You are on page 1of 23

A.

Judul
Efektivitas Konseling Singkat Berfokus Solusi untuk Meningkatkan
Kemampuan Mengelolaan Stres Akademik Siswa.

B.

Latar Berlakang Masalah


Setiap siswa ingin mencapai prestasi belajar yang maksimal ketika
memasuki lingkungan sekolah. Prestasi belajar yang maksimal merupakan jalan
yang dapat memudahkan proses kelanjutan studi dan pencapaian cita-cita. Akan
tetapi tidak sedikit siswa mengalami hambatan atau kesulitan dalam proses belajar
mereka. Hambatan atau kesulitan belajar yang tidak teratasi dengan baik dapat
mengakibatkan kegagalan dalam mencapai prestasi.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat telah memberikan tekanan baru
dan memunculkan stres pada individu (Kusz, 2009). Stres dapat dikatakan sebagai
respon individu terhadap sesuatu yang dianggapnya sebagai ancaman dan
membahayakan dirinya. Stres yang diakibatkan dari masalah sehari-hari baik
dalam lingkungan keluarga, sosial, dan sekolah akan terakumulasi yang pada
akhirnya menimbulkan gangguan psikologis atau penyakit fisik. (Santrock, 2007;
27).
Individu yang memiliki kemampuan untuk mengatasi stres akan lebih
mungkin untuk beradaptasi dan berfungsi dengan kompeten ketika dihadapkan
dengan stres. Saat individu mampu mengatasi stres, individu dapat mencegah
dirinya merasa inkompeten dan dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka
(Santrock, 2007: 27).
Pada saat memasuki sekolah menengah pertama, siswa berada pada
rentang usia 13-15 tahun, dimana pada masa itu siswa mengalami peralihan dari
masa kanak-kanak akhir menuju remaja awal. Peralihan yang terjadi bukan berarti
terputus atau berubah dari yang sebelumnya, melainkan peralihan dari satu tahap
perkembangan ke tahap berikutnya. Pada masa peralihan ini terjadi perubahanperubahan yang terjadi pada siswa, diantaranya meningginya emosi, perubahan
tubuh (fisik), minat dan pola perilaku, serta sikap yang berubah menjadi
ambivalen terhadap setiap perubahan (Hurlock, 1980: 207). Pada lingkungan

sekolah siswa mengalami perubahan dari sekolah dasar ke sekolah menengah


pertama. Perubahan-perubahan yang dialami memberikan pengaruh pada diri
siswa baik itu berupa permasalahan secara akademik dan non-akademik akibat
adanya transisi masa perkembangan dan lingkungan sosial. Memasuki pada masa
dan lingkungan yang baru, maka terdapat kompetensi-kompetensi baru pula yang
harus dimiliki oleh siswa sekolah menengah pertama. Dalam ASCA (Rusmana,
2009: 195) ragam kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa sekolah menengah
pertama khususnya pada ranah akademik salah satunya adalah siswa dapat
mengidentifikasi penyebab stres dan mampu mengurutkan cara-cara untuk
mengelolanya.
Mac George et al. (Wilks, 2008:107) mengatakan bahwa pada saat siswa
memasuki lingkungan pendidikan maka siswa akan mulai terikat dengan tuntutan
dan peraturan sekolah. Adanya ekspektasi-ekspektasi yang lebih tinggi dari
sebelumnya

dapat

menimbulkan

hambatan

belajar

bagi

siswa.

Sistem

pembelajaran di sekolah yang menitikberatkan pada nilai akan membuat siswa


berusaha keras mencapai standar nilai yang sudah ditentukan. Banyaknya
persaingan dalam kelas, keinginan dan harapan serta tuntutan dari luar dirinya
mengakibatkan siswa mudah terkena stres. Lemahnya kemampuan siswa dalam
mengelola stres mengakibatkan siswa merasa tertekan dan tidak mampu untuk
beradaptasi dengan situasi.
Calaguas (2011) mengatakan stres yang sering dialami oleh siswa adalah
stres akademik. Stres akademik merupakan sumber stres yang terjadi pada setting
sekolah Desmita (2010: 297) mengatakan bahwa sumber stres yang berasal dari
sekolah (akademik) dalam proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan
dengan kegiatan belajar, yaitu tekanan untuk naik kelas, lama belajar, menyontek,
mendapat nilai ulangan, kecemasan saat ujian, manajemen waktu serta banyaknya
siswa. Siswa mengaku mengalami stres akademik pada tiap semesternya, dimana
stresor terbesarnya adalah saat mereka belajar dihadapkan pada ujian dan harus
menguasai banyak materi pelajaran dalam waktu singkat (Abouserie, 1994, dalam
Nandamuri & Gowthami, 2013). Tekanan yang diberikan pada siswa untuk
menunjukkan hasil yang terbaik saat ujian atau tes dengan alokasi waktu yang

terbatas membuat lingkungan belajar menjadi tidak nyaman dan penuh dengan
tekanan (Erkutu & Chafa 2006, dalam Nandamuri & Gowthami, 2013).
Terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa para siswa sangat rentan
mengalami stres akademik. Penelitian yang dilakukan Clemmit (2007)
membuktikan bahwa sekolah merupakan penyebab stres bagi siswa. Hampir
seluruh orang tua di area San Francisco Bay mengatakan jumlah pekerjaan rumah
(PR) yang ditugaskan untuk anak-anak mereka adalah penyebab stres. Lebih dari
setengah orang tua siswa mengatakan tekanan untuk berprestasi juga merupakan
penyebab stres. Faktor-faktor yang berkontribusi menyebabkan stres menurut
orang tua di area San Fransisco adalah tugas sekoah (23,8%), tekanan untuk
berprestasi (11,2%), hubungan teman sebaya (11,6%), aktivitas ekstrakulikuler
(4.9%), kerenggangan dengan anggota keluarga (4,0%), masalah perceraian atau
perpisahan (8,5%), ekonomi keluarga (3,8%), penyakit yang diderita atau
kematian orang yang dicintai (4,5%).
Thoresen dan Eagleston (Roberson, 1985: 5) menyatakan bahwa siswa
yang menghadapi tuntutan sekolah tanpa kemampuan yang memadai atau kurang
optimal akan merespon dengan cara yang berbahaya atau maladaptif. Respon
perilaku yang ditimbulkan anak seperti menarik diri, membolos sekolah, rendah
diri, dan selalu merasa gagal. Hasil penelitian (Nurdini, 2009: 6) membuktikan,
siswa yang mengalami stress akademik akan menunjukkan perilaku cemas
menghadapi ujian, tidak peduli terhadap materi, tidak menguasai kompetensi,
tidak betah di sekolah, takut menghadapi guru, tidak dapat berkonsentrasi di kelas,
ingin pindah kelas, jenuh jika ada pelajaran tambahan, dan lelah mengikuti
ekstrakulikuler.
Dengan demikian stres akademik merupakan produk kombinasi dari
tuntutan terkait bidang akademik melebihi kemampuan yang dimiliki siswa. Jika
siswa tidak dapat mengatasi stres akademik dengan efektif, maka kemungkinan
akan menimbulkan konsekuensi kesehatan psiko-sosial-emosional (Desmita,
2010).
Setiap individu memiliki tingkatan stres yang berbeda. Lazarus &
Folkman (1984: 22) mengatakan meskipun tuntutan lingkungan memberikan

