You are on page 1of 9

STRATEGI CAIRAN PADA SAKIT KRITIS :

KONSEP MEMPERTAHANKAN PERFUSI PERIFER

Pendahuluan
Mempertahankan perfusi perifer merupakan dasar penatalaksanaan pasien sakit kritis, dan masih tetap
menjadi salah satu subjek paling kontroversial. Sampai sekarang masih berlanjut kontroversi tentang
seberapa jauh resusitasi dianggap adekuat, tingkat perfusi yang harus dipertahankan dan bagaimana
perfusi adekuat dipantau. Sebagai akibatnya, sehari-hari klinikus di ICU menghadapi dilema dalam
mempertahankan perfusi perifer pada pasien sakit kritis.
Mempertahankan perfusi perifer sebenarnya berarti melengkapi jaringan-jaringan dengan penyediaan
oksigen yang adekuat relatif terhadap kebutuhan oksigen. Karenanya hubungan kiriman/konsumsi
oksigen dipakai sebagai paradigma untuk mencapai agar perfusi perifer pasien sakit kritis dapat
dipertahankan.
Hubungan kiriman-konsumsi oksigen
Oksigen harus dikirimkan ke jaringan-jaringan secara kontinyu untuk mempertahankan metabolisme
aerobik. Oksigen yang tersedia digunakan untuk mempertahankan fosforilasi oksidatif. Bila kiriman
oksigen berkurang secara bermakna maka konsumsi oksigen berkurang pula, sintesis ATP oksidatif
berhenti, dan kemudian ATP harus dibuat dengan jalan anaerobik yang efisiensinya jauh berkurang.
Penurunan penyediaan oksigen selanjutnya menyebabkan disfungsi selular dan akhirnya kematian sel.
Hubungan pengiriman-konsumsi oksigen seluruh tubuh (global) diperlihatkan dalam gambar 1.
Kiriman oksigen global merupakan hasil perkalian curah jantung dan kandungan oksigen arterial. Bila
kiriman oksigen berkurang, konsumsi oksigen dipertahankan relatif konstan (fase plato) sampai
tercapai kiriman oksigen kritis (DO2 kritis). Di bawah DO2 kritis, konsumsi O2 (VO2) menurun bila
DO2 berkurang. Ini disebut ketergantungan fisiologis VO2 pada DO2. Kadar laktat arterial mulai
meningkat bila DO2 turun di bawah DO2 kritis, karena dimulainya metabolisme anaerobik.
VO2 dipertahankan konstan bila DO2 turun karena adanya peningkatan progresif ekstraksi oksigen oleh
jaringan. Ekstraksi oksigen dapat dinyatakan sebagai rasio ekstraksi oksigen (O2ER). O2ER dihitung
dari : beda kandungan O2 campuran vena-arterial dibagi dengan kandungan O2 arterial. Gambar 1
memperlihatkan hubungan DO2 dan O2ER. O2 ER kritis adalah O2ER pada titik DO2 kritis. Perlu dicatat
bahwa di bawah O2ER kritis O2ER terus meningkat, tetapi tidak cukup untuk mempertahankan VO2
konstan.

Gambar 1. (a). Hubungan antara DO2 dan VO 2 pada kondisi normal dan patologis. Normal, bila DO2 turun VO2
dipertahankan relatif konstan. Di bawah DO2 kritis, VO 2 menurun jika DO2 berkurang; VO2 bergantung fisiologis pada DO2.
Dibandingkan dengan hubungan fisiologis antara DO2 dan VO2, ketergantungan patologis VO2 pada DO2 ditandai dengan
rentang yang jauh lebih lebar dari ketergantungan VO2 pada DO 2 dan dengan DO 2 kritis yang lebih tinggi . (b). Hubungan
antara DO2 dan O2ER. Normal, bila DO 2 turun maka O2ER meningkat untuk mempertahankan VO2 relatif konstan. O2ER kritis
adalah O2ER pada DO2 kritis. Di bawah DO2 kritis, O2ER terus meningkat namun tidak cukup untuk mempertahankan VO2.
Ketergantungan patologis VO2 pada DO 2 ditandai dengan kegagalan O2ER untuk meningkat dengan adekuat (bila DO 2 turun)
untuk mempertahankan VO2. Pada kondisi patologis sering terjadi sedikit peningkatan tetapi tidak adekuat pada O2ER
bilamana DO2 menurun.

