You are on page 1of 121

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN

DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP


BELANJA MODAL
(Studi pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011)
SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi
Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

Oleh
Taufik Akbar
084020216

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2012

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM


TERHADAP BELANJA MODAL
(Studi Pada Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011)

SKRIPSI
Untuk memenuhi salah satu syarat sidang skripsi
Guna memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan

Bandung, Oktober 2012


Mengetahui,
Pembimbing,

Ifa Ratifah, SE., M.Si.

Dekan,

Ketua Program Studi,

Dr. H. Abdul Maqin, SE., MP.

H.. Sasa S. Suratman, SE., M.Sc.

PERNYATAAN
(Program Studi Strata 1)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :


1.

Karya tulis saya, skripsi ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik sarjana, baik di Universitas Pasundan maupun di
perguruan tinggi lainnya.

2.

Karya tulis ini murni gagasan, rumusan, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan
pihak lain, kecuali arahan Pembimbing.

3.

Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam
daftar pustaka.

4.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena
karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku.

Bandung, Oktober 2012


Yang membuat pernyataan,

Materai
Rp. 6000

Taufik Akbar

NRP: 084020216

ii

Motto:
Seseungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
(Q.S : 94 Al-Insyirah : 6)

Tanpa MelupakanMu Ya Allah...


Kupersembahkan karyaku ini bagi kedua orang tuaku
yang selalu mendoakan keberhasilanku.

iii

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis apakah Pendapatan Asli Daerah


(PAD) dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Modal pada
Pemerintah Kota Bandung.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara yang digunakan
adalah studi dokumentasi, dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen
Laporan Keuangan Pemerintah yang berkaitan dengan data yang diperlukan dalam
kegiatan penelitian ini