You are on page 1of 3

Abu Dzar Al Gifari (wafat 32 H/652 M)

Beliau ini adalah seorang sahabat yang masuk Islam dari sejak dini. Semasa
Jahiliah beliau ini telah melarang minum khamar dan beliau tidak pernah ikut
menyembah berhala oleh sebab itu beliau terkenal orang takwa. Dia selalu
mengajak fakir miskin agar integrasi dengan orang kaya. Beliau ini mengikuti
penaklukan Baitulmakdis bersamakhalifah Umar bin Khatab. Rasulullah pernah
bersabda tentang beliau “semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada Abu Zar,
yang hidup menyendiri, mati menyendiri dan akan dibangkitkan sendiri pula”

Meski tak sepopuler sahabat-sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan
Ali, namun sosoknya tak dapat dilepaskan sebagai tokoh yang paling giat
menerapkan prinsip egaliter, kesetaraan dalam hal membelanjakan harta di jalan
Allah. Ditentangnya semua orang yang cenderung memupuk harta untuk
kepentingan pribadi, termasuk sahabat-sahabatnya sendiri. 

Di masa Khalifah Utsman, pendapat kerasnya tentang gejala nepotisme dan


penumpukan harta yang terjadi di kalangan Quraisy membuat ia dikecam banyak
pihak. Sikap serupa ia tunjukkan kepada pemerintahan Muawiyah yang menjadi
gubernur Syiria. Baginya, adalah kewajiban setiap muslim sejati menyalurkan
kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin. 

Kepada Muawiyah yang membangun istana hijaunya atau Istana Al Khizra, abu
Dzar menegur, “Kalau Anda membangun istana ini dengan uang negara, berarti
Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan
uang Anda sendiri berarti Anda telah berlaku boros,” katanya. Muawiyah hanya
terdiam mendengar teguran sahabatnya ini. 

Dukungannya kepada semangat solidaritas sosial, kepedulian kalangan berpunya


kepada kaum miskin, bukan hanya dalam ucapan. Seluruh sikap hidupnya ia
tunjukkan kepada upaya penumbuhan semangat tersebut. Sikap wara’ dan zuhud
selalu jadi perilaku hidupnya. Sikapnya inilah yang dipuji Rasulullah . Saat Rasul
akan berpulang, Abu Dzar dipanggilnya. Sambil memeluk Abu Dzar, Nabi
berkata “Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya. Dia tidak akan berubah
walaupun aku meninggal nanti.” Ucapan Nabi ternyata benar. Hingga akhir
hayatnya kemudian, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat shaleh.

Abu Dzar terlahir dengan nama Jundab. Dulu, ia adalah seorang perampok yang
mewarisi karir orang tuanya selaku pimpinan besar perampok kafilah yang melaui
jalur itu. Teror di wilayah sekitar jalur perdagangan itu selalu dilakukannya untuk
mendapatkan harta dengan cara mudah. Hidupnya penuh dengan kejahatan dan
kekerasan. Siapa pun di tanah Arab masa itu tahu, jalur perdagangan Mekkah-
Syiria dikuasai perampok suku Ghiffar, sukunya. 

Namun begitu, hati kecil Abu Dzar sesungguhnya tak menerimanya. Pergolakan
batin membuatnya sangat menyesali perbuatan buruk tersebut. Akhirnya ia
melepaskan semua jabatan dan kekayaan yang dimilikinya. Kaumnya pun
diserunya untuk berhenti merampok. Tindakannya itu menimbulkan amarah
sukunya. Abu Dzar akhirnya hijrah ke Nejed bersama ibu dan saudara laki-
lakinya, Anis, dan menetap di kediaman pamannya. 

Di tempat ini pun ia tidak lama. Ide-idenya yang revolusioner berkait dengan
sikap hidup tak mengabaikan sesama dan mendistribusikan sebagian harta yang
dimiliki, menimbulkan kebencian orang-orang sesuku. Ia pun diadukan kepada
pamannya. Kembali Abu Dzar hijrah ke kampung dekat Mekkah. Di tempat inilah
ia mendapat kabar dari Anis, tentang kehadiran Rasulullah dengan ajaran Islam. 

Abu Dzar segera menemui Rasulullah . Melihat ajarannya yang sejalan dengan
sikap hidupnya selama ini, akhirnya ia pun masuk Islam. Tanpa ragu-ragu, ia
memproklamirkan keislamannya di depan Ka’bah, saat semua orang masih
merahasiakan karena khawatir akan akibatnya. Tentu saja pernyataan ini
menimbulkan amarah warga Mekkah. Ia pun dipukuli dan hampir saja terbunuh
bila Abbas, paman Rasulullah , tidak melerai dan mengingatkan warga Mekkah
bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka
membunuhnya.

Sejak itu, Abu Dzar menghabiskan hari-harinya untuk mencapai kejayaan Islam.
Tugas pertama yang diembankan Rasul di pundaknya adalah mengajarkan Islam
di kalangan sukunya. Ternyata, bukan hanya ibu dan saudaranya, namun hampir
seluruh kaumnya yang suka merampok pun akhirnya masuk Islam. Sikap
hidupnya yang menentang keras segala bentuk penumpukkan harta, ia sampaikan
juga kepada mereka. Namun, tak semua menyukai tindakannya itu. Di masa
Khalifah Utsman, ia mendapat kecaman dari kaum Quraisy, termasuk salah satu
tokohnya, Muawiyah bin Abu sufyan. 

Suatu kali pernah Muawiyah yang kala itu menjadi Gubernur Syiria, mengatur
perdebatan antara Abu Dzar dengan para ahli tentang sikap hidupnya. Tujuannya
agar Abu Dzar membolehkan umat menumpuk kekayaannya. Namun, usaha itu
tak menggoyahkan keteguhan pandangannya. Karena jengkel, Muawiyah
melaporkan kepada Khalifah Utsman ihwal Abu Dzar. Khalifah segera
memanggil Abu Dzar. Memenuhi panggilan Khalifah, Abu Dzar mendapat
sambutan hangat di Madinah. Namun, ia pun tak kerasan tinggal di kota Nabi
tersebut karena orang-orang kaya di kota itu pun tak menyukai seruannya utnuk
pemerataan kekayaan. Akhirnya Utsman meminta Abu Dzar meninggalkan
Madinah dan tinggal di Rabza, sebuah kampung kecil di jalur jalan kafilah Irak
Madinah. 

Di kampung inilah Abu Dzar wafat karena usia lanjut pada 8 Dzulhijjah 32
Hijriyah. Jasadnya terbaring di jalur kafilah itu hanya ditunggui jandanya. Hampir
saja tak ada yang menguburkan sahabat Rasulullah ini bila tak ada kafilah haji
yang menuju Mekkah. Kafilah haji itu segera berhenti dan menshalati jenazah
dengan imam Abdullah ibn Masud, seorang sarjana Islam terkemuka masa itu.

You might also like