Nilai normal DO2 kritis adalah 5 - 10 ml/kg/menit, ditentukan dari penelitian binatang 1,2,3. O2ER kritis
normal pada binatang adalah 0,5 - 0,8 1,2,3. Sampai akhir-akhir ini, DO2 kritis dan O2 ER kritis yang
normal belum ditentukan pada manusia. Namun sebagai gantinya, titik-titik kritis dihitung dari
kumpulan data penelitian pasien bedah jantung 4,5 . Nilai normal DO2 kritis hasil pengumpulan data
pooling kira-kira 8ml/kg/menit. Namun dalam pemakaian data tersebut, secara potensial dapat terjadi
kesalahan 6. Karena itu dilakukan penelitian yang dirancang untuk menentukan DO2 dan O2ER kritis
pada manusia sakit kritis (gambar 2) 7. Dilakukan penelitian pada pasien sakit kritis sesudah dokter
dan famili mereka menyetujui untuk menghentikan bantuan hidup. Setelah mendapat izin dari famili,
bantuan hidup dihentikan secara bertahap menurut protokol baku. Laktat arterial, DO2 dan VO2 diukur
selama periode penghentian batuan hidup dengan interval 5-20 menit, dimulai pada waktu dihentikan
vasopresor, kemudian pengurangan FiO2 dan waktu dihentikan ventilasi mekanis VO2 ditentukan
dengan kalorimetri tidak langsung. Dari penelitian ini keluar beberapa hasil penting. Pertama, DO2
kritis 4,5 ml/kg/menit, yang jauh lebih rendah dari perkiraan pada sakit kritis, dan O2ER kritis 0,6 yang
lebih tinggi dari perkiraan. Kedua, tidak ada beda antara pasien septik dan nonseptik pada nilai-nilai
DO2 dan O2ER kritis. Ketiga, tidak ada beda pada DO2 dan O2ER kritis antara pasien dengan laktat
arterial normal dan pasien dengan peningkatan laktat arterial pada awal protokol 7. Penelitian ini
mengarah bahwa DO2 kritis pada manusia kira-kira 5 ml/kg/menit dan O2ER kritis 0,6.

Gambar 2. Hubungan DO2/VO 2 pada individu pasien sakit kritis. DO2 menurun dengan dihentikannya obat vasoaktif, FiO2
yang menurun dan penghentian ventilasi mekanis. Pada semua pasien kecuali satu, hubungan DO 2/VO2 bifasik. DO2 kritis =
4,5 mL/kg/menit dan tidak berbeda antara pasien dengan kadar laktat normal dan yang meningkat 34.

Ketergantungan patologis konsumsi oksigen pada kiriman oksigen pada sakit kritis
Hubungan fisiologis dan patologis DO2 dan VO2 diperlihatkan dalam gambar 1. Ketergantungan
patologis VO2 dan DO2 ditandai dengan 3 perbedaan dari hubungan fisiologis. Pertama, VO2
bergantung pada DO2 dengan rentangan DO2 yang jauh lebih lebar dan pada nilai-nilai DO2 yang jauh
lebih tinggi. Jadi, DO2 kritis lebih tinggi pada ketergantungan patologis VO2 pada DO2. Kedua, O2 ER
kritis lebih rendah pada ketergantungan patologis VO2 pada DO2. Ini mengarah bahwa terdapat
fenomena kemampuan jaringan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen bila DO2 menurun. Perbedaan
ketiga antara hubungan-hubungan ini ialah bahwa fase plato VO2 lebih tinggi pada hubungan patologis
daripada hubungan fisiologis, yang konsisten dengan keadaan kebutuhan oksigen yang meningkat.
Model binatang dengan penyakit kritis menunjukkan ketergantungan patologis VO2 pada DO2 dan
menentukan mekanisme fisiologis untuk menerangkan penemuan tersebut 2,3. Anjing-anjing dengan
endotoksemia dan bakteremia mempunyai nilai-nilai DO2 kritis lebih tinggi dan O2ER kritis lebih
rendah daripada anjing-anjing normal yang dibius. Kegagalan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen
saat DO2 berkurang dapat diterangkan dengan kegagalan redistribusi aliran darah dan kiriman O2 antar
organ dan dalam organ 8. Kegagalan untuk melakukan redistribusi aliran darah antar dan dalam organ
dapat disebabkan oleh gangguan regulasi vaskular, karena redistribusi normal aliran darah
memerlukan kendali vaskular yang utuh oleh mekanisme seperti sisitem saraf adrenergik. Selanjutnya,
kegagalan redistribusi aliran darah dapat diterangkan dengan sumbatan mikrovaskular oleh leukosit
yang diaktifkan dan sel-sel lain. Akan tetapi, apakah ada bukti tentang ketergantungan patologis VO2
pada DO2 pada penelitian klinis ?
Ketergantungan patologis VO2 pada DO2 : Penelitian klinis
Penelitian-penelitian klinis yang memperlihatkan ketergantungan patologis VO2 pada DO2 dipelopori
oleh Danek dkk 9. Mereka menunjukkan bahwa VO2 tergantung pada DO2 pada pasien-pasien dengan
sindroma gawat nafas akut (ARDS) tetapi tidak pada kelompok kontrol pasien-pasien sakit kritis
dengan ventilasi mekanis yang tidak menderita ARDS.
Danek dkk 9 membuat penentuan garis dasar VO2 dan DO2 dan kemudian menambah tekanan akhir
ekspirasi puncak (PEEP) dan mengukur kembali VO2 dan DO2 pada PEEP. PEEP menurunkan curah
jantung dan DO2. VO2 menurun pada pasien yang menderita ARDS namun tidak pada kelompok
kontrol. Karena itu Danek berkesimpulan bahwa VO2 bergantung pada DO2 pada ARDS. Selanjutnya
mereka menggambarkan fenomena ketergantungan patologis VO2 pada DO2 sebab VO2 ternyata
tergantung pada DO2 pada tingkat DO2 yang tinggi (tingkat di atas DO2 kritis normal pada binatang).
Setelah Danek, terdapat sejumlah penelitian klinis yang sangat mirip yang mempertanyakan : Apakah
VO2 bergantung secara patologis pada DO2 pada penyakit kritis ?. Dalam penelitian-penelitian
tersebut, DO2 dipengaruhi oleh PEEP 10, infus volume 11,12, vasodilator prostasiklin 13, transfusi darah
untuk meningkatkan kadar Hb dan juga DO2 14, dan dobutamin suatu inotrop yang meningkatkan
curah jantung dan DO2 15. Pada semua penelitian yang menggunakan berbagai teknik untuk mengubah
DO2, hasil yang diperoleh dan kesimpulan yang ditarik sama yaitu VO2 bergantung secara patologis
pada DO2 pada kebanyakan kasus (Tabel 1).

