Ke L2 Paraplegia ; fungsi lengan ada beberapa
kehilanganintercostal, kehilangan fungsi kandung kemih, usus besar /
bowel, fungsi sex.
L2 dan bawahnya

Kerusakan Cauda equina ; kombinasi hilangnya

sensori, motorik, bowel, kandung kemih, fungsi sex, derajat cidera


tergantung pada akar saraf mana yang terkena.
Sakral

Kehilangan fungsi bowel, kandung kemih dan

sexual.

Diagnosis
Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai
dengan dislokasi.
Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat
membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan
likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt
menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat
12

tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi
fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan
antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi
trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
Mielografi
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada
daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.
Penatalaksanaan (1,2,3)
Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah konservatif dan
simptomatik. Manajemen yang paling utama untuk mempertahankan fungsi
medula spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan
jaringan medula spinalis yang mengalami trauma tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkas sebagai berikut :
stabilisasi, imobilisasi medula spinalis dan penatalaksanaan hemodinamik dan
atau gangguan otonom yang kritis pada cedera dalam fase akut, ketika
penatalaksanaan gastrointestinal (contoh, ileus, konstipasi, ulkus),
genitourinaria (contoh, infeksi traktus urinarius, hidronefrosis) dan sistem
muskuloskletal (contoh, osteoporosis, fraktur).
Jika merupakan suspek trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual
atau dengan collar. Pindahkan pasien secara hati-hati.
Terapi radiasi mungkin dibutuhkan pada penyakit dengan metastasis. Untuk
tumor spinal yang menyebabkan efek massa gunakan deksametason dosis
tinggi yaitu 10-100 mg intra vena dengan 6-10 mg intravena per 6 jam selama
24 jam.Dosis diturunkan dengan pemberian intravena atau oral setiap 1
sampai 3 minggu.
Trauma medula spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otototot interkostal. Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernapasan bahkan
kadangkala apnea. Bila perlu dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian
oksigen saja tidak efektif membantu penderita. Pada trauma servikal,
hilangnya kontrol vasomotor menyebabkan pengumpulan darah di pembuluh
darah abdomen, anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi,
menyebabkan imbulnya hipotensi.
Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi
gaster akut. Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi
dan akan memperberat pernapasan.
Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan
pemberian enema. Kemudian bila peristaltik timbul kembali dapat diberikan
obat pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema
dapat diganti dengan supositoria.
13

Operasi
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasuskasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi :
Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
Anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat adanya
fraktur servikal dengan lesi parsial medulaspinalis dengan fragmen tulang
tetap menekan permukaan.
Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh
herniasi diskusintervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan
mielografi dan scan tomografi untuk membuktikan fragmen yang menekan
lengkung saraf, adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis
spinalis.
Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada
mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan,
harus dicurigai hematoma.

C. TRAUMA MUSKULOSKELETAL

14

KONTUSIO
a. Pengertian
- Kontusio merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada jaringan
lunak yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang langsung
-

mengenai jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh (Arif Muttaqin,2008: 69).
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan tumpul,mis : pukulan,

tendangan atau jatuh (Brunner & Suddart,2001: 2355).


- Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau pukulan pada kulit.
Jaringan di bawah permukaan kulit rusak dan pembuluh darah kecil pecah,
sehingga darah dan cairan seluler merembes ke jaringan sekitarnya (Morgan, 1993:
63)
- Kontusio adalah suatu injuri yang biasanya diakibatkan adanya benturan terhadap
benturan benda keras atau pukulan. Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam
jaringan kulit, tanpa ada kerusakan kulit. Kontusio yang disebabkan oleh cedera
akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, meskipun demikian luka
memar di bagian kepala mungkin dapat menutupi cedera yang lebih gawat dalam
kepala. Kontusio dapat menjadi bagian dari cedera yang luas, misalnya karena
kecelakaan bermotor (Agung Nugroho, 1995: 52).
b. Etiologi
- Benturan benda keras.
- Pukulan.
- Tendangan/jatuh
c. Manifestasi Klinis
1.
Perdarahan pada daerah injury (ecchymosis)

karena rupture pembuluh

darah kecil, juga berhubungan dengan fraktur.


2. Nyeri, bengkak dan perubahan warna.
3. Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan yang luas dan kehilangan
darah yang banyak (Brunner & Suddart,2001: 2355).
d. Gejala
- Nyeri
- Bengkak
- Perubahan warna
- Kompres dingin intermitten kulit berubah menjadi hijau/kuning, sekitar satu
-

minggu kemudian, begkak yang merata, sakit, nyeri dan pergerakan terbatas.
Kontusio kecil mudah dikenali karena karakteristik warna biru atau ungunya

beberapa hari setelah terjadinya cedera.


- Kontusio ini menimbulkan daerah kebiru-biruan atau kehitaman pada kulit.

15

Bila terjadi pendarahan yang cukup, timbulnya pendarahan didaerah yang terbatas

disebut hematoma.
Nyeri pada kontusio biasanya ringan sampai sedang dan pembengkakan yang
menyertai sedang sampai berat (Hartono Satmoko, 1993:191).

e.

Patofisiologi
Kontusio terjadi akibat perdarahan di dalam jaringan kulit, tanpa ada kerusakan

kulit. Kontusio dapat juga terjadi di mana pembuluh darah lebih rentan rusak dibanding
orang lain. Saat pembuluh darah pecah maka darah akan keluar dari pembuluhnya ke
jaringan, kemudian menggumpal, menjadi Kontusio atau biru. Kontusio memang dapat
terjadi jika sedang stres, atau terlalu lelah. Faktor usia juga bisa membuat darah mudah
menggumpal. Semakin tua, fungsi pembuluh darah ikut menurun (Hartono Satmoko, 1993:
192).
Endapan sel darah pada jaringan kemudian mengalamifagositosis dan didaurulang
oleh makrofaga. Warna biru atau unguyang terdapat pada kontusio merupakan hasil reaksi
konversi dari hemoglobin menjadi bilirubin. Lebih lanjut bilirubin akan dikonversi
menjadi hemosiderin yang berwarna kecoklatan.
Tubuh harus mempertahankan agar darah tetap berbentuk cairan dan tetap mengalir
dalam sirkulasi darah. Hal tersebut dipengaruhi oleh kondisi pembuluh darah, jumlah dan
kondisi sel darah trombosit, serta mekanisme pembekuan darah yang harus baik. Pada
purpura simplex, penggumpalan darah atau pendarahan akan terjadi bila fungsi salah satu
atau lebih dari ketiga hal tersebut terganggu (Hartono Satmoko, 1993: 192).
f.

Penatalaksanaan

Mengurangi/menghilangkan rasa tidak nyaman :


a. Tinggikan daerah injury
b. Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30 menit setiap pemberian) untuk
c.

vasokonstriksi, menurunkan edema, dan menurunkan rasa tidak nyaman


Berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24 jam prtama (20-30 menit) 4

kali sehari untuk melancarkan sirkulasi dan absorpsi


d. Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan bengkak
e. Kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4 jam bila ada indikasi
(Brunner & Suddart,2001: 2355).
Menurut Agung Nugroho (1995: 53) penatalaksanaan pada cedera kontusio adalah sebagai
berikut:
1.

Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan pendarahan kapiler.


16

2.

Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan jaringanjaringan lunak yang rusak.

3.

Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun pertandingan berikutnya.

SPRAIN
a. Pengertian
Sprain adalah cedera struktur ligamen di sekitar sendi akibat gerakan menjepit atau
memutar. Sprain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada ligament
(jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi, yang memberikan
stabilitas sendi. Kerusakan yang parah pada ligament atau kapsul sendi dapat menyebabkan
ketidakstabilan pada sendi. Fungsi ligamen adalah menjaga stabilitas, namun masih
mampu melakukan mobilitas. Ligamen yang sobek akan kehilangan kemampuan
stabilitasnya. Pembuluh darah akan terputus dan terjadilah edema, yaitu sendi terasa nyeri
tekan dan gerakan sendi terasa sangat nyeri (Brunner & Suddart,2001: 2355).
b. Etiologi
-

Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang normal,

seperti melingkar atau memutar pergelangan kaki.


Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari posisi
normalnya karena anda terjatuh, terpukul atau terkilir.

c.

Manifestasi klinis
-

Nyeri
Inflamasi/peradangan
Ketidakmampuan menggerakkan tungkai.

d. Tanda Dan Gejala


1. Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah.
2. Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata.
3. Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
4. Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan
e.

Patofisiologi
Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi, yang

disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong / mendesak
pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan
17

tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi
robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya
tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan (Brunner &
Suddart,2001: 2357).
f.

Pemeriksaan Diagnostik
1. Riwayat :
a. Tekanan
b. Tarikan tanpa peredaan
c. Daya yang tidak semestinya
2. Pemeriksaan Fisik :
Tanda-tanda pada kulit, sistem sirkulasi dan muskuloskeletal .

g.

Penatalaksanaan
1. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; penguranganpengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
2. Kemotherapi
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri
dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam)
untuk nyeri hebat.
3. Elektromekanis.
a.

Penerapan dingin dengan kantong es 24 0C

b.

Pembalutan

wrapping

eksternal.

Dengan

pembalutan,

cast

atau

pengendongan (sung)
c.

Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.

d.

Latihan ROM. Tidak dilakukan latihan pada saat terjadi nyeri hebat dan
perdarahan. Latihan pelan-pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan
yang sakit.

e.

Penyangga beban. Menghentikan penyangga beban dengan penggunaan kruk


selama 7 hari atau lebih tergantung jaringan yang sakit.

3. STRAIN
a. Pengertian

18

Strain merupakan tarikan otot akibat penggunaan dan peregangan yang berlebihan

atau stres lokal yang berlebihan (Arif Muttaqin, 2008: 69).


Strain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur
muskulo-tendinous (otot dan tendon). Strain akut pada struktur muskulo-tendinous

terjadi pada persambungan antara otot dan tendon.


Strain adalah tarikan otot akibat penggunaan berlabihan, peregangan berlebihan,
atay stres yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet
dengan perdarahan kedalam jaringan (Brunner & Suddart, 2001: 2355 ).

b. Etiologi
- Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak, seperti pada
pelari atau pelompat.
- Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak.
- Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang
berlebihan/tekanan berulang-ulang,menghasilkan tendonitis (peradangan pada
tendon).
c.