tekanan dan menghasilkan stres, nyatanya setiap individu memiliki perbedaan


dalam derajat dan reaksi terhadap sumber stres. Perbedaan ini dikarenakan setiap
individu memiliki kepekaan dan kerentanan yang berbeda terhadap peristiwa
tertentu yang kemudian berdampak pada interpretasi dan reaksi mereka. Sehingga
pada tingkat tertentu, apa yang dianggap sebagai sumber stres tergantung pada
bagaimana penilaian kognitif individu dalam menginterpretasikan kejadian
tersebut (Sanders & Wolls, 2005, dalam Santrock, 2007:24).
Penilaian siswa mengenai situasi akademik akan berpengaruh pada
tindakan siswa. Penilaian negatif pada situasi akademik memunculkan perasaan
tertekan dalam diri akibat adanya anggapan bahwa tuntutan yang diberikan
melebihi batas kemampuannya sehingga membuat siswa sulit untuk mengatasi
pemikiran negatifnya. Dengan demikian stres akademik yang terjadi pada siswa
muncul akibat adanya menisfentasi pemikiran negatif siswa mengenai situasi
akademik sehingga mengakibatkan ketegangan pada pribadi siswa serta perasaan
tertekan dan tidak mampu mengatasinya.
Adanya siswa yang mengalami stres akademik dapat dikarenakan siswa
tersebut tidak mampu mengelola stresor-stresor akademik yang ada di sekitarnya.
Siswa yang tidak mampu mengelola stresor-stresor akademik sejatinya
memerlukan perhatian penting dari guru BK, hal ini terkait dengan kesulitan
belajar (akademik) yang dialami oleh siswa.
Bimbingan

dan

konseling

memfasilitasi

siswa

agar

mampu

mengembangkan potensinya untuk mencapai tugas-tugas perkembangan secara


optimal (ABKIN, 2008). BK berfungsi untuk menggali dan mengembangkan
potensi siswa secara optimal, serta bertanggung jawab dan membina siswa sampai
sejauhmana tingkat kesiapan siswa dalam menjawab tantangan akademik yang
ada di sekolah sebagai tuntutan terlaksananya pendidikan yang berilmu dan
bermutu.
Terkait dengan upaya dalam menangani siswa yang mengalami stres
akademik, maka guru BK perlu merancang layanan bimbingan yang tepat.
Terdapat beberapa pendekatan konseling yang dapat dilakukan untuk mengatasi
stres, seperti behavior therapy, rational emotive therapy, stress-inoculation, atau

reciprocal inhibiton yang sering disebut juga disentisiasi. Pendekatan-pendekatan


tersebut secara rasional berbeda dalam teori, tetapi mereka memiliki prosedur
yang umum (Lazarus, 1984). Hollon dan Beck (1979, dalam Lazarus, 1984: 335)
menggunakan tiga alasan kategori untuk membedakan berbagai pendekatan, yaitu
rasional teori, strategi, dan taktik khusus. Tidak ada pernyataan yang mengatakan
bahwa stres dapat diatasi oleh pendekatan tertentu, yang terpenting adalah
seberapa baik efek yang diberikan dari penggunaan pendekatan itu dengan
caranya masing-masing (Lazarus & Folkman, 1984: 335).
Penelitian Nurdini (2009) membuktikan bahwa teknik konseling kognitif
perilaku efektif untuk mengelola stres akademik siswa SMK. Nurmalasari (2011),
membuktikan teknik restrukturisasi kognitif efektif untuk mengatasi stres
akademik siswa SMP RSBI. Dari kedua teknik tersebut menunjukkan bahwa
terjadi hal yang salah suai dari segi kognitif pada siswa yang mengalami stres
akademik sehingga memerlukan perlakuan khusus untuk memperbaikinya.
Stres terjadi secara tidak menentu atau fluktuatif. Siswa yang mengalami
stres akademik bukan berarti sepanjang hidupnya mengalami stres. Siswa hanya
akan mengalami stres akademik apabila adanya stresor-stresor akademik, seperti
ujian, ulangan, beban tugas yang berlebihan, serta adanya persaingan antar siswa.
Sesuai dengan peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun
2009 mengenai beban kerja guru, disampaikan bahwa guru Bimbingan dan
Konseling atau konselor sekolah harus mengampu paling sedikit 150 siswa pertahun (Departemen Pendidikan Nasional, 2009). Kurangnya ketersediaan guru BK
di sekolah mengakibatkan guru dari bidang studi lain dapat berperan menjadi guru
BK, akibatnya guru BK tersebut membantu menyelesaikan masalah siswa sesuai
dengan pengetahuannya saja tanpa ilmu mendalam di dalamnya. Selain beban
kerja, pendekatan konseling yang digunakan oleh guru BK lebih sering mengarah
pada pembahasan mengenai masalah siswa daripada mengarah pada bagaimana
solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga membutuhkan waktu
yang cukup lama dalam menyelesaikan masalah. Pendekatan yang berfokus pada
masalah (problem talk) membuat intervensi yang diberikan pun terkadang tidak
tuntas. Dibutuhkan kompetensi dan cpendekatan konseling baru yang dapat

