You are on page 1of 52

LAPORAN PENDAHULUAN SLE

(SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS)


May 20, 2015 by Lestari

DEFINISI

1.

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor
(Isenberg and Horsfall, 1998) .

2.

SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan
eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh. (Albar, 2003)

3.

Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit auto imun, dimana tubuh pasien
lupus membentuk antibodi yang salah arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel
darah merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri ataupun
virus yang masuk ke dalam tubuh.

4.

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah suatu penyakit yang tidak jelas etiologinya, yaitu terjadinya
kerusakan jaringan dan sel akibat autoantibodi dan kompleks imun yang ditunjukkan kepada salah satu
atau lebih komponen inti sel. Prevalensi penyakit ini pada wanita usia subur adalah sekitar 1 dari 500.
Angka kelangsungan hidup 10 dan 20 tahun masing-masing adalah 75 dan 50 persen, dengan infeksi,
kekambuhan lupus, kegagalan organ ujung (end-organ), dan penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab utama kematian. (Kenneth J. Leveno, dkk, 2009)

EPIDEMIOLOGI

Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia (Yayasan Lupus Indonesia). Prevalensi pada
berbagai populasi berbeda-beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000 penduduk (Albar, 2003). SLE lebih sering
ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina.

Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi
(Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998). Meskipun bangsa Afrika
yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan

pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi,
sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000 populasi.

Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah
penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan hasil survey, data morbiditas
penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini
menempati urutan keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain.

ETIOLOGI

Faktor genetic memiliki peranan yang sangat penting dalam kerentanan penyakit SLE. Sekitar 10%
20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang menderita SLE juga.

Faktor lingkungan, yakni sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga
menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit.

SLE dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang memiliki gen HLA DR-4
menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan degan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuclear (ANA) untuk menyaring benda asing
tersebut. (Herfindal et al, 2000)

Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada sistem imun dengan mekanisme
menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit non spesifik yang
akan memicu terjadinya SLE. (Herfindal et al, 2000)

PATOFISIOLOGI

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara lain: faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya
matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga
timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya
serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

KLASIFIKASI

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus
yang diinduksi oleh obat.

1.

Discoid Lupus >> Dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit. Lesi
berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan
folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada.
Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di
bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

2.

Systemic Lupus Erythematosus >> Adalah penyakit lupus yang menyerang kebanyakan sistem di dalam
tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati otak dan sistem saraf. SLE merupakan penyakit
radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan
produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA,
berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan
kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998)

3.

Lupus yang diinduksi oleh obat >> Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat
banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi
antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. Gejala-gejalanya biasanya menghilang
setelah pemakaian obat dihentikan (Herfindal et al., 2000).

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE adalah rasa lelah, malaise, demam, penurunan
nafsu makan, dan penurunan berat badan (Hahn, 2005).

1.

Sistem Muskuloskeletal >> Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri
ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.

2.

Sistem integumen >> Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3.

Sistem cardiac >> Perikarditis merupakan manifestasi cardiac.

4.

Sistem pencernaan >> Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah
jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan
adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil
mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.

5.

Sistem pernafasan >> Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral. Mungkin
ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang
adekuat. Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain seperti infeksi
virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.

6.

Sistem vaskuler >> Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan
dan berlanjut nekrosis.

7.

Sistem perkemihan >> Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya
terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis
pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit
SLE difus merupakan kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik,
hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih
jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal lain yang mungkin
ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal
merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.

8.

Sistem saraf >> Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

PEMERIKSAAN

Pemeriksaan menurut Betz (2002), Catzel(1995), Hartman(1994), antara lain :

Pemeriksaan Fisik

Meliputi pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal, integument dan vaskuler.

Inspeksi : bentuk kepala, leher dan thorax simetris atau tidak, tampak bengkak & kemerahan pada
metacarpophalangaeal dextra & sinistra atau tidak, tampak adanya deformitas dan tampak adanya lesi

akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi
pasien atau tidak. Ada ruam pada wajah dan leher klien atau tidak.

Palpasi : raba apa ada pembesaran kelenjar dan terdapat massa atau tidak, pergerakan nafasnya
normal atau tidak, ada nyeri tekan atau tidak di daerah abdomen dan daerah ekstremitas atas maupun
bawahnya, serta raba ada krepitasi atau tidak pada ekstremitas atas maupun bawah klien. Ada oedema
atau tidak dan suhu teraba hangat atau tidak.

Perkusi: suara ketuknya sonor atau timpani.

Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik
mencakup demam, keletihans ecara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis.
Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau
leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan
diagnostik

Anti ds DNA

Batas normal : 70 200 iu/mL

Negatif

Positif : > 200 iu/mL

: < 70 iu/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan jarang pada penderita dengan penyakit lain.
Jumblah yang tinggi merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada
penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah
antibodi ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama Lupus
glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.

Antinuklear antibodies ( ANA )

Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain. ANA adalah sekelompok antibody protein yang
beraksi menyerang inti dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit
dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA
diperkirakan menurun.

Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinis
dan test laboratorium yang lain, jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain tetapi jika
hasil test negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.

Pemeriksaan khusus:

Biopsi ginjal

Biopsi kulit

Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukan deposit IgG granular pada dermaepidermal junction, baik pada lesi
kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tidak terkena (70%).

PENATALAKSANAAN

Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna (sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna). Terapi terdiri dari
terapi suportif yaitu diet tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan
eksaserbasi pada SLE, yaitu:

Monitoring teratur

Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup

Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun screen lotion untuk
mengurangi kontak dengan sinar matahari

Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.

Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan.

obat obatan yang biasa digunakan pada SLE adalah sebagai berikut:

1.

Nonsteroid anti inflamatori drugs {NSAIDS} >> NSAIDS berguna karena kemampuanya sebagai
analgesic, antipiretik dan inflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan
arthralgia/arthiritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuferon
idometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan arthiritisdan pleuritis, dalam kombinasi dengan
steroid dan antimanalria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping yang lebih sedikit, diharapkan
dapat mengatasi hal ini, saying belum ada penelitian mengenai efektifitasnya pada SLE. Efek samping
dari OAINS adalah: reaksi hipersensivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.

2.

Korticosteroid >> Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan
amunosuprefh dari berbagai jenis steroid yang paling sering digunakan adalah pprednison dan
multipred nisinosolon. Pada SLE yang ringan yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria,
diberikan prednison 2,5 mg samapai 5 mg,. Dosis ini ditingkatkan 20% 1 sampai 2 minggu tergantung
dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan yang mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID
dan antimalariatidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik de ngan steroid
antara lain: vaskulitis, dermatitis berat miocarditis, lupus pneumonitis, glomerulonefritis, anemia
haomolitik, neufropati perifer dan kasus lupus.Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regment
pembenan steroid:

a.

Regmen I : daily oral short acting {predmison, prednisolon, multiprednisolon} dosis: 1-2mg/kgBB/hari dimulai dari
dosis terbagi, lalu diturunkan secara bertahap sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratories. Regimen ini sangat
cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hamatologis atau saraf atau vaskulitis, 3-10 minggu untuk
glumerulonefritis
b.

Regimen II : methyprednisolon intravena, dosis : 500-1000mg/hari, selama 3-5 minggu atau 30


mg/kgBB/hari selama 3 hari. Regimen mungkin sangat cepat mengontrol penyakit lebih cepat dari
pada terapi oral setiap hari, tetapi efek yang hanyan bersifat sementara, sehingga tidak digunakan
untuk terapi SLE jangka lama

c.

Regimen III : Kombinasi regimen 1 dan 2 obat sitoksit ezayhioprine cyclophos phamide.

d.

Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu
sampai dicapai maintenance dose.

2.

Antimalaria >> Efektifitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui
dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk cara mengganggu pemoresan antigen
dimakrofag dan sel pengaji antigen yang lain dengan peningkatan PH di dalam vakuolalisosomal. Juga

menghamabat dan mengabsorbsi sinar UV, bebera penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat
menurunkan kolestrol total, HDL, LDL. Pada penderita SLE yang menerima steroidmaupun yang tidak.
Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia, hidroksikolokulin. Dosis 200-400mg/hari, klorokuin dan efek
sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran
pencernaan, kembung, mual dan muntah. Efek samping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin dan
neurologis
3.

Methoreksat >> Methoreksat adalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit
rematik efek imunosupresifinyalebih lemah dari pada obat alkilating atau zat hioprin . methorekxate
dosis rendah mingguan 7,5-15mg, efektif sebagai steroid spring agent dan dapat diterima baik oleh
penderita, terutama pada manifestasi klinis dan muskluskletal.

Efek samping yang paling seringdipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal dan hepaktotoksitas.
Untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar pada penderita
dengan efek samping gastrointestinal, pemberian asam folat 5mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

PENGKAJIAN
1.

DATA DASAR

2.

RIWAYAT KEPERAWATAN

3.

Keluhan utama >> Selama mengumpulkan riwayat, perawat menanyakan tentang tanda dan gejala
pada pasien. Kaji apakah klien mengeluh badannya kaku dan nyeri sendi dikaki maupun tangan disertai
demam dan muntah?

