You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis berasal dari dua kata bahasa greek rhin/rhino (hidung) dan
itis (radang). Demikian rinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang
selaput lendir (membran mukosa) hidung. Berdasarkan etiologi atau penyebabnya
rinitis dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu rinitis alergi, rinitis nonalergi dan rinitis karena infeksi. Rinitis non-alergi contohnya adalah rinitis
vasomotor dan rinitis medikamentosa, sedangkan rinitis karena infeksi contohnya
adalah rinitis atrofi, rinitis hipertrofi, rinitis simpleks, rinitis difteri, rinitis jamur,
rinitis tuberkulosa dan rinitis sifilis.1
Rinitis atrofi atau disebut juga ozaena merupakan infeksi hidung kronik,
yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang konka,
serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang
kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Orang
disekitar penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut sedangkan
penderita sendiri tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.1
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering terjadi
pada wanita, terutama pada usia pubertas dan dewasa muda. Penelitian yang
dilakukan oleh Baser dkk3 dan Jiang dkk4 mendapatkan hasil terdapat 15 wanita
dan 12 laki-laki penderita ozaena. Samiadi3 mendapatkan hasil, terdapat 4
penderita ozaena wanita dan 3 penderita ozaena laki-laki. Menurut Boies 5
perbandingan frekuensi penderita rinitis atrofi pada wanita : laki-laki adalah 3 : 1.

Di RS H. Adam Malik dari bulan Januari tahun 1999bulan Desember tahun 2000
ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 laki-laki, umur berkisar dari
10-37 tahun.2,3,4
Etiologtinya multifaktorial dan patogenesisnya hingga saat ini masih
belum dapat diterangkan secara pasti. Oleh karena etiologinya multifaktorial,
maka pengobatanya pun belum ada yang baku. Pengobatan ditunjukan untuk
mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat
bersifat konservatif atau jika tidak dapat menolong dapat dilakukan pembedahan.1

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan perdarahan serta persarafan, serta fisiologi hidung. Hidung
1)
2)
3)
4)
5)
6)

luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :7


Pangkal hidung (bridge)
Batang hidung (dorsum nasi)
Puncak hidung (hip)
Ala nasi
Kolumela
Lubang hidung (nares anterior)
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior, tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang
yang

disebut

vibrise.

Sedangkan

nares

posterior

(koana)

yang

menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai


empat buah dinding, yaitu dinding lateral, medial, inferior dan superior.7,9

Gambar 1. Anatomi Hidung


Dinding medial hidung adalah kavum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah :7
1) Lamina perpendikularis os. Ethmoid
2) Vomer
3) Krista nasalis os. Maxilla
4) Krista nasalis os. Palatine
Bagian tulang rawan adalah :9
1) Kartilago septum (kuadrangularis)
2) Kolumela

Gambar 2. Kartilago Septum nasi

Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah
konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi
konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya
rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi
yang jumlahnya tiga buah, yaitu : meatus inferior, meatus media dan meatus
superior.9
Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka
media dan dinding lateral rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis,
sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada meatus superior yang
nerupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.7,9

Gambar 3. Konka Nasi


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os.
Maksila dan os. Palatum. Dinding superior atau ataphidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari
5

os. Ethmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat


masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os. Sphenoid.7
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional
dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu
(mukosa olfaktori). Mukosa pernapasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar
berlapis yang mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Gangguan pada
fungsi silia menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat.8
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a. etmoid anterior
dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris
interna, diantaranya ialah ujung a. palatina mayor dan a. sfenopalatina.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang a. fasialis.7
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.
sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior dan a. palatina mayor
yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan
berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. Oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katub, sehingga merupakan
faktor predisposisi untuk mudahnya penyebab infeksi sampai ke intrakranial.7

Gambar 4. Pleksus Kiesselbach


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang
berasal dari n. oftalmikus (n. V-1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n. maksila melalui ganglion sfenopalatina.7
Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut dari n. maksila (n. V-2), serabut parasimpatis
dari n. petrosus superfisialis mayor, dan serabut saraf simapatis dari n.
petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak dibelakang dan sedikit di
atas ujung posterior konka media.7
Fungsi penghidu berasal dari n. olfaktorius saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung.7