digunakan guru BK agar masalah siswa terselesaikan hingga selesai dan siswa
memiliki kompsetensi baru dalam mengatasi masalahnya secara mandiri.
Salah satu pendekatan konseling yang dapat digunakan sebagai teknik
untuk mengatasi permasalahan siswa termasuk stres akademik adalah Konseling
Singkat Berfokus Pada Solusi. Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi lebih
mengarah pada solution talk bukan problem talk. Konseling Singkat Berfokus
Pada Solusi ini berorientasi pada masa depan, dan tujuan yang ingin dicapai dari
permasalahan. Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi ini berfokus pada
bagaimana siswa mengatasi permasalahan yang dihadapinya sekarang dan apa
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalahnya (Kegley, 2000). Konseling
Singkat Berfokus Pada Solusi menekankan pada kekuatan dan kemampuan
individu siswa dengan fokus exceptions problem dan konseptualisasi situasi.
Melalui serangkaian intervensi siswa didorong untuk meningkatkan perilaku
positif dan efektif dalam menyelesaikan permasalahannya saat ini (de Shazer &
Dolan, 2007 dalam Corey 2012). Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi
didasarkan pada asumsi optimis bahwa setiap individu itu pandai, berkompeten
dan memiliki kemampuan untuk mengkonstruk solusi yang dapat mengubah
kehidupan mereka (Corey, 2012: 425). Dengan berfokus pada solusi Konseling
Singkat Berfokus Pada Solusi tidak mencaritahu secara mendalam apa penyebab
masalah siswa, sehingga pemberian intervensi pun relatif singkat dan dapat
dilakukan oleh guru BK.
Model Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi dapat dijadikan alternatif
bagi guru BK untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengelola stres
akademik. Berdasarkan penelitian Kegley (2000) menunjukkan konselor sekolah
menganggap Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi efektif untuk mengatasi
masalah siswa disekolah, sebanyak 96,1% menganggap Konseling Singkat
Berfokus Solusi efektif mengatasi masalah akademik/tugas/kemampuan belajar,
92,1% kemampuan berkomunikasi, 90,2% persaingan antar siswa, 92,1%
kedisiplinan/ kemarahan, 90,1% pengaturan perilaku.
Dibutuhkan kemampuan dalam mencari solusi dari permasalahanpermasalahan yang dialami siswa. Kemampuan intrapersonal dan kemampuan

interpersonal siswa akan berpengaruh cara siswa mengatasi masalahnya. Hal ini
terkait dengan bagaimana siswa menilai kemampuan yang ada dalam dirinya dan
bagaimana kemampuan siswa untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar
dalam mencari solusi dari permasalahannya tersebut.
Dengan melihat gejala stres akademik yang muncul dan dialami oleh
siswa, maka konseling Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi dirancang untuk
membantu siswa dalam mengelola stres akademik dengan meningkatkan
kemampuan intrapersonal siswa dalam menghadapi suatu masalah.
C.

Identifikasi Masalah
Pada praktek pembelajaran di sekolah guru lebih sering menekankan pada
ilmu yang diperoleh oleh siswa sehingga perasaan emosional siswa sering
terabaikan selama proses pembelajaran, pengabaian ini dapat mengakibatkan stres
secara emosional dan timbulnya kesulitan belajar. Dalam situasi tersebut siswa
mungkin akan merasakan hal yang tidak biasa dirasakan seperti tegang, khawatir,
frustasi, depresi dan lain-lain (Chen et al, 2006, dalam Nandamuri & Gowthami,
2013).
Ang dan Huan (2006b, dalam Calaguas 2013) mengidentifikasi bahwa
stres akademik dan tuntutan akademik pada level tertentu menjadi salah satu
faktor yang berkontribusi pada keinginan bunuh diri remaja. Apabila stres yang
dialami oleh siswa tidak dapat terselesaikan dengan baik atau dibiarkan maka
akan bedampak buruk baik bagi siswa secara fisik maupun psikologis.
Li dan Yen (1998, dalam Calaguas 2013) percaya bahwa menjaring siswa
yang memiliki resiko tinggi akan stres akademik dan pelaksanaan kegiatan
konseling bagi remaja dan orang tua sangat penting. Tujuan dari kegiatan
konseling ini adalah sebagai cara untuk mengatasi stres akademik yang dihadapi
siswa. Konseling Singkat Berfokus Solusi dipandang efektif oleh konselor sekolah
untuk mengatasi permasalahan-permasalahan siswa di sekolah termasuk
mengatasi masalah akademik/tugas/kemampuan belajar (Kegley, 2000).

D.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap dan menganaslisis data
empirik mengenai efektivitas Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi untuk
meningkatkan pengelolaan stres akademik siswa kelas VII SMP N 9 Bandung.

E.

Asumsi Penelitian
Asumsi-asumsi dasar yang melandasi penelitian adalah sebagai berikut:
1. Individu yang menghadapi tuntutan sekolah tanpa kemampuan yang
memadai atau kurang optimal akan merespon dengan cara yang maladaptif
(Roberson, 1985: 5).
2. Stres akademik adalah hasil dari kombinasi hal-hal yang terkait dengan
akademik, dimana tuntutan-tuntutan akademik melebihi sumber daya
adaptif individu yang dapat merugikan dan mempengaruhi penyesuasian
diri individu secara keseluruhan (Calaguas, 2011: 63).
3. Individu yang memiliki kemampuan untuk mengatasi stres akan lebih
mungkin untuk beradaptasi dan berfungsi secara kompeten serta dapat
meningkatkan kepercayaan diri saat dihadapkan dengan stres (Santrock,
2007: 27).
4. Konseling singkat berfokus pada solusi, terfokus pada bagaimana individu
mengatasi permasalahannya sekarang dan apa yang akan dilakukan untuk
mengatasi masalahnya tersebut (Kegley,2000)
5. Konseling singkat berfokus pada solusi didasarkan pada asumsi optimis
bahwa setiap individu itu pandai, berkompeten dan memiliki kemampuan
untuk mengkonstruk solusi yang dapat mengubah kehidupan mereka
(Corey, 2012: 425).