4.

Riwayat Penyakit Sekarang >> Kaji apakah gejala terjadi pada waktu kapan saja sebelum atau sesudah
bergerak maupun beraktivitas, setelah terkena sinar UV terlalu lama, atau setelah mengkonsumsi obatobat tertentu? Kaji apakah klien mengeluh badannya kaku, nyeri sendi dikaki dan tangan, merasa
lemah, demam, muntah, terdapat lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi atau tidak, nafsu makan menurun dan rambut rontok atau tidak

5.

Riwayat penyakit dahulu >> Kaji apakah gejala berhubungan dengan ansietas, stress, alergi, makan
atau minum, atau karena mengkonsumsi obat-obatan tertentu? Kaji adakah riwayat penyakit tersebut
sebelumnya?

6.

Riwayat kesehatan keluarga >> Kaji riwayat kesehatan keluarga klien apakah ada anggota keluarga
yang ernah menderita penyakit tersebut sebelumnya

7.

Riwayat Psikososial >> Psikologis pasien terganggu, karena pengaruh dari penyakit yang diderita.

http://askepkita.com/wp-content/uploads/2015/05/PATHWAY-SLE-2.jpg

ASKEP SLE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit
radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan
sistem imun (Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan
sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit
collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi pada
berbagai populasi berbeda beda bervariasi antara 3 400 orang per 100.000 penduduk
(Albar, 2003).
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika Amerika, Cina, dan
mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan
insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi (Bartels, 2006). Prevalensi penderita SLE di
Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and Horsfall,1998).
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap
SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di
Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di
Swedia 39 kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini pada
Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per 100.000
populasi pada orang kulit putih (Bartels, 2006).
Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan
sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus
Indonesia).
Berdasarkan hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya
selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan
keempat setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar
Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang
dengan 1 orang meninggal dunia. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 penderita baru.
Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga
berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan
peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah
belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Oleh karena itu penting sekali
meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk penyakit SLE terhadap
kesehatan serta dampak psikologi dan sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun
keluarganya. Kurangnya prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat
penyakit SLE yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga
merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan
kematian janin (Hahn, 2005). Penderita SLE dengan manifestasi kulit dan muskuloskeletal
mempunyai survival rate yang lebih tinggi daripada dengan manifestasi klinik renal dan

central nervous system (CNS). Meskipun mempunyai survival rate yang berbeda, penderita
dengan SLE mempunyai angka kematian tiga kali lebih tinggi dibandingkan orang sehat.
Saat ini prevalensi penderita yang dapat mencapai survival rate 10 tahun mendekati 90%,
dimana pada tahun 1955 survival rate penderita yang mencapai 5 tahun kurang dari 50%.
Peningkatan angka ini menunjukkan peningkatan pelayanan terhadap penderita SLE yang
berkaitan dengan deteksi yang lebih dini, perawatan dan terapi yang benar sejalan dengan
perkembangan ilmu kedokteran dan farmasi. Penyebab mortalitas paling tinggi terjadi pada
awal perjalanan penyakit SLE adalah infeksi yang disebabkan oleh pemakaian
imunosupresan. Sedangkan mortalitas pada penderita SLE dengan komplikasi nefritis paling
banyak ditemukan dalam 5 tahun pertama ketika dimulainya gejala. Penyakit jantung dan
kanker yang berkaitan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik juga merupakan
penyebab mortalitas.
The Framingham Offspring Study menunjukkan bahwa wanita dengan usia 35 44 tahun
yang menderita SLE mempunyai resiko 50 kali lipat lebih besar untuk terkena infarct
miocard dari pada wanita sehat. Penyebab peningkatan penyakit coronary artery disease
(CAD) merupakan multifaktor termasuk disfungsi endotelial, mediator inflamasi,
kortikosteroid yang menginduksi arterogenesis, dan dislipidemia yang berkaitan dengan
penyakit ginjal (salah satu manifestasi klinis dari SLE). Dari suatu hasil penelitian
menunjukkan penyebab mortalitas 144 dari 408 pasien dengan SLE yang dimonitor lebih
dari 11 tahun adalah lupus yang akif (34%), infeksi (22%), penyakit jantung (16%), dan
kanker (6%) (Bartels, 2006).
Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar.
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi remisi serta
mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit. Karena manifestasi
klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul
pada masing-masing individu.
Dan Peran Perawat pada kasus halusinasi ini meliputi :
- Promotif ialah memberikan penyuluhan tentang penyakit SLE kepada individu,keluarga
dan masyarakat.
- Preventiv ialah memberikan pendidikan tentang SLE kepada individu, keluarga dan
masyarakat.
- Curativ ialah memberikan askep dengan pendekatan proses keperawatan baik untuk
individu, keluarga dan masyarakat dengan menggunakan pendekatan manajemen
keperawatan yang terdiri dari : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan
pengawasan secara konsisten berupa :
a. Perencanaan askep yang di susun oleh SDM
b. Pengorganisasian : metode pemberian askep berupa M. Fungsional, M. Kasus total, M
tim, M keperawatan primer ( Gillies, 1989 ).
c. Pengarahan : Motivasi, manajement konflik, pendelegasian komunikasi.
d. Pengawasan dan pengendallian langsung dan tidak langsung.
- Rehabilitativ ialah memberikan kegiatan yang mempunyai efek positif terhadap SLE
supaya tidak terulang dan mencegah faktor Genetik.
Berdasarkan data di atas yang melatarbelakangi kenapa kelompok kami mengambil SLE
( sistemik Lupus Erythematosus ) sebagai materi makalah kami.
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Setelah mempelajari atau membahas makalah ini kelompok dapat memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan masalah sistemics lupus erythematosus ( SLE )

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan sistemics lupus ertythematosus ( SLE )
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan sistemics lupus
erythematosus ( SLE )
c. Mampu merencanakan tindakan keperwatan pada klien dengan sistemic lupus
erythematosus ( SLE )
d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus
erythematosus ( SLE )
e. Melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien dengan sistemics lupus
erythematosus( SLE )
C. Ruang lingkup
Ruang lingkup dari makalah keperawatan dengan sistemics lupus erythematosus yaitu
asuhan keperawatan pada klien dengan sistemics lupus erythematosus ( SLE )
D. Metode penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode
1. Research library yaitu pengambilan sumber dari buku-buku yang ada kaitannya dengan
pembahasan atau studi pustaka.
2. Web search yaitu ialah pengambilan sumber dari internet yang ada hubunganya dengan
sistemics lupus erythematosus ( SLE ).

E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN ( Latar belakang, Tujuan penulisan, Ruang lingkup, Metode
penulisan, Sistematika penulisan )
BAB II TINJAUAN TEORITIS ( Definisi, Etiologi, Fatopisiologi, tanda dan gejala, komplikasi,
pemeriksaan diagnostik, Pengobatan, Askep )
BAB III PENUTUP ( Kesimpulan, Saran )
Daftar fustaka

BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit
radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan
sistem imun (Albar, 2003).
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak
faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang melibatkan
sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi
klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit
collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator
terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
B. Etiologi
1. Faktor genetik
Mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan ekspresi penyakit SLE.
Sekitar 10% 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang
menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi
daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3,
komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan komplemen yaitu
C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel T,
imunoglobulin, dan sitokin (Albar, 2003) .

2. Faktor lingkungan
Pada Faktor lingkungan yang menyebabkan timbulnya SLE yaitu sinar UV yang mengubah
struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di
daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang
mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak
terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk
kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et
al., 2000). Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung asam amino Lcannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B sehingga dapat menyebabkan
SLE (Delafuente, 2002). Selain itu infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan
pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral sehingga
mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya SLE (Herfindal et al.,
2000).
3. Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan


peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel Tsupresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi
tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

4. Pathway SLE
Gangguan Respon Imun
Stimulasi Antigen
( Bahan Kimia, DNA Bakteri, Antigen Virus, Fosfolipid, Protein, DNA dan RNA )
Aktivasi Sel T
Memproduksi Sitokin
Sel B Terangsang
Produksi Autoantibodi Yang patogen
Peningkatan Sel Antibodi Hipergamaglobulinemia
Pembentukan Kompleks Imun

5. Tanda dan gejala


1. Sistem Muskuloskeletal
Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,
rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
4. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.

6. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit
neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
6. Komplikasi
a. Gagal Ginjal
b. Kerusakan Jaringan Otak
c. Infeksi Sekunder
7. Pemeriksaan Penunjang
a. CBC (Complete Blood Cell Count) untuk mengukur jumlah sel darah, maka terdapat
anemia, leukopenia,trombositopenia.
b. ESR(Erithrocyte Sedimen Rate), laju endap darah pada lupus akan ESR akan lebih cepat
dari pada normal.
c. (biopsi) untuk mengetahui fungsi hati dan ginjal
d. Urinalysis pengukuran urin kadar protein dan sel darah merah
e. X-ray dada
f. Uji imunofluroresensi ANA pada setiap pasien SLE + sehingga uji tersebut sangat sensitif.
8. Pengobatan
1. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.
2. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, musPemeriksaan kuloskeletal dan sistemik ringan
SLE
3. Preparat imunosupresan ( pengkelat dan analog purion ) untuk fungsi imun.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri
pasien.
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal
hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.