Manifestasi klinis
Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa:
- Nyeri
- Spasme otot
- Kehilangan kekuatan dan
- Keterbatasan lingkup gerak sendi.
Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh karena penggunaan
-

berlebihan atau tekakan berulang-ulang, menghasilkan :


Tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh, pemain tennis bisa
mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil tekanan yang terus-menerus
dari servis yang berulang-ulang.

d. Patofisiologi
Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau
tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang
salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot belum siap,terjadi
pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring (otot paha bagian bawah),dan
otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera
kontusio dan membengkak (Chairudin Rasjad,1998).
e.

Klasifikasi Strain
1. Derajat I/Mild Strain (Ringan)

19

Derajat i/mild strain (ringan) yaitu adanya cidera akibat penggunaan yang
berlebihan pada penguluran unit muskulotendinous yang ringan berupa
stretching/kerobekan ringan pada otot/ligament (Chairudin Rasjad,1998).
a. Gejala yang timbul :
Nyeri local
Meningkat apabila bergerak/bila ada beban pada otot
b. Tanda-tandanya :
Adanya spasme otot ringan
Bengkak
Gangguan kekuatan otot
Fungsi yang sangat ringan
c. Komplikasi
Strain dapat berulang
Tendonitis
Perioritis
d. Perubahan patologi
Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon
e.

namuntanda perdarahan yang besar.


Terapi
Biasanya sembuh dengan cepat

dan

pemberian

istirahat,kompresi

dan elevasi,terapi latihan yang dapat membantu mengembalikan kekuatan


otot.
2. Derajat II/Medorate Strain (Ringan)
Derajat ii/medorate strain (ringan)

yaitu

adanya

cidera

pada

unit

muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan.


a. Gejala yang timbul
Nyeri local
Meningkat apabila bergerak/apabila ada tekanan otot
Spasme otot sedang
Bengkak
Tenderness
Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
b. Komplikasi sama seperti pada derajat I :
Strain dapat berulang
Tendonitis
Perioritis
c. Terapi :
Immobilisasi pada daerah cidera
Istirahat
Kompresi
Elevasi
d. Perubahan patologi :
Adanya robekan serabut otot
3. Derajat III/Strain Severe (Berat)

20

Derajat III/Strain Severe (Berat) yaitu adanya tekanan/penguluran mendadakyang


cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament yang menghasilkan
ketidakstabilan sendi.
a. Gejala :
Nyeri yang berat
Adanya stabilitas
Spasme
Kuat
Bengkak
Tenderness
Gangguan fungsi otot
b. Komplikasi ;
Distabilitas yang sama
c.

Perubahan patologi :
Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon.
d. Terapi :
Imobilisasi
dengan
kemungkinan
pembedahan
f.

untuk

mengembalikanfungsinya.
Manifestasi Klinis
1. Biasanya perdarahan dalam otot, bengkak, nyeri ketika kontraksi otot
2. Nyeri mendadak
3. Edema
4. Spasme otot
5. Haematoma

g.

Komplikasi
1. Strain yang berulang
2. Tendonitis

h.

Penatalaksanaan
1. Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat penyembuhan
2. Meninggikan bagian yang sakit,tujuannya peninggian akan mengontrol
pembengkakan.
3. Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau kering diberikan
secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan mengurangi perdarahan
edema dan ketidaknyamanan.
Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 72 jam sedangkan mati rasa
biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung
selama 30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin
untuk menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan

21

memperoleh kembali fungsinya secara penuh setelah diberikan perawatan


konservatif.

DISLOKASI
a. Pengertian
- Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau
terlepasnya seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk
sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan mulutnya kembali sehabis
membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari tempatnya.
-

Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.


Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya, dislokasi
merupakan suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. (Arif

Mansyur, dkk. 2000)


b. Etiologi
Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi,
diantaranya :
Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.

Trauma akibat kecelakaan

Trauma akibat pembedahan ortoped

Terjadi infeksi di sekitar sendi

c.

Klasifikasi
Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Dislokasi congenital:Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan
2. Dislokasi patologik: Akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi.
misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan
tulang yang berkurang
3. Dislokasi traumatic.Kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan
mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena
mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat
mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak
struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada
orang dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi :
- Dislokasi Akut
22

Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan
pembengkakan di sekitar sendi.
-

Dislokasi Berulang.
Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang
berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang.
Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.Dislokasi
biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh
berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau

kontraksi otot dan tarikan.


d. Etiologi
Dislokasi disebabkan oleh :
1. Cedera olah raga: Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak
bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat
bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering
mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja
menangkap bola dari pemain lain.
2. Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga: Benturan keras pada sendi saat
kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi
3. Terjatuh:

Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin

Tidak diketahui

Faktor predisposisi(pengaturan posisi)

Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.

Trauma akibat kecelakaan.

Trauma akibat pembedahan ortopedi(ilmu yang mempelajarin tentang tulang

Terjadi infeksi disekitar sendi.


23

e.

Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong kedepan

,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-kadang bagian


posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke
bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah ;lengan ini hampir
selalu jatuh membawa kaput ke posisi dan bawah karakoid).
f. Manifestasi Klinis
Nyeri terasa hebat .Pasien menyokong lengan itu dengan tangan sebelahnya dan
segan menerima pemeriksaan apa saja .Garis gambar lateral bahu dapat rata dan ,kalau
pasien tak terlalu berotot suatu tonjolan dapat diraba tepat di bawah klavikula.

Nyeri

Perubahan kontur sendi

Perubahan panjang ekstremitas

Kehilangan mobilitas normal

Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi

Deformitas

Kekakuan

g.

Penatalaksanaan

Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan menggunakan


anastesi jika dislokasi berat.

Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan dikembalikan ke


rongga sendi.

Sendi kemudian dimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips atau traksi dan
dijaga agar tetap dalam posisi stabil.

24

Beberapa hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi halus 34X sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran sendi.

Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa


penyembuhan.

h.

Komplikasi
Komplikasi Dini

Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan
otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot
tesebut.

Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.

Fraktur disloksi

Komplikasi lanjut.

Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat mengakibatkan


kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40
tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi
abduksi.

Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau

Kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid

Kelemahan otot

25

D. TRAUMA MAXILOFACIAL
Muka terdiri dari :
- Jaringan lunak (kulit, otot dan jaringan dalamnya)
- Tulang muka, tulang kepala yang tidak membatasi otak yaitu :- tulang hidung
- tulang zigoma
- tulang maksila
- tulang mandibula
Gejala pada fraktur tulang muka :
- Nyeri tekan lokal
- Hematom lokal
- Gangguan oklusi rahang
- Gangguan faal rahang bawah
- Gangguan sensibilitas
- n. supraorbita
- n. infraorbita
- n. mandibularis
- Mata juling disertai bengkak atau hematom orbita
- Arkus zigomatikus kiri kanan tidak simetris
- Perubahan bentuk hidung
PENATALAKSANAAN
- ABCDE
- Terutama perhatikan airway
Adanya suara snoring (mendengkur), gurgling (berkumur), (crowing/stridor)
bersiul, suara parau (sumbatan pada laring)
Teknik mempertahankan airway
- keluarkan semua muntahan
- suction perdarahan
- manuver chinlift/ jaw thrust
- pemasangan orofaringeal
- cricotiroidotomi
Bila terdapat trauma penyerta yang membahayakan jiwa, maka trauma penyerta
tersebut ditangani dulu sedang penanganan definitif trauma maksilofacial belakangan . Bila
disertai gangguan kesadaran, penanganan definitif ditunggu sampai kesadaran baik dan
kooperatif

26

Fraktur os. Nasale


- Trauma langsung
- Klinis : pembengkakan, epitaksis, nyeri tekan, teraba garis fraktur
- Pemeriksaan penunjang : Ro.nasale lateral
- Penatalaksanaan : segera direposisi dengan anestesi lokal dan imobilisasi tampon
dilubang hidung yang dipertahankan 3 hari. Patahan dilindungi gips kupu 2
minggu.

Fraktur zigoma
Zigoma mambentuk dinding lateral orbita, sering terkena trauma langsung.
Klinis :
adanya displaced, diplopia dan enoftalmus (karena fraktur dasar orbita (blow out
frakture)), gangguan n.infraorbita (hipoestesia), trismus.
Pemeriksaan penunjang : Ro. Posisi Waters

27

Fraktur maksila
- Trauma langsung
- Pembagian
- LeFort I
- LeFort II
- LeFort III
Klinis :
Inspeksi : muka asimetris, pembengkakan (wajah balon), hematom, trismus, nyeri
spontan, maloklusi
Palpasi : dilakukan secara serentak (kanan kiri bersamaan), seksama (hati-hati) dan
sistematis (3S)
Pemeriksaan penunjang : Ro Waters
Fraktur mandibula
- Trauma langsung
- Klinis
Inspeksi : asimetris dan maloklusi
Palpasi : teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat
kerusakan n.mandibularis. Fraktur umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang
karena tonus otot yang menginsersi ditempat tersebut.
Pemeriksaan penunjang : Ro. Mandibula AP/Lat. (posisi Eisler)
- Pembagian : fraktur simpisis, korpus, angulus, ramus prosesus kondiloideus &
koronoideus