F.

Hipotesis Penelitian
Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi efektif untuk meningkatkan
pengelolaan stres akademik siswa kelas VII SMP N 9 Bandung.

G.

Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan membawa pengaruh pada perkembangan
ilmu BK dalam menangani masalah-masalah yang terjadi pada siswa, khususnya
pada perkembangan kompetensi di bidang akademik sehingga siswa dapat secara
efektif mengatasi hambatan-hambatannya dalam belajar.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para
praktisi pendidikan khususnya guru BK dalam mengatasi stres akademik yang
dialami oleh siswa.
Bagi guru Bimbingan dan Konseling penelitian ini dapat membantu untuk
mengatasi stres akademik siswa dengan menggunakan pendekatan Konseling
Singkat Berfokus Solusi.
Bagi siswa penelitian ini dapat membantu untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam mengatasi permasalahan yang dihadapinya termasuk
stres akademik. Dengan melakukan Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi
siswa akan terfokus pada kompetensi dan kemampuan dirinya untuk membangun
sebuah solusi dari masalah secara mandiri.
H.

Ringkasan Tinjauan Teoritis


a. Pengantar
Kata stres diperkenalkan pertama kali pada tahun 1930 oleh Hans Selye.
Selye adalah orang pertama yang mencatat sistem fisiologis manusia ketika
bermain dan menghadapi tantangan (McEwen, 2002: 11, dalam Pereira,2013).
Dari penelitian Selye (1978) menghasilkan kesimpulan bahwa tubuh manusia
memiliki mekanisme yang membantunya dalam menghadapi tantangan atau
tuntutan di depannya. Selye menamakan mekanisme ini sebagai general
adaptation syndrm yang sekarang dikenal dengan kata stress (Pereira, 2013).

b. Konsep Dasar Stres dan Konseling Singkat Berfokus Solusi

a) Definisi Stres
Setiap individu pernah merasakan stres, mulai dari anak hingga orang
dewasa. Tingkatan stres yang dirasakan akan berbeda sesuai dengan bagaimana
individu tersebut mampu menilai situasi di sekitarnya. Lazarus (1984:19)
mendefinisikan stres sebagai berikut:
Psychological stress is a particular relationship between the person and
the environment that is appraised by the person as taxing or exceeding his
or her resources and endangering his or her well-being.
Sedangkan Calaguas (2011) mendefinisikan stres sebagai berikut:
Stress is a peculiar problem in that no one can consistently predict the
amount or kind of stress that can turn an otherwise normal, positive
human situation into one involving an unpredictable, irrational response.
Stres merupakan kondisi psikofisik yang ada (inheren) dalam diri setiap
orang. Pada dasarnya stres dapat dialami oleh semua individu. Stres dapat
berpengaruh positif dan juga negatif. Pengaruh positif yaitu mendorong individu
untuk membangkitkan kesadaran dan menghasilkan pengalaman baru. Sedangkan
yang negatif adalah menimbulkan perasaan-perasaan tidak percaya diri,
penolakan, marah, depresi, dan gangguan fisik lainnya (Yusuf, 2006).
Stres dikatakan sebagai stimulus atau respon. Stres dikatakan sebagai
stimulus yaitu pada saat terjadi suatu hal yang mengancam di lingkungan individu
seperti bencana alam, situasi yang berbahaya, berpenyakit, atau masalah dalam
pekerjaannya. Keadaan seperti ini dapat menjadi ancaman (stresor) bagi individu.
Sedangkan stres dikatakan sebagai respon adalah saat kondisi biologis seseorang
menghadapi stresor yang menyebabkan stres itu sendiri (Lazarus & Folkman,
1984:21).
b) Stres akademik
Stres akademik merupakan situasi dimana anak merasa tidak nyaman,
takut dan khawatir atas tuntutan-tuntutan akademik yang harus dicapainya
sehingga menganggap semua tuntutan tersebut merupakan ancaman atau bahaya
bagi dirinya sendiri. Calaguas (2011) mengatakan stres yang sering dialami oleh
siswa adalah stres akademik. Menurut (Calaguas, 2011) academic stress is the
10

product of a combination of academic related demand that exceed the adaptive


resources available to an individual and academic stress adversely affects the
overal adjusment of student
Desmita (2010: 297) menyatakan stres akademik merupakan stres yang
diakibatkan oleh stresor akademik. Stresor akademik yaitu stres yang bersumber
dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan
belajar. Hasil penelitian telah mengidentifikasi beberapa stresor akademik, yaitu:
terlalu banyak tugas, ketatnya persaingan antar siswa, adanya hubungan yang
tidak baik antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru (Fairbrother &
Warn, 2003 dalam Nandamuri & Gowthami, 2013).
Selain terkait dengan tugas-tugas sekolah dan ujian, stres akademik juga
dapat terjadi karena harapan orang tua yang terlalu tinggi yang mengharuskan
siswa untuk berprestasi tinggi di sekolah tanpa disertai motivasi yang tinggi (Ang
& Huan, 2006).
1. Gejala Stres Akademik
Gejala dari stres akademik yang dialami anak (siswa) menurut Calaguas
(2011) adalah sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)

Emotional disabilities (Ketidakmampuan emosional)


Agressive behavioral (Memiliki perilaku yang agresif)
Shyness (Memiliki sifat pemalu yang tinggi)
Social phobia (Fobia sosial)
Often lack of interest in otherwise enjoyable activites (Tidak memiliki
minat dalam aktivitas selain yang menyenangkan dirinya)