Gambar 5. Nervus Olfaktorius

2.2

Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional.
Fungsi hidung dan sinus paranasal adalah :7
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur
yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut
(vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lendir.
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
3) Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Sumbatan
hidung dapat menyebabkan resonansi berkurang dan hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka serta
palatum mole turun untuk aliran udara.
8

4) Fungsi statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi


terhadap trauma dan pelindung panas
5) Refleks nasal, mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi
mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. 8
Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung
dan pankreas.
Ketika seseorang mencium sesuatu, substansi kimia yang berbau
(odorant) masuk ketika udara naik ke lubang hidung luar (nares), ketika
odorant sampai di atas membran mukosa olfaktorius, odorant berikatan
dengan olfaktorius reseptor protein pada olfactory hairs. Setelah olfaktorius
reseptor protein berikatan dengan odorant, olfaktori reseptor sel berpasangan
dengan protein G dan mengaktifkan enzim adenilat siklase dan dihasilkan
cAMP yang merangsang pembukaan kanal Na+ dan K+ sehingga terjadi
perpindahan ion-ion yang menimbulkan depolarisasi dan terbentuknya
potensial aksi. Kemudian potensial aksi disalurkan sepanjang reseptor
olfaktorius, dari reseptor olfaktorius dihantarkan ke nervus olfaktorius, bulbus
olfaktorius dan berjalan sepanjang traktus olfaktorius sampai ke daerahdaerah di sistem limbik, khususnya di sisi medial bawah lobus temporalis
(yang di anggap sebagai korteks olfaktorius primer).

Gambar 6. Fisiologi Hidung

2.3

Definisi Rinitis Atrofi


Rinitis atrofi atau disebut juga ozaena merupakan infeksi hidung
kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa hidung dan
tulang konka, serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk
krusta yang berbau busuk. Karakteristiknya adalah adanya atrofi mukosa dan
jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai krusta yang
berbau khas (busuk). Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia
epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia
menghilang, lapisan submukosa menjadi lebih tipis dan kelenjar-kelenjar
berdegenerasi.1,2,3

10

Gambar 7. Rinitis Atrofi

2.4

Etiologi
Penyebab pasti dari rinitis atrofi (ozaena) belum diketahui secara jelas
sampai sekarang. Terdapat berbagai teorimengenai penyebab rinitis atrofi dan
penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter.
Namun ada beberapa teori dan keadaan yang di anggap berhubungan dengan
terjadinya rinitis atrofi (ozaena), yaitu:1,4,5
1) Infeksi oleh kuman spesifik. Kuman yang paling sering ditemukan adalah
spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman ini menghentikan
aktivitas silia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan
Klebsiella,

kuman

spesifik

penyebab

antara

lain

Stafilokokus,

Streotokokus, Pseudomonas aeruginosa, kokobasilus, Bacillus mucosus,


2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)

Diphteroid bacilli dan Cocobacillus foetidus ozaena.


Defisiensi Fe
Defisiensi vitamin A
Infeksi sekunder, misalnya sinusitis kronis
Kelainan hormonal, misalnya ketidakseimbangan hormon esterogen
Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun
Teori mekanik dari zaufal
Ketidakseimbangan otonom, terjadi perubahan neurovaskular seperti

deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.


9) Variasi dari Refleks Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)
10) Herediter

11

11) Supurasi hidung dan paranasal


12) Golongan darah
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas :
rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui (multifaktorial) dan
rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung dan
radioterapi) atau infeksi hidung kronis yang disebabkan oleh sifilis, lepra,
midline granuloma, rinoskleroma dan TBC. Radiasi pada hidung umumnya
segera merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir
selalu menyebabkan rinitis atrofi. Berbagai infeksi seperti eksantema akut,
scarlet fever, difteri dan infeksi kronik juga dapat menyebabkan terjadinya
cedera pembuluh darah submukosa dan menyebabkan rinitis atrofi. Faktor
lingkungan juga diduga berpengaruh, hal ini dibuktikan dari angka insiden
2.5

yang lebih tinggi pada masyarakat sosial ekonomi rendah.2,4


Klasifikasi
Menurut dr. Spencer Watson,8 rinitis atrofi dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu berdasarkan gejala klinis dan berdasarkan penyebab atau
etiologinya. Berdasarkan gejala klinis, rinitis atrofi dibedakan menjadi :10
1) Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan
mudah ditangani dengan irigasi.
2) Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang
berbau.
3) Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis,
ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Sedangkan berdasarkan penyebab atau etiologinya, rinitis atrofi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut :10,11
1) Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang
didiagnosis pereklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung
atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella

12

ozenae. Dengan kata lain, rinitis atrofi primer adlah rinitis atrofi yang
terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
2) Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang paling sering di temukan
di negara berkembang. Rinitis atrofi sekunder merupakan komplikasi dari
suatu tindakan atau penyakit. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus,
radiasi, trauma serta penyakit granuloma dan infeksi.
2.6

Patogenesis
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasia epitel kolumner
bersilia menjadi epitel skuamos atau atrofik dan fibrosis dari tunika propria.
Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran serta
adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu
secara patologi, rinitis alergi dapat dibagi menjadi dua :2
1) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriol terminal akibat
infeksi kronik, membaik dengan efek vasodilator dari terapi esterogen.
2) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah buruk dengan
terapi esterogen.
Sebagian besar kasus rinitis atrofi merupakan tipe I. Endarteritis di
arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukos, juga akan
ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young2 mendapatkan sel
endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukan adanya
absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka
menyebabkan saluran nafas menjadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan
teori proses autoimun.2,12
Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan
surfaktan protein A. defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama

13

menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang


abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan
mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan
menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya
mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan
dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium
yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.2,12
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (ozaena),
yaitu :5
1) Mukosa hidung berubah menjadi lebih tipis
2) Silia hidung akan menghilang
3) Pada epitel hidung akan terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak
silia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis
4) Kelenjar hidung akan mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya mengecil)
atau jumlahnya berkurang.
2.7

Gejala klinis
Keluhan rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat,
gangguan penciuman (anosmia), ingus kental yang berwarna hijau, adanya
krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa
kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya
napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) sehingga pasien
sendiri

kadang

tidak

merasakannya,

sedangkan

orang

lain

yang

penciumannya normal yang biasanya akan terganggu dengan bau tersebut.1,2


Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak
ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas menjadi lebar
atau lapang, pasien merasakan sumbatan yang semakin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur

14

perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls sendorik dari mukosa


hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.2,3,5,6
2.8

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan
rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam. Jika
krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka
nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret
purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga
ditemui ulat atau telur larva (karena bau busuk yang timbul).2,5
Sutomo dan Samsudin3 membagi ozaena secara klinik dalam tiga
tingkat :2
1) Tingkat I

: Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan

berlendir, krusta sedikit.


2) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering,
warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
3) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta
di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini
mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya
pertama mengenai mukosa hidung, tampak beberapa daerah metaplasia yang
kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia dan terbentuk
krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan
pendarahan.4
Atrofi tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih
besar, namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung. Secara perlahan

15

keadaan ini akan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan


semakin tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara
fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan akan semakin menyeluruh.
Jaringan diserkitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago, otot
dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan krusta dan
iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring, hipofaring dan
laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius, berakibat
efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang tidak
2.9

diharapkan pada aparatus lakrimalis termasuk keratitis sicca.2,4


Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis pada kasus rinitis atrofi (ozaena) antara lain :5,6
1) Transiluminasi
2) Foto rontgen, yaitu foto sinus paranasal
3) Tomografi komputer (CT Scan) sinus paranasal
4) Uji resistensi kuman
5) Pemerikasaan darah tepi
6) Pemeriksaan Fe serum
7) Pemeriksaan serologi darah
8) Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konja media. Dari
pemeriksaan histopatologi dapat terlihat mukosa hidung menjadi semakin
tipis, silia menghilang, metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel
kubik atau gepeng berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya
berkurang dan bentuknya mengecil.