7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura
di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral
tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi
SSP lainnya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik
serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan
kompleks imun.
C. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a. Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin,
masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi,
aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b. Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c. Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap
penatalaksanaan nyeri.
d. Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik
penyakitnya.
e. Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri
sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f. Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk
memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g. Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.
2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang
diperlukan.
Intervensi :
a. Beri penjelasan tentang keletihan :
- Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
- Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
- Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan
teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
- Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
- Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga

- Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.


b. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
c. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
d. Rujuk dan dorong program kondisioning.
e. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
- Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
- Meningkatkan pemakaian alat bantu
- Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
- Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan
- Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
- Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas
- Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi
4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta
psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik yang
ditimbulkan penyakit
Intervensi :
a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan
penanganannya.
b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
- Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
- Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
- Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,
penumpukan kompleks imun.
Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
b. Hilangkan kelembaban dari kulit
c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan
kompres hangat yang terlalu panas.
d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.
h. Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan
keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif / evaluasi
proses yang dilihat dari setiap selesai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari
sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat
mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan. Adapunevaluasi yang di harapkan pada klien

dengan kasus SLE ( Sistemisc lupus erythematosus ) ialah :


a. Skala nyeri normal dan nyeri berkurang.
b. Aktivitas sehari hari teratur sesuai kebutuhan dan di sesuaikan dengan kondisi klien.
c. Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari harinya.
d. Integritas kulit kembali normal ( Elastis, Halus dan bersih ).
e. Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistemisc lupus erythematosus ( SLE ) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh
adapun tanda dan gejalanya seperti sistem muskuloskeletal, sistem integumen, sistem
kardiak, sistem pernapasan, sistem vaskuler, sistem perkemihan, sistem saraf adapun untuk
pengobatannya seperti
- Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama

kortikosteroid, secara topikal untuk kutaneus.


- Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
- Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
B. Saran
Sebagai tenaga propesional tindakan perawat dalam penanganan masalah keperawatan
khususnya sistemics lupus erythematosus ( SLE ) harus di bekali dengan pengetahuan yang
luas dan tindakan yang di lakukan harus rasional sesuai gejala penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
http.www.google/sistemics lupus erythematosus.com
MD. Daniel J.Wallace.THE LUPUS BOOK.B first.2007 Jogjakarta
ASKEP Penyakit Lupus (Sistem Imun dan Hematologi)

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang
Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti Anjing hutan, atau
Serigala, merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar pipi dan
hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan rasa lelah
berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan terlihat bercakbercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang seluruh organ
tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal. Penyakit untuk
menggambarkan salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di
pipi yang membuat penampilan seperti serigala. Meskipun demikian, hanya
sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar memiliki ruam kupu-kupu, klasik
tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita
lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh
sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan
menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang
akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak,
darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan Sistemik, karena
mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit
saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus

kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan lupus yang sistemik


(Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit
yang ditandai dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi
yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke
dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi,
sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang
bisa berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak
sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki
dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana,
2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut
hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS
Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic
lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering
terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat,
penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan
penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan, dan dukungan
yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi
sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal,
saluran cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

B.

Rumusan Masalah

1.

Bagaimanakah proses penyakit lupus tersebut ?

2.

Bagaimanakah tindakan yang akan dilakukan seorang perawat / mahasiswa


calon perawat, bila menghadapi klien dengan penyakit lupus tersebut ?

C.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

1.

Tujuan Penulisan

a)

Tujuan Umum :
Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang penyakit lupus.

b)

Tujuan Khusus :

1)

Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-jenis penyakit


lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda dan gejala), prognosis,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan serta komplikasi penyakit lupus.

2)

Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan pada klien yang
menderita penyakit lupus.

2.

Manfaat Penulisan

a)
1)

Manfaat Teoritis :
Sebagai bahan untuk menambah
mengetahui tentang penyakit lupus

pengetahuan

dan

2)

Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.

b)

Manfaat Praktis :

wawasan

dalam

Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya seorang
perawat maupun mahasiswa calon perawat dalam mengkaji laporan
pendahuluan (defenisi, etiologi, dan lain-lain) serta dalam menyusun asuhan
keperawatan pada klien yang menderita penyakit lupus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.

Konsep Dasar
Penyakit lupus termasuk penyakit autoimun, artinya tubuh menghasilkan
antibodi yang sebenarnya untuk melenyapkan kuman atau sel kanker yang ada
di tubuh, tetapi dalam keadaan autoimun, antibodi tersebut ternyata merusak
organ tubuh sendiri. Organ tubuh yang sering dirusak adalah ginjal, sendi, kulit,
jantung, paru, otak, dan sistem pembuluh darah. Semakin lama proses
perusakan terjadi, semakin berat kerusakan tubuh. Jika penyakit lupus
melibatkan ginjal, dalam waktu lama fungsi ginjal akan menurun dan pada
keadaan tertentu memang diperlukan cuci darah. (Dr. Samsuridjal Djauzi, 2009)
Penyebab penyakit lupus belum diketahui secara pasti, agaknya
disebabkan kombinasi berbagai faktor seperti genetik, hormon, infeksi, dan
lingkungan. Terjadi penyimpangan pada sistem kekebalan yang pada mulanya
sistem kekebalan tidak bisa membedakan teman dan musuh, kemudian temanteman sendiri (sel-sel tubuh/organ sendiri) dianggap sebagai musuh, sehingga
dibuat zat anti terhadap sel-sel tersebut, kemudian zat anti ini menyerang sel-sel
tubuh.organ sendiri tersebut. Akibatnya serangan ini menimbulkan kerusakankerusakan pada organ tersebut.
Ada berita dari Jerman yang menyatakan sekelompok peneliti mencurigai
ada suatu enzim dalam sel yang bertugas menghancurkan DNA dari sel yang
sudah mati, tetapi enzim ini tidak bekerja normal, sehingga DNA tersebut tidak
habis, tetapi sisa-sisa hancuran DNA masih ada. Tehadap sisa-sisa ini kemudian
terbetuk zat anti. Dengan cara penyakit ini mengganggu kesehatan, maka
penyakit ini digolongkan dalam penyakit autoimun. Penyakit ini juga menyerang
beberapa organ lain, yaitu organ saluran pencernaan dan bahkan bisa sampai

kelainan jiwa (psikosis). Penyakit ini terdiagnosis saat organ tubuh telah
mengalami kerusakan parah.
Gejala penyakit lupus sistemik amat beragam. Demam merupakan gejala
yang sering timbul. Disamping itu mungkin juga terdapat nyeri sendi, kelainan
pada kulit, anemia, gangguan fungsi ginjal, nyeri kepala sampai kejang. Pada
jantung atau paru, bisa terdapat cairan sehingga timbul sesak napas. Gejala ini
tidak semuanya timbul pada seorang penderita lupus. Penderita lupus mungkin
hanya mengalami beberapa gejala saja.
Gejala lainnya adalah perempuan merasa lebih gampang lelah, rambut
rontok, sering demam, sering sariawan, kencing mengandung protein, serta
mengalami fotosensitif. Ini dikemukakan oleh Prof. Handono Kalim selaku Ketua
Indonesian Rheumatology Association (IRA) (Antar News, 2012).
Seperti yang diungkapkan dalam buku kecil Care for Lupus (Syamsi
Dhuha), Lupus adalah sebutan umum dari suatu kelainan yang disebut
sebagai Lupus Erythematosus.
Dalam istilah sederhana, seseorang dapat dikatakan menderita penyakit
Lupus Erythematosus saat tubuhnya menjadi alergi pada dirinya sendiri.
Penyakit
ini
dalam
ilmu
kedokteran
disebut Systemic
Lupus
Erythematosus (SLE), yaitu ketika penyakit ini sudah menyerang seluruh tubuh
atau sistem internal manusia. Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh,
penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Pada Lupus, tubuh
menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat
terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk
melawan jaringan tubuh sendiri. Dengan demikian, Lupus disebut
sebagai autoimmune disease(penyakit dengan kekebalan tubuh berlebihan).
Penyakit ini dikelompokkan dalam tiga jenis (kelompok), yaitu :
1.

Penyakit Lupus Diskoid


Cutaneus Lupus atau sering disebut dengan discoid, adalah penyakit lupus yang
terbatas pada kulit.Klien dengan lupus diskoid memiliki versi penyakit yang
terbatas pada kulit, ditandai dengan ruam yang muncul pada wajah, leher, dan
kulit kepala, tetapi tidak memengaruhi organ internal.
Penyakit ini biasanya lebih ringan biasanya sekitar 10%-15% yang berkembang
menjadi lupus sistemik.

2.