Kelima poin tersebut merupakan tanda-tanda umum dari stres akademik


yang sudah didokumentasikan oleh beberapa peneliti mengenai stres yang dialami
oleh siswa.
Tidak mudah mengenali siswa yang mengalami stres. Perubahan perilaku
dalam jangka pendek seperti suasana hati (mood), acting out, perubahan pola
tidur, bisa menjadi indikator stres pada siswa (Blizzard, 2013). Beberapa siswa
mengalami efek secara fisik dari stres yang dirasakannya, seperti sakit perut dan
sakit kepala. Siswa lainnya memiliki masalah dengan konsentrasi atau
mengerjakan tugas sekolah (PR). Ada juga siswa yang menarik diri dari
11

lingkungan atau menghabiskan banyak waktunya sendirian. Pada waktu lain siswa
mungkin akan mulai berbohong dan menggeretak, serta dapat menentang otoritas
(Blizzard, 2013).
Sejalan dengan Blizzard, Frank (Kusz, 2009) mengidentifikasi siswa yang
mengalami stres: secara fisik, tubuh dapat bereaksi dalam berbagai cara, seperti
penglihatan kabur, sakit kepala, otot tegang, sakit punggung, tangan dan kaki
terasa dingin, nyeri dada, jantung berdenyut lebih cepat, mulut kering, sakit perut,
masalah pencernaan, dan berkeringat. Gejala lain juga ditunjukkan melaui
perubahan perilaku dan emosional pada siswa, sperti perubahan pola tidur, pola
makan, gelisah, kehilangan minat dalam kegiatan yang biasa dilakukan, merasa
tidak berharga, rendah diri, memiliki self-eficacy yang buruk, sulit berkonsentrasi,
mudah marah, mudah lelah, menarik diri, penyalah gunaan obat, memunculkan
performa yang buruk di sekolah, hiperaktif, mimpi buruk, perilaku agresif,
khawatir berlebihan, amarah yang tidak terkontrol, dan yang terakhir adalah
depresi.
2. Faktor Penyebab Stres Akademik
Banyak hal yang dapat membuat orang menjadi stres. Tak terkecuali dalam
hal akademik, siswa mengaku bahwa stres akademik berasal dari proses belajar
untuk menghadapi ujian dan kompetisi yang ketat di kelas serta kemampuan
untuk menguasai materi yang banyak dalam waktu yang singkat (Abouserie,
1994; Kohn & Frazer, 1986 dalam Misra & Castillo, 2004). Tad (Sudiana, 2007)
menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan stres akademik, diantaranya
adalah: aspek kognitif, lingkungan sekolah, dan elemen sekolah.
1) Aspek Kognitif
Lemahnya kemampuan intrapersonal siswa mengenai penilaian pada diri
siswa. Siswa memiliki pemikiran bahwa dirinya tidak mampu mengatasi tuntutantuntutan akademik yang menimbulkan tindakan yang menyimpang, seperti:
kebiasaan menunda, kelemahan dalam pengambilan keputusan, kecenderungan
lupa atau lemahnya daya ingat, kesulitan untuk berkonsentrasi, kehilangan

12

harapan, berfikir negatif, berputus asa, menyalahkan diri sendiri, dan


kebingungan.
2) Aspek Lingkungan Sekolah
Lokasi Sekolah. Lokasi sekolah yang menimbulkan stres pada siswanya
antara lain : jarak yang jauh dengan tempat tinggal, dekat dengan pusat
keramaian, sering terjebak kemacetan, dan rawan kejahatan.
Kondisi Sekolah. Kondisi ruangan yang kurang memadai, seperti ruangan
yang terlalu sempit, penerangan yang kurang baik, ruangan yang kotor, ventilasi
yang kurang dan suasana yang gaduh dapat menyebabkan stres pada siswa.
Fasilitas sekolah yang tidak lengkap, seperti tidak tersedianya lapangan untuk
bermain, dapat menimbulkan stres pada siswa karena dengan bermain dapat
melepaskan ketegangan yang dialami selama dikelas. Kondisi kelengkapan sarana
umum seperti WC, telepon umum, dan fotokopi dapat menyebabkan siswa
mengalami kesulitan saat berada di sekolah sehingga dapat memicu stres.
3) Elemen Sekolah
Guru. Sifat pribadi guru yang dapat memicu stres pada siswanya antara
lain kasar, suka marah, kurang senyum, suka membentak, sinis, atau sombong,
acuh, dan tidak adil. Sifat pribadi guru yang demikian dapat menyebabkan ketidak
nyamanan dan ketidakharmonisan antara guru dengan siswa.
Siswa. Suasana atau kondisi di sekolah selalu diwarnai oleh kompetisi
diantara siswa. Bagi yang mampu mengelola stres, ia akan selalu terpacu dan
terdorong oleh keadaan demikian, namun bagi siswa yang kurang bisa mengatasi
keadaan tersebut maka akan menjadi suatu tekanan. Hubungan antar siswa di
kelas yang kurang hamonis dapat menimbulkan ketidaknyamanan misalnya
seperti kekerasan, saling mengejek, suka mengganggu, pembuat onar, egois,
sombong dan tidak adil.
Kurikulum. Bahan pelajaran yang berstandar tinggi atau sulit, pemadatan
materi, serta pelajaran tertentu seperti pelajaran eksakta, dapat menjadi sumber
stres bagi siswa.

13

Tugas-tugas Sekolah. Tugas-tugas yang terlalu banyak dan juga sulit, dapat
memicu terjadinya stres dikalangan siswa, hal tersebut disebabkan tuntutan yang
dihadapinya tidak didukung oleh sumber daya yang dimilikinya.
Ulangan. Stres sering diartikan lebih sempit sebagai perasaan terancam
yang disertai usaha-usaha yang bertujuan untuk mengurangi ancaman-ancaman
yang datang. Bagi kebanyakan siswa, ulangan menimbulkan ancaman kegagalan
yang berusaha diatasi dengan belajar. Pada situasi ujian, sebagian besar dari
mereka lupa atas apa yang telah mereka pelajari. Ketegangan dapat dijadikan
salah satu alasannya karena siswa cemas akan kegagalan dalam ujian.
Kegiatan Ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler yang padat dan banyak
dapat menjadi sumber stres, hal ini dikarenakan siswa tidak memiliki waktu yang
cukup untuk beristirahat untuk melepaskan ketegangan fisik dan psikologisnya.
c) Stres Akademik Berdasarkan Penilaian Kognitif (Cognitive
Appraisal)
Penilaian kognitif dapat dikatakan sebagai cara individu
dalam menilai situasi atau kejadian di sekitarnya secara kognitif.
Lazarus & Folkman (1984) mendefinisikan penilaian kognitif
sebagai

suatu

proses

pengkategorian

situasi

dengan

mempertimbangkan berbagai aspek yang berhubungan dengan


kesejahteraan

individu.