28

E. TRAUMA TORAX

Merupakan salah satu penyebab utama kematian. Banyak penderita meninggal setelah
sampai di RS, dan banyak diantara kematian ini sebenarnya dapat dicegah dengan
meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi.
Patofisiologi :
Hipoksia, hiperkarbia dan asidosis sering disebabkan oleh cedera toraks.Hipoksia jaringan
merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena
hipovolemia (kehilangan darah), pulmonary ventilation/perfusion missmatch (contoh :
kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intra toraks (tension
pneumothorax, pneumotoraks terbuka). Hiperkarbia lebih sering diakibatkan oleh tidak
adekuatnyaventilasi akibat perubahan tekanan intratoraks atau penurunan tingkat
kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan (syok).
Initial Assessment dan pengelolaan :
1. Pengelolaan penderita terdiri dari :
a. Primary survey
b. Resusitasi fungsi vital
c. Secondary survey yang rinci
29

d. Perawatan definitif
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada cedera toraks, intervensi
dini perlu dilakukan untk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Cedera yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat
dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus cedera toraks yang mengancam jiwa diterapi dengan mengontrol
airway atau melakukan pemasangan selang toraks atau dekompresi toraks dengan
jarum.
5. Secondary survey membutuhkan riwayat cedera dan kewaspadaan yang tinggi
terhadap adanya cedera toraks yang bersifat khusus.
Primary Survey : Cedera Yang Mengancam Nyawa
Dimulai dengan airway :
Cedera berat pada airway harus dikenali dan dikoreksi saat melakukan primary survey.
Patensi airway dan ventilasi harus dinilai dengan mendengarkan gerakan udara pada
hidung penderita, mulut dan dada serta dengan inspeksi pada darah orofaring untuk
sumbatan airway oleh benda asing, dan dengan mengobservasi retraksi otot-otot interkostal
dan supraklavikular.
Cedera laring dapat bersamaan dengan cedera toraks. Walaupun gejala klinis yang ada
kadang tidak jelas, sumbatan airway karena cedera laring merupakan cedera yang
mengancam nyawa.
Beberapa kondisi yang jarang ditemukan, mungkin timbul pada penderita dg cedera
skeletal yg menyebabkan gangguan bermakna pada airway dan pernafasan penderita.
Sebagai contoh adalah cedera pada dada bagian atas, yang menyebabkan dislokasi kearah
posterior atau fraktur dislokasi dari sendi sternoklavikular. Ini dapat menimbulkan
sumbatan airway bagian atas, bila displacement dari fragmen proksimal fraktur atau
komponen sendi distal menekan trakea. Hal ini juga dapat menyebabkan cedera PD pada
ekstremitas yg homolateral akibat kompresi fragmen fraktur atau laserasi dari cabang
utama arkus aorta.
Cedera ini diketahui bila ada : sumbatan airway atas (stridor), adanya tanda berupa
perubahan dari kualitas suara, dan cedera yang luas pada dasar leher dengan terabanya
defek pada regio sendi sternoklavikular.

30

Penanganan pada cedera ini adalh menstabilkan patensi dari airway, yang terbaik dengan
intubasi endotrakeal, walaupun hal ini kemungkinan sulit dilakukan jika ada tekanan yg
cukup besar pada trakea. Yang paling penting, reposisi tertutup dari cedera yang terjadi
dengan cara mengekstensikan bahu, mengangkat klavikula dengan pointea clamp seperti
towelclip dan melakukan reposisi fraktur secara manual. Cedera seperti ini bila dilakukan
tindakan diatas biasanya akan tetap stabil walaupun penderita dalam posisi berbaring.
Breathing :
Dada dan leher penderita harus terbuka selama penilaian breathing dan vena-vena leher.
Pergerakan pernafasan dan kualitas pernafasan dinilai dengan observasi, palpasi, dan
didengarkan.
Gejala yang terpentingdari cedera toraks adalah hipoksia termasuk peningkatan frekuensi
dan perubahan pada pola pernafasan, terutama pernafasan yang dengan lambat memburuk.
Sianosis adalah gejala hipoksia yang lanjut pada penderita trauma. Tetapi bila sianosis
tidak ditemukan bukan merupakan indikasi bahwa oksigen jaringan adekuat atau airway
adekuat.
Jenis cedera toraks yang penting dan mempengaruhi breathing (yang harus dikenal dan
diketahui slm primary survey) :
1) Tension pneumotorax :
Berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang
berasal dari paru-paruatau dari luar melalui dinding dada, masuk ke dalam rongga
pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk
kedalam rongga pleura yang tiddak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural
akan semakin meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong kesisi
berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung, serta akan
menekan paru kontralateral. Penyebab terseing dari tension pneumothorax adalah
komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan
positif pada penderita yang ada

kerusakan pada pleura visceral. Tension

pneumothorax juga dapat timbul sebagai komplikasi dari pneumothorax sederhana


akibat cedera thorax tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru yang tidak
menutup atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena
jugularis interna. Kadngkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat
menyebabka tension pneumotorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut
31

dengan pembalut kedap udara yang kemudian akan menimbulkan mechanisme


katup . Juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang torax yg mengalami
pergeseran. Dx ditegakkan secara klinis dan tx tdk boleh terlambat oleh karena
menunggu konfirmasi radiologis. Ditandai gx neri dada, sesak yg berat, distres
prnafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakea, hilangnya suara nafas pada satu sisi
dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada
kesamaan

gx

dengan

tamponade

jantung

maka

pada

awalnya

sering

membigungkan, namun perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terkena pada tension pneumotoraks akan dapat membedakannya.
Membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa
insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga 2 grs midclavicular pd hemithorax
yang terkena. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax

menjadi

pneumothorax sederhana. Evauasi ulang sll diperlukan. Tx definitif sll dibutuhkan


dg pemasangan selang dada pada sela iga ke 5 (setinggi puting susu) di anterior dari
garis midaxilaris.
2) Pneumothorax terbuka
Defek atau luka yang besar pada dinding dada akan enyebabkan pneumotoraks terbuka.
Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir.
Jika defek pada dinding dada lebih besar dari 2/3 diameter trakea maka udara akan
cenderung mengalir mll defek krn mempunyai tekanan yang kurang atau lebih kecil
dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga mengakibatkan
hipoksia dan hiperkapnia
3) Hemotoraks masif
Terkumpulnya darah dan cairan lebih dari 1500cc di dalam rongga pleura dapat
menyebabkan gangguan usaha usaha bernapas akibat penekanan paru-paru

dan

menghambat ventilasi yg adekuat. Perdarahan yg banyak dan cepat akan mempercepat


timbulnya syok.
Circulation :
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi, dan keteraturannya. Pada penderita
hipovolemia, denyut nadi a.dorsalis pedis mungkin tidak teraba oleh karena volume yg
kecil. Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai melalui
inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Vena leher harus dinilai apakah
32

distensi atau tidak. Ingat distensi vena leher mungkin tidak nampeak pd px hipovolemia
walaupun ada tamponade jantung, tensio pneumotorax maupun cedera diafragma.
Cedera torax yang akan mempengaruhi sirkulasi dan harus ditemukan pada primary survey
adalah :
Hemotorax masif : Tx awal adl dg penggantian volume darah yang dilakukan

bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Ketika kita mencurigai adanya


hemotorax masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya
sudah keluar 1500ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi
segera.
Torakotomi Resusitasi
Pijatan jantung tertutup untuk henti jantung atau PEA kurang efektif pada
keadaan penderita yg hipovolemia. Px dg luka tembus torax yg sampai di RS tidak teraba
denyut nadi ttp msh ada aktivitas elektrik dari miokard merupakan calon untuk torakotomi
resusitasi secepatnya. Torakotomi anterolateral kiri dilakukan untuk mendapatkan akses
langsung ke jantung, sambil meneruskan resusitasi cairan.Intubasi endotrakeal dan
ventilasi mekanik mutlak harus dikerjakan. Penderita dg cedera tumpul yang sampai di RS
dan tidak teraba denyut nadi akan tetapi masih ada aktivitas miokard tidak ada indikasi
torakotomi resusitasi.
Tindakan tx efektif yang dapat dilaksanakan selama torakotomi adl :
Evakuasi darah di perikard yang dapat menyebabkan tamponade jantung
Kontrol langsung sumber perdarahan pada perdarahan intratorax
Pijatan jantung terbuka
Klem silang aorta descendens untuk mengurangi kehilangan darah dibawah
diafragma dan meningkatkan perfusi ke otak dan jantung.
Secondary Survey : Cedera Torax Yang Dapat Mengancam Nyawa
Membutuhkan pemeriksaan fisik yang lebih dalam dan teliti. Foto torax tegak
dibuat jika kondisi px memungkinkan serta pemeriksaan analisis gas darah, monitoring
pulse oximeter dan elektrokardiogram. Pada foto torax harus dinilai pengembangan paru,
adanya cairan, ada tidaknya pelebaran mediastinum, pergeseran dari garis tengah atau
hilangnya gambaran detail anatomis mediastinum. Pada fraktur iga multipel atau fraktur
iga pertama dan/ atau iga kedua harus dicurigai bahwa cedera yg terjadi pada toraks dan
jaringan lunak dibawah sangat berat.
33

Delapan Cedera Toraks Yang Mugkin Mematikan Terdapat Dibawah ini :


1. Pneumotorax sederhana
2. Hemotorax
3. Kontusio paru
4. Perlukaan percabangan trakeo-bronkial
5. Cedera tumpul jantung
6. Cedera aorta
7. Cedera diafragma
8. Mediastinal traversing wound
Manifestasi Cedera Torax Lain (tidak segera mengancam jiwa tp potensial memburuk) :
1) Emfisema subkutis
2) Crushing Injury to the chest (traumatic asphyxia)
3) Fraktur iga, sternum, dan scapula
4) Cedera tumpul esophagus
5) Indikasi lain utk pemasangan selang dada.
Pada cedera thorax kita diwajibkan mengenali 2 hal:
1. Kelainan-kelainan yang mematikan cepat (mengancam jiwa); yang dapat diketahui
melalui pemeriksaan primer yang harus dilakukan cepat, tidak perlu pemeriksaan
penunjang, tidak perlumencari kausa, dengan prinsip look, listen and feel.
2. Diagnose berupa diagnosis kelainan fungsional. Terapi bersifat resusitasi, re-evaluasi
& life saving.
3. Kelainan-kelainan yang berpotensi manimbulkan kematian; yang pemeriksaannya
dapat dilakukan dengan teliti, tidak perlu terburu-buru, dan dapat menggunakan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis berupa diagnosis kelainan organic. Terapi berupa
terapi definitive.
Yang termasuk di dalam diagnose kelainan fungsional adalah:
GANGGUAN AIRWAY
Berupa obstruksi jalan nafas

34

Disebabkan oleh adanya sumbatan dari dalam atau luar diri pasien. Missal: gigi palsu,
lidah, muntahan.
Diagnosis
Pasien tidak menjawab saat dipanggil
Sesak nafas, sianosis
Gerakan nafas tidak normal, retraksi dinding dada
Terapi
Heimlich maneuver
Suction (jika cair) / bronchoscopy (jika padat)
ET (Endotracheal tube)
Cricothyroidectomy/tracheostomy

GANGGUAN BREATHING
Open Pneumothorax

Adalah adanya hubungan langsung antara cavum thorax dengan lingkaran luar karena

dinding dada berlubang.