Tabel 1. Penelitian pasien sakit kritis yang menggunakan konsumsi oksigen yang dikalkulasikan yang
memperlihatkan ketergantungan patologis VO2 pada DO2.
Penelitian

Jumlah pasien

Manipulasi DO2

Kontrol
Tidak ada
Non-ARDS
Tidak ada
CHF
Survivor vs
non-survivor
Syok septik
Laktat normal vs
Laktat tinggi
Laktat normal vs
Laktat tinggi

Powers dkk 10
Danek dkk 9
Mohsenifar dkk 16
Kaufman dkk 11
Bihari dkk 13

33
29
12
21
27

PEEP
PEEP
Acak
Acak
Prostasiklin

Astiz dkk 12
Fenwick dkk 14

10
32

Cairan
Transfusi darah

Vincent dkk 15

73

Dobutamin

Total

237

ARDS, sindroma gawat nafas akut; CHF, gagal jantung koroner; PEEP, tekanan akhir ekspirasi puncak.

Adalah tepat untuk meninjau metodologi yang dipakai dalam penelitian-penelitian tersebut, karena
terdapat problema-problema metodologis yang dapat menyesatkan interpretasi 6,17. Pertama, kebutuhan
oksigen pasien sakit kritis dapat menjadi sangat bervariasi. Sebagai akibatnya, kebutuhan O2 yang
meningkat dapat menyebabkan kenaikan sekunder pada DO2, misalnya pada waktu melakukan latihan
18-21
. Penelitian-penelitian telah menunjukkan dengan jelas bahwa kebutuhan oksigen pasien sakit
kritis bervariasi sesuai dengan perubahan selama intervensi ICU 18,19 , sedasi 20 , perubahan dalam
ventilasi mekanis 21 dan dengan pendinginan pasien febris 22. Selama latihan, kebutuhan oksigen
meningkat sebagai akibat peningkatan kebutuhan oksigen. Bila dilihat hubungan DO2/VO2 di atas,
maka terdapat hubungan linear antara DO2 dan VO2 yang dapat disalahartikan sebagai ketergantungan
patologis VO2 pada DO2. Beberapa penelitian tentang VO2 dan DO2 yang memperlihatkan
ketergantungan patologis variabel-variabel ini mengumpulkan data selama periode yang cukup lama
atau tidak dilakukan upaya untuk mengendalikan kebutuhan oksigen. Jadi slop positif suatu plot VO2
versus DO2 mungkin menunjukkan suatu peningkatan DO2 sebagai tanggapan terhadap kenaikan
kebutuhan oksigen ketimbang terhadap ketergantungan patologis VO2 pada DO2.
Problema kedua pada banyak penelitian tersebut yang potensial menyesatkan interpretasi hasil adalah
problema penggabungan matematis kesalahan pengukuran. Pada banyak penelitian klinis VO2 dan
DO2, VO2 dan DO2 dikalkulasikan dari variabel-variabel :
DO2 = (Q x Hg x 1,34 x SaO2 ) + (Q x PaO2)
VO2 = [Q x Hg x 1,34 x (SaO2 SvO2)] + [Q x (PaO2 PvO2)]
di mana Q adalah curah jantung; SaO2 dan SvO2 adalah saturasi oksigen arterial dan vena campuran;
Hg adalah kadar hemoglobin; 1,34 konstanta ikatan O2 pada hemoglobin dan PaO2 dan PvO2 adalah
tekanan oksigen arterial dan vena campuran. Curah jantung paling umum diukur dengan metode
termodilusi dan Hg, SaO2, SvO2, PaO2 dan PvO2 diukur dengan alat yang biasa untuk analisis gas
darah dan oksimeter . Tenyata bahwa 2 persamaan di atas sama-sama mengandung Q, Hg, SaO2 dan
PaO2. Maka dari itu, kesalahan dalam pengukuran salah satu variabel tersebut akan menyebabkan
kesalahan dalam kalkulasi DO2 dan VO2. Akibatnya, terjadilah hubungan artifaktual antara DO2 dan
VO2 yang diterangkan dengan penggabungan matematis kesalahan pengukuran ketimbang dengan ada
atau tidak adanya ketergantungan patologis VO2 dan DO2.
Setelah meninjau banyak penelitian yang melibatkan lebih dari 170 pasien, diambil kesimpulan bahwa
VO2 tidaklah secara patologis bergantung pada DO2 bila VO2 dan DO2 ditentukan dengan teknik yang
matematis independen.