Siswa

yang

memiliki

kemampuan

penilaian kognitif yang kurang sesuai dengan situasi yang


sebenarnya mengakibatkan siswa berpotensi mengalami stres
akademik. Pada dasarnya setiap siswa memiliki penialain kognitif
yang berbeda satu sama lain, sehingga tingkat stres akademik
yang dialami oleh siswa pun akan beragam.
Lazarus & Folkman (1984, dalam (Nurmalasari, 2011) mengemukakan
beberapa hal penting yang mendasari konsep penilaian kognitif, yaitu:
1

Proses kognitif adalah proses yang mengantarai terjadinya interaksi


individu dengan lingkungan terhadap munculnya reaksi.

14

Untuk mempertahankan diri dan berkembang, siswa harus bisa


membedakan situasi yang menyenangkan dan situasi yang membahayakan
dirinya. Proses pembedaan bersifat kompleks dan bergantung pada sistem
kognitif. Dengan demikian melalui penilaian kognitif siswa dapat melihat
suatu situasi sebagai ancaman atau sebuah tantangan.
Penilaian kognitif yang dikemukan oleh Lazarus & Folkman (1984:31)

dibedakan menjadi penilaian primer (primal appraisal) dan penilaian sekunder


(sekunder appraisal). Kedua penilaian ini tidak bisa dipisahkan karena saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan kedua penilaian
tersebut membentuk derajat stres serta kualitas atau kekuatan reaksi emosional
(Nurmalasari, 2011).
1. Penilaian Primer (Primal Appraisal)
Penilaian primer (primary appraisal) adalah proses penilaian pada saat
mendeteksi suatu kejadian potensial yang menyebabkan stress (Lazarus, 2006, dalam
Anonim, 2013). Proses penilaian primer terjadi untuk menentukan derajat
penghayatan siswa terhadap situasi atau stimulus yang dihadapi. Pengkategorian
dilakukan untuk memperhitungkan derajat ancaman serta hasil kemampuan yang
dimiliki dalam mengatasi situasi tersebut. Penilaian primer dapat dibedakan menjadi
tiga (Lazarus, 1984:32), yaitu:

Irrelevant, yaitu saat stimulus atau situasi tidak berpengaruh terhadap

kesejahteraan diri siswa, dan dapat diabaikan.


Being-positive, yaitu saat stimulus atau situasi yang terjadi dinilai

berpengaruh positif terhadap kesejahteraan siswa.


Stressful, yaitu saat stimulus atau situasi yang terjadi menimbulkan
harm/lost, threat, dan challange.

2. Penilaian Sekunder (Sekunder Appraisal)


Penilaian sekunder merupakan penilaian yang lebih dari excercise
intellectual saja. Penilaian sekunder merupakan proses yang kompleks dalam
memperhitungkan penyelesaian masalah dari perhitungan pilihan yang ada

15

sehingga strategi yang dipilih siswa merupakan strategi efektif dalam mengatasi
masalah (Lazarus & Folkman, 1984).
Penilaian

pada

diri

siswa

menunjukkan

kemampuan

intrapersonalnya.

Kemampuan intrapersonal adalah ketika individu dapat menilai dan memahami


mengenai potensi dan kekuataun yang dimilikinya. Semakin baik intrapersonal
siswa maka akan semakin baik pula penilaiannya terhadap diri sendiri. sebaliknya,
Semakin rendah kemampuan intrapersonal siswa maka akan semakin rendah juga
siswa mengenali kemampuan dan kekuatan yang dimiliki oleh dirinya sendiri
d) Konsep Dasar Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi
Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi merupakan salah satu pendekatan
konseling yang menekankan pada kemampuan konseli dan fokus terhadap solusi
dari sebuah masalah (de Shazer, 1988; OHanlon & Winer Davis, 1989, dalam
Jacobs 2009). Dalam Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi ini lebih
menunjukkan kepada bagaimana siswa dapat menggunakan kemampuan dan
sumber daya yang dimilikinya untuk menentukan sebuah solusi menuju arah
perubahan sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Konseling Singkat Berfokus
Pada Solusi memiliki waktu yang singkat dan terstruktur dalam mengintervensi
konseli untuk memecahkan masalahnya. Karena itu, Konseling Singkat Berfokus
menitikberatkan pada kompetensi siswa untuk melakukan perubahan dalam
menemukan solusi dari permasalahannya.
Urutan perubahan perilaku dalam pendekatan Konseling Singkat Berfokus
sebagai berikut (Downing & Harrison, 1992, dalam Kegley, 2000):
1
2

Konseli menentukan masalah yang harus segera ditangani


Konseli mengidentifikasi perubahan-perubahan atau coping goals yang

3
4

berhubungan dengan masalahnya


Konseli ditugaskan untuk mencari exception problem
Konseli ditugaskan untuk mengidentifikasi kekuatan dalam behavior

repertoire
Menekankan pada membantu konseli dalam mengembangkan dan
melaksanakan rencana agar dapat lebih sukses dalam mengatasi
masalahnya secara spesifik.

16

1. Tujuan
Tujuan dari Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi adalah untuk
meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi tantangan serta mengatasi
tekanan, hambatan dan permasalahan hidupnya terutama secara lebih positif dan
konstruktif (Dahlan, 2008). Dalam konteks stres akademik tujuan yang ingin
dicapai adalah kesuksesan akademik siswa dengan meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengahadapi tantangan dan serta mengatasi permasalahan akademik
secara lebih efektif. Tantangan dan permasalahan akademik bagi siswa berupa
stresor-stresor akademik. Secara spesifik diuraikan sebagai berikut:
1) Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi mengubah cara pandang
konseling pada situasi yang dianggap sebagai gangguan. Pada stres
akademik situasi yang dianggap gangguan adalah situasi mengancam bagi
individu akibat tidak siap memenuhi segala tuntutan akademik, seperti saat
akan menjelang ujian, mengumpulkan tugas, dan lain-lain.
2) Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi mengubah situasi masalah dan
menekankan pada kekuatan dan sumber daya yang dimiliki konseli. Siswa
yang mengalami stres akademik diajak untuk lebih menonjolkan
kemampuan-kemampuan positif yang lebih membangun (konstruktif)
dalam dirinya untuk mengatasi permasalahan.
3) Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi mendorong konseli untuk terlibat
dalam perubahan atau solution talk daripada problem talk dengan asumsi
apa yang dibicarakan adalah sebagian bersar apa yang dihasilkan. Siswa
secara langsung dibimbing untuk berbicara mengenai langkah-langkah apa
yang dapat dilakukan sebagai bentuk solusi dari permasalahan.
4) Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi berbicara mengenai perubahan
dan dapat menghasilkan perubahan. Perubahan yang dihasilkan merupakan
hasil kompetensi yang dimiliki oleh siswa dalam mengatasi masalahnya.
2. Prinsip dan Teknik
Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi dapat diaplikasikan baik dalam
setting

kelompok

maupun

individual.