Penyebabnya bisa akibat tusukan celurit, terkena ledakan, atau jatuh tertusuk pagar.
Pada luka tembak biasanya malah tidak terdapat lubang di dinding dada karena luka

cenderung menutup lagi setelah dilalui peluru


Pada open pneumothorax, mediastinum bergerak dari kiri ke kanan dan sebaliknya
(gerak bandul), pada inspirasi udara masuk melalui luka dan menggeser mediastinum
ke sisi yang sehat karena tekanan inspirasi tidak seimbang di kanan dan kiri, pada

ekspirasi udara keluar dari luka, mediastinum pindah ke sisi yang luka.
Diagnosis:
Look: tampak luka dada diameter > 2/3 diameter trakea
Listen: sucking chest wound (bunyi seperti siulan/peluit akibat udara yang
keluar-masuk lubang), perkusi hipersonor, auskultasi vesikuler menghilang
Feel: aliran udara pada luka, ketinggalan gerak
Terapi: menutup lubang dengan kasa, sapu tangan, atau tangan, dibuat simple
pneumothorax.

35

Tension Pneumothorax
Merupakan pneumothorax dengan tension (udara dapat masuk ke cavum thorax tp
tidak dapat keluar lagi sehingga tekanan meningkat). Jadi harus ditegakkan dulu
adanya pneumothorax.
Disebut tension pneumothorax bila sudah mendesak mediastinum, sehingga dapat
mendesak limfe, vena (JVP meningkat), arteri, dan akhirnya jantung.
Terjadi bendungan venous return turun cardiac output turun shock obstruksi
Diagnosis:
Look: ada ketinggalan gerak (paling baik dilihat dari cranial pasien), sesak

nafas progresif, hiperventilasi, gelisah (karena hipoksia), JVP naik.


Listen (auskultasi): vesikuler nyaris tak terdengar
Feel: perkusi hipersonor, dapat terjadi emfisema subkutis

Keterangan
1. Emfisema sub kutis tampak dari luar
2. Rongga pleura membesar karena paru-paru kolaps
3. Pengumpulan udara di lapisan sub kutis
4. Defek dinding dada karena trauma
5. Jantung dan aorta yang bergeser
Terapi
Bila disebabkan karena lubang di dinding dada (open pneumothorax), tutup
lubang dengan kasa yang diplester di ketiga sisinya, sisi yang satu biarkan
terbuka. Sehingga seperti katup dimana udara tidak bisa masuk ke rongga
pleira saat inspirasi tapi bisa keluar saat ekspirasi
Bila close pneumothorax, tusuk dengan jarum besar di SIC 2 untuk dekompresi
WSD (Water Seal Drainage) untuk menghilangkan pneumothoraxnya
36

Bila terdapat emfisema subkutis lakukan tusukan jarum multiple di tempat


yang emfisema
GANGGUAN SIRKULASI
MASSIVE HEMATOTHORAX

Adalah terkumpulnya darah dicavum thorax karena diskontinuitas pembuluh darah


disekitar cavum pleura.
Pengertian hematothorax massif :
1. Darah di cavum pleura
2. > 1500 cc (> 200 ml/jam selama 4 jam)
3. Dalam waktu singkat
Disebabkan major bleeding (cedera pembuluh darah besar), berarti :
1. Pendarahan tidak bisa dihentikan sendiri oleh tubuh
2. Butuh tindakan ahli
3. Sebagai dokter umum lakukan resusitasi cairan dan hentikan pendarahan bila
mungkin
Hematothorax < 750 cc masih bisa dikompensasi
Hematothorax 750 1500 cc ada gejala shock
Hematothorax 1500 2000 cc gejala shock berat
Hematothorax > 2000 cc dead
Diagnosis :
1. Look : ketinggian jarak
2. Listen : vesikuler turun
3. Feel : perkusi redup di bagian basal, karena darah mencari tempat yang paling
rendah
4. Rontgen : sudut costophrenicus menghilang. Bila pada foto rontgen tampak putih
semua/gambaran pulmo hilang pendarahan massif (> 800 mg)

DD :
1. Semua kelainan yang menyebabkan pendarahan dari sumber nontrauma di rongga
dada
2. Efusi pleura
3. Empyema pleura
4. Atelektesis

Manajemen :

37

1. Menghentikan pendarahan dengan thoracotom/sebelumnya lakukan drainase


dengan memasang WSD pada SIC 5 LMA (daerah yang dibatasi oleh margo lateral
m.pectoralis, margo lateral latissimus dorsi dan garis yang menghubungkan
keduanya)
2. Resusitasi cairan, sebaiknya buka dua jalur
FLAIL CHEST
Definisi
Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel
berturutan 3 iga , dan memiliki garis fraktur 2 (segmented) pada tiap iganya.
Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari
gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat
inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.
Patofisologi
Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan
dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih
tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya semen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan
parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan
menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu
trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidakstabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi
dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya
hipoksia pada penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan
dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat
pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan
menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi
gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu
diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang
multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan
38

analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu
dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi
adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka
pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan
pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat
sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih
spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif
ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta
pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita
membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada
penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai
diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap.
Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja
pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan
ventilasi
Karakteristik

Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak


terlihat pada pasien dalam ventilator

Menunjukkan trauma hebat

Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)

Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement,
yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail
chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti
melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan
mekanik pernapasan secara keseluruhan.
Penatalaksanaan
sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan
pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui
pemeriksaan AGD berkala dan takipneu
39

pain control
stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui
operasi)
bronchial toilet
fisioterapi agresif
tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:
1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb)
2. Gagal/sulit weaning ventilator
3. Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)
4. Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)
5. Menghindari cacat permanen
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area
"flail"
TEMPONADE JANTUNG
Definisi
Temponade jantung adalah suatu kondisi saat perikardium terrisi oleh darah, baik dari
jantung, pembuluh darah besar maupun pembuluh darah perikardium.
Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku sehingga meskipun hanya
sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan
mengganggu pengisian jantung.
Temponade jantuung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian cedera
tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah.
Mengeluarkan darah atau cairan perikard, perikardiosintesis, sering hanya keluar 15 ml
sampai 20 ml, sudah akan memperbaiki hemodinamik. Walaupun kecurigaan besar akan
adanya tamponade jantung, tetap dilakukan pemberian cairan infus awal krn akan dapat
meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan CO untuk sementara.
40

Diagnosis
Diagnosis klasik temponade jantung adalah adanya Trias Beck:
1. peningkatan tekanan vena
2. penurunan tekanan arteri
3. suara jantung menjauh
Tanda lain:

Pulsus paradoxus yang lebih dari 10 mmHg. Pulsus paradoxus merupakan kondisi
fisiologis dimana terjadi penurunan tekanan sistolik selama inspirasi spontan.
Namun bila penurunan ini lebih dari 10 mmHg maka menjadi tanda lain temponade
jantung.

Tanda kussmaul (peningkatan tekanan vena saat inspirasi biasa) menunjukkan


temponade jantung.

PEA pada keadaan tidak ada hipovolemi dan tension pneumotoraks harus dicurigai
temponade jantung.

Tatalaksana
Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah perikardiosentesis.
Indikasi:

Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok
hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada
temponade jantung.

Kecurigaan yang tiggi pada pasien temponade jantung yang tidak memberikan
respon pada resusitasi cairan.

Perikardiosentesis
1. Siapkan passian, berikan sedasi bila perlu.
2. Pasang jalur intravena.
41

3. pasang oksigen, monitor EKG dan Pulse Oksimeter


4. Pakai sarung tangan.
5. Bersikan dengan antisseptik pada daerah epigastrium dan sekitarnya.
6. Anestesi lokal di infiltrasi pada subxiphoid.
7. Masukan jarum subxiphoid tepi kiri dengan sudut45 derajat menuju arah ujung
bawah skapula kiri, bersamaan dengan masuknya jarum dilakukan aspirasi semprit.
8. Lakukan monitoring EKG untuk mencegah masuknya jarum ke rongga jantung (bil
terjadi perubahan irma jantung, berarti jarum masuk ke rongga jantung.
9. Dengan mengurangi cairan 50 cc, maka jantung akan berfungsi dengan baik.
10. Cairan dalam siringe periksa untuk analisa laboratorium
11. Kawat penuntun masukkan melalui jarum tersebut, kemudian jarumnya dicabut dan
dimasukkan kateter dengan tuntunan kawat penuntun tersebut, cabut kawat
penuntun.
12. Prtahankan posisi kateter perikardial dengan plester.

RUPTUR AORTA
Ruptur aorta traumatik biasanya menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil
tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Sesampainya di rumah sakit, kemungkinan
dapat selamat apabila ruptur aorta dapat diidentifikasi segera dan ditangani secepatnya.
Penderita ruptur aorta yang masih bisa ditolong adalah bila laserasinya tidak total dan
dekat dengan ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lappisan
adventesia yang masih utuh atau aadanya hematom mediastinum yang mencegah
terjadinya kematian segera.
Hipotensi menetap atau berulang ditemukan sedangkan perdarahan ditempat lain tidak ada.

42

bila rupturnya berupa transeksi aorta, maka darah akan masuk ke rongga pleura yang
menyebabkan hipotensi,

berakibat fatal dan harus dilakukan operasi dalam hitungan

menit.
Tanda
gejala tidak khas, namun berdasarkan kecurigaan aadanya trauma, adanya gaya deselersi
dan temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi.
Gambaran radiologi yang mengindikasikan adanya cedera pembuluh darah besar dalam
toraks.
1. Pelebaran Mediasstinum
2. Obliterasi lengkung aorta
3. Deviasi trakea ke arah kanan
4. Hilangnya ruang antara arteri pulmonal dan aorta
5. Bronkus utama kiri tertekan ke bawah
6. Deviasi esofagus kearah kanan
7. Pelebaran paratrakeal tidak merata
8. Pelebaran paraspinalDitemukan adanya pleura atau apical cap
9. Hemotoraks kiri
10. Fraktur iga 1 atau ke 2 atau scapula.
Angiografi merupakan pemeriksaan gold standar, tetapi transesofageal ekokardiografi
(TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasif yang membentu enegakan diagnosis.
CT-helikal dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta.
Akurasi dengan CT-helikal mencapai 100%, namun sangat tergantung alat dan ahli. Bila
CT-helikal tidak menunjukkan adanya hematoma mediastinum maupun cedera aorta, maka
pemeriksaan selanjutnya tidak diperlukan. Bila CT-helikal positif maka harus dilakukan
aortografi.