Analisis penelitian acak terkontrol kiriman oksigen supranormal pada sakit kritis.

Beberapa observasi telah mengarah timbulnya hipotesis bahwa DO2 supranormal menurunkan
mortalitas pasien sakit kritis. Observasi pertama menyatakan bahwa yang tetap dapat hidup dari
penyakit kritis mempunyai indeks jantung yang lebih tinggi (>1,5 L/menit/m2 ), DO2 yang lebih tinggi
(>600 ml/menit/m2) dan VO2 yang lebih tinggi (>170 ml/menit/m2 ) daripada yang meninggal 23,24.
Yang kedua, penelitian-penelitian tersebut di atas yang mendapatkan ketergantungan patologis VO2
pada DO2 mengarahkan bahwa DO2 kritis pada pasien sakit kritis lebih tinggi dari normal. Ketiga,
model binatang dengan penyakit kritis, seperti bakteremia dan endotoksemia, juga mengarahkan
bahwa DO2 kritis meningkat pada sepsis, suatu diagnosis saat masuk ICU yang umum dan komplikasi
penyakit kritis. Observasi-observasi ini tentunya melahirkan hipotesis bahwa peningkatan DO2 ke
tingkat tinggi (supranormal) mungkin dapat memperbaiki gagal organ sistem multipel dan
menurunkan mortalitas pasien sakit kritis.
Istilah kiriman oksigen supranormal dipakai untuk mendefinisikan DO2 yang dipakai pada kelompok
pasien dalam penelitian acak terkontrol (RCT) yang diacak untuk terapi guna meningkatkan DO2 ke
tingkat yang berkaitan dengan kelangsungan hidup pasien sakit kritis. Perlu dibedakan DO2 kritis yang
didefinisikan dalam satu penelitian yang mengidentifikasikan DO2 kritis seseorang dengan DO2
sasaran yang didefinisikan dalam RCT tentang DO2 supranormal. Dalam penelitian ini DO2 kritis
pasien sakit kritis adalah 4,5 ml/menit/kg 7. Sebaliknya, DO2 sasaran pada banyak RCT tentang DO2
supranormal kira-kira 14ml/menit/kg sehingga DO2 sasaran dalam penelitian-penelitian ini jauh lebih
tinggi daripada DO2 kritis yang diidentifikasikan pada setiap pasien sakit kritis.
Sampai sekarang ini, terdapat paling sedikit 9 RCT tentang DO2 supranormal yang dibandingkan
dengan DO2 biasa pada 852 pasien sakit kritis (tabel 2). Hasil-hasil penelitian kontroversial sebab
beberapa penelitian mendapatkan mortalitas yang menurun pada kelompok DO2 supranormal 25-27,
sedangkan beberapa penelitian mendapatkan tidak ada perbedaan dalam mortalitas 28-32, dan satu
penelitian menunjukkan mortalitas yang meningkat pada kelompok DO2 supranormal dibandingkan
dengan kelompok DO2 normal 33.
Beberapa RCT tidak memberikan definisi yang jelas tentang protokol klinis dan algoritma yang
dipakai untuk meningkatkan DO2 . Beberapa RCT yang lain mempunyai kekurangan dalam
pengamanan randomisasi dan pemberi terapi; beberapa memasukkan perkiraan besar sampel
prapenelitian dan beberapa RCT tidak memakai analisis tabel kehidupan waktu kematian. Jadi terdapat
kesukaran untuk membuat perbandingan antara RCT.
Tabel 2. Penelitian acak terkontrol DO2 supranormal vs DO2 normal pada pasien sakit kritis.
Penelitian

Jenis pasien

Shoemaker dkk 25
Boyd dkk 27
Tuchschmidt dkk30
Bone dkk 28
Fleming dkk29
Yu dkk 31
Gutierrez dkk26

Bedah
Bedah
Syok septik
ARDS
Trauma
Kritis
Kritis, pHi
normal
Kritis, pHi
rendah
Kritis
Kritis

Gutierrez dkk 26
Hayes dkk 33
Gattinoni dkk 32
Total

Jumlah pasien

Mortalitas (%)
Kontrol
Intervensi

88
107
51
100
67
67
141

28
22
72
48
44
34
53

4
6
50
60
24
34
28

< 0,05
< 0,05
NS
NS
NS
NS
< 0,05

119

37

36

NS

109
503

34
48,4

54
48,6

< 0,05
NS

852

ARDS, sindroma gawat nafas akut; NS, tidak bermakna; pHi, pH intramukosal.

