You are on page 1of 5

KONAS VII IDSAI MAKASAR JULI 2004

TATALAKSANA CAIRAN INTRAOPERATIF DAN PILIHAN CAIRAN

Sun Sunatrio
Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia - RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN
Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada masa perioperatif. Volume plasma yang adekuat penting untuk
mempertahankan curah jantung dan seterusnya perfusi jaringan. Perfusi jaringan yang tidak adekuat disertai dengan keluaran yang buruk sesudah
pembedahan. Strategi tatalaksana cairan telah mengalami beberapa pergeseran selama 50 tahun belakangan ini. Sebelum tahun 60-an, restriksi cairan
intraoperatif banyak dipraktekkan. Pada awal tahun 1960-an ditunjukkan bahwa trauma dan pembedahan mayor disertai dengan kebutuhan cairan
yang secara bermakna melampaui laju rumatan cairan yang biasa. Sebagai konsekuensinya, pemberian cairan menjadi kurang restriktif. Satu dekade
kemudian, pilihan cairan menjadi subyek debat yang intensif, dan berlangsung hingga saat ini. Pada akhir 80-an dan awal 90-an, konsepmencapai DO2
supranormal menarik banyak minat. Lebih belakangan lagi, tatalaksana cairan yang diarahkan pada suatu sasaran (goal directed) ternyata
memperlihatkan keuntungan pada kasus-kasus pembedahan. Pada beberapa tahun terakhir terlihat perkembangan larutan koloid yang baru dengan
sifat-sifat fisisnya dan pembawa elektrolit seimbang.

KOMPARTEMEN CAIRAN
Penggantian divisi cairan yang akurat memerlukan pamahaman akan volume distribusi cairan tubuh. Sekitar 60% berat badan (BB) manusia terdiri dari
air. Untuk seseorang dengan BB 70kg air tubuh total (TBW) kira-kira 42 L. TBW berada dalam kompartemen-kompartemen cairan yang dinamik. Dua
pertiga TBW (28L) adalah air intraselular. Sepertiga sisanya (14L) berada dalam kompartemen ekstraselular dan dibagi ke dalam kompartemen
intravaskular (5L) dan ekstravaskular (9L). Darah terdiri dari sekitar 60% plasma (kompartemen ekstraselular) dan 40% sel-sel darah merah dan putih
serta trombosit (kompartemen intraselular). Plasma terdiri dari ion-ion organik (yang predominan NaCl), molekul-molekul sederhana seperti urea dan
molekul organik yang lebih besar (yang predominan albumin dan globulin) terlarut dalam air. Cairan interstisial mengairi sel-sel dan memungkinkan
substrat dan hasil pembuangan metabolit berdifusi antara kapiler dan sel-sel dalam jaringan. Cairan interstisial bebas yang berlebih memasuki cairan
limfatik dan akhirnya dikembalikan ke dalam plasma. Sebagian besar air interstisial tidaklah bebas, namun berada dalam matriks proteoglikan dalam
bentuk gel. Pengaturan ini memungkinkan difusi solut lewat interstisium menjadi mudah, tetapi secara bermakna menghambat aliran sebagian besar
air. Cairan transelular adalah ekstraselular dan ekstravaskular dan mencakup cairan-cairan serebrospinal, humor aqueousa, pleural, perikardial,
peritoneal, dan sinovial.