Penyakit Lupus Sistemik


Pada sekitar 10% pasien lupus diskoid, penyakitnya berevolusi dan berkembang
menjadi lupus sistemik yang memengaruhi organ internal tubuh seperti sendi,
paru-paru, ginjal, darah, dan jantung. Lupus jenis ini sering ditandai dengan
periode suar (ketika penyakit ini aktif) dan periode remisi (ketika penyakit ini
tidak aktif). Tidak ada cara untuk memperkirakan berapa lama suar akan
berlangsung. Setelah suar awal, beberapa pasien lupus sembuh dan tidak

pernah mengalami suar lain, tetapi pada beberapa pasien lain suar datang dan
pergi berulang kali selama bertahun-tahun.
3.

Drug Induced Lupus (DIL)


DIL atau dikenal dengan nama Lupus karena pengaruh obat. Jenis lupus ini
disebabkan oleh reaksi terhadap obat resep tertentu dan menyebabkan gejala
sangat mirip lupus sistemik. Obat yang paling sering menimbulkan reaksi lupus
adalah obat hipertensi hydralazine dan obat aritmia jantung procainamide, obat
TBC Isoniazid, obat jerawat Minocycline dan sekitar 400-an obat lain. Gejala
penyakit lupus mereda setelah pasien berhenti mengkonsumsi obat pemicunya.
Ada juga Lupus neonatal yang jarang terjadi. Kondisi ini terjadi pada bayi yang
belum lahir dan bayi baru lahir dapat memiliki ruam kulit dan komplikasi lain
pada hati dan darahnya karena serangan antibodi dari ibunya. Ruam yang
muncul akan memudar dalam enam bulan pertama kehidupan anak.
Penyakit lupus ini bermacam-macam. Jika menyerang kulit, kulit kepala
akan ngelotok sehingga rambutpun akan rontok. Jika menyerang tulang,
seluruhnya sakit, berbaring posisi apa pun sakit. Biasanya untuk menghilangkan
sakit menggunakan morfin, tapi jika menggunakan morfin efeknya tidak baik,
jadi sering kali penderita berteriak kesakitan, mengerikan memang. Jika
menyerang darah, darahnya akan mengental dan tidak mencapai otak, stroke
dan koma. Lupus itu mirip AIDS bahkan mungkin lebih parah, daya tahan tubuh
penderita menurun drastis, sehingga penyakit-penyakit mudah menyerang
tubuh penderita.
Penyakit lupus ini dapat menyerang siapa saja dan para peneliti masih
menindak lanjuti penyebab penyakit ini. Penyakit lupus justru kebanyakaan
diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang
mengalaminya. Menurut perkiraan para ilmuwan bahwa hormon wanita (hormon
estrogen) mungkin ada hubungannya dengan penyebab penyakit lupus karena
dari fakta yang ada diketahui bahwa 9 dari 10 orang penderita penyakit lupus
adalah wanita. Yang memicu penyakit lupus adalah lingkungan, stress, obatobatan tertentu, infeksi, dan paparan sinar matahari.
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita penyakit lupus, sering
diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala penyakit lupus.
Sering dijumpai gejala penyakit lupus muncul sewaktu hamil atau setelah
melahirkan.
Kebanyakan kasus memiliki latar belakang dari riwayat keluarga yang
pernah terkena sebelumnya, namun dalam beberapa kasus tidak ada penyebab
yang jelas untuk penyakit ini. Penyakit lupus telah banyak diteliti dan telah
dikaitkan dengan gangguan lain, tetapi hanya dalam teori, tidak ada yang jelas
dinyatakan sebagai fakta.

Sampai saat ini, Lupus masih merupakan penyakit misterius di kalangan


medis. Kecuali lupus yang disebabkan reaksi obat, penyebab pasti penyakit ini
tidak diketahui. Perdebatan bahkan masih berlangsung mengenai apakah lupus
adalah satu penyakit atau kombinasi dari beberapa penyakit yang berhubungan.
Sekitar 90% penderita lupus adalah perempuan, yang mengindikasikan bahwa
penyakit ini mungkin terkait hormon-hormon perempuan. Menstruasi,
menopause dan melahirkan dapat memicu timbulnya lupus. Sekitar 80% pasien
lupus menderita penyakit ini di usia antara 15 sampai dengan 45 tahun atau 50
tahun.
Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus) akan menghindari hal-hal
yang dapat membuat penyakitnya kambuh dengan :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu. ( sumber wikipedia indonesia)

Saat ini tidak ada tes tunggal yang dapat memastikan apakah seseorang
terkena penyakit lupus. Diagnosis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan
komprehensif yang mempertimbangkan semua gejala dan riwayat penyakit.
Pada tahun 1982 American College of Rheumatology atau American
Rheumatism Association (ARA) menetapkan Sebelas Kriteria Lupus untuk
membantu dokter mendiagnosis lupus dan yang diperbaharui tahun 1997.
Kriteria SLE ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika
pada suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria
yaitu :
1.

Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,
bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami
kerusakan

2.

Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan
immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian
obat yang dapat memicu ANAsebelumnya

3.

Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas,
datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)

4.

Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari,


menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam kulit

5.

Bercak diskoid = Ruam pada kulit

6.

Salah satu Kelainan darah :

a)

anemia hemolitik,

b)

Leukosit < 4000/mm,

c)

Limfosit<1500/mm, dan

d)

Trombosit <100.000/mm

7.

Salah satu Kelainan Ginjal :

a)

Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

b)

Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal dari
sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8.

Salah satu Serositis :

a)

Pleuritis,

b)

Perikarditis

9.

Salah satu kelainan Neurologis :

a)

Konvulsi / kejang,

b)

Psikosis

10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi :
a)

Sel LE+

b)

Anti dsDNA diatas titer normal

c)

Anti Sm (Smith) diatas titer normal

d)

Tes serologi sifilis positif palsu

B.

Pengobatan Tradisional Penyakit Lupus Menggunakan Obat Herbal


Jika sudah terkena Lupus harus segera mendapat penanganan yang
serius. Didalam makalah ini tim penulis juga akan memberikan beberapa saran
pengobatan penyakit lupus secara herbal alami dengan kombinasi produk herbal
dari PT UFO BKB Syariah yaitu :

1.

XAMthone Plus

2.

Madu Cerna

3.

Teh Murbei

4.

Kapsul MGL Super

Madu Cerna fungsinya menyembuhkan sistim saluran pencernaan yang


sudah diserang sehingga nanti bisa menyerap zat dari XAMthone Plus, Teh
Murbei dan Kapsul MGL untuk menormalkan sistim kekebalan tubuh yang
berlebihan tersebut.
Secara spesifik Teh Murbei dan Kapsul MGL Super akan memperbaiki
kinerja ginjal yang sudah rusak yang menyebabkan persendian sakit bahkan
tidak bisa digerakkan atau lumpuh. Perlu diketahui ginjal adalah benteng
pertahanan pertama dari tubuh kita karena semua zat-zat yang masuk ke dalam
tubuh akan di saring di ginjal. Sedangkan XAMthone Plus akan memperbaiki
sistem-sistem secara keseluruhan.

BAB III
LAPORAN PENDAHULUAN

A.

Defenisi Penyakit Lupus


Penyakit lupus adalah penyakit sistem daya tahan, atau penyakit
autoimun artinya tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah arah, yang
akhirnya merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit dan organ lain. Antibodi seharusnya ditujukan
untuk melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh.
Lupus adalah penyakit yang disebabkan sistem imun menyerang sel-sel
jaringan organ tubuh yang sehat dengan kata lain, sistem imun yang terbentuk
berlebihan. Kelainan ini dikenal dengan autoimunitas. Pada satu kasus penyakit
ini bisa membuat kulit seperti ruam merah yang rasanya terbakar (lupus DLE).
Pada kasus lain ketika sistem imun yang berlebihan itu menyerang persendian
dapat menyebabkan kelumpuhan (lupus SLE).
SLE (Sistemics lupus erythematosus) adalah penyakit radang multisistem
yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut
dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya
berbagai macam autoimun dalam tubuh.
SLE atau LES (lupus eritematosus sistemik) adalah penyakit radang atau
imflamasi multisystem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan
system imun (Albar, 2003).

B.

Etiologi
Sehingga kini faktor yang merangsangkan sistem pertahanan diri untuk
menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman,
virus, sinar ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.
Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di
kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada
wanita
mempunyai
peranan
besar,
walau
bagaimanapun
perkaitan
antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih
dalam kajian.

C.

Patofis (Patofisiologis)
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi
ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal
(sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia
reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat
tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa
preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut
terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. .
Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : adanya satu atau
beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel TCD 4+,
mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap sel-antigen.
Sebagai akibatnya munculah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan
induksi serta ekspansi sel B, baik yangmemproduksi autoantibodi maupun yang
berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang
diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai
macam infeksi.
Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang
terutamaterletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein
histon dan non histon.Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat
dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut
partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka
tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.Antibodi
ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam
sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE
terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun
Uptake kompleks
imun
pada
limpa.
Gangguan-gangguan
ini
memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit

mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan timbulnya
keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi,
pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam
patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan
normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

D.

Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan
pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak
diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala
dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas
gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus
hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ
lainnya.

1.

Sistem Muskuloskeletal

a)

Artralgia

b)

artritis (sinovitis)

c)

pembengkakan sendi,

d)

nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan

e)

rasa kaku pada pagi hari.