Saadatzaade

dan Khalili

(2012)

17

menguraikan strategi khusus yang dapat digunakan konselor dalam Konseling


Singkat Berfokus Pada Solusi.
1)

The real pry.

2)

Speaking in client language.

3)

Embossing abilities and potentials.

4)

Commending client.

5)

Considering changes.

6)

Focused on here and now.

7)

Instructing optimize.

8)

Looking for exceptions to the problem.

9)

Miraculous question.

10) Qualifying the accurate, accessible, and


11) measurable goals.
12) Codifying and adjusting the purpose more
13) accurately.
14) Assigning homework tasks;
15) Looking for strengths or solutions;
16) Goal-setting;
Konselor dalam Konseling Singkat Berfokus Solusi memberikan perhatian
lebih pada kedekatan pada saat konseling dan meyakinkan bahwa sesi konseling
mengikuti prinsip-prinsip yang sudah diuraikan. Konselor menggunakan prinsip
tersebut pada konseli agar konseli terfokus dalam kolaborasi dan mencari solusi,
artinya antara konselor dan konseli secara konstruktif mencari kemungkinan
solusi dan keuntungannya dibandingkan fokus pada masa lalu (Jacobs, 2009:
319).
Metcalf (1995, Kegley 2000) menyebutkan Konseling Singkat Berfokus
Solusi memiliki keyakinan bahwa mengeksplorasi secara mendalam mengenai
penyebab masalah tidak diperlukan untuk membantu siswa mencapai tujuannya,
ini menunjukkan bahwa tidak penting untuk mengetahui segala sesuatu tentang
keluhan yang ada pada diri konseli untuk sebuah perubahan, karena masalah yang

18

kompleks tidak selalu membutuhkan solusi yang kompleks pula. Konselor harus
selalu berusaha untuk melihat situasi melalui sudut pandang konseli, karena akan
berpengaruh terhadapat keaktivan konseli selama sesi konseling dan mengurasi
rasa frustasi konseli.
Terdapat beberapa pertanyaan yang dapat digunakan sebagai acuan
konselor dalam melaksanakan konseling. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
bertujuan untuk membuat konseli paham mengenai tujuan dan kekuatan yang
dimiliki serta membantu konseli untuk fokus pada kemungkinan terjadinya
perubahan (Jacobs, 2009).
1

Miracle question. Pertanyaan yang mengarahkan konseli untuk berimajinasi apa


yang akan terjadi jika masalah yang dihadapinya secara ajaib terselesaikan.
2

Excaptions question. Pertanyaan yang mengarahkan konseli untuk


memikirkan ketika dirinya merasa tidak memiliki masalah. Karena
masalah yang dihadapinya sekarang sebenarnya bukanlah sebuah masalah.
Excaptions question mendorong konseli untuk memikirkan masalahnya
secara berbeda; pertanyaan ini berfokus pada membuat perubahan yang
akan membantu konseli untuk menggapai tujuannya.

Scaling question. Pertanyaan ini berupa angka karena beberapa konseli


sulit mengekspresikannya dengan kata-kata. Scaling question membantu
konseli untuk menilai kesiapan dan keyakinan siswa bahwa dirinya dalam
mencari solusi atau tujuan.

Coping question. Pertanyaan yang meminta konseli mengemukakan


pengalaman sukses dalam menangani masalah yang dihadapi dan
kemungkinan negatif yang akan terjadi. Tujuan dari coping question
adalah untuk meningkatkan kesadaran konseli akan usaha yang diperlukan
untuk mengatasi masalah yang sama di kemudian hari serta pengakuan
terhadap usahanya sehingga konseli menyadari bahwa dirinya telah
melakukan sesuatu untuk mengatasi permasalahan.
Setiap pertanyaan yang diajukan akan membantu konseli untuk fokus

terhadap solusi dari permasalahan mereka bukan hanya membiarkan masalahnya


begitu saja (Jacobs, 2009: 321)

19

c. Kesimpulan
Stres yang terjadi pada individu merupakan akibat dari adanya tuntutan
lingkungan yang dianggap berlebihan oleh diri individu itu sendiri. penilaian
terhadap situasi akademik sangat mempengaruhi pada tingkatan stres. Stres
akademik merupakan sumber stres yang berada dalam setting sekolah yang
merupakan hambatan belajar serius yang dapat dialami oleh siswa. Stres akademik
memberikan pengaruh negatif pada siswa. Terfokusnya pembelajaran terhadap
penyampaian ilmu dan hasil belajar berbentuk nilai membuat kondisi psikologis
siswa terabaikan selama pembelajaran, baik itu perasaan senang, tertekan, jenuh
dan bosan seringkali tidak dihiraukan. Stres akademik yang dialami siswa akan
terus menekan kondisi siswa hingga saat siswa tidak mampu bertahan lagi dengan
stres yang dialaminya. Hal tersebut akan tampak dalam performa akademiknya
yang menurun serta gejala sakit fisik yang dirasakannya.
Konseling Singkat Berfokus pada Solusi dapat dijadikan alternatif untuk
penyelesaian masalah siswa, hal ini dikarenakan Konseling Singkat Berfokus pada
Solusi

lebih

menekankan

pada

bagaimana

siswa

dapat

mengatasi

permasalahannya dengan melihat kemampuan yang ada dalam diri sendiri.


pemecahan yang terfokus pada solusi dirasa lebih cepat dalam menyelesaikan
suatu masalah. Dengan membantu siswa menggali potensi yang dimilikinya untuk
mengatasi stres akademik, maka siswa akan memiliki keterampilan baru dalam
mengelola stres akademik jika stresor-stresor akademik muncul kembali.
I. Metodologi
a.