TEKANAN ONKOTIK KOLOID DAN FLUKTUASI CAIRAN


Tekanan onkotik koloid (COP) adalah tekanan osmotik yang dihasilkan oleh makromolekul (molekul koloid). Ini dapat diukur dengan menggunakan
sistem transduser membran yang sangat permeabel terhadap air dan ion kecil namun sangat impermeabel terhadap molekul koloid. Distribusi besar
molekul dan besar pori membran koloid yang sedang diteliti akan menentukan nilai yang terukur. Distribusi besar molekular koloid dalam larutan
umumnya digambarkan sebagai rasio COP yang diukur, yang berseberangan dengan 2 membran, dan besar pori yang berbeda, misalnya tekanan pada
membran dengan besar pori 50 Kilodalton nominal dibandingkan dengan tekanan pada membran dengan besar pori minimal 10 kilo Dalton: rasio COP
50/COP 10. Solut-solut yang dapat secara bebas melewati membran semipermeabel tidak menghasilkan suatu tekanan onkotik. Mereka secara efektif
merupakan komponen solven yang berkenaan dengan membran. Bila membran secara selektif permeabel terhadap solut, kandungan air kompartemen
cairan ditentukan oleh distribusi solut karena air akan menurunkan gradien tekanan osmotik yang menghasilkan isotonisitas. Starling pada tahun 1896
pertama kali menggambarkan gaya yang mempengaruhi fluktuasi cairan lewat membran kapiler.5 Gaya tersebut dapat dinyatakan dalam persamaan
berikut: Qv=k [(PC-PT) - C ( C- T)]. Qv= aliran total cairan yang menyeberangi membran kapiler; k= koefisien filtrasi cairan; Pc= tekanan
hidrostatik kapiler; PT= tekanan hidrostatik interstisial; C= koefisien refleksi; C= COP kapiler (plasma); T = COP interstisial Koefisien filtrasi
merupakan fungsi permeabilitas dan area permukaan jaringan kapiler yang diperiksa. Nilai numerik merupakan volume cairan yang menyeberangi
membran kapiler dengan kondisi spesifik. Koefisien refleksi adalah ekspresi matematis (dari 0 sampai 1) permeabilitas membran kapiler terhadap
substansi tertentu. Jadi koefisien refleksi akan bervariasi dengan ke dua jaringan dan substansi yang diperiksa. Bila substansi permeabel komplit
terhadap membran kapiler, koefisien refleksi= 0; bila impermeabel total,koefisien=1. Untuk protein, kira-kira koefisien refleksi untuk hati, paru danotak
adalah 0,1, 0,7 dan 0,99. 6 Jika suatu cedera paru menyebabkankeadaan kapiler yang bocor, refleksi protein-paru dapat menurun menjadi sekitar 0,4.
7 Koefisien refleksi untuk albumin, sumber 60% COP normal dalam sirkulasi pulmoner sekitar 0,7. Komposisi cairan karenanya menentukan
distribusinya. Air murni berekspansi ke seluruh kompartemen cairan tubuh sehingga hanya menghasilkan ekspansi volume intravaskular yang minimal.

Infusi intravena (IV) larutan isotonik NaCl hanya mengekspansikan kompartemen ekstraselular dan akan meningkatkan volume intravaskular sekitar
seperlima volume yang diinfusikan. Larutan koloidal yang mengandung molekul besar dipertahankan dalam sirkulasi, paling sedikit pada awalnya,
sehinggamenghasilkan ekspansi volume intravaskular yang lebih besar per unit volume yang diinfusikan. Lamko dan Liljedahl 8 memperlihatkan bahwa
90 menitsesudah infusi 1000 mL 6% HES, albumin atau NaCl 0,9% pada pasien pascabedah, yang tetap tinggal dalam ruang intravaskular: HES =
75%,albumin = 50% dan NaCl 0,9% = <20%.

PILIHAN CAIRAN
Pilihan cairan IV secara garis besar digolongkan sebagai koloid dan kristaloid. Kristaloid efektif dan tepat untuk tatalaksana awal kehilangan
kompartemen ekstraselular yang menyertai syok hemoragik, trauma atau pembedahan mayor. Setelah fase akut resusitasi ini, biasanya terdapat
hemodilusi dengan derajat yang bermakna dan penurunan COP plasma. Penurunan COP plasma menimbulkan edema dan transudat. Karena itu,
resusitasi cairan yang berlanjut sebenarnya perlu mencakup larutan koloid untuk meminimalkan edema interstisial dalam organ-organ vital seperti
paru, jantung, dan otak. Protokol resusitasi yang mengandung koloid telahdibuktikan dapat mempertahankan atau meningkatkan COP plasma. Pilihan
koloid mungkin merupakan faktor penting pada pasien dengan sepsis, karena permeabilitas kapiler meningkat dan koloid ukuran sedangmempunyai
masa paruh intravaskular yang lebih singkat. Dengan teknik dilusi radio isotop, Ernst dkk 10 mendapatkan bahwa albumin meningkatkan tidak saja
volume intravaskular, tetapi juga volume interstisial, dan besarnya kira-kira equivalen dengan peningkatan volume plasma. Mereka menyimpulkan
bahwa infusi albumin mengakibatkan translokasi cairan dari kompartemen intraselular ke interstisial pada pasien septik. Ini disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas vaskular dan albumin keluar ke interstisium, seterusnya COP cairan interstisial meningkat, sehingga terjadi pergeseran
cairan dari kompartemen cairan intraselular ke cairan interstisial. Koloid yang ada di Indonesia: kanji, gelatin, dekstran dan albumin dan protein
plasma. (Lihat tabel 1)