43

Tatalaksana
Ahli bedah berpengalaman harus membantu penegakan diagnosis. Terapi yang dapat
dilakukan adalah penjahitan primer aorta dan dipasang graft.

F. TRAUMA ABDOMEN

Pendahuluan
Penilaian sirkulasi sewaktu primary survey harus mencakup deteksi dini dari
kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi di abdomen dan pelvis pada trauma
tumpul.Trauma tajam pada dada antara nipple dan perineum harus dianggap berpotensi
mengakibatkan cedera intra abdominal.Pada penilaian abdomen, prioritas maupun metode
apa yang terbaik sangat ditentukan oleh mekanisme trauma, berat, dan lokasi trauma
maupun status hemodinamik penderita. Trauma abdomen yang tidak terdeteksi menjadi
salah satu penyebab kematian, selain trauma spinal. Bisa juga kita mendapatkan adanya
44

kehilangan darah yang bermakna di dalam rongga abdomen tanpa adanya perubahan yang
dramatis dalam bentuk abdomen maupun tanda-tanda peritonitis yang jelas. Setiap pasien
yang mengalami trauma tumpul pada dada baik karena pukulan langsung maupun
deselerasi, ataupun trauma tajam, harus dianggap mungkin mengalami trauma visera
ataupun trauma vaskuler abdomen.
Mekanisme Trauma
A. Trauma Tumpul
1) Trauma kompresi (crush injury) terhadap organ viscera akibat pukulan
langsung, misalnya terbentur stir ataupun bagian pintu mobil melesak
kedalam karena tabrakan. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ
berongga dan bisa menyebabkan ruptur, terutama organ-organ yang
distensi(misalnya uterus pada ibu hamil) dan mengakibatkan perdarahan
maupun peritonitis.
2) Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ viscera adalah crush injury
yang terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya seat belt) tidak digunakan
dengan benar.
3) Trauma decelerasi pada tabrakan bermotor, akibat pergerakan antara suatu
bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti ruptur lien ataupun
ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang
terfiksir)
4) Pemakaian air bag tidak mencegah seseorang mengalami trauma abdomen.
Trauma tumpul paling banyak mengenai lien(40-55%), hepar (33-45%) dan
usus halus (5-10%). Sebagai tambahannya, 15 % nya mengalami hematoma
retroperitoneal.
B. Trauma Tajam
1) Luka tembak (kecepatan rendah)ataupun luka tusuk akan mengakibatkan
kerusakan

jaringan.Luka

tembak

dengan

kecepatan

tinggi

akan

menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ


viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation dan bisa
pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka
tembak ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, berapa besar energi
kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang,
45

maupun efek pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus
halus (50%), colon(40%), hepar(30%) dan pembuluh darah abdominal
(25%).
2) Luka tusuk tersering mengenai hepar(40%), usus halus (30%), diafragma
(20%) dan colon (15%).
Penilaian
Pada pasien yang mengalami hipotensi, tentukan ada tidaknya trauma abdomen dan apakah
hal tersebut yang menyebabkan hipotensi. Pasien dengan hemodinamik yang stabil tanpa
tanda-tanda peritonitis bis adiperiksa lebih detail untuk menentukan adanya trauma
spesifik, ataukah selama observasi timbul tanda peritonitis ataupun perdarahan.
A. Anamnesis
1) Pada tabrakan bermotor harus mencakup kecepatan kendaraan, proses
tabrakan(dari samping, terserempet, dari belakang atau depan), berapa besar
kerusakan kendaraan kedalam ruang penumpang, jenis pengaman yang
dipakai, keadaan pasien dalam kendaraan dan status pasien lainnya.
2) Pasien dengan trauma tajam, yang perlu ditanyakan, waktu terjadi trauma,
jenis senjata yang digunakan, jarak dari pelaku (shotgun pada jarak lebih
dari 3m atau 10 kaki jarang menyebabkan trauma viscera) jumlah tikaman
atau tembakan dan jumlah perdarahan eksternal yang tercatat di tempat
kejadian. Bila mungkin, informasi tambahan harus diperoleh dari pasien
mengenai hebatnya maupun lokasi nyeri di abdomen dan ada tidaknya nyeri
alih ke bahu.
B. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi
Pasien umumnya diperiksa tanpa pakaian. Abdomen bagian depanbelakang, dada bagian bawah dan perineum diteliti adakah ekskoriasi
ataupun memar karena alat pengaman, laserasi, liang tusukan atau pun
benda asing yang menancap, omentum ataupun bagian usus yang keluar dan
status kehamilan. Harus dilakukan log-roll agar pemeriksaan lengkap.
2) Auskultasi
Periksa adatidaknya bising usus. Darah bebas di retroperitoneum ataupun
gastrointestinal dapat mengakibatkan ileus yang mengakibatkan hilangnya
46

bisis usus. Meskipun demikian, ileus juga dapat disebabkan karena cedera
struktur yang berdekatan seperti iga, vertebra maupun pelvis walaupun tidak
ada cedera intraabdominal. Karena itu hilangnya bising usus bukan
diagnosis terjadinya trauma intraabdominal.
3) Perkusi
Manuver ini mengakibatkan pergerakan peritoneum dan mencetuskan tanda
peritonitis. Nada timpani karena dilatasi lambung akut pada kwadran kiri
atas ataupun perkusi adanya nada redup akibai hemoperitoneum.
4) Palpasi
Kekakuan

dinding

perut

volunter(sengaja

oleh

pasien)

membuat

pemeriksaan manjadi kurang bermakna. Kekakuan involunter merupakan


tanda yang bermakana untuk perangsangan peritoneal. Tujuan palpasi untuk
mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang dalam. Nyeri lepas
tersebut dapat menunjukkan adanya peritonitis yang biasanya akibat
kontaminasi isi usus ataupun hemoperitoneum tahap awal.
5) Evaluasi luka tusuk
Sebagian besar luka tembak ditangani dengan laparotomi eksploratif
karena insiden cedera intraperitoneal bisa mencapai 95%.
Semua kasus luka tembak ataupun luka tusuk yang disertai ganguan
hemodinamik yang tidak stabil harus dilaparotomi segera.
Apabila kita curiga luka tusuknya bersifat superficial dan tidak
menembus lapisan otot dinding abdomen, biasanya ahli bedah yang
berpengalaman akan mencoba untuk melakukan eksplorasi luka
terlebih dahulu untuk menentukan kedalamannya. Akan tetapi
sekitar25-33% luka tusuk abdomen depan tidak menembus
peritoneum, laparotomi menjadi kurang produktif. Dengan kondisi
steril, anastesi lokal disuntikkan dan jalur luka diikuti sampai
ditemukan ujungnya. Bila peritoneum terbukti tembus, pasien
mengalami resiko lebih besar untuk cedera intraabdominal, hal ini
bagi banyak ahli bedah merupakan indikasi laparotomi.

47

Setiap pasien yang sulit dieksplorasi, misalnya pasien gemuk atau


tidak kooperatif, maka harus dirawat untuk dilakukan evaluasi ulang
atau jika perlu laparotomi.
6) Menilai stabilitas pelvis
Penekanan pada SIAS dan crista iliaca dapat menimbulkan rasa nyeri
maupun krepitasi yang menyebabkan dugaan fraktur pelvis.
7) Pemeriksaan Penis , perineum dan rectum.
Adanya darah pada meatus uretra merupakan dugaan robeknya uretra.
Inspeksi adanya ekimosis dan hematom pada scrotum dan perineum untuk
dugaan yang sama dengan yang di atas. Pemeriksaan rectum untuk
mementukan tonus sfingter , posisi prostat(jika letaknya lebih tinggi
menyebabkan dugaan cedera uretra) dan menegakkan ada tidaknya fraktur
pelvis. Selain itu pada luka tusuk juga untuk menilai adanya perforasi usus.
8) Pemeriksaan vagina
Bisa juga robekan vagina karena fragmen tulang dari fraktur pelvis atau
luka tusuk.
9) Pemeriksaan Glutea
Luka tusuk di daerah ini biasanya berhubungan dengan cedera
abdominal(50%).
C. Intubasi
Apabila problem ABC sudah dilakukan diagnosis dan terapi, sering dilakukan
pemasangan kateter gaster dan urine sebagai bagian resusitasi.
1) Gastric tube
Tujuan terapeutik dari pemasangan gastric tube sejak mass
resusitasi adalah untuk mengatasi dilatasi lambung akut,
dekompresi

gaster

sebelum

melakukan

DPL,dan

mengneluarkan isi lambung yang berarti mencegah aspirasi.


Adanya darah pada NGT menunjukkan kemungkinan adanya cedera
oesofagus ataupun saluran gastrointestinal b a g i a n a t a s b i l a
n a s o f a r i n g a t a u p u n orofaringnya aman. Perhatian: gastric
48

tube h a r u s d i m a s u k k a n m e l a l u i m u l u t (Orogastric)
bila ada kecurigaan fraktur tulang facial ataupun fraktur basis
cranii agar bisa mencegah tube masuk melalui lamina cribiformis
menuju otak.
2) Kateter urine
Tujuan pemasangan adalah mengatasi retensi urine, dekompresi
bulu-bulisebelum melakukan DPL, dan untuk monitor urinary
output sebagai salahsatu indeks perfusi jaringan. Hematuria
menunjukkan adanya cedera traktus urogenitalis.
Perhatian: ketidak mampuan untuk kencing, fraktur pelvis yang
tidak stabil, darah pada meatus urethra, hematoma skrotum
ataupun ecchymosis perineum maupun prostat yang letaknya tinggi
pada

colok

dubur

menjadi

petunjuk

agar

dilakukan

p e m e r i k s a a n uretrografi retrograd agar bisa diyakinkan tidak


adanya ruptur urethra sebelum pemasangan kateter. Bilamana
pada primary survey maupun secondanj survey kits ketahui adanya
robek u r e t h r a , m u n g k i n h a r u s d i l a k u k a n m pemasangan
kateter suprapubik oleh dokter yang berpengalaman.
D. Pengambilan sampel darah dan urine
Darah diambil sewaktu pemasangan jarum infus. Bagi pasien yang
hemodinamiknya stabil betujuan untuk mengetahu tipe darahnya, sedangkan
yang hemodinamiknya tidak stabil untuk crossmatch.
Bersama

dengan

itu,

di

periksa

darah

rutin,

kadar

kalium,glukosa,amylase(pada trauma tumpul) dan kadar alkohol dalam


darah.
Urine untuk urinalisis atau test obat, atau jika wanita produktif untuk tes
kehamilan, jika diperlukan.
E. Pemeriksaan Radiologi
1) Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul

49

Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral;,


Thorax AP clan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma
tumpul dengan multitrauma.
Rontgen foto abdomen 3 posisi (telentang, setengah tegak clan
lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas
dibawah

diafragma

ataupun

udara

diluar

lumen

diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk


untuk

dilakukannya

laparotomi.