Bagaimana kita harus menyikapi hasil-hasil penelitian yang bertentangan tersebut ? Mungkin kita
perlu menggunakan rasionale fisiologis untuk memahami penelitian-penelitian ini. Beberapa penelitian
dirancang sebagai profilaksis. Yang dimaksud di sini ialah institusi DO2 supranormal terjadi sebelum
timbul hipoksia jaringan. Sebagai contoh, penelitian-penelitian pada bedah risiko tinggi 25,27 dan pasien
sakit kritis yang belum memperlihatkan tanda hipoksia jaringan, yang dicerminkan dengan pH
mukosa lambung yang rendah26 menunjukkan bahwa DO2 supranormal menurunkan mortalitas
dibanding dengan kelompok kontrol. Karena itu, penelitian-penelitian tersebut konsisten dengan
faham bahwa DO2 supranormal dapat secara efektif mencegah terjadinya hipoksia jaringan.
Banyak RCT tentang DO2 supranormal dirancang untuk mengatasi hipoksia jaringan dan selanjutnya
mencegah episod hipoksia jaringan berikutnya. Misalnya, penelitian pasien sakit kritis umum 32,
pasien dengan ARDS 28, pasien dengan syok septik 30, dan subkelompok pasien dengan pH mukosa
lambung rendah saat masuk ICU 26 memperlihatkan perbedaan mortalitas antara kelompok DO2
supranormal dan kelompok kontrol. Penelitian lain 33 pada pasien ICU umum mendapatkan bahwa
pasien dalam kelompok DO2 supranormal mempunyai mortalitas yang lebih tinggi (54%) daripada
pasien dalam kelompok kontrol (34%), p < 0,05. Jadi penelitian-penelitian ini konsisten dengan faham
bahwa DO2 supranormal tidaklah efektif pada pasien yang sudah menderita hipoksia jaringan,
sehingga tidak efektif dalam mengatasi hipoksia jaringan. Penting untuk dicatat bahwa dalam
penelitian Hayes dkk33 peningkatan mortalitas dikaitkan dengan penggunaan dosis sangat tinggi
katekolamin seperti dobutamin yang diperlukan untuk mencapai sasaran DO2 supranormal. Penelitian
ini penting karena merupakan yang pertama membuat evaluasi pasien yang belum mencapai DO2
supranormal hanya dengan ekspansi volume saja.
Maka dari itu, cara menerangkan hasil yang berbeda-beda dari RCT DO2 supranormal ialah bahwa
terdapat efek DO2 supranormal yang berbeda-beda pada kelompok-kelompok yang berbeda. Muncul
hipotesis bahwa DO2 supranormal dapat secara efektif mencegah, namun tidak untuk mengatasi
hipoksia jaringan. Hipotesis lain ialah bahwa DO2 supranormal efektif untuk pasien-pasien bedah
risiko tinggi bila dikenakan pada pra, intra dan pascabedah, tetapi tidak efektif pada pasien ICU
umum.
Cara pendekatan lain untuk mencoba mengatasi hasil RCT yang kontroversial ini ialah melakukan
meta-analisis. Chittock dkk 34 telah membuat laporan pendahuluan meta-analisis RCT DO2
supranormal pada penyakit kritis. Mereka membuat evaluasi subkelompok penelitian yang
memasukkan pasien bedah risiko tinggi terpisah dari pasien ICU umum. Mereka mendapatkan bahwa
DO2 supranormal efektif dalam menurunkan mortalitas pada penelitian yang memasukkan pasien
bedah risiko tinggi 25,27 dan pasien dengan pH mukosa lambung normal saat masuk ICU 26. Sebaliknya,
meta-analisis menunjukkan bahwa tidak ada efek terhadap mortalitas pada penelitian yang mempunyai
strategi mengatasi hipoksia jaringan 26,28-30, 32,33.
Meta-analisis RCT DO2 supranormal lain juga mengarahkan bahwa DO2 supranormal tidak mengubah
mortalitas pada pasien sakit kritis 35.
Pendekatan klinis untuk penatalaksanaan perfusi klinis dengan mengatur kiriman dan
konsumsi oksigen pada penyakit kritis
Penilaian klinis yang cermat tentang kecukupan DO2 adalah dasar penatalaksanaan perfusi pada sakit
kritis. Klinikus harus memeriksa pasien dengan cermat adanya mentasi yang normal, kulit hangat
dengan waktu pengisian kembali kapiler yang normal, tidak adanya hipotensi yang ekstrim atau
takikardia, adanya keluaran urin yang adekuat, tidak adanya sianosis perifer dan adanya saturasi
arterial yang adekuat dengan memakai oksimeter pulsa. Bilamana penilaian klinis menunjukkan
perfusi yang tak adekuat, maka DO2 hendaknya ditingkatkan (paling sedikit 25%) dan penilaian klinis
diulangi setelah peningkatan akut DO2 ini. Untuk mengendalikan perubahan-perubahan kebutuhan
oksigen independen, terapi lain yang dapat mengubah DO2 atau kebutuhan oksigen hendaknya
dipertahankan konstan.