2.

Sistem Integument (Kulit)

a)

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi, dan

b)

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3.

Sistem kardiak

a)

Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

4.

Sistem pernafasan

a)

Pleuritis atau efusi pleura.

5.

Sistem vaskuler

a)
b)

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,


eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

6.

Sistem perkemihan

a)

Glomerulus renal yang biasanya terkena.

7.

Sistem saraf

a)

E.

Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh
bentuk penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

Prognosis
Karena perjalanan lupus tak dapat diramalkan, maka prognosisnya sangat
bervariasi. Penyakit ini cenderung menjadi kronis dan kambuhan, seringkali
dengan periode bebas gejala yang dapat berakhir dalam hitungan tahun. Flare
jarang terjadi setelah menopous. Prognosis penyakit ini semakin membaik
dengan bermakna dalam dua dekade terakhir ini. Biasanya, jika inflamasi awal
dikendalikan, prognosis jangka panjangnya adalah baik.
Jika gejala lupus adalah disebabkan oleh penggunaan suatu obat, penghentian
obatakan menyembuhkan lupus, walaupun penyembuhan dapat memakan waktu
berbulan-bulan.

F.

Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan untuk menentukan adanya penyakit ini bervariasi, diantaranya:

1.

Pemeriksaan Laboratorium

a)

Tes Anti ds-DNA

Batas normal : 70 200 IU/mL


Negatif
Positif

: < 70 IU/mL
: > 200 IU/mL

Antibodi ini ditemukan pada 65% 80% penderita dengan SLE aktif dan jarang
pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan spesifik
untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada
penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit
terutama lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit
SLE yang tenang (dorman).

Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus (ANA). Ada dua
tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-stranded DNA (anti dsDNA) dan yang menyerang single-stranded DNA (anti ss-DNA). Anti ss-DNA
kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif untuk penyakit autoimun yang
lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit autoimun tidak hanya untuk
diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang besar dalam perjalanan
penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi sistem komplemen yang
dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal maupun sistemik (Pagana
and Pagana, 2002).
b)

Tes Antinuclear antibodies (ANA)

Harga normal : nol


ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang lain. ANA
adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari suatu sel.
ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE, hasil yang positif terjadi pada
95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA juga
berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA yang tinggi berkaitan
dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.Setelah pemberian
terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu negatif terhadap SLE karena harus
dipertimbangkan juga data klinik dan tes laboratorium yang lain, tetapi jika
hasil tes positif maka sebaiknya dilakukan tes serologi yang lain untuk
menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat meliputi
anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau
anti-SSB (La) (Pagana and Pagana, 2002).
2.

Tes Laboratorium lain


Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta
untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,
antikardiolipin, lupus antikoagulan, Coombs test, anti-histon, marker reaksi
inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),
kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum
kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

3.

Pemeriksaan Penunjang

a)

Ruam kulit atau lesi yang khas.

b)

Rontgen dada menunjukkan pleuritis atau perikarditis.

c)

Pemeriksaan dada dengan bantuan stetoskop menunjukkan adanya gesekan


pleura atau jantung.

d)

Analisa air kemih menunjukkan adanya darah atau protein lebih dari 0,5
mg/hari atau +++.

e)

Hitung jenis darah menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah.

f)

Biopsi ginjal.

g)

Pemeriksaan saraf.

G.

Tinjauan Pengobatan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas
hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi
penyakit, menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada
pasien tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan.
Karena banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka
pengobatan yang dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi
klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi
(Herfindal et al., 2000), sebagai berikut :

1.

Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang
terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena
hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat
memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE
(Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang
mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi
sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar
antibodi anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan
menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan untuk
mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan
beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).

2.

Terapi farmakologi
Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat
keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul
pada setiap pasien.

3.

NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk
salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek antipiretik,
antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan menjadi
nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif COX inhibitor
menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam arakidonat. COX-2
muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi termasuk interleukin,
interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1 merupakan enzim

yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi prostaglandin


untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari ginjal. COX-1
terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan tubulus
collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID adalah
perdarahan saluran cerna, ulser, nefrotoksik, kulit kemerahan, dan alergi
lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki efektivitas
seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan
perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).
Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien terhadap
efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian terapi
pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi
efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek
samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu.
Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan.
Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti
kortikosteroid atau antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul
(Herfindal et al., 2000).
4.

Antimalaria
Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang (demam,
atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-organ
penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi
membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat
DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin
dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor
necrosing factor (TNF- ).
Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan
kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama.
Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi
50% selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum
pengobatan dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan
obat malaria dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien
kambuh setelah 3 tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).

5.

Kortikosteroid
Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan respon
terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan terapi
kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami lupus eritematosus pada kulit
baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid
topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid
menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator mediator
inflamasi seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta
menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan

meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi


ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari
kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel
limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga
mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-, metaloproteinase, dan
aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada
SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,
memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki
manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid
dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon
terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada
pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon
dalam bentuk intravena (1030 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti
dengan pemberian prednison secara oral selama beberapa minggu.
Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien menunjukkan
perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya marker
yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen)
memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian
glukokortikoid
Kadar komplemen dan antibodi DNA dalam serum menurun dalam 1
sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis, serositis, abnormalitas
hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan respon dalam 5
sampai 19 hari.
Oral prednison lebih sering digunakan daripada deksametason karena waktu
paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan diganti ke alternate-day
therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk terapi selanjutnya
didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan penurunan toksisitas obat.
Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2 minggu maka dosisnya
diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah asimtomatik pada 2
minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis menjadi alternate-day dan
adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian. Yang perlu diperhatikan
adalah ketika akan melakukan tapering dosis prednison 20 mg per hari atau
kurang dan penggantian menjadi alternate-day sebaiknya berhati-hati karena
dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang dapat menyebabkan supresi
hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).
Pada penyebaran penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh
demam, atralgia, lemas atau serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan
mudah yaitu dengan penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan
untuk kerusakan organ-organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak
selalu dipertimbangkan untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan
dosis tinggi lebih efektif untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).
Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes melitus
atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah dan

kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat


mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE.
Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena
kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan
ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang
kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering
dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).
6.

Siklofosfamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat
sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi
sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat
pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang
berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan
secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi
inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang
meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu
dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count.
Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute
pemberian, durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.
Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin
dan meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus
nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi
pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan
progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.
Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah,
diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara
pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma
(Herfindal et al., 2000).

7.

Terapi hormone
Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria yang diproduksi
pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini kembali aktif
diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun, dan
menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA yang
rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang ringan
saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut (Isenberg
and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme menekan
pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF- serta meningkatkan sekresi IL-2 yang dapat
digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian
mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,
2001).

8.

Antiinfeksi/Antijamur/Antivirus
Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat
menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang
adalah virus herpes zoster, Salmonella, dan Candida (Isenberg and Horsfall,
1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir
atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 57 hari. Salmonella
dapat diterapi dengan antibiotik golongan kuinolon, ampisilin, kotrimoksazol,
dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin dan
sefalosporin tidak digunakan karena menyebabkan rash yang sensitif sehingga
dapat memperparah rash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya infeksi dari
Candida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol, dan
itrakonazol (Katzung, 2002).

H.
1.

Penatalaksanaan
Kortikosteroid
(prednison
1-2
mg/kg
per
hari
s/d
6
bulan
postpartum) (metilprednisolon 1000 mg per 24jam dengan pulse steroid th/
selama 3 hr, jika membaik dilakukan tapering off).

2.

AINS (Aspirin 80 mg/hr sampai 2 minggu sebelum TP).

3.

Imunosupresan (Azethiprine 2-3 mg/kg per oral).

4.

Siklofospamid, diberikan pada kasus yang mengancam jiwa 700-1000 mg/m


luas permukaan tubuh, bersama dengan steroid selama 3 bulan setiap 3 minggu.

BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

A.
1.

2.

Pengkajian
Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3.

Kardiovaskuler

a)
b)

4.

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.


Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada
pagi hari.

5.
a)

Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pangkal hidung serta pipi.

b)

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6.

Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.

7.

Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous
dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8.

Sistem Renal
Edema dan hematuria.

9.

Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.

B.

Diagnosa Keperawatan

1.

Uraian Masalah Keperawatan

a)

Nyeri

b)

Kerusakan intergritas kulit

c)

Isolasi sosial

d)

Kerusakan mobilitas fisik

e)

Keletihan/kelelahan

f)

Perubahan Nutrisi

g)

Kurang Pengetahuan

Sumber diagnose diatas di ambil dari beberapa sumber buku dan dipadu dalam
buku ini.
Yang akan tim penulis ambil didalam makalah ini adalah sebagai berikut :

2.

Diagnosa Keperawatan

a)

Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

b)

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.

c)

Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

C.

Intervensi (Rencana Tindakan)

1.

Diagnosa Keperawatan : Nyeri b/d inflamasi dan kerusakan jaringan.


Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)

Tujuan :

1)

Gangguan nyeri dapat teratasi

2)

Perbaikan dalam tingkat kenyamanan

b)

Kriteria Hasil :

1)

Skala Nyeri : 1-10

c)

Rencana Tindakan (Intervensi; simbol I) dan Rasional (simbol R)

Mandiri :
1)

I : Kaji Keluhan Nyeri : Pencetus, catat lokasi, karakteristik, dan intensitas (skala
nyeri 1-10).
R : Nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya keterlibatan
jaringan/kerusakan tetapi, biasanya paling berat selama penggantian balutan
dan debridemen.

2)

I : Tutup luka sesegera mungkin kecuali perawatan luka bakar metode


pemajanan pada udara terbuka.
R : suhu berubah dan gerakan udara dapat menyebabkan nyeri hebat pada
pemajanan ujung saraf.

3)

I : Pertahankan suhu lingkungan nyaman, berikan lampu penghangat, penutup


tubuh hangat.
R : pengaturan suhu dapat hilang karena luka bakar mayor. Sumber panas
eksternal perlu untuk mencegah menggigil.

4)

I : Lakukan penggantian balutan dan debridemen setelah pasien di beri obat


dan/atau pada hidroterapi.
R : menurunkan terjadinya distress fisik dan emosi sehubungan dengan
penggantian balutan dan debridemen.

5)

I : Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri.


R : Pernyataan memungkinkan pengungkapan emosi dan dapat meningkatkan
mekanisme koping.

6)

I : Dorong penggunaan teknik manajemen stress, contoh relaksasi progresif,


napas dalam, bimbingan imajinasi dan visualisasi.
R : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan relaksasi dan meningkatkan
rasa control, yang dapat menurunkan ketergantungan farmakologis.

7)

I : Berikan aktivitas terapeutik tepat untuk usia/kondisi.


R : membantu mengurangi konsentrasi nyeri yang di alami dan memfokuskan
kembali perhatian.

Kolaborasi
8)

I : Berikan analgesic sesuai indikasi.


R : membantu mengurangi nyeri.

2.

Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d proses penyakit.


Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)

Tujuan :

1)

Pemeliharaan dan perawatan integritas kulit

b)

Kriteria Hasil :

1)

Kulit dapat terpelihara dan terawat dengan baik.

c)

Rencana Tindakan dan Rasional

Mandiri
1)

I : Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,sirkulasi dan sensasi. Gambarkan
lesi dan amati perubahan.

R : Menentukan garis dasar di man perubahan pada status dapat di bandingkan


dan melakukan intervensi yang tepat.
2)

I : Pertahankan/instruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh


kemudian mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim.
R : mempertahankan kebersihan karena kulit yang kering dapat menjadi barier
infeksi.

3)

I : Gunting kuku secara teratur.


R : kuku yang panjang dan kasar meningkatkan risiko kerusakan dermal.

4)

I : Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut yang steril atau barrier
protektif, mis, duoderm, sesuai petunjuk.
R : Dapat mengurangi kontaminasi bakteri, meningkatkan proses penyembuhan.

Kombinasi :
5)

I : gunakan/berikan obat-obatan (NSAID dan kortikosteroid) sesuai indikasi


R: Digunakan pada perawatan lesi kulit.

3.

Diagnosa Keperawatan : Kurang pengetahuan b/d kurangnya sumber informasi.


Tujuan dan Kriteria Hasil :

a)
1)
b)
1)

Tujuan :
Memberikan informasi tentang penyakit dan prosesnya kepada klien dan
keluarga klien/orang terdekat (bila tidak ada keluarga).
Kriteria Hasil :
Klien dan keluarga klien/orang terdekat mendapatkan pengetahuan dari
informasi yang diberikan

c)

Rencana Tindakan dan Rasional

1)

I : Tinjau ulang proses penyakit dan apa yang menjadi harapan di masa depan.
R : Memberikan pengetahuan dasar di mana pasien dapat membuat pilihan
berdasarkan informasi.

2)

I : Tinjau ulang cara penularan penyakit.


R: mengoreksi mitos dan kesalahan konsepsi, meningkatkan , mendukung
keamanan bagi pasien/orang lain.

3)

I : Dorong aktivitas/latihan pada tingkat yang dapat di toleransi pasien.

R : merangsang pelepasan endorphin pada otak, meningkatkan rasa sejahtera.


4)

I : Tekankan perlunya melanjutkan perawatan kesehatan dan evaluasi


R : memberi kesempatan untuk mengubah aturan untuk memenuhi kebutuhan
perubahan/individu.

5)

I
:
Identifikasi
sumber-sumber
komunitas,
sebelumnya/pusat perawatan tempat tinggal.

misalnya rumah

sakit

R : Memudahkan pemindahkan dari lingkungan perawatan akut; mendukung


pemulihan dan kemandirian.

BAB V
PENUTUP

A.

Kesimpulan
Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai
berikut :

1)

Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan
kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem
imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan
nama autoimunitas.

2)

Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya
tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman
dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan
menduga penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.

3)

Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap sepele


tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari penyebarannya
sampai ke organ-organ.

B.

Saran
Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran :

1)

2)
3)

Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat ditangani
dengan baik sejak awal untuk mempercepat proses penyembuhan dan atau
merawat penyakit ini untuk menghindari penyebarannya keseluruh organ tubuh.
Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan penyakit ini.
Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang penyakit
ini.

SEKILAS INFO

Fotosensitif adalah kondisi di mana seseorang sangat peka terhadap sinar


matahari. Bila terkena sinar matahari kulit akan menjadi merah, sangat letih,
tubuh tidak nyaman dan tidak enak.
Estrogen (atau oestrogen) adalah sekelompok senyawa steroid yang berfungsi
terutama sebagai hormon seks wanita. Walaupun terdapat baik dalam tubuh pria
maupun wanita, kandungannya jauh lebih tinggi dalam tubuh wanita usia subur.
Jadi hormone estrogen ada pada wanita dan pria. Bedanya adalah dikadarnya
(kandungannya). Pria memeliki kadar yang lebih sedikit dibandingkan wanita
(terutama pada usia produktif yaitu wanita usia subur)
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme
terhadap patogen dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi
yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena
terbakar, atau terinfeksi. Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama
sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku Kedokteran


Djaunzi, Samsuridjal. an. Raih Kembali Kesehatan : Mencegah Berbagai Penyakit Hidup
Sehat untuk Keluarga. Jakarta : Kompas
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Gibson J.M, MD. 1996. Mikrologi dan Patologi Modern untuk Perawat. Buku Kedokteran
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan Cara
Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Robins. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi (edisi 4). Buku Kedokteran
Robins., dkk. 1996. Buku Saku Robins : Dasar Patologi Penyakit (edisi 5). Buku
Kedokteran

Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart
edisi 8 volume 3. Jakarta : EGC
sumber lain :
http://doktersehat.com/lupus-apa-itu-penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 10 Desember 2012, jam 13.45
WITA
http://id.wikipedia.org/wiki/Lupus_eritematosus_sistemik , diakses pada tanggal 8 Desember 2012, jam 9.00
WITA
http://infokesehatan101.blogspot.com/2012/07/penyakit-lupus.html , diakses pada tanggal 7 Desember 2012,
jam 11. 00 WITA
http://kotasehat.blogspot.com/2012/01/penyakit-lupus-gejala-dan-pengobatannya.html , diakses pada tanggal 8
Desember 2012 jam 9.30 WITA
http://www.lupusarthritisindonesia.org/id/basicinfo-systemic.php , diakses pada tanggal 10 Desember 2012, jam
14.00 WITA
http://majalahkesehatan.com/penyakit-misterius-bernama-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam
10.45 WITA
http://mazrie.wordpress.com/2010/01/14/67/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15.00 WITA
http://niwanasod.net/penyakit-lupus/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 15. 45 WITA
http://www.antaranews.com/berita/338354/gejala-penyakit-lupus-yang-sering-diabaikan oleh editor Aditia
Maruli, diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 10. 30 WITA
http://www.metris-community.com/penyakit-lupus-gejala-penyebab-lupus-penyakit/ , diakses pada tanggal 8
Desember 2012, jam 11. 00 WITA
http://www.penyakitlupus.net/ , diakses pada tanggal 7 Desember 2012, jam 16.00 WITA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah

Systemic Erithematosus Lupus (SEL) atau yang biasa dikenal dengan istilah Lupus adalah penyakit
kronik atau menahun. SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit
yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak
manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit
collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya
penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
Penyakit LES merupakan salah satu penyakit yang masih awam ditelinga masyarakat Indonesia.
Namun, bukan berarti tidak banyak orang yang terkena penyakit ini. Kementerian Kesehatan
menyatakan lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia terdiagnosis penyakit Lupus. Sebagian besar
penderitanya ialah perempuan di usia produktif yang ditemukan lebih dari 100.000 setiap tahun.
Di Indonesia jumlah penderita penyakit Lupus secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan
mencapai jumlah 1,5 juta orang (Kementerian Kesehatan, 2012).
SLE dapat menyerang semua usia, namun sebagian besar pasien ditemukan pada perempuan usia
produktif. Sembilan dari sepuluh orang penderita lupus (odapus) adalah wanita dan sebagian
besar wanita yang mengidap SLE ini berusia 15-40 tahun. Namun, masih belum diketahui secara
pasti penyebab lebih banyaknya penyakit SLE yang menyerang wanita.
SLE dikenal juga dengan penyakit 1000 wajah karena gejala awal penyakit ini tidak spesifik,
sehingga pada awalnya penyakit ini sangat sulit didiagnosa. Hal tersebut menyebabkan

penanganan terhadap penyakit lupus terlambat sehingga penyakit tersebut banyak menelan
korban.