2.10

Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaaan penunjang lain seperti
pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan

16

histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.2
2.11 Diagnosis banding
Diagnosis banding dari rinitis atrofi (ozaena) antara lain :5
1) Rinitis kronik TBC
2) Rinitis kronik lepra
3) Rinitis kronik sifilis
4) Rinitis sika
2.12

2.13

Komplikasi
Komplikasi dari rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :6
1) Perforasi septum
2) Faringitis
3) Sinusitis
4) Miasis hidung
5) Hidung pelana
Penatalaksanaan dan Pencegahan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofi hanya bersifat
paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk,
terapi sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik,
vasodilator, pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol, serta
salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usahausaha langsung mengecilkan rongga hidung, sehingga dengan demikian juga
memperbaiki suplai darahke mukosa hidung.4
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum
ada yang baku. Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi faktor etiologi
atau penyebabnya dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan
dapat bersifat konservatif atau kalau tidak dapat menolong dilakukan
operasi atau pembedahan.2,5
1. Pengobatan Konservatif

17

Pengobatan konservatif ozaenameliputi pemberian antibiotik, obat cuci


hidung dan pengobatan simptomatik untuk menghilangkan gejala,
diantaranya adalah sebagai berikut :1,2
a. Antibiotik spektrum luas atau sesuaidengan uji resistensi kuman,
dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang. Lama
pengobatan bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klinis berupa
sekret purulen kehijauan. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang
baik pada pengobatan dengan rifampicin oral 600 mg 1x sehari selama
12 minggu.
b. Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan
sekret, serta untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil
proses infeksi.
c. Obat tetes hidung, setelah krusta diangkat, diberikan antara lain:
glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol
dalam minyak Archis 10.000 U/ml, kemisetin anti ozaena solution dan
streptomisin 1 g + NaCl 30 ml, diberikan 3 kali sehari masing-masing
3 tetes.
d. Vitamin A 3 x 50.000 Unit selama 2 minggu.
e. Preparat Fe selama 2 minggu, diberikan sebagai obat simptomatik.
f. Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Samiadi dalam
laporannya memberikan : trisulfat 3x2 tablet sehari selama 2 minggu,
Na bikarbonat, cuci hidung dengan NaCl fisiologis 3 kali sehari,
kontrol darah dan urin seminggu sekali untuk melihat efek samping
obat, pembersihan hidung diklinik tiap 2 minggu sekali, serta cuci
hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil
yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.
2. Operasi atau Pembedahan

18

Tujuan operasi atau pembedahan pada rinitis atrofi (ozaena) antara


lain untuk menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi
pengeringan dan pembentukan krusta, serta mengistirahatkan mukosa
sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Operasi dilakukan jika
dengan pengobatan konservatif tidak ada perbaikan. Teknik operasi atau
bedah untuk rinitis atrofi dibedakan menjadi dua kategori utama yaitu :2,4
a. Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal
b. Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang
hidung ke arah dalam.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :2
a. Youngs operation. Penutupan rongga hidung dengan flap. Sinha
melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagai
atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masingmasing selama tiga tahun
b. Modified Youngs operation. Penutupan lubang hidung dengan
meninggalkan 3 mm yang terbuka
c. Lautenschlager operation. Dengan memobilisasi dinding medial
antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang
hidung
d. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan
sintetis seperti teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue
e. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksilaris (Wittmacks
operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang
melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada
penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.
Bila pengobatan konservatif adekuat yang cukup lama tidak
menunjukkan perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan
lubang hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares

19

anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau
2.14

dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.6


Prognosis
Dengan operasi atau pembedahan, diharapkan terjadi perbaikan
mukosa dan keadaan penyakitnya. Pada pasien yang berusia di atas 40
tahun, beberapa kasus menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.
BAB III
KESIMPULAN
Rinitis atrofi atau disebut juga ozaena merupakan infeksi hidung kronik,

yang ditandai oleh adangannya atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang
konka, serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan
sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau
busuk. Orang di sekitar penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut
sedangkan penderita sendiri tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.
Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda dan
pubertas.sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk, terutama di negara-negara yang
sedang berkembang. Etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya pun belum
ada yang baku.
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya pun blm ada
yang baku. Pengobatan ditunjukkan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan
gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif atau jika tidak dapat
menolong dapat dilakukan pembedahan. Menurut pengalaman, untuk kepentingan
klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobatai, yaitu ringan, sedang, atau
berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Untuk

20

mendiagnosis ozaena secara klinis tidak sulit, biasanya discharge berbau, bilateral
serta terdapat krusta kuning kehijau-hijauan.

21

You might also like