Professional Documents
Culture Documents
Sun Sunatrio
Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia - RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
PENDAHULUAN
Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada masa perioperatif. Volume plasma yang adekuat penting untuk
mempertahankan curah jantung dan seterusnya perfusi jaringan. Perfusi jaringan yang tidak adekuat disertai dengan keluaran yang buruk sesudah
pembedahan. Strategi tatalaksana cairan telah mengalami beberapa pergeseran selama 50 tahun belakangan ini. Sebelum tahun 60-an, restriksi cairan
intraoperatif banyak dipraktekkan. Pada awal tahun 1960-an ditunjukkan bahwa trauma dan pembedahan mayor disertai dengan kebutuhan cairan
yang secara bermakna melampaui laju rumatan cairan yang biasa. Sebagai konsekuensinya, pemberian cairan menjadi kurang restriktif. Satu dekade
kemudian, pilihan cairan menjadi subyek debat yang intensif, dan berlangsung hingga saat ini. Pada akhir 80-an dan awal 90-an, konsepmencapai DO2
supranormal menarik banyak minat. Lebih belakangan lagi, tatalaksana cairan yang diarahkan pada suatu sasaran (goal directed) ternyata
memperlihatkan keuntungan pada kasus-kasus pembedahan. Pada beberapa tahun terakhir terlihat perkembangan larutan koloid yang baru dengan
sifat-sifat fisisnya dan pembawa elektrolit seimbang.
KOMPARTEMEN CAIRAN
Penggantian divisi cairan yang akurat memerlukan pamahaman akan volume distribusi cairan tubuh. Sekitar 60% berat badan (BB) manusia terdiri dari
air. Untuk seseorang dengan BB 70kg air tubuh total (TBW) kira-kira 42 L. TBW berada dalam kompartemen-kompartemen cairan yang dinamik. Dua
pertiga TBW (28L) adalah air intraselular. Sepertiga sisanya (14L) berada dalam kompartemen ekstraselular dan dibagi ke dalam kompartemen
intravaskular (5L) dan ekstravaskular (9L). Darah terdiri dari sekitar 60% plasma (kompartemen ekstraselular) dan 40% sel-sel darah merah dan putih
serta trombosit (kompartemen intraselular). Plasma terdiri dari ion-ion organik (yang predominan NaCl), molekul-molekul sederhana seperti urea dan
molekul organik yang lebih besar (yang predominan albumin dan globulin) terlarut dalam air. Cairan interstisial mengairi sel-sel dan memungkinkan
substrat dan hasil pembuangan metabolit berdifusi antara kapiler dan sel-sel dalam jaringan. Cairan interstisial bebas yang berlebih memasuki cairan
limfatik dan akhirnya dikembalikan ke dalam plasma. Sebagian besar air interstisial tidaklah bebas, namun berada dalam matriks proteoglikan dalam
bentuk gel. Pengaturan ini memungkinkan difusi solut lewat interstisium menjadi mudah, tetapi secara bermakna menghambat aliran sebagian besar
air. Cairan transelular adalah ekstraselular dan ekstravaskular dan mencakup cairan-cairan serebrospinal, humor aqueousa, pleural, perikardial,
peritoneal, dan sinovial.
Infusi intravena (IV) larutan isotonik NaCl hanya mengekspansikan kompartemen ekstraselular dan akan meningkatkan volume intravaskular sekitar
seperlima volume yang diinfusikan. Larutan koloidal yang mengandung molekul besar dipertahankan dalam sirkulasi, paling sedikit pada awalnya,
sehinggamenghasilkan ekspansi volume intravaskular yang lebih besar per unit volume yang diinfusikan. Lamko dan Liljedahl 8 memperlihatkan bahwa
90 menitsesudah infusi 1000 mL 6% HES, albumin atau NaCl 0,9% pada pasien pascabedah, yang tetap tinggal dalam ruang intravaskular: HES =
75%,albumin = 50% dan NaCl 0,9% = <20%.