Kanji Hidroksietil
Senyawa kanji hidroksietil (HES) merupakan suatu kelompok koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural. Di pasarIndonesia
beredar kanji heta dengan berat molekul (BM) 200.000 (Fima HES, Kalbe Farma) dan BM 40.000 (Expafusin, Kalbe Farma), adapula kanji penta
dengan BM 200.000 (Haes steril 6%/10% Fresenius Kabi, Hemofes 6%/10% B-Braun). Generasi terbaru adalah kanji tetra (Voluven 6%, Fresenius
Kabi). HES dibuat dari amilopektin, suatu kanji berlilin turunan dari maizena atau sorgum. Amilopektin adalah polimer glukosa D dengan struktur
bercabang. Kebanyakan substitusi terjadi pada atom C2 dalam lingkaran glukose sedang sisanya terjadi pada atom C3 dan C6. Rasio substitusi C2/C6
yang meninggi berakibat degradasi enzimatik yang melambat.11 Kanji yang tidak disubstitusikan mengalami hidrolisis dengan cepat oleh amilase non
spesifikdalam plasma dan substitusi dengan kelompok hidroksietil secara substansial melambatkan proses ini. Derajat substitusi menunjukkan proporsi
bagian glukose yang telah mengalami substitusi dan dapat dinyatakan dalam angka 01. Kanji dengan derajat substitusi mendekati 1 lebih resisten
terhadap hidrolisis daripada kanji dengan derajat substitusi yang lebih rendah. Kanji heta diekskresikan terutama lewat ginjal. Partikel dengan BM
kurang dari 50.000 dengan cepat disaring lewat ginjal, 40%-50% dosis yang diberikan dikeluarkan dalam 48jam.12 Kanji penta merupakan molekul
dengan BM lebih kecil dari BM rata-rata berkisar 200.000. Kanji ini mempunyai masa paruh lebih singkat, yaitu beberapa hari , dan agaknya tidak
berpengaruh pada sistem retikuloendotelial. Kanji penta 10% mempunyai kapasitas ekspansi volume awal yang baik yaitu 1 x volume yang
diinfusikan. Sekitar 90% dikeluarkan dalam 24 jam dan sebagian besar tidak dapat terdeteksikan setelah 96 jam. Pada pasien sakit kritis, kanji penta
terbukti equivalen dengan albumin untuk resusitasi cairan.

Albumin
Albumin dibuat dari protein plasma, terdiri dari 584 residu asam amino. BM albumin berkisar dari 66.000 sampai 69.000, bergantung pada teknik
pengukuran.14 Molekul albumin sangat mudah larut dan membawa muatan listrik negatif yang kuat pada pH fisiologis. Konsekuensinya, albumin
bermigrasi dalam medan elektris. Bergantung pada kadar garam dan dapar dalam plasma, albumin isoelektrik pada kisaran pH 4,4 dan 5,4. Dalam
serum, albumin sebagian terikat dengan kation atau anion. Hal ini membuat albumin berperan sebagai protein pembawa untuk transport dan aktivasi
obat-obatan, hormon, enzim, asam-asam lemak, asam-asam amino, bilirubin dan metabolit lain. Masa paruh albumin yang bersirkulasi kira-kira 18-20
hari. Albumin menghasilkan sekitar 70% COP plasma pada manusia normal. Albumin manusia tersedia untuk infusi sebagai larutan 5% atau 25%.
Larutan 5% mengandung 50g albumin/L larutan garam fisiologis dan mempunyai COP sekitar 20 mmHg. Larutan 25% mengandung 12g albumin
dalam 50Ml diluen berdapar yang mengandung 130-160 mmol/L natrium. Larutan 5% mendekati isoonkotik sedangkan larutan 25% sangat
hiperonkotik. Fraksi protein plasma adalah larutan 5% protein yang dipilih yang dipersiapkan dari serum, plasma atau darah manusia yang
dikumpulkan. Protein plasma ini mengalami proses pasteurisasi yang sama dengan yang dipakai untuk albumin dan merupakan campuran protein yang
sebagian besar terdiri dari albumin dalam jumlah yang sama atau lebih besar dari 83% komposisi protein total. Kedua laruran di atas sama harganya
dan karenanya dipakai bergantian.