Hilangnya

bayangan

psoas

menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.


2) Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tajam
Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak
memerlukan pemeriksaan screening X-Ray. Pada pasien luka
tusuk di atas u m b i l i c u s a t a u d i c u r i g a i d e n g a n c e d e r a
thoracoabdominal dengan hemodinamik yang normal, rontgen foto
thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemoatau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas
intraperitoneal.
Pada pasien yang hemodinamiknyna normal, pemasanganklip
pada lukamasuk maupun luka keluar dari suatu luka tembak
dapat niemperlihatkan jalann ya peluru maupun adan ya
udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
3) Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
a) Urethrografi
S e b a g a i m a n a y a n g t e l a h d i s e b u t k a n sebelumnya, harus dilakukan
urethrography sebelum pemasangan kateter urine bila ki:i curigai adanya
ruptur urethra. Pemeriksaaurethrograft dilakukan dengan memasang
kateter No.8-F dengan balon dipompa 1,52cc di fossa naviculare.
Dimasukkan 15-20 cc kontras yang ticlak diencerkan. Dilakukain
pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada
penis.

50

b) Sistografi
Ruptur

buli-buli

intra-

ataupun

extraperitoneal

terbaik

ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT sistografi. Dipasang


kateter urethra clan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air
pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan clibiarkan kontras mengalir
kedalam buli-bu' atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara
spontan mengedan,atau (3) pasien. merasa sakit. Diambil foto rontgen AP,
oblik clan foto post-voiding. Cara lain adalah dengan pemeriksaan
CT Scan (CT cystogram yang terutama bermanfaat untuk mendapatkan
informasi tambahan tentang ginjal maupun tulang pelvisnya.
c) CT Scan/IVP
Bilamana ada fasililtas CT Scan, maka semua pasien dengan
hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami
cedera sistim urinaria bisa sdiperiksa dengan CT Scan dengan
kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana
tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan
IVP.
Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi
bolus 100 cc larutan Jodine 60%(standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai
30% 3cc/kg) dengan 2 bush spuit 50cc yang disuntikkan dalam
30-60

detik.

20

merit

sesudah

injeksi

kita

akan

memperoleh visualisasi calyx pads x-ray. Bilamana. 1 sisi nonvisualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis
maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang
mengalami

kerusakan

massif.Nonvisualisasi

keduanya

memerlukan pemeriksaan lanjutan dengan CT scan +


kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal; yang
mans yang diambil tergantung fasilitas yang dimiliki.
d) Gastrointestinal.
Cedera pads struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal
(duodenum, colon ascendens,colon descenders) tidak akan menyebabkan
peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada
51

kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scandengan kontras ataupun


pemeriksaan Rofoto untuk upper GI Tract ataupun GI Tract bagian
bawah dengan kontras harus dilakukan.
F. Pemeriksaan diagnostik pada trauma tumpul
Bilamana ada bukti awal ataupun bukti yang jelas yang menunjukkan pasien
harus segera ditransfer, pemeriksaan yang memerlukan waktu banyak
tidak perlu dilakukan. Test ieperti ini antara lain pemeriksaan rontgen foto
--engan kontras untuk gastrointestinal maupun urology DPL maupun CT Scan
(Lihat table 1, DPL Vs FAST Vs CT Scan pada trauma tumpul).
1)

Diagnostik peritoneal lavage (DPL)


DPL adalah prosedur invasive yang bisa cepat dikerjakan yang bermakna
merubah rencana untuk pasien berikutnya, clan dianggap 98% sensitive
untuk perdarahan intraperitoneal. Harus dilaksanakan oleh team
bedah untuk pasien dengan trauma tumpul multiple dengan hemodinamik
yang abnormal, terutama bila dijumpai :
a. Perubahan sensorium-trauma capitis, intoksikasi alcohol, kecanduan obatobatan

b. Perubahan sensasi-trauma spinal


c. Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis
d. Pemeriksaan fisik diagnostik tidak jelas
e. Diperkirakan akan ada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang
agak lamapembiusan untuk cedera extraabdominal, pemeriksaan X-ray yang
lama,mis.angiografi
f. Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan
trauma usus.
DPL juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik normal bila dijumpai
hal seperti diatas, dan disini tidak kita miliki fasilitas USG ataupun CT Scan.
Satu-satunya kontraindikasi untuk DPLadalah adanya indikasi yang jelas untuk
laparotomi. Kontraindikasi relatif antara lain adanya operasi abdomen
sebelumnya,

morbid

obesity,sirrhosisy a n g

lanjut,

dan

adanya
52

koagulofati

sebelumnya.

Bisa

dipakai

tehnik

terbuka

atau

tertutup(Seldinger) di infraumbilikal oleh dokter yang terlatih. Pads pasien


dengan fraktur pelvis ataupun ibu hamil, lebih baik dilakukan
supraumbilikal untuk mencegah kita mengenai hematoma pelvisnya ataupun
membahayakan uterus yang membesar. Adanya aspirasi darah segar, isi
gastrointestinal, serat sayuran ataupun empedu yang keluar ,melalui tube DPL
pads pasien dengan hemodinamik yang abnormal menunjukkan Indikasi kuat
untuk laparotomi. Bila tidak ads darah segar (>10cc) ataupun cairan
feces,dilakukan lavase dengan 1000cc Ringer Laktat (pads anak-anak
10cc/kg). Sesudah cairan tercampur dengan cara menekan maupun melakukan
log-roll,cairanditampung

kembali

dan

diperiksa

dilaboratorium

untuk

melihaty isi gastrointestinal, serat maupun empedu. Test (+) bila eri
>100.000/mm3, leuko > 500/mm3, atau pengecatan Gram (+) untuk bakteri.

2) FAST (Focused Assessment sonography in Trauma)

Individu yangn terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk


mendeteksi adanya hemoperitoneum.Dengan peralatan yang khusus
ditangan

mereka

yang

berpengalaman,

ultrasound memiliki

sensitifitas, spesitifitas dan ketajaman untuk mendeteksi adanya


cairan intraabdominal yang sebanding dengan DPL, dan CT
abdomen. Ultrasound memberikan cara yang cepat, noninvasive,
akurat dan murah untuk mendeteksi hemoperitoneum, dan dapat
dilakukan kapanpun.

Ultrasound dapat digunakan sebagai diagnostik

bedside

dikamar

resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur


diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama
dengan indikasi DPL. Faktor yang mempengaruhi penggunaannya antara
lain adalah obesitas adanya udara subkutan ataupun bekas operasi
abdomen sebelumnya.
53

Scanning dengan ultrasound bisa dengan cepat dilakukan mendeteksi


hemoperitoneum. Dicari scan kantung perikard, fossa hepatorenalis.
splenorenalis ataupun cavum Douglas. Sesudah scan pertama, 30 menit
berikutnnya idea dilakukan lagi scan kedua atau scan "control. Scan
kontrol ini gunannya adalah untuk pertambahan hemoperitoneum pads
dengan perclarahan yang berangsur-angsur
3)

Comuted Tomography (CT)


Merupakan prosedur diagnostik dimana kita perlu memindahkan pasien
ketempat scanner, pemberian kontras intravena, dan pemeriksaan a b d o me n
atas dan bawah serta. pelvis.
Diperlukan banyak waktu dan hanya dilakukan pada pasien dengan
hemodinamik stabil dimana kita tidak perlu segera melakukan
laparotomi.
Dengan CT kita memperoleh keterangan mengenai organ yangn
mengalami kerusakan dan tingnkat kerusakannya, dan juga bisa untuk
mendiagnosa trauma retroperitoneal maupun pelvis yang sulit didiagnosa
dengan pemeriks aan fis ik, FAS T maupun DP L. Kontraindikasi
relatif penggunaan CT Scan antara lain penundaan yang terjadi sampai
alat CT siap untuk dipergunakan, adanya pasien yang tidak
kooperatif yang tidak mudah ditenangkan dengan obat, ataupun
allergi terhadap bahan kontras yang dipakai bilamana ':ahan kontras
nonionic tidak tersedia.
CT

scan

bisa

luput

memeriksa

beberapa

cedera

gastrointestinal,diafragma ataupun pankreas. Bila tidak ada cedera


hepar ataupun Lien, adanya cairan bebas intraabdominal menimbulkan
kecurigaan

akan

adanya

cedera

traktus

gastrointestinal

maupun

mesenterium, dan beberapa ahli bedah trauma memakai ini sebagai indikasi
untuk melakukan tindakan.

Tabel 1. DPL Vs.FAST Vs.CT Scan pads trauma tumpul abdomen


DPL
Indikasi

FAST

CT Scan

Menunjukan darah bila Menunjukan cairan bila Menunjukan kerusakan


54

hiportensif

Keuntungan # Deteksi dini


Semua pasien
Cepat
98% Sensitive
Deteksi cedera usus
Transport tidak

Kerugian

hipotensif

bila tensi normal

*Deteksi dini
Semua Pasien
Noninvasive
Cepat
86-97% akkurat
Transport tidak

Lebih spesifik untuk


Sensitive
92-98%

Invasive
Hasil
bergantung I Mahal & memakan
Spesifitas rendah
Distorsi krn udara usus Trauma
Trauma diafragma dan Trauma diafragma usu, pancreas luput
retro peritoneum lupus

dan pancreas luput

Transport dibutuhkan

G. Pemeriksaan diagnostic pada trauma tajam.


1) Cedera thorax bagian bawah
Pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan cedera pada diafragma
dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun
foto thorax yang berulang, thoracoskopi ataupun laparoskopi ataupun
pemeriksaan CT scan (untuk cedera thoracoabdominal bagian kanan).
Dengan pemeriksaan diatas, kita masih bias menemukan adanya hernia
diafragma sebelah kiri karena luka tusuk thoracoabdominal, sehingga
perlu eksplorasi bedah.
Luka tembak pilihan terbaik adalah laparotomi.
2) Eksplorasi luka lokal dan pemeriksaan fisik serial dibandingkan dengan
DPL pada luka tusuk abdomen depan.
55-65% pasien luka tusuk tembus abdomen depan akan mengalami
hipotensi, peritonitis ataupun eviscerasi omentum maupun usus
halus. Untuk pasien seperti ini perlu di laparotomi.
Pasien yang selebihnya setelah di eksplorasi lokal luka, setengahnya
juga di laparotomi. Laparotomi merupakan salahsatu opsi yang
relevan untuk semua pasien ini.