Penyakit

ini

dibagi

menjadi

tiga

kategori

yakni

discoid

lupus,

systemic

lupus

erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat. Masing-masing kategori tersebut memiliki
gejala, tingkat keparahan serta pengobatan yang berbeda-beda.
Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar, pengobatan yang
diberikan haruslah rasional. Perawatan pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti
mengurangi paparan sinar UV terhadap tubuh pasien.
Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman mengenai penyakit systemik

eritematosus lupus,

pengertian tentang systemic lupus eritematosus, etiologi dan faktor risiko, manifestasi klinis,
patofisiologi,

pathway,

pemeriksaan

penunjang,

komplikasi,

dan

penatalaksanaan

(medis,

keperawatan, diet) serta asuhan keperawatan bagi penderita lupus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi Lupus Eritematosus Systemik (LES)

Lupus Eritematosus Systemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh
terbentuknya antibodi-antibodi terhadap beberapa antigen diri yang berlainan. Antibodi-antibodi
tersebut biasanya adalah IgG atau IgM dan dapat bekerja terhadap asam nukleat pada DNA atau
RNA, protein jenjang koagulasi, kulit, sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Komplek
antigen antibodi dapat mengendap di jaringan kapiler sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas III,
kemudian terjadi peradangan kronik (Elizabeth, 2009).
Systemic Eritematosus Lupus (SEL) atau lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit
autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis bervariasi dari yang ringan
sampai yang berat. Pada keadaan awal, sering sekali sukar dikenal sebagai LES, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan (Sylvia dan Lorraine, 1995).
Ada tiga bentuk lupus yang dikenal, yaitu:
a.

Lupus systemik

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah gangguan autoimun kronis dimana tubuh menghasilkan
antibodi melawan jaringannya sendiri. Kompleks imun ini bersirkulasi di dalam darah dan
merangsang reaksi inflamasi di pembuluh darah kecil, jaringan penyambung, dan membran serosa
seluruh tubuh, sehingga menimbulkan berbagai gejala.
b.

Lupus discoid

Yaitu penyakit lupus yang menyerang kulit.


c.

Lupus karena obat

Penyakit lupus yang muncul setelah penggunaan obat tertentu, seperti hidralazin (Apresoline),
metildopa (Aldomet), klorpromazin (Thorazine), prokainamid (Pronestyl) (Barbara Engram, 1998).
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
a. Etiologi

Sampai saat ini penyebab LES belum diketahui. Diduga faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut
berperan pada patofisiologi LES.
Kecenderungan terjadinya LES dapat berhubungan dengan perubahan gen MHC spesifik dan
bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Wanita lebih cenderung mengalami LES
dibandigkan pria, karena peran hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan
dengan kehamilan atau menyususi.
Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan penyakit.
Penyakit ini biasanya mengenai wanita muda selama masa subur. Penyakit ini dapat bersifat ringan
selama bertahn-tahun, atau dapat berkembang dan menyebabkan kematian (Elizabeth, 2009).
b.

Faktor Risiko

1)

Faktor risiko genetik

Meliputi jenis kelamin (frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada pria dewasa),
umur (lebih sering pada usia 20-40 tahun), etnik, dan faktor keturunan (frekuensinya 20 kali lebih
sering dalam keluarga di mana terdapat anggota dengan penyakit tersebut).
2)

Faktor risiko hormon

Estrogen menambah risiko LES, sedang androgen mengurangi risiko ini.


3)

Sinar ultraviolet

Sinar ultraviolet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi kurang efektif, sehingga LES
kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin
sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran di
pemuluh darah.
4)

Imunitas

Pada pasien LES terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T.
5)

Obat

Obat tertentu dalam presentasi kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum dalam jangka waktu
tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced Lupus Erythematosus atau DILE).
Jenis obat yang dapat menyebabkan lupus obat adalah:
a)

Obat yang pasti menyebabkan lupus obat: klorpromazin, metildopa, hidralasin, prokainamid,

dan isoniazid.
b)

Obat yang mungkin dapat menyebabkan lupus obat: dilantin, peninsilamin, dan kuinidin.

c)

Hubungannya belum jelas: garam emas, beberapa jenis antibiotik, dan griseofulvin.

6)

Infeksi

Pasien LES cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah
infeksi.
7)

Stres

Stres berat dapat mencetuskan LES pada pasien yang sudah memiliki kecenderungan akan
penyakit ini (Arif Mansjoer, 2000).
2.3 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis dari LES biasanya dapat membingungkan, gejala yang palin sering adalah sebagai
berikut:
a.

Poliartralgia (nyeri sendi) dan artiritis (peradangan sendi).

b.

Demam akibat peradangan kronik

c.

Ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung, kata Lupus berarti

serigala dan mengacu kepada penampakan topeng seperti serigala.


d.

Lesi dan kebiruan di ujung kaki akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik

e.

Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan

f.

Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)

g.

Lesi berskuama di kepala, leher dan punggung

h.

Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi

i.

Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulang, dan perdarahan sering terjadi karena serangan

terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit (Elizabeth, 2009).
2.4 Patofisiologi LES
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan
autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara
faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu
seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di
samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa
kimia atau obat-obatan.
Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan
menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.
2.5 Pathway

LES

(terlampir)
2.6 Komplikasi LES
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita LES adalah sebagai berikut:
a.

Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal dapat

terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan komplemen
resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas tipe III
b.

Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikadium yang mengelilingi jantung)

c.

Peradangan membran pleura yang mengelilngi paru dapat membatasi perapasan. Sering

terjadi bronkhitis.
d.

Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.

e.

Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian,

termasuk psikosis dan depresi dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan dengan
terapi obat atau penyakitnya (Elizabeth, 2009).
2.7

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang di lakukan terhadap pasien LES meliputi:


a.

ANA (anti nucler antibody). Tes ANA memiliki sensitivitas yang tinggi namun spesifisitas yang

rendah.
b.

Anti dsDNA (double stranded). Tes ini sangat spesifik untuk LES, biasanya titernya akan

meningkat sebelum LES kambuh.


c.

Antibodi anti-S (Smith). Antibodi spesifik terdapat pada 20-30% pasien.

d.

Anti-RNP (ribonukleoprotein), anti-ro/anti SS-A, antikoagulan lupus)/anti-SSB, dan antibodi

antikardiolipin. Titernya tidak terkait dengan kambuhnya LES.


e.

Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)

f.

Tes sel LE. Kurang spesifik dan juga positif pada artritis reumatoid, sindrom sjogren,

skleroderna, obat, dan bahan-bahan kimia lain.


g.

Anti ssDNA (single stranded)

h.

Pasien dengan anti ssDNA positif cenderung menderita nefritis (Arif Mansjoer, 2000).

2.8
a.

Penatalaksanaan LES
Penatalaksanaan medis

Terapi dengan obat bagi penderita SLE mencakup pemberian obat-obat:


1)

Antiradang nonstreroid (AINS)

AINS dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Aspirin saat ini lebih jarang dipakai karena
memiliki insiden hepatotoksik tertinggi, dan sebagian penderita SLE juga mengalami gangguan
pada hati. Penderita LES juga memiliki risiko tinggi terhadap efek samping obat-obatan AINS pada
kulit, hati, dan ginjal sehingga pemberian harus dipantau secara seksama.
2)

Kortikosteroid

3)

Antimalaria

Pemberian antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila AINS tidak dapat mengendalikan
gejala-gejala

LES.

Biasanya

antimalaria

mula-mula

diberikan

dengan

dosis

tinggi

untuk

memperoleh keadaan remisi. Bersihnya lesi kulit merupakan parameter untuk memantau
pemakaian dosis.
4)

Imunosupresif

Pemberian imunosupresif (siklofosfamid atau azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas
autoimun LES. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika:
a)

Diagnosis pasti sudah ditegakkan

b)

Adanya gejala-gejala berat yang mengancam jiwa

c)

Kegagalan tindakan-tidakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak

memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping
d)

Tidak adanya infeksi, kehamilan dan neoplasma (Sylvia dan Lorraine, 1995).

b.