Dekstran
Dekstran polimer D-glukose dengan BM tinggi diikat oleh alfa 1,6 ke makromolekul yang predominan linear. Dekstran secara komersial dibuat dari
sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim dekstran sukrose.15 Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang
kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir dengan kisaran BM
yang relatif sempit. Produk-produk tersebut dalam penggunaan klinis kini digambarkan dengan rata-rata bilangan BM: dekstran 40 dan dekstran 70
yang mempunyai rata-rata bilangan BM 40.000 dan 70.000 Dalton. Dekstran, seperti halnya koloid semi sintetik lainnya, adalah polidisperse dengan
90% molekul dekstran 40 yang mempunyai BM antara 10.000 dan 80.000 dalton. Ambang ginjal untuk dekstran antara 50.000 dan 55.000 Dalton.
Molekul dengan BM kurang dari ambang ini mengalami filtrasi dengan bebas di glomerulus dan molekul dengan BM kurang dari 15.000 mempunyai
bersihan sama dengan kreatinin. Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan diekskresikan ke dalam urin dalam 24 jam. Molekul-molekulyang
lebih besar diekskresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-selsistem retikuloendotelial. Di sini dekstran mengalami metabolisme oleh dekstranase
endogenous atau dikembalikan ke dalam sirkulasi sistemik. Infusi larutan hiperosmotik-hiperonkotik seperti dekstran-NaCl
hipertonik terbukti sangat efektif untuk mengembangkan volume plasma dengan cepat. Bila dibandingkan dengan RL, efisiensi ekspansi volume
intravaskular dekstran sebagai mililiter ekspansi plasma/mililiter cairan yang diinfusikan, adalah 7sampai dengan 20 kali pada 30 dan 60 menit sesudah
infusi.

Koloid Lain
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum di pasar adalah gelatin yang mengalami suksinilasi (Gelofusin) dengan pelarut
NaCl isotonik dan gelatin dengan ikatan urea-poligelin (Haemaccel) dengan pelarut NaCl isotonik dengan K + 5,1 mmol/L dan Ca ++ 6,25 mmol/L.

Cairan NaCl 0,9% vs Elektrolit Seimbang


Koloid dan kristaloid dapat dibagi menurut formulasinya, apakah dalam NaCl 0,9% atau suatu varietas larutan elektrolit seimbang. Larutan RL dan
normosol terdiri dari sejumlah elektrolit yang ada dalam plasma, sedangkan NaCl 0,9% terbuat dari hanya Na + dan Cl - . HES baru, Hextend dan
Fima HES diformulasikan dalam larutan elektrolit seimbang yang tidak berbeda dari apa yang ada dalam larutan RL. Studi-studi belakangan ini
memfokuskan pada perbedaan-perbedaan antara NaCl 0,9% vs larutan elektrolit seimbang yang diberikan kepada binatang dan manusia. Pada model
ginjal greyhound yang ditransplantasikan, infusi larutan yang mengandung NaCl hipertonik (NaCl atau NH4Cl) mengakibatkan vasokonstriksi ginjal
progresif dan penurunan laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal. Penurunan ini tidak bergantung pada saraf ginjal dan efeknya bertambah bila
sebelumnya ada deplesi garam dan berkorelasi kuat dengan Cl tubular ginjal.