55

Pasien yang relatif asimptomatik (kecuali rasa nyeri akibat


tusukan) ), opsi diagnostik

yangn tidak invasive adalah

pemeriksaan fisik diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun


laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan fisik diagnostik serial
membutuhkan sum ber days manusia yang besar,tetapi dengan
ketajaman sebesar 94%. Dengan DPL bisa diperoleh
d i a g n o s a l e b i h d i n i p a d a p a s i e n y a n g asimptomatik dan
ketajaman mencapai 90% bila menggunakan hitung jenis sel
seperti pada trauma tumpul.
Laparoskopi

diagnostik

bisa

menyingkirkantembusnya

mengkonfirmasi
peritoneum,

ataupun
tetapi

kurangbermakna untuk mengenali cedera tertentu.


3) Pemeriksaan fis ik diagnos t ik s erial dibandingkan CT dengan
double-atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung.
K etebal an otot flank ma upun punggung melindungi
organ viscera dibawahnya pada luka tusuk maupun luka
tembak. Disinipun walaupun laparotomi merupakan opsi
yang relevan pada pasien ini, untuk pasien yang asimptomatik ada
opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial,CT dengan
double- atau t r i p l e - c o n t r a s t , a t a u p u n D P L .
D e n g a n pemeriksaan fisik diagnostik serial untuk pasien yang
mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simptomatik,
kita peroleh ketajaman t e r u t a m a

dalam

mendeteksi

c e d e r a retroperitoneal maupun intraperitoneal untuk luka


dibelakang lines axillaries anterior.
CT dengan contrast-enhanced yangn double(i.v. dan oral) atau
triple (i.v.,oral dan rectal) memakan banyak waktu dan
memerlukan ketelitian untuk memeriksa bagian-bagian colon
yang retroperitoneal pads sisi luka tusuk. Ketajamannya sebanding
dengan pemeriksaan f i s i k

diagnostik

serial,

akan

t e t a p i memungkinkan deteksi yang lebih dini untuk cedera pads


pasien yang asimptomatik bila dilakukan dengan benar.
56

Kadang-kadang dengan pemeriksaan fisik serial maupun CT kita


bisa luput untuk mengetahui cedera retroperitoneal. Karena itu
sesudah

observasi

dirumah

sakit

selama

24

jam,

kalaupun pasien dipulangkan kita harus menganjurkan


kontrol segera.
DPL bisa digunakan untuk screening awal pads pasien seperti
ini. DPL (+) menunjukkan indikasi laparotomi
Indikasi Laparotomi pada orang dewasa
1. Trauma

tumpul

abdomen

dengan

hipotensi dan dugaan perdarahan

intraabdominal secara klinis.


2. Trauma tumpul abdomen dengan FAST(+)_ ataupun DPL (+)
3. Hipotensi pads luka tusuk tembus abdomen
4.

Luka tembak menyeberang rongga peritoneum

5.

Eviscerasi omentum atau usus

6.

Perdarahan dari gaster,rektum atau traktus urogenitalis pads luka tusuk

7.

Adanya peritonitis

8.

Udara bebas,udara retroperitoneal,atau ruptur diafragma pads trauma tumpul

9.

CT dengan kontras memperlihatkan ruptur saluran cerna, cedera


buli,intraperitoneal,cedera pembuluh darah, ginjal, ataupun kerusakan parenchyma
viscera sesudah trauma tumpul atau tajam.

G. COMBUSTIO
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau
terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia (chemycal),
atau radiasi (radiation) .
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab luka bakar. Beratnya luka bakar juga
dipengaruhi oleh cara dan lamanya kontak dengan sumber panas (misal suhu benda yang
membakar, jenis pakaian yang terbakar, sumber panas : api, air panas dan minyak panas),
listrik, zat kimia, radiasi, kondisi ruangan saat terjadi kebakaran dan ruangan yang tertutup.
57

Luka bakar dikategorikan menurut mekanisme injurinya meliputi :


a.

Luka Bakar Termal


Luka bakar thermal (panas) disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan

api, cairan panas atau objek-objek panas lainnya.


b. Luka Bakar Kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan
asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang
terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat terjadi
misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan untuk
keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri,
pertanian dan militer. Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan
luka bakar kimia.
c.

Luka Bakar Elektrik


Luka bakar electric (listrik) disebabkan oleh panas yang digerakan dari energi

listrik yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengaruhi oleh lamanya
kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
d. Luka Bakar Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injuri
ini seringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber
radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia kedokteran. Terbakar oleh sinar matahari
akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka bakar radiasi.

Faktor Resiko
Data yang berhasil dikumpulkan oleh Natinal Burn Information Exchange menyatakan
75 % semua kasus injuri luka bakar, terjadi didalam lingkungan rumah. Klien dengan usia
lebih dari 70 tahun beresiko tinggi untuk terjadinya luka bakar.
Fase Luka Bakar
1. Fase akut.

58

Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan
mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme bernafas),
dan circulation (sirkulasi).
Gnagguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah
terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera
inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian
utama penderiat pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
akibat cedera termal yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan
atau kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas.
Luka yang terjadi menyebabkan:
Proses inflamasi dan infeksi.
Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak
berbaju epitel luas dan atau pada struktur atau organ organ fungsional.
Keadaan hipermetabolisme.
3. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan
pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah
penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan
kontraktur.

E. Klasifikasi Luka Bakar


A. Dalamnya luka bakar.
Kedalaman

Penyebab

Penampilan

Warna

Perasaan

Ketebalan
partial Jilatan api, sinar ultra Kering
tidak
ada Bertambah Nyeri
superfisial(tingkat I)
violet (terbakar oleh gelembung.Oedem
merah.
matahari).
minimal atau tidak ada.
Pucat bila ditekan
dengan ujung jari,
berisi kembali bila
tekanan dilepas.
Lebih
dalam
dari Kontak dengan bahan Blister
besar
dan Berbintik- Sangat nyeri
ketebalan partial(tingkat air
atau
bahan lembab
yang bintik yang
II)
padat.Jilatan
api ukurannya bertambah kurang
kepada pakaian.
besar.Pucat
bial jelas, putih,
59

Superfisial

Dalam

Jilatan
kimiawi.

langsung ditekan dengan ujung coklat, pink,


jari,
bila
tekanan daerah
dilepas berisi kembali. merah
Sinar ultra violet.
coklat.

Ketebalan
Kontak dengan bahan Kering disertai kulit Putih,
sepenuhnya(tingkat III) cair atau padat.Nyala mengelupas.Pembuluh kering,
api.
darah seperti arang hitam,
Kimia.
terlihat dibawah kulit coklat
tua.Hitam.
Kontak dengan arus yang mengelupas.
Gelembung
jarang,
Merah.
listrik.
dindingnya
sangat
tipis, tidak membesar.
Tidak
pucat
ditekan.

Tidak sakit,
sedikit
sakit.Rambut
mudah lepas
bila dicabut.

bila

Luas luka bakar


Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal dengan
nama rule of nine atua rule of wallace yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.

Kepala dan leher : 9%


Lengan masing-masing 9% : 18%
Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
Tungkai maisng-masing 18% : 36%
Genetalia/perineum : 1%

Berat ringannya luka bakar


Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain :
1. Persentasi area (Luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh.
2.

Kedalaman luka bakar.

3.

Anatomi lokasi luka bakar.

4.

Umur klien.

5.

Riwayat pengobatan yang lalu.

6.

Trauma yang menyertai atau bersamaan.

American college of surgeon membagi dalam:


60

Parah critical:
a.

Tingkat II : 30% atau lebih.

b.

Tingkat III : 10% atau lebih.

c.

Tingkat III pada tangan, kaki dan wajah.

d.

Dengan adanya komplikasi penafasan, jantung, fractura, soft tissue yang


luas.

Sedang moderate:
Tingkat II : 15 30%
Tingkat III : 1 10%
Ringan minor:
Tingkat II : kurang 15%
Tingkat III : kurang 1%

Indikasi Rawat Inap Luka Bakar


a)
b)
c)
d)
e)

Luka bakar grade II:


Dewasa > 20%
Anak/orang tua > 15%
Luka bakar grade III.
Luka bakar dengan komplikasi: jantung, otak dll.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.

LED: mengkaji hemokonsentrasi.

b.

Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini


terutama penting untuk memeriksa kalium terdapat peningkatan dalam 24 jam
pertama karena peningkatan kalium dapat menyebabkan henti jantung.

c.

Gas-gas darah arteri (GDA) dan sinar X dada mengkaji fungsi pulmonal,
khususnya pada cedera inhalasi asap.
61

d.

BUN dan kreatinin mengkaji fungsi ginjal.

e.

Urinalisis menunjukkan mioglobin dan hemokromogen menandakan


kerusakan otot pada luka bakar ketebalan penuh luas.

f.

Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.

g.

Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada


luka bakar masif.

h.

Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi asap.

PENATALAKSANAAN
Resusitasi A, B, C.
Pernafasan:
a.

Udara panas mukosa rusak oedem obstruksi.

b. Efek toksik dari asap: HCN, NO2, HCL


Sirkulasi:
gangguan permeabilitas kapiler: cairan dari intra vaskuler pindah ke ekstra vaskuler
hipovolemi relatif syok ATN gagal ginjal.
Infus, kateter, CVP, oksigen, Laboratorium, kultur luka.
Resusitasi cairan .
Dewasa : Baxter.

RL 4 cc x BB x % LB/24 jam.

Anak: jumlah resusitasi + kebutuhan faal:

RL : Dextran = 17 : 3

2 cc x BB x % LB.

Kebutuhan faal:

< 1 tahun : BB x 100 cc

1 3 tahun : BB x 75 cc

3 5 tahun : BB x 50 cc
62

diberikan 8 jam pertama

diberikan 16 jam berikutnya.