Pengukuran langsung VO2 dengan metabolic cart tidak diperlukan untuk penatalaksanaan klinis.
Kadar laktat plasma dapat bermanfaat, namun harus diinterpretasikan dengan hati-hati dengan
pendekatan diagnosis diferensial, sebab pada sakit kritis terdapat mekanisme asidosis laktat yang
hipoksik maupun nonhipoksik. Tonometri gastrik disarankan sebagai teknologi baru yang relatif
noninvasif untuk menilai perfusi gastrointestinal. Pengukuran pada intramukosal dengan tonometri
berdasarkan prinsip bahwa cairan dalam lambung dapat dipakai untuk menilai tekanan karbondioksida
jaringan sekitar lambung. Kendati satu penelitian klinis mengarahkan perbaikan hasil keluaran pada
pasien yang ditangani dengan menggunakan tonometri gasrik 26, disarankan bahwa beberapa segi
metodologis memerlukan evaluasi lebih jauh sebelum teknik tersebut digunakan rutin untuk tujuan
klinis.
Konsumsi oksigen merupakan hasil perkalian DO2 dan O2ER. (VO2 = DO2 x O2 ER). Akibatnya, VO2,
DO2 dan O2ER dapat diubah untuk mencegah atau mengatasi hipoksia jaringan. Sekali lagi, hipoksia
jaringan dapat dicegah dengan jalan menyeimbangkan penyediaan dan kebutuhan oksigen.
DO2 dapat ditingkatkan dengan menambah curah jantung, hemoglobin dan/atau saturasi oksigen
arterial. Curah jantung dapat ditingkatkan dengan infus volume, pemakaian obat inotropik (seperti
dobutamin, dopamin atau dopeksamin) atau vasodilator pada pasien yang tidak menderita hipotensi
berat. Biarpun ada pendapat bahwa vasodilator memperbaiki O2ER kritis abnormal yang dijumpai pada
model binatang sepsis, belumlah jelas apakah obat tersebut memperbaiki kemampuan ekstraksi
oksigen jaringan pada manusia sakit kritis.
Kadar hemoglobin dapat ditingkatkan dengan transfusi cepat sel darah merah. Pada beberapa
penelitian 14,24,36, DO2 dapat ditingkatkan kira-kira 25-50% sesudah transfusi sel darah merah. Akan
tetapi, terdapat bukti yang mengarah bahwa transfusi sel darah merah dapat secara paradoksis
memperburuk hipoksia jaringan sakit kritis.. Sebagai contoh, transfusi sel darah merah tidak
menaikkan konsumsi oksigen yang terukur pada pasien sakit kritis meskipun adanya peningkatan DO2
36,37
. Selain itu, transfusi sel darah merah meninggikan DO2 global tetapi tidak menaikkan konsumsi
oksigen terukur, walaupun pada pasien dengan kadar laktat plasma yang meningkat 36,37. Begitu pula,
penelitian pada pasien dengan sepsis menunjukkan bahwa transfusi sel darah merah memperburuk pH
mukosal gastrik, seperti terlihat dari tonometri gastrik 37,38. Dapat ditambahkan, penelitian retrospektif
39
telah memperlihatkan kaitan antara transfusi sel darah merah dan gagal sistem organ setelah
pembedahan abdominal mayor. Akhirnya suatu penelitian kecil RCT tentang dua strategi transfusi sel
darah merah yang berbeda pada sakit kritis mengarah bahwa tidak ada beda dalam morbiditas dan
mortalitas pada pasien-pasien dengan kadar Hb yang dipertahankan pada 70-90 g/L atau 100-120 g/L
40
.
Komponen DO2 yang ketiga, saturasi oksigen arterial, dapat ditingkatkan (bila rendah) dengan strategi
seperti meninggikan fraksi oksigen, dengan modifikasi PEEP dan dengan meningkatkan curah jantung
manakala saturasi oksigen vena campur rendah.
Strategi umum lain untuk memperbaiki oksigenasi jaringan dan perfusi klinis ialah menurunkan
kebutuhan oksigen sehingga sesuai dengan penyediaan oksigen. Ventilasi mekanis hendaknya
dipertimbangkan pada awal perjalanan pasien dengan syok oleh karena peningkatan kerja pernafasan
dan sebagai akibat peningkatan konsumsi oksigen oleh otot-otot pernafasan pada syok, dan pada gagal
nafas akut. Gawat nafas akut meningkatkan aliran darah otot-otot pernafasan dari kira-kira 2-3% curah
jantung sampai sebesar 30-40% curah jantung 41 . Sebagai akibatnya, intubasi dan ventilasi
menurunkan kebutuhan oksigen otot-otot pernafasan dan memungkinkan redistribusi perfusi dan
kiriman oksigen ke organ-organ vital lain 21,41. Dan tentu saja , tindakan-tindakan lain seperti sedasi,
pendinginan pasien febris dan intervensi ICU umum secara langsung mempengaruhi kebutuhan
oksigen.
Penutup
Untuk menggunakan pendekatan fisiologis ke penatalaksanaan perfusi pada sakit kritis dipakai
paradigma model hubungan kiriman-konsumsi oksigen. Beberapa konsep kunci yang menuntun