PILIHAN CAIRAN
Pilihan cairan IV secara garis besar digolongkan sebagai koloid dan kristaloid. Kristaloid efektif dan tepat untuk tatalaksana awal kehilangan
kompartemen ekstraselular yang menyertai syok hemoragik, trauma atau pembedahan mayor. Setelah fase akut resusitasi ini, biasanya terdapat
hemodilusi dengan derajat yang bermakna dan penurunan COP plasma. Penurunan COP plasma menimbulkan edema dan transudat. Karena itu,
resusitasi cairan yang berlanjut sebenarnya perlu mencakup larutan koloid untuk meminimalkan edema interstisial dalam organ-organ vital seperti
paru, jantung, dan otak. Protokol resusitasi yang mengandung koloid telahdibuktikan dapat mempertahankan atau meningkatkan COP plasma. Pilihan
koloid mungkin merupakan faktor penting pada pasien dengan sepsis, karena permeabilitas kapiler meningkat dan koloid ukuran sedangmempunyai
masa paruh intravaskular yang lebih singkat. Dengan teknik dilusi radio isotop, Ernst dkk 10 mendapatkan bahwa albumin meningkatkan tidak saja
volume intravaskular, tetapi juga volume interstisial, dan besarnya kira-kira equivalen dengan peningkatan volume plasma. Mereka menyimpulkan
bahwa infusi albumin mengakibatkan translokasi cairan dari kompartemen intraselular ke interstisial pada pasien septik. Ini disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas vaskular dan albumin keluar ke interstisium, seterusnya COP cairan interstisial meningkat, sehingga terjadi pergeseran
cairan dari kompartemen cairan intraselular ke cairan interstisial. Koloid yang ada di Indonesia: kanji, gelatin, dekstran dan albumin dan protein
plasma. (Lihat tabel 1)
Kanji Hidroksietil
Senyawa kanji hidroksietil (HES) merupakan suatu kelompok koloid sintetik polidisperse yang mempunyai glikogen secara struktural. Di pasarIndonesia
beredar kanji heta dengan berat molekul (BM) 200.000 (Fima HES, Kalbe Farma) dan BM 40.000 (Expafusin, Kalbe Farma), adapula kanji penta
dengan BM 200.000 (Haes steril 6%/10% Fresenius Kabi, Hemofes 6%/10% B-Braun). Generasi terbaru adalah kanji tetra (Voluven 6%, Fresenius
Kabi). HES dibuat dari amilopektin, suatu kanji berlilin turunan dari maizena atau sorgum. Amilopektin adalah polimer glukosa D dengan struktur
bercabang. Kebanyakan substitusi terjadi pada atom C2 dalam lingkaran glukose sedang sisanya terjadi pada atom C3 dan C6. Rasio substitusi C2/C6
yang meninggi berakibat degradasi enzimatik yang melambat.11 Kanji yang tidak disubstitusikan mengalami hidrolisis dengan cepat oleh amilase non
spesifikdalam plasma dan substitusi dengan kelompok hidroksietil secara substansial melambatkan proses ini. Derajat substitusi menunjukkan proporsi
bagian glukose yang telah mengalami substitusi dan dapat dinyatakan dalam angka 01. Kanji dengan derajat substitusi mendekati 1 lebih resisten
terhadap hidrolisis daripada kanji dengan derajat substitusi yang lebih rendah. Kanji heta diekskresikan terutama lewat ginjal. Partikel dengan BM
kurang dari 50.000 dengan cepat disaring lewat ginjal, 40%-50% dosis yang diberikan dikeluarkan dalam 48jam.12 Kanji penta merupakan molekul
dengan BM lebih kecil dari BM rata-rata berkisar 200.000. Kanji ini mempunyai masa paruh lebih singkat, yaitu beberapa hari , dan agaknya tidak
berpengaruh pada sistem retikuloendotelial. Kanji penta 10% mempunyai kapasitas ekspansi volume awal yang baik yaitu 1 x volume yang
diinfusikan. Sekitar 90% dikeluarkan dalam 24 jam dan sebagian besar tidak dapat terdeteksikan setelah 96 jam. Pada pasien sakit kritis, kanji penta
terbukti equivalen dengan albumin untuk resusitasi cairan.
Albumin
Albumin dibuat dari protein plasma, terdiri dari 584 residu asam amino. BM albumin berkisar dari 66.000 sampai 69.000, bergantung pada teknik
pengukuran.14 Molekul albumin sangat mudah larut dan membawa muatan listrik negatif yang kuat pada pH fisiologis. Konsekuensinya, albumin
bermigrasi dalam medan elektris. Bergantung pada kadar garam dan dapar dalam plasma, albumin isoelektrik pada kisaran pH 4,4 dan 5,4. Dalam
serum, albumin sebagian terikat dengan kation atau anion. Hal ini membuat albumin berperan sebagai protein pembawa untuk transport dan aktivasi
obat-obatan, hormon, enzim, asam-asam lemak, asam-asam amino, bilirubin dan metabolit lain. Masa paruh albumin yang bersirkulasi kira-kira 18-20
hari. Albumin menghasilkan sekitar 70% COP plasma pada manusia normal. Albumin manusia tersedia untuk infusi sebagai larutan 5% atau 25%.