Hari kedua:

Dewasa : Dextran 500 2000 + D5% / albumin.

( 3-x) x 80 x BB gr/hr
100

(Albumin 25% = gram x 4 cc) 1 cc/mnt.

Anak : Diberi sesuai kebutuhan faal.

Monitor urine dan CVP.


Topikal dan tutup luka

Cuci luka dengan savlon : NaCl 0,9% ( 1 : 30 ) + buang jaringan nekrotik.

Tulle.

Silver sulfa diazin tebal.

Tutup kassa tebal.

Evaluasi 5 7 hari, kecuali balutan kotor.


Obat obatan:
a) Antibiotika : tidak diberikan bila pasien datang < 6 jam sejak kejadian.
b) Bila perlu berikan antibiotika sesuai dengan pola kuman dan sesuai hasil kultur.
c) Analgetik : kuat (morfin, petidine)
d) Antasida : kalau perlu

63

H. KEGAWATAN NEONATUS DAN PEDIATRIK

Neonatus adalah organisme yang berada pada periode adaptasi kehidupan intrauterin ke
ekstrauterin. Masa neonatus adalah periode selama satu bulan tepat 4 minggu atau 28 hari
setelah lahir). Kondisi neonatus yang memerlukan resusitasi :
a. Sumbatan jalan napas akibat lendir / darah, mekonium atau akibat dah yang jatuh ke
posterior.
b. Kondisi depresi pernapasan akibat obat obatan yang diberikan kepada ibu. Misalnya,
obat anestesik, analgetik lokal, narkotik, diazepam, magnesium sulfat, dan sebagainya.
c. Kerusakan neurologis.
d. Kelainan / kerusakan saluran napas atau kardiovaskular atau susunan saraf pusat, dan /
atau kelainan kongenital yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan / sirkulasi.
e. Syok

hipovolemik,

misalnya

akibat

kompresi

tali

pusat

atau

perdarahan.

Penyebab kematian yang paling cepat pada neonatus adalah asfiksia dan perdarahan.
Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas yang penting. Akibat
jangka panjang, asfiksia perinatal dapat diperbaiki secara bermakna jika gangguan ini
diketahui sebelum kelahiran (misal, pada keadaan gawat janin) sehingga dapat diusahakan
memperbaiki sirkulasi / oksigenasi janin intrauterin atau segera melahirkan janin untuk
mempersingkat masa hipoksemia janin yang terjadi.
a. Asfiksia yang terdeteksi sesudah lahir, prosesnya berjalan dalam beberapa fase /
tahapan.
Janin bernapas megap-megap (gasping), diikuti dengan
b. Masa henti napas (fase henti napas primer).
c. Jika asfiksia berlanjut terus, timbul pernapasan megap-megap yang kedua selama 4 5
menit (fase gasping kedua) diikuti masa henti napas kedua (henti napas sekunder).
64

Semua neonatus dalam keadaan apapun mempunyai kesukaran untuk beradaptasi


dengan suhu lingkungan yang dingin. Neonatus yang mengalami asfiksia khususnya,
mempunyai sistem pengaturan suhu yang lebih tidak stabil dan hipotermia ini dapat
memperberat / memperlambat pemulihan keadaan asidosis yang terjadi. Keadaan bayi pada
menit ke-1 dan ke-5 sesudah lahir dinilai dengan skor Apgar (apparance, pulse, grimace,
activity, respiration). Nilai pada menit pertama untuk

menentukan seberapa jauh

diperlukan tindakan resusitasi. Nilai ini berkaitan dengan

keadaan asidosis dan

kelangsungan hidup. Nilai pada menit kelima untuk menilai prognosis neurologis.
Afiksia berat (nilai Apgar 0-3) diatasi dengan memperbaiki ventilasi paru dengan
memberi oksigen tekanan langsung dan berulang. Ada pembatasan dalam penilaian Apgar
ini.
a. Resusitasi segera dimulai jika diperlukan dan tidak menunggu sampai ada penilaian
pada menit pertama.
b. Keputusan perlu tidaknya resusitasi maupun penilaian respons resusitasi cukup dengan
menggunakan evaluasi frekuensi jantung, aktivitas respirasi, dan tonus neuromuskular,
bukan dengan nilai Apgar total. Hal ini untuk menghemat waktu.
Perencanaan berdasarkan perhitungan nilai Apgar.
a. Nilai Apgar menit pertama 7 10, biasanya bayi hanya memerlukan tindakan
pertolongan berupa pengisapan lendir / cairan dari orofaring. Tindakan ini harus
dilakukan secara hati hati, karena pengisapan yang terlalu kuat / traumatik dapat
menyebabkan stimulasi vagal dan bradikardia sampai henti jantung.
b. Nilai Apgar menit pertama 4 6, hendaknya orofaring cepat diisap dan diberikan
oksigen 100%. Bayi diberi stimulasi sensorik dengan tepukan atau sentilan di telapak
kaki dan gosokan selimut kering ke punggung. Frekuensi jantung dan respirasi terns
dipantau ketat. Jika frekuensi jantung menurun atau ventilasi tidak adekuat, harus
diberikan ventilasi tekanan positif dengan kantong resusitasi dan sungkup muka. Jika
tidak ada alat bantu ventilasi, gunakan teknik pernapasan buatan dari mulut ke hidung
mulut.

65

c. Nilai Apgar menit pertama 3 atau kurang menunjukkan bayi mengalami depresi
pernapasan yang berat dan orofaring harus cepat diisap. Ventilasi tekanan positif
dengan oksigen 100% sebanyak 40-50 kali per menit harus segera dilakukan.
Kecukupan ventilasi dinilai dengan memerhatikan gerakan dinding dada dan auskultasi
bunyi napas. Jika frekuensi jantung tidak meningkat sesudah 5-10 kali napas, kompresi
jantung harus dimulai. Frekuensi 100-120 kali per menit dengan 1 kali ventilasi setiap 5
kali kompresi (5:1). Penyulit yang mungkin terjadi selama resusitasi meliputi hipotermia,
pneumotoraks, trombosis vena, atau kejang. Hipotermia dapat memperberat keadaan
asidosis metabolik, sianosis, gawat napas, depresi susunan saraf pusat, dan hipoglikemia.
Pneumotoraks diatasi dengan pemberian ventilasi tekanan positif dengan inflasi yang
terlalu cepat dan tekanan yang terlalu besar dapat menyebabkan komplikasi ini. Jika bayi
mengalami kelainan membran hialin atau aspirasi mekonium, risiko penumotoraks lebih
besar karena komplians jaringan paru lebih lemah. Tombosis vena diatasi dengan
pemasangan infus / kateter intravena dapat menimbulkan lesi trauma pada dinding
pembuluh darah, potensial membentuk trombus.

Selain itu, infus larutan hipertonik

melalui pembuluh darah tali pusat juga dapat mengakibatkan nekrosis hati dan trombosis
vena. Pencegahan hipotermia merupakan komponen asuhan neonatus dasar agar bayi baru
lahir tidak mengalami hipotermia. Hipotermia terjadi jika suhu tubuh di bawah 36,5C
(suhu normal pada neonatus adalah 36,5 37,5C) pada pengukuran suhu melalui ketiak.
Bayi baru lahir mudah sekali terkena hipotermia. Hal ini disebabkan oleh hal hal berikut :
Pusat pengaturan suhu tubuh pada bayi belum berfungsi dengan sempurna.
Permukaan tubuh bayi relatif luas.
Tubuh

bayi

terlalu

kecil

untuk

memproduksi

dan

menyimpan

panas.

Bayi belum mampu mengatur posisi tubuh dan pakaiannya agar ia tidak
kedinginan.
Hipotermia pada bayi baru lahir timbul karena ada penurunan suhu tubuh yang dapat
terjadi akibat :
a. Radiasi, yaitu panas tubuh bayi memancar ke lingkungan di sekitar bayi yang lebih
dingin. Misalnya, bayi baru lahir diletakkan di tempat yang dingin.
66

b. Evaporasi, yaitu cairan ketuban yang membasahi kulit bayi menguap. Misalnya, bayi
lahir tidak langsung dikeringkan dari air ketuban.
c. Konduksi, yaitu pindahnya panas tubuh bayi karena kulit bayi langsung kontak
dengan permukaan yang lebih dingin, Misalnya, popok/ celana bayi basah yang tidak
langsung diganti.
d. Konveksi, yaitu hilangnya panas tubuh bayi karena aliran udara sekeliling bayi.
Misalnya, bayi diletakkan dekat pintu / jendela terbuka.
Tindakan pencegahan hipotermia meliputi ibu melahirkan di ruangan yang hangat, segera
mengeringkan tubuh bayi yang lahir, segera meletakkan bayi di dada ibu dan kontak
langsung kulit ibu dan bayi, dan menunda memandikan bayi baru lahir sampai suhu tubuh
stabil.

67

TRAUMA ANAK
Penyebab tertinggi kematian pada anak
Sering terjadi gangguan oksigenasi dan ventilasi
Gangguan perfusi lebih jarag terjadi tapi berpotensi mematikan
Penyebab kematian yang utama meliputi gangguan jalan napas dan
resusitasi volum
yang tidak adekuat
Trauma tumpul lebih sering dijumpai daripada luka tembus
o Cedera kepala 55%
o Cedera organ dalam 15%
Tatalaksana awal dibagi menjadi empat fase:
1. Survei primer
2. Resusitasi awal
3. Survei sekunder
4. Terapi definitif
Survey Primer
ikuti algoritme pengkajian primer menurut Advanced Trauma Life Support :
A, Airway maintenance with C-spine protection (mempertahankan jalan napas
sambil
melindungi tulang servikal
B, Breathing and ventilation ( pernapasan dan ventilasi)
C, Circulation with hemorrage control (sirkulasi dan pengendalian perdarahan)

68

DAFTAR PUSTAKA

American Collage Of Surgeons. Advanced Trauma Life Support Program For Doctors.
Chicago, 2005. Hal 111-124.
Kebidanan Komunitas, Oleh Safrudin, SKM, M.Kes & Hamidah, S.Pd, M.Kes, EGC.
Djohansjah, M. (1991). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press. Surabaya.
Price, Sylvia, 1992. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8
Vol.3. EGC : Jakarta
Salomone, Joseph. 2007. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency Medicine,
Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City School of Medicine.
http://www.emedicine.com

69

You might also like