Pendekatan dan Metode Penelitian


Penelitian mengenai efektivitas Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi
untuk meningkatkan pengelolaan stres akademik siswa kelas VII SMP N 9
Bandung menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain eksperimen tunggal
(single subject design).
b.

Lokasi dan Subjek Penelitian

20

Lokasi penelitian dilaksanakan di SMP N 9 Bandung. Populasi dalam


penelitian ini adalah siswa-siswi SMP N 9Bandung, sedangkan sampel penelitian
ini adalah kelas VII SMP N 9 Bandung tahun ajaran 2013-2014. Sampel
penelitian menggunakan non-probability sample dengan teknik purposive
sampling, dimana hanya siswa yang mengalami stres akademik tinggi yang
mendapat perlakuan.
Pertimbangan dalam menentukan populasi penelitian adalah sebagai
berikut:
1.

Siswa kelas VII adalah siswa yang berada pada usia remaja awal yang
mengalami peralihan dari masa kanak-kanak akhir menuju masa remaja awal.

2.

Siswa kelas VII adalah individu yang sedang mengalami perubahan baik
secara fisik maupun psikologis.

3.

Siswa kelas VII mengalami perubahan pola sosial dan lingkungan sekolah
dari sekolah dasar ke sekolah menengah.
c.

Sampel Penelitian
Sampel penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive

sampling, dimana hanya siswa yang mengalami stres akademik tinggi pada yang
mendapat perlakuan.
c. Definisi Operasional Variabel
1. Stres Akademik
Stres akademik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah reaksi siswa
kelas VII SMP N 9 Bandung terhadap adanya ketidaksiapan menghadapi tuntutantuntutan akademik dari lingkungan sekolah baru yang dinilai siswa sebagai
ancaman dan beban yang melebihi kemampuan dirinya. Ketidakmampuan dan
ketidaksiapan siswa dalam menghadapi tuntutan akademik mempengaruhi kondisi
siswa baik secara fisik maupun psikologis. Hal ini ditandai dengan gejala fisik,
perilaku, pikiran, dan emosi.
1) Fisik: denyut jantung meningkat, sakit kepala, otot tegang, sering buang
air kecil, memegang benda dengan sangat erat, tangan terasa lembab dan

21

dingin, berkeringat dingin, tenggorokan terasa kering, sulit untuk


menghela nafas panjang, sakit perut, kelelahan fisik, tubuh tidak mampu
istirahat dengan maksimal.
2) Perilaku: menggerutu, sulit tidur, suka menyendiri, suka berbohong,
gugup, membolos, tidak mampu menolong diri sendiri, mengambil jalan
pintas, sulit mendisiplinkan diri,
3) Pikiran: mudah lupa, tidak

bisa

menentukan

prioritas,

merasa

kebingungan, sulit berkonsentrasi, berpikir tidak ada solusi dalam


masalahnya (buntu), prestasi menurun, kehilangan harapan, berpikir
negatif di segala situasi, jenuh (merasa tidak menikmati hidup), merasa
diri tidak memiliki kemampuan apa-apa.
4) Emosi: gelisah, mudah marah, takut, merasa diabaikan, mudah
tersinggung, tidak merasa puas, merasa tidak bahagia, cemas, mudah
panik, memperlihatkan perasaan negatif dengan cara yang negatif pula
(meledak-ledak).
2. Konseling Singkat Berfokus Pada Solusi
Pendekatan konseling singkat berfokus pada solusi merupakan salah satu
upaya dalam mengatasi permasalahan yang berfokus pada solusi (solution talk).
Konseling singkat berfokus pada solusi menitik beratkan pada perubahan perilaku
yang akan dilakukan oleh konseli dalam menghadapi permasalahannya. Secara
Kolaboratif konseli aktif merancang dan merencanakan apa yang akan dilakukan
dengan difasilitasi oleh konselor dalam mengidentifikasi kemampuan-kemampuan
yang ada dalam diri konseli dan menentukan tujuan yang ingin dicapai selama sesi
konseling. Proses konseling untuk menyelesaikan masalah konseli dilakukan
melalui pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan konselor dengan maksud dan
tujuan yang ingin dicapai selama sesi konseling, pertanyaan tersebut meliputi: (a)
miracle question (b) exception question (c) scaling question (d) coping question.
e.

Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah adaptasi dari angket

yang dikembangkan oleh Yuli Nurmalasari, (2011) mengenai Gejala Stres


Akademik. Butir-butir pernyataan dalam instrumen merupakan gambaran tentang
22

gejala stres akademik pada siswa. Angket menggunakan skala bertingkat yaitu
sering (S), kadang-kadang (KK), tidak pernah (TP).
Hasil pengujian validitas instrumen gejala stres akademik yang dilakukan
oleh pengembang instrumen menunjukkan dari 66 item pernyataan yang disusun
didapatkan 64 item dinyatakan valid pada tingkat kepercayaan 95%, sedangkan
hasil uji reliabilitas diperoleh koefisien reliabilitas sebesar 0.93 (sangat tinggi).
Dengan demikian instrumen berupa angket yang dikembangkan oleh Yuli
Nurmalasari mengenai Gejala Stres Akademik dapat digunakan oleh peneliti.
f.

Analisis Data
Dalam menganalisis data yang diperoleh dari angket gejala stres akademik

dilakukan pengujian menggunakan software statistical product and service


solutions (SPSS). Untuk menguji efektifitas Konseling Singkat Berfokus Solusi
pada siswa menggunakan uji t. Analisis juga dilakukan dengan pola A-B dimana
perubahan yang terjadi pada diri sampel akan ditinjau setiap setelah diberikan
konseling.
A

o-o-o-o-o-o- -x-x-x-x-x-x
baseline

treatment
Creswell h.244

Gambar Rancangan Subjek Tunggal A-B

I.

Agenda Kegiatan
(terlampir)

J.

Refensi

23

You might also like