Larutan 5% mengandung 50g albumin/L larutan garam fisiologis dan mempunyai COP sekitar 20 mmHg. Larutan 25% mengandung 12g albumin
dalam 50Ml diluen berdapar yang mengandung 130-160 mmol/L natrium. Larutan 5% mendekati isoonkotik sedangkan larutan 25% sangat
hiperonkotik. Fraksi protein plasma adalah larutan 5% protein yang dipilih yang dipersiapkan dari serum, plasma atau darah manusia yang
dikumpulkan. Protein plasma ini mengalami proses pasteurisasi yang sama dengan yang dipakai untuk albumin dan merupakan campuran protein yang
sebagian besar terdiri dari albumin dalam jumlah yang sama atau lebih besar dari 83% komposisi protein total. Kedua laruran di atas sama harganya
dan karenanya dipakai bergantian.
Dekstran
Dekstran polimer D-glukose dengan BM tinggi diikat oleh alfa 1,6 ke makromolekul yang predominan linear. Dekstran secara komersial dibuat dari
sukrose oleh mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim dekstran sukrose.15 Ini menghasilkan dekstran BM tinggi yang
kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir dengan kisaran BM
yang relatif sempit. Produk-produk tersebut dalam penggunaan klinis kini digambarkan dengan rata-rata bilangan BM: dekstran 40 dan dekstran 70
yang mempunyai rata-rata bilangan BM 40.000 dan 70.000 Dalton. Dekstran, seperti halnya koloid semi sintetik lainnya, adalah polidisperse dengan
90% molekul dekstran 40 yang mempunyai BM antara 10.000 dan 80.000 dalton. Ambang ginjal untuk dekstran antara 50.000 dan 55.000 Dalton.
Molekul dengan BM kurang dari ambang ini mengalami filtrasi dengan bebas di glomerulus dan molekul dengan BM kurang dari 15.000 mempunyai
bersihan sama dengan kreatinin. Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan diekskresikan ke dalam urin dalam 24 jam. Molekul-molekulyang
lebih besar diekskresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-selsistem retikuloendotelial. Di sini dekstran mengalami metabolisme oleh dekstranase
endogenous atau dikembalikan ke dalam sirkulasi sistemik. Infusi larutan hiperosmotik-hiperonkotik seperti dekstran-NaCl
hipertonik terbukti sangat efektif untuk mengembangkan volume plasma dengan cepat. Bila dibandingkan dengan RL, efisiensi ekspansi volume
intravaskular dekstran sebagai mililiter ekspansi plasma/mililiter cairan yang diinfusikan, adalah 7sampai dengan 20 kali pada 30 dan 60 menit sesudah
infusi.
Koloid Lain
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum di pasar adalah gelatin yang mengalami suksinilasi (Gelofusin) dengan pelarut
NaCl isotonik dan gelatin dengan ikatan urea-poligelin (Haemaccel) dengan pelarut NaCl isotonik dengan K + 5,1 mmol/L dan Ca ++ 6,25 mmol/L.
EFEK HEMOSTATIK
Pilihan cairan yang diberikan intraoperatif dapat mengakibatkan perbedaan-perbedaan pada efek koagulasi. Hespan dalam jumlah besar (>20 mL/kg)
telah dikaitkan dengan penurunan kadar faktor-faktor koagulasi, misal: fibrinogen, faktor VIII dan von Willebrand serta penurunan fungsi trombosit, di
luar efek hemodilusi. Akan tetapi, pemberian kristaloid terkait dengan keadaan hiperkoagulatif. Suatu studi menunjukkan profil koagulasi
tromboelastografik yang lebih baik jika volume Hextend yang lebih besar (> 20mL/kg) dipakai dibanding dengan volume sama HES 6% dalam NaCl
0,9% (Hespan). Pemakaian Hespan disertai dengan keadaan hipokoagulabel dengan perpanjangan waktu r dan k dan penurunan MA pada tromboelastografi (TEG). Keadaan hipokoagulabel ini berlanjut sampai 24 jam pertama pascabedah dengan peningkatan lebih lanjut pada waktu r dan k.28
Akan tetapi, larutan RL disertai dengan keadaan hiperkoagulabel.28,29 Profil TEG pada kelompok Hextend memperlihatkan perubahan paling kecil
pada akhir operasi dan 24 jam pascabedah.29 Pada studi lain yang membandingkan Hextend dengan albumin, ternyata tidak ada perbedaan pada
kadar faktor-faktor VIII dan von Willebrands dan trombosit sampai 24 jam pascabedah urologis mayor. Hasil-hasil serupa juga diperlihatkan oleh
Bernett-Gurrero dkk 28 pada pasien yang menjalani operasi jantung. Pasien-pasien yang mendapat HES 6% dalam NaCl 0,9% memerlukan lebih
banyak transfusi sel darah merah, FFP dan trombosit dan lebih banyak pasien pada kelompok ini kembali ke ruang operasi untuk reeksplorasi sekunder
terhadap hipokoagulopati bila dibandingkan dengan kelompok serupa yang mendapat RL, albumin atau Hextend.