KESEIMBANGAN ASAM-BASA DAN KELUARAN GINJAL


Dalam suatu studi silang pada manusia sukarelawan, Williams dkk menemukan insidens yang lebih tinggi secara bermakna pada perubahan-perubahan
mental subyektif, ketidaknyamanan abdominal, sebagaimana halnya juga pada urinasi pertama yang melambat dalam kelompok yang mendapat 50
mL/kg NaCl 0,9% selama 1 jam dibanding dengan jumlah larutan RL yang sama. Sceingraber dkk menunjukkan adanya asidosis hiperkloremik
bermakna saat akhir pembedahan pada pasien yang menjalani histerektomi ginekologis mayor bila NaCl 0,9% dipakai sebagai cairan resusitasi
intraoperatif (dikutip oleh Gan 21 ). Kelompok yang mendapatkan RL mempunyai keseimbangan asam-basa normal. Yang menarik, terdapat
kecenderungan akan kehilangan darah yang lebih banyak dan keluaran urin yang lebih sedikit pada kelompok NaCl 0,9%. Penggunaan perioperatif
larutan elektrolit seimbang (larutan Hartmann dan Hextend) berkaitan dengan insidens asidosis metabolik hiperkloremik yang lebih rendah dan perfusi
mukosa gastrointestinal yang lebih baik dibandingkan dengan larutan berbasis NaCl 0,9% (NaCl 0,9% dan Hespan). Penelitian-penelitian lain telah
membuktikan timbulnya asidosis sesudah pemberian cepat intraoperatif cairan berbasis NaCl 0,9%.Tipe cairan yang diberikan selama masa
perioperatif dapat secara bermakna berdampak pada beberapa keluaran klinis setelah operasi jantung. Kadar kreatinin serum meningkat sekitar 50%
pada hari ke 2 pascabedah pada kelompok yang mendapat HES 6% dalam NaCl 0,9% atau albumin berbasis NaCl 0,9%, namun tidak pada kelompok
Hextend atau RL. Perbedaan-perbedaan ini menetap sampai hari 1 pascabedah dan dicerminkan dengan perubahan-perubahan pada bersihan
kreatinin dan laju aliran uriner yang lebih rendah. Pada kelompok Hespan lebih banyak pasien yang memerlukan hemodialisis pascabedah.

EFEK HEMOSTATIK
Pilihan cairan yang diberikan intraoperatif dapat mengakibatkan perbedaan-perbedaan pada efek koagulasi. Hespan dalam jumlah besar (>20 mL/kg)
telah dikaitkan dengan penurunan kadar faktor-faktor koagulasi, misal: fibrinogen, faktor VIII dan von Willebrand serta penurunan fungsi trombosit, di
luar efek hemodilusi. Akan tetapi, pemberian kristaloid terkait dengan keadaan hiperkoagulatif. Suatu studi menunjukkan profil koagulasi
tromboelastografik yang lebih baik jika volume Hextend yang lebih besar (> 20mL/kg) dipakai dibanding dengan volume sama HES 6% dalam NaCl
0,9% (Hespan). Pemakaian Hespan disertai dengan keadaan hipokoagulabel dengan perpanjangan waktu r dan k dan penurunan MA pada tromboelastografi (TEG). Keadaan hipokoagulabel ini berlanjut sampai 24 jam pertama pascabedah dengan peningkatan lebih lanjut pada waktu r dan k.28
Akan tetapi, larutan RL disertai dengan keadaan hiperkoagulabel.28,29 Profil TEG pada kelompok Hextend memperlihatkan perubahan paling kecil

pada akhir operasi dan 24 jam pascabedah.29 Pada studi lain yang membandingkan Hextend dengan albumin, ternyata tidak ada perbedaan pada
kadar faktor-faktor VIII dan von Willebrands dan trombosit sampai 24 jam pascabedah urologis mayor. Hasil-hasil serupa juga diperlihatkan oleh
Bernett-Gurrero dkk 28 pada pasien yang menjalani operasi jantung. Pasien-pasien yang mendapat HES 6% dalam NaCl 0,9% memerlukan lebih
banyak transfusi sel darah merah, FFP dan trombosit dan lebih banyak pasien pada kelompok ini kembali ke ruang operasi untuk reeksplorasi sekunder
terhadap hipokoagulopati bila dibandingkan dengan kelompok serupa yang mendapat RL, albumin atau Hextend.