penilaian dan terapi adalah sebagai berikut. Di bawah kiriman oksigen kritis, konsumsi oksigen secara
fisiologis bergantung pada kiriman oksigen dan karena itu pasien dengan syok memang mempunyai
ketergantungan fisiologis VO2 pada DO2. Prioritas pertama dalam penilaian dan penatalaksanaan
perfusi ialah mencegah dan mengatasi hipoksia jaringan dengan menyeimbangkan kebutuhan dan
penyediaan oksigen. Ketergantungan patologis VO2 pada DO2 belum secara meyakinkan diperagakan
pada pasien sakit kritis. Hasil-hasil kontroversial RCT DO2 supranormal dibanding dengan DO2
normal belum menyokong penggunaan rutin DO2 supranormal pada sakit kritis. Walaupun beberapa
penelitian mengarah adanya manfaat DO2 supranormal pada pasien bedah risiko tinggi namun ini
memerlukan konfirmasi RCT berikutnya. Disarankan agar intensivis membuat penilaian klinis perfusi
secara cermat dengan menilai DO2, VO2 dan kebutuhan oksigen. Sayangnya, penilaian global DO2 dan
VO2 ternyata tidak adekuat sebagai alat untuk deteksi hipoksia jaringan yang tersembunyi. Penelitian
klinis cermat yang difokuskan pada penilaian regional perfusi dan oksigenasi seperti pemakaian
tonometri gastrik untuk mengukur pCO2 mukosal gastrik dapat bermanfaat sebagai alat yang aman dan
nyaman untuk deteksi hipoksia jaringan yang tersembunyi dan perfusi inadekuat yang tersembunyi
pada pasien sakit kritis.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

15.
16.
17.

18.
19.
20.

Cain SM. Oxygen delivery and uptake in dogs during anemic and hypoxic hypoxia. J Appl Physiol . 1977;
42: 228-234.
Nelson DP, Beyer C, Samsel RW et al. Pathological supply dependence of O2 uptake during bacteremia in
dogs. J Appl Physiol 1987; 63: 1487-92.
Nelson DP, Samsel RW, Wood LDH et al. Pathological supply dependence of systemic and intestinal O2
uptake during endotoxemia. J Appl Physiol. 1988; 64: 2410 -19.
Shibutani K, Komatsu T, Kubal K et al. Critical level of oxygen delivery in anesthetized man. Crit Care
Med. 1983; 11: 640-43.
Komatsu T, Shibutani K, Okamoto K et al. Critical level of oxygen delivery after cardiopulmonary bypass.
Crit Care Med. 1987; 15: 194-97.
Russell, JA, Phang PT. The oxygen delivery consumption controversy. Approaches to management of the
critically ill. Am J Respir Crit Care Med. 1994; 149: 533-37.
Ronco JJ, Fenwick JC, Tweeddale MG et al. Identification of the critical oxygen delivery for anaerobic
metabolism in critically ill septic and nonseptic humans. JAMA. 1993; 270: 1724-30.
Walley KR. Heterogeneity of oxygen delivery impairs oxygen extraction by peripheral tissues: theory. J
Appl Physiol 81. 1996; 885-894.
Danek SJ, Lynch JP, Weg JG et al. The Dependence of oxygen uptake on oxygen delivery in the adult
respiratory distress syndrome. Am Rev Respir Dis 122. 1980; 387-395.
Powers SR, Mannal R, Neclerio M et al. Physiologic consequences of positive end-respiratory pressure
(PEEP) ventilation. Ann Surg 1973; 178:265-272.
Kaufman BS, Rackow EC, Galk JL. The relationship between oxygen delivery and consumption during
fluid resuscitation of hypovolemic and septic shock. Chest 85. 1984; 336-340.
Astiz ME, Rackow EC, Falk JL et al. Oxygen delivery and consumption in patients with hyperdinamic
septic shock. Crit Care Med 15. 1987; 26-28.
Bihari D, Smithies M, Gimson A et al. The effects of vasodilatation with prostacyclin on oxygen delivery
and uptake in critically ill patients. New Engl J Med 317. 1987; 397-403.
Fenwick JC, Dodek PM, Ronco JJ et al. Increased concentrations of plasma lactate predict pathologic
dependence of oxygen consumption on oxygen delivery in patients with adult respiratory distress syndrome.
J Crit Care 5. 1990; 81-86.
Vincent JL, Roman A, DeBacker D et al. Oxygen uptake/suplly dependency. Effects of short-term
dobutamine infusion. Am Rev Respir Dis 142. 1990; 2-7.
Mohsenifar Z, Goldbach P, Tashkin DP et al. Relationship between oxygen consumption and oxygen
delivery in adult respiratory distress sydrome. Chest 84. 1983; 267-271.
Russell JA. Quantitative assesment of randomized controlled trials of increased oxygen delivery in critically
ill adults. Am Rev Respir Dis 147. 1993; A616. Russel JA (in press) Gastric tonometry : does it work ?
Inten Care Med.
Weissman C, Kemper BA, Elwyn DH et al. The energy expenditure of the mechanically ventilated critcally
ill patients. Chest 89. 1986; 254-259.
Weissman C, Kemper M. The oxygen uptake-oxygen delivery relationship during ICU interventions. Chest
99. 1991; 430-435.
Boyd O, Grounds M, Bennett ED. The dependency of oxygen cunsumption on oxygen delivery in critical ill
postoperative patients is mimicked by variations in sedation. Chest 101. 1992; 1619-1624.