KOLOID VS KRISTALOID
Argumen tentang pilihan cairan terbaik untuk resusitasi volume telah menjadi perdebatan seru selama lebih dari 30 tahun. Sementara semua fihak
setuju bahwa resusitasi cairan merupakan hal yang fundamental dalam penanganan hipovolemia, masih terdapat ketidaksepakatan tentang cairan
mana yang dipilih. Yang pro kristaloid mengajukan adanya kekacauan hemostatik, peningkatan insidens reaksi obat yang tidak diinginkan dan risiko
yang lebih tinggi akan terjadinya kelebihan cairan bila dipakai cairan koloid. Sedangkan yang pro koloid memfokuskan pada volume kristaloid yang
lebih besar yang diperlukan untuk mencapai resusitasi yang adekuat dan dengan konsekuensinya berupa edema jaringan dan penurunan DO2
jaringan. Terdapat tiga meta-analisis yang memfokuskan secara spesifik pada isu tersebut dan dengan mortalitas sebagai titik akhir. Yang paling akhir
dari tiga meta-analisis tersebut memfokuskan pada 19 RCT yang mencakup 1315 pasien dan mengarahkan adanya peningkatan risiko mortalitas
absolut sebesar 4% pada penggunaan koloid untuk penggantian volume (95% confidence interval 0-8%). Namun tiga meta-analisis ini telah banyak
dikritisi karena mengumpulkan bersama-sama sejumlah besar studi yang membandingkan sejumlah larutan yang berbeda di antara berbagai populasi
pasien, untuk berbagai indikasi. Tidak satupun studi memakai mortalitas sebagai titik akhir primer, kebanyakan studi yang dimasukkan memakai
larutan albumin atau dekstran dan ke dua koloid ini menyebabkan peningkatan mortalitas. Satu-satunya RCT tersamar ganda yang besar (7000
pasien) yang memakai mortalitas sebagai keluaran, baru saja selesai dilaksanakan. Penelitian tersebut yang membandingkan larutan NaCl 0,9%
dengan albumin 4% untuk resusitasi cairan menyimpulkan tidak ada perbedaan mortalitas, namun pada subkelompok pasien trauma kepala larutan
NaCl 0,9% lebih baik, sedangkan untuk subkelompok pasien sepsis albumin lebih baik. Akan tetapi, sampai saat ini masih belum cukup bukti yang
dapat dipakai sebagai dasar untuk menjawab pertanyaan mortalitas larutan manakah yang lebih rendah. Namun studi terakhir mengarahkan bahwa
kualitas pemulihan mungkin lebih baik pada pemakaian kombinasi koloid/kristaloid bila dibandingkan dengan kristaloid saja pada pasien-pasien yang
menjalani pembedahan nonkardiak mayor. Pada pasien yang mendapat RL saja, insidens nausea, penggunaan anti-emetik dan penglihatan ganda
lebih tinggi serta keluhan nyeri pascabedah yang hebat lebih banyak.
PENUTUP
Tatalaksana cairan perioperatif telah mengalami kemajuan-kemajuan bermakna selama beberapa dekade yang telah lalu. Pemilihan cairan dan
komposisi elektrolitnya merupakan pertimbangan-pertimbangan yang penting dalam penggantian volume plasma dan kompartemen-kompartemen
cairan tubuh lainnya. Dekade yang akan datang akan melihat ekspansi pengetahuan yang menentukan peran terapi cairan dengan sasaran tertentu
pada praktek klinis dan perbedaan-perbedaan yang tidak kentara antara koloid dan kristaloid bila dipakai pada masa perioperatif.