Penatalaksanaan keperawatan

Perawat menemukan pasien SLE pada berbagai area klinik karena sifat penyakit yang homogeny.
Hal ini meliputi area praktik keperawatan reumatologi, pengobatan umum, dermatologi, ortopedik,
dan neurologi. Pada setiap area asuhan pasien, terdapat tiga komponen asuhan keperawatan yang
utama.
1)

Pemantauan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan instrument yang valid, seperti

hitung nyeri tekan dan bengkak sendi (Thompson & Kirwan, 1995) dan kuesioner pengkajian
kesehatan (Fries et al, 1980). Hal ini member indikasi yang berguna mengenai pemburukan atau
kekambuhan gejala.
2)

Edukasi sangat penting pada semua penyakit jangka panjang. Pasien yang menyadari

hubungan antara stres dan serangan aktivitas penyakit akan mampu mengoptimalkan prospek
kesehatan

mereka. Advice tentang keseimbangan antara aktivitas

dan periode istirahat,

pentingnya latihan, dan mengetahui tanda peringatan serangan, seperti peningkatan keletihan,
nyeri, ruam, demam, sakit kepala, atau pusing, penting dalam membantu pasien mengembangkan
strategi koping dan menjamin masalah diperhatikan dengan baik.
3)

Dukungan psikologis merupakan kebutuhan utama bagi pasien SLE. Perawat dapat memberi

dukungan dan dorongan serta, setelah pelatihan, dapat menggunakan ketrampilan konseling ahli.
Pemberdayaan pasien, keluarga, dan pemberi asuhan memungkinkan kepatuhan dan kendali
personal yang lebih baik terhadap gaya hidup dan penatalaksanaan regimen bagi mereka (Anisa
Tri U., 2012).
c.

Penatalaksanaan diet

Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan
kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium,
rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan
obat tradisional.

Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan
densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress
sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari,
bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof
sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya lesi kulit pada
pasien SLE.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian Keperawatan
Riwayat atau adanya faktor risiko. Meskipun LES bukan herediter, insiden kadang-kadang lebih
tinggi diantara individu dengan riwayat keluarga positif.
Pemeriksaan fisik berdasarkan pada survei umum dapat menunjukkan keterlibatan multisystem,
karena SLE adalah penyakit inflamasi dari jaringan penyambung yang mempengaruhi kulit, sendi
membran pleural dan pericardial, ginjal, sumsum tulang, dan sistem saraf pusat. Asosiasi
Reumatisme Amerika telah mengidentifikasi karakteristik fisik yang berbeda dan temuan
labolatorium dari SLE. Diagnosis dari SLE dibuat dengan empat temuan berikut secara bersamasama (Whitney, 1989):
a.

Ruam malar berbentuk kupu-kupu melintang di hidung dan pipi, mungkin unilateral atau

bilateral
b.

Pleuritis atau perikarditis

c.

Paliartritis sendi nyeri terinnflamasi yang migrasi dan jarang mengakibatkan deformitas

sendi
d.

Fotosensitif terjadi ruam bila terpajan pada sinar matahari secara terus menerus

e.

Ruam discoid bercak, merah, ruam kering pada area yang terpajan pada matahari

f.
g.
h.

Perubahan sistem saraf pusat seperti kejang atau psikosis


Ulserasi membran mukosa (mulut, hidung, dan vagina)
Abnormalitas hematologis (anemia, trombositopenia, leukopenia)

i.

Peningkatan antibodi antinuklear (ANA)

j.

Proteinuria, serpihan seluler, atau pus tanpa bakteriuria ditunjukkan oleh urinalis

Gejala tambahan meliputi:


a.

Pembesaran limpa dan hepar

b.

Penurunan berat badan, demam, kelelahan

c.

Fenomena Raynauds (perubahan warna pucat, sianosis, kemerahan pada jari disertai dengan

nyeri dan parestesia)


Kaji terhadap faktor yang mencetuskan eksaserbasi:
a.

Kelelahan berlebihan

b.

Pemajanan lama pada sinar ultraviolet (sinar matahari langsung)

c.

Pembedahan

d.

Obat tertentu seperti penisilin, sulfonamid, dan kontrasepsi oral

Dan selanjutnya kaji perasaan pasien tentang kondisi dan dampak gaya hidup (Barbara Engram,
1998).
3.2

Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan bagi penderita LES adalah sebagai berikut:


a.

Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan

b.

Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit dan lesi

c.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi sekunder terhadap SLE

3.3

Intervensi Keperawatan dan Rasional Tindakan

Intervensi keperawatan dan rasional tindakan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a.

Nyeri kronik berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan

Tujuan:
Meringankan nyeri, dapat beristirahat dan mendapat pola tidur yang adekuat

NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Tutup luka sesegera mungkin kecuali suhu berubah dan gerakan udara
perawatan luka bakar metode pemajanandapat menyebabkan nyeri hebat
pada udara terbuka.
pada pemajanan ujung saraf.
pengaturan suhu dapat hilang
karena luka bakar mayor.
2
Pertahankan suhu lingkungan nyaman,Sumber panas eksternal perlu untuk
berikan lampu penghangat, penutup tubuhmencegah menggigil.
hangat.
3
Kaji
keluhan
nyeri.
Perhatikannyeri hampir selalu ada pada
lokasi/karakter dan intensitas (skala 0-10). beberapa
derajat
beratnya
keterlibatan
jaringan/kerusakan
tetapi biasanya paling berat selama
penggantian
balutan
dan
debridemen.
4
Lakukan
penggantian
balutan
danmenurunkan terjadinya distress
debridemen setelah pasien di beri obatfisik dan emosi sehubungan dengan
dan/atau pada hidroterapi
penggantian
balutan
dan
debridemen.
5 D Dorong ekspresi perasaan tentang nyeri. pernyataan
memungkinkan
pengungkapan emosi dan dapat
meningkatkan mekanisme koping.
6
Dorong penggunaan teknik manajemenmemfokuskan kembali perhatian,
stress, contoh relaksasi progresif, napasmeningkatkan
relaksasi
dan
dalam,
bimbingan
imajinasi
danmeningkatkan rasa control, yang
visualisasi.
dapat menurunkan ketergantungan
farmakologis.
7
Berikan aktivitas terapeutik tepat untukmembantu mengurangi konsentrasi
usia/kondisi
nyeri
yang
di
alami
dan
memfokuskan kembali perhatian.
(Gusti Pandi Liputo, 2012).
a. Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit dan lesi
Tujuan:
dapat menunjukkan perilaku/teknik untuk meningkatkan penyembuhan dan mencegah
komplikasi
NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor,Menentukan
garis
dasar
sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati menentukan
dimana
perubahan
perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan

intervensi yang tepat.


Pertahankan/intruksikan dalam hygien, misalnya, Mempertahankan kebersihan
membasuh dan kemudian mengeringkannya karena kulit yang kering
dengan berhati-hati dan melakukan masasedapat menjadi barier infeksi.
dengan menggunakan lotion atau krim.
3
Gunting kuku secara teratur
Kuku yang panjang dan kasar
meningkatkan
risiko
kerusakan dermal.
4
Tutupi luka tekan yang terbuka dengan pembalut Dapat
mengurangi
yang steril atau barrier protektif, misalny,kontaminasi
bakteri,
duoderm, sesuai petunjuk.
meningkatkan
proses
penyembuhan
(Gusti Pandi Liputo, 2012).
2

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan komplikasi sekunder terhadap LES


Tujuan:
Peningkatan toleransi terhadap aktivitas
NO
INTERVENSI
RASIONAL
1
Evaluasi rutinitas harian pasien. BantuIstirahat membantu menyeimbangkan
perencanaan jadwal setiap hari untukenergi tubuh. Keseimbangan aktivitas
aktivitas yang meliputi periode istirahat fisik pada istirahat membantu
sering
mengontrol
kelelahan
dan
peningkatan ketahanan.
2
Anjurkan pasien untuk menggunakan obatMemungkinkan periode tambahan
yang diresepkan untuk anemia dan danistirahat tanpagangguan
menyimpan
3
Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi,Tirah baring lama dapat menurunkan
bantu melakukan rentang rentang gerakkemampuan. Ini dapat terjadi karena
sendi aktif/pasif
keterbatasan
aktivitas
yang
mengganggu periode istirahat
4
Dorong penggunaan teknik menejemenMeningkatkan
relaksasi
dan
stres,
contoh
relaksasi
progresif,penghematan enrgi, memusatkan
visualisasi, bimbingan imajinasi. Berikankembali perhatian, dan dapat
aktivitas hiburan yang tepat contohmeningkatkan koping.
menonton TV, radio, dan membaca.
(Gusti Pandi Lupito, 2012).

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari penjelasan yang kami sampaikan dalam makalah ini, maka dapat disimpulan bahwa SLE
(Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan interaksi
kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor lingkungan, yang semuanya dianggap ikut
memainkan peran untuk menimbulkan aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan
berbagai autoantibody polispesifik.
Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya membingungkan. Sehingga sering
terjadi keterlambatan diagnosis penyakit LES.

4.2 Saran
Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita terkena penyakit SLE dan
sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka
penyakit akan muncul kembali dan kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kirakira 70% penderita akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih
awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.

DAFTAR PUSTAKA

Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Mrdikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.
Gusti Pandi Liputo. 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Imunologi
Lupus, (Online), (http://gustinerz.wordpress.com/2012/04/06/pdf-asuhan-keperawatan-lupusles/, diakses 25 Oktober 2012).
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Buku 2 Edisi 4. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media Aesculapius.

You might also like