21. Manthous CA, Hall JB, Kushner R et al. The effect of mechanical ventilation on oxygen consumption in
critically ill patients. Am J Respir Crit Care Med 151. 1995a. 210-214.
22. Manthous CA, Hall JB, Olson D et al. Effect of cooling on oxygen consumption in febrile critically ill
patients. Am J Respir Crit Care Med 151. 1995b; 10-14.
23. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB. Tissue oxygen debt as a determinant of lethal and nonlethal
postoperative organ failure. Crit Care Med 16. 1988b; 1117-1120.
24. Russel JA, Ronco JJ, Lockhat D et al. Oxygen delivery and consumption and ventricular preload are greater
in survivors than in nonsurvivors of the adult respiratory distress syndrome. Am Rev Respir Dis 141. 1990;
659-665.
25. Shoemaker WC, Appel PL, Kram HB et al. Prospective trial of supranormal value of survivors as
therapeutic goals in high-risk surgical patients. Chest 94. 1988a; 1176-1186.
26. Gutierrez G, Palizas F, Doglio G et al. Gastric intramucosal pH as a therapeutic index of tissue oxygenation
in critically ill patients. Lancet 339. 1992; 195-199.
27. Boyd O, Grounds RM, Bennett ED. A randomized clinical trial of the effect of deliberate perioperative
increase of oxygen delivery on mortality in high-risk surgical patients. JAMA 270. 1993; 2699-2707.
28. Bone RS, Slotman G, Maunder R et al. Prostaglandin E1 Study Group. Randomized double-blind,
multicenter study of prostaglandin E1 in patients with the adult respiratory distress syndrome. Chest 96.
1989; 114-119.
29. Fleming A, Bishop M, Shoemaker W et al. Prospective trial of supranormal values as goals of resuscitation
in severe trauma. Arch Surg 127. 1992; 1175-1181.
30. Tuchsmidt J, Fried J, Astiz M et al. Elevation of cardiac output and oxygen delivery improves outcome in
septic shock. Chest 102. 1992; 216-220.
31. Yu M, Levy MM, Smith P et al. Effect of maximizing oxygen delivery on morbidity and mortality rates in
critically ill patients; a prospective, randomized controleed study. Crit Care Med 21. 1993; 830-838.
32. Gattinoni L, Brazzi L, Pelosi P et al. A trial of goal-oriented hemodynamic therapy in critically ill patients.
N Engl J Med 333. 1995; 1025-1032.
33. Hayes MA, Timmins AC, Yau EHS et al. Elevation of systemic oxygen delivery in the treatment of
critically ill patients. N Engl J Med 330. 1994; 1717-1722.
34. Chittock D, Baigorri F, Russell JA. Randomized controlled trials (RCTs) of increased oxygen delivery
(DO2) in critical illness: a metaanalysis. Am J Respir Crit Care Med 153. 1996; A466.
35. Heyland D, Cook D, King D et al. Maximizing oxygen delivery in critically ill patients; a methodologic
appraisal of the evidence. Crit Care Med 24. 1996; 517-522.
36. Ronco JJ, Phang PT, Walley KR et al. Oxygen consumption is independent of changes in oxygen delivery in
severe adult respiratory distress syndrome. Am Rev Respir Dis 1991; 143:1267-1273.
37. Marik PE, Sibbald WJ. Effect of stored-blood transfusion on oxygen delivery in patients with sepsis. JAMA
269. 1993; 3024-3029.
38. Silverman HJ, Tuma P. Gastric tonometry in patients with sepsis. Effects of dobutamine infusions and
packed red blood cell transfusions. Chest 102. 1992; 184-188.
39. Maetani S, Nishikawa T, Hirakawa A et al. Role of blood transfusion in organ system failure following
major abdominal surgery. Ann Surg 203. 1986; 275-281.
40. Russell JA. Fluid Strategy in ARDS: The concept of maintaining peripheral perfusion. In H Burchardi G, GJ
Dobb, J Bion, RP Delinger (eds) WB Saunders. London 1997p; 17-42.
41. Viires N, Sillye G, Aubier M et al. Regional blood flow distribution in dog during induced hypotension and
low cardiac output. Spontaneous breathing versus artificial ventilation. J Clin Invest 72. 1982; 935-947.

You might also like