Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Rinitis berasal dari dua kata bahasa greek rhin/rhino (hidung) dan
itis (radang). Demikian rinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang
selaput lendir (membran mukosa) hidung. Berdasarkan etiologi atau penyebabnya
rinitis dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu rinitis alergi, rinitis nonalergi dan rinitis karena infeksi. Rinitis non-alergi contohnya adalah rinitis
vasomotor dan rinitis medikamentosa, sedangkan rinitis karena infeksi contohnya
adalah rinitis atrofi, rinitis hipertrofi, rinitis simpleks, rinitis difteri, rinitis jamur,
rinitis tuberkulosa dan rinitis sifilis.1
Rinitis atrofi atau disebut juga ozaena merupakan infeksi hidung kronik,
yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang konka,
serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan sekret yang
kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Orang
disekitar penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut sedangkan
penderita sendiri tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.1
Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering terjadi
pada wanita, terutama pada usia pubertas dan dewasa muda. Penelitian yang
dilakukan oleh Baser dkk3 dan Jiang dkk4 mendapatkan hasil terdapat 15 wanita
dan 12 laki-laki penderita ozaena. Samiadi3 mendapatkan hasil, terdapat 4
penderita ozaena wanita dan 3 penderita ozaena laki-laki. Menurut Boies 5
perbandingan frekuensi penderita rinitis atrofi pada wanita : laki-laki adalah 3 : 1.
Di RS H. Adam Malik dari bulan Januari tahun 1999bulan Desember tahun 2000
ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 laki-laki, umur berkisar dari
10-37 tahun.2,3,4
Etiologtinya multifaktorial dan patogenesisnya hingga saat ini masih
belum dapat diterangkan secara pasti. Oleh karena etiologinya multifaktorial,
maka pengobatanya pun belum ada yang baku. Pengobatan ditunjukan untuk
mengatasi etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat
bersifat konservatif atau jika tidak dapat menolong dapat dilakukan pembedahan.1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan perdarahan serta persarafan, serta fisiologi hidung. Hidung
1)
2)
3)
4)
5)
6)
disebut
vibrise.
Sedangkan
nares
posterior
(koana)
yang
Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah
konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi
konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya
rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi
yang jumlahnya tiga buah, yaitu : meatus inferior, meatus media dan meatus
superior.9
Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung
dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka
media dan dinding lateral rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis,
sinus etmoid anterior dan sinus maksilaris. Pada meatus superior yang
nerupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.7,9
2.2
Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional.
Fungsi hidung dan sinus paranasal adalah :7
1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),
penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan
dan mekanisme imunologik lokal. Partikel debu, virus, bakteri dan jamur
yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut
(vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lendir.
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius pada atap rongga
hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau
dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat.
3) Fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Sumbatan
hidung dapat menyebabkan resonansi berkurang dan hilang, sehingga
terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukan
konsonan nasal (m, n, ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka serta
palatum mole turun untuk aliran udara.
8
2.3
10
2.4
Etiologi
Penyebab pasti dari rinitis atrofi (ozaena) belum diketahui secara jelas
sampai sekarang. Terdapat berbagai teorimengenai penyebab rinitis atrofi dan
penyakit degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter.
Namun ada beberapa teori dan keadaan yang di anggap berhubungan dengan
terjadinya rinitis atrofi (ozaena), yaitu:1,4,5
1) Infeksi oleh kuman spesifik. Kuman yang paling sering ditemukan adalah
spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman ini menghentikan
aktivitas silia normal pada mukosa hidung manusia. Selain golongan
Klebsiella,
kuman
spesifik
penyebab
antara
lain
Stafilokokus,
11
12
ozenae. Dengan kata lain, rinitis atrofi primer adlah rinitis atrofi yang
terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
2) Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang paling sering di temukan
di negara berkembang. Rinitis atrofi sekunder merupakan komplikasi dari
suatu tindakan atau penyakit. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus,
radiasi, trauma serta penyakit granuloma dan infeksi.
2.6
Patogenesis
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasia epitel kolumner
bersilia menjadi epitel skuamos atau atrofik dan fibrosis dari tunika propria.
Terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran serta
adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu
secara patologi, rinitis alergi dapat dibagi menjadi dua :2
1) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriol terminal akibat
infeksi kronik, membaik dengan efek vasodilator dari terapi esterogen.
2) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah buruk dengan
terapi esterogen.
Sebagian besar kasus rinitis atrofi merupakan tipe I. Endarteritis di
arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukos, juga akan
ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young2 mendapatkan sel
endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukan adanya
absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus
menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat. Atrofi konka
menyebabkan saluran nafas menjadi lapang. Ini juga dihubungkan dengan
teori proses autoimun.2,12
Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan
surfaktan protein A. defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama
13
Gejala klinis
Keluhan rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat,
gangguan penciuman (anosmia), ingus kental yang berwarna hijau, adanya
krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa
kering. Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya
napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia) sehingga pasien
sendiri
kadang
tidak
merasakannya,
sedangkan
orang
lain
yang
14
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan
rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam. Jika
krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka
nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret
purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga
ditemui ulat atau telur larva (karena bau busuk yang timbul).2,5
Sutomo dan Samsudin3 membagi ozaena secara klinik dalam tiga
tingkat :2
1) Tingkat I
15
2.10
Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaaan penunjang lain seperti
pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan
16
histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk
menyingkirkan sifilis.2
2.11 Diagnosis banding
Diagnosis banding dari rinitis atrofi (ozaena) antara lain :5
1) Rinitis kronik TBC
2) Rinitis kronik lepra
3) Rinitis kronik sifilis
4) Rinitis sika
2.12
2.13
Komplikasi
Komplikasi dari rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :6
1) Perforasi septum
2) Faringitis
3) Sinusitis
4) Miasis hidung
5) Hidung pelana
Penatalaksanaan dan Pencegahan
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofi hanya bersifat
paliatif. Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk,
terapi sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik,
vasodilator, pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol, serta
salep pelumas. Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usahausaha langsung mengecilkan rongga hidung, sehingga dengan demikian juga
memperbaiki suplai darahke mukosa hidung.4
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya belum
ada yang baku. Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi faktor etiologi
atau penyebabnya dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan
dapat bersifat konservatif atau kalau tidak dapat menolong dilakukan
operasi atau pembedahan.2,5
1. Pengobatan Konservatif
17
18
19
anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau
2.14
yang ditandai oleh adangannya atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang
konka, serta pembentukan krusta. Secara klinis mukosa hidung menghasilkan
sekret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau
busuk. Orang di sekitar penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut
sedangkan penderita sendiri tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.
Wanita lebih sering terkena, terutama usia dewasa muda dan
pubertas.sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang
rendah dan sanitasi lingkungan yang buruk, terutama di negara-negara yang
sedang berkembang. Etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya pun belum
ada yang baku.
Oleh karena etiologinya multifaktorial, maka pengobatannya pun blm ada
yang baku. Pengobatan ditunjukkan untuk mengatasi etiologi dan menghilangkan
gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat konservatif atau jika tidak dapat
menolong dapat dilakukan pembedahan. Menurut pengalaman, untuk kepentingan
klinis perlu ditetapkan derajat ozaena sebelum diobatai, yaitu ringan, sedang, atau
berat, oleh karena ini sangat menentukan terapi dan prognosisnya. Untuk
20
mendiagnosis ozaena secara klinis tidak sulit, biasanya discharge berbau, bilateral
serta terdapat krusta kuning kehijau-hijauan.
21