PEMBERIAN CAIRAN YANG DIARAHKAN KE SASARAN


Hipovolemia sering terjadi pada pasien-pasien yang dijadwalkan untuk operasi. Selain kehilangan perioperatif yang tidak dapat dihindarkan akibat
trauma pembedahan, penguapan dan pemakaian gas-gas anestetik, kebanyakan pasien perlu dipuasakan secara rutin minimal 6 jam prabedah untuk
mengurangi risiko sindroma aspirasi asam. Hipovolemia selama masa perioperatif disertai dengan peningkatan bermakna pada mortalitas dan
morbiditas pascabedah, berkisar dari mual dan muntah pascabedah sampai komplikasi yang lebih serius seperti disfungsi organ dan pemanjangan
lama
rawat inap di rumah sakit. Sejak akhir 1950-an serangkaian peneliti telah menggambarkan hubungan antara curah jantung perioperatif dan
kelangsungan hidup sesudah pembedahan mayor: yang tetap hidup mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada yang mati. Pada tahun 1988
Shoemaker, orang pertama yang menguji hipotesis tersebut dalam suatu penelitian klinis acak terkontrol (RCT). Dalam suatu studi yang kompleks dia
memperlihatkan bahwa dengan sasaran nilai-nilai spesifik untuk indeks jantung (CI), DO2, dan VO2 dengan memakai cairan dan inotrop untuk
mencapai tujuan-tujuan tersebut, berakibat pada penurunan mortalitas dan morbiditas. Kemudian sejumlah RCT senter tunggal telah dilakukan,
sebagian besar menyokong hasil positif tersebut. Lima studi memakai sasaran hemodinamik yang sama seperti studi asli oleh Shoemaker. Dua di
antaranya merupakan studi besar (> 100 pasien), yang meneliti pasien bedah umum dan vaskular berisiko tinggi dan keduanya menunjukkan
penurunan bermakna pada mortalitas pada kelompok protokol. Dua lainnya merupakan studi bedah trauma mayor dan keduanya dilaksanakan oleh
kelompok yang sama. Studi pertama yang lebih kecil menunjukkan kecenderungan ke penurunan mortalitas pada kelompok protokol dan ini
dikonfirmasikan dengan penurunan statistis yang bermakna pada mortalitas dalam kelompok protokol pada studi kedua yang lebih besar. Studi yang
kelima dalam kelompok ini merupakan studi kecil dengan fokus pada pembedahan untuk karsinoma hepatobilier dan memperlihatkan penurunan
insidens gagal hati dan hiperbilirubinemia kendati ini bukanlah variabel keluaran primer. Studi yang lebih dahulu dengan strategi serupa, pada pasien
yang menjalani pembedahan fraktur panggul juga memperlihatkan
penurunan mortalitas yang bermakna. Hasil yang berbeda diperoleh pada satu seri studi yang melibatkan pasien-pasien yang akan menjalani
pembedahan vaskular mayor atau aorta. Sasaran untuk CI dan DO2 yang dipakai dalam studi ini lebih rendah bermakna dan mortalitas keseluruhan
untuk tiap studi juga rendah. Studi-studi ini tidak memperlihatkan adanya penurunan bermakna pada mortalitas atau pada beberapa komplikasi,
namun dalam suatu studi terdapat lebih banyak kematian pada kelompok protokol daripada kelompok kontrol. Sasaran SvO2 sebagai indeks DO2 tidak
langsung, telah diteliti dalam 2 studi. Studi pertama pada pasien vaskular gagal untuk memperlihatkan perbedaan bermakna pada mortalitas dan
morbiditas antara kelompok kontrol dan protokol. Kemudian suatu studi Scandinavia yang besar pada pasien yang menjalani revaskularisasi koroner
elektif memperlihatkan pemendekan bermakna pada lama rawat inap, bila dipertahankan SvO2 > 70% dan laktat . 2 mmol/L jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Sejumlah studi menggunakan Doppler esofageal intraoperatif untuk memantau curah jantung membandingkan algoritma optimizasi
isi sekuncup dengan tatalaksana cairan standard. Pada studi pertama pasien dengan fungsi ventrikular kiri normal yang menjalani revaskularisasi arteri
koroner mengalami pemendekan bermakna secara statistis pada lama rawat, baik di ICU maupun di rumah sakit pada kelompok protokol. Studi ke
dua, melibatkan pasien tua yang menjalani pembedahan protesis panggul juga memperlihatkan pemendekan lama rawat di rumah sakit pada pasienpasien kelompok protokol. Kedua studi ini tidak dirancang untuk menunjukkan perbedaan mortalitas. Gan dkk pada studi belakangan ini menggunakan
algoritma pemberian cairan yang diarahkan pada sasaran serupa juga memperlihatkan pemendekan lama rawat di rumah sakit dan kembali pulih
menerima makanan padat yang lebih dini pada kelompok protokol. Penerapan pendekatan tatalaksana ini pada pasien-pasien yang telah menderita
sakit kritis gagal untuk memperlihatkan keuntungan pada pasien kelompok protokol. Malahan pada satu studi kelompok yang mendapat intervensi
mortalitasnya lebih tinggi. Secara bersama-sama studi-studi perioperatif memberikan gambaran yang menarik. Banyak studi tidak dirancang dengan
mortalitas sebagai sasaran keluaran primer dan banyak di antaranya tidak mempunyai kekuatan adekuat secara statistis untuk menunjukkan
penurunan mortalitas. Namun jika semua studi dikelompokkan bersama-sama dan mortalitas kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok
intervensi, hasilnya mencengangkan. Laju kematian kasar adalah 96/753 untuk kelompok kontrol kombinasi dan 36/814 untuk kelompok protokol
kombinasi. Hanya pada 2 dari 15 studi, mortalitas lebih tinggi pada kelompok protokol: pada satu studi 5/72 pasien meninggal: 2/40 pasien kelompok
kontrol dan 3/32 pasien kelompok protokol dan pada lainnya 4/120 pasien meninggal: 1/60 pasien kelompok kontrol dan 3/60 pasien kelompok
protokol. Bukti-bukti yang terkumpul sehubungan dengan tatalaksana perioperatif hemodinamik yang diarahkan ke sasaran sekarang telah mencapai
paling sedikit 15 RCT (tabel 2) dan 2 meta-analisis yang menunjang.

KOLOID VS KRISTALOID
Argumen tentang pilihan cairan terbaik untuk resusitasi volume telah menjadi perdebatan seru selama lebih dari 30 tahun. Sementara semua fihak
setuju bahwa resusitasi cairan merupakan hal yang fundamental dalam penanganan hipovolemia, masih terdapat ketidaksepakatan tentang cairan
mana yang dipilih. Yang pro kristaloid mengajukan adanya kekacauan hemostatik, peningkatan insidens reaksi obat yang tidak diinginkan dan risiko
yang lebih tinggi akan terjadinya kelebihan cairan bila dipakai cairan koloid. Sedangkan yang pro koloid memfokuskan pada volume kristaloid yang
lebih besar yang diperlukan untuk mencapai resusitasi yang adekuat dan dengan konsekuensinya berupa edema jaringan dan penurunan DO2
jaringan. Terdapat tiga meta-analisis yang memfokuskan secara spesifik pada isu tersebut dan dengan mortalitas sebagai titik akhir. Yang paling akhir
dari tiga meta-analisis tersebut memfokuskan pada 19 RCT yang mencakup 1315 pasien dan mengarahkan adanya peningkatan risiko mortalitas
absolut sebesar 4% pada penggunaan koloid untuk penggantian volume (95% confidence interval 0-8%). Namun tiga meta-analisis ini telah banyak
dikritisi karena mengumpulkan bersama-sama sejumlah besar studi yang membandingkan sejumlah larutan yang berbeda di antara berbagai populasi
pasien, untuk berbagai indikasi. Tidak satupun studi memakai mortalitas sebagai titik akhir primer, kebanyakan studi yang dimasukkan memakai
larutan albumin atau dekstran dan ke dua koloid ini menyebabkan peningkatan mortalitas. Satu-satunya RCT tersamar ganda yang besar (7000
pasien) yang memakai mortalitas sebagai keluaran, baru saja selesai dilaksanakan. Penelitian tersebut yang membandingkan larutan NaCl 0,9%
dengan albumin 4% untuk resusitasi cairan menyimpulkan tidak ada perbedaan mortalitas, namun pada subkelompok pasien trauma kepala larutan
NaCl 0,9% lebih baik, sedangkan untuk subkelompok pasien sepsis albumin lebih baik. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum cukup bukti yang
dapat dipakai sebagai dasar untuk menjawab pertanyaan mortalitas larutan manakah yang lebih rendah. Namun studi terakhir mengarahkan bahwa
kualitas pemulihan mungkin lebih baik pada pemakaian kombinasi koloid/kristaloid bila dibandingkan dengan kristaloid saja pada pasien-pasien yang
menjalani pembedahan nonkardiak mayor. Pada pasien yang mendapat RL saja, insidens nausea, penggunaan anti-emetik dan penglihatan ganda
lebih tinggi serta keluhan nyeri pascabedah yang hebat lebih banyak.

PENUTUP
Tatalaksana cairan perioperatif telah mengalami kemajuan-kemajuan bermakna selama beberapa dekade yang telah lalu. Pemilihan cairan dan
komposisi elektrolitnya merupakan pertimbangan-pertimbangan yang penting dalam penggantian volume plasma dan kompartemen-kompartemen
cairan tubuh lainnya. Dekade yang akan datang akan melihat ekspansi pengetahuan yang menentukan peran terapi cairan dengan sasaran tertentu
pada praktek klinis dan perbedaan-perbedaan yang tidak kentara antara koloid dan kristaloid bila dipakai pada masa perioperatif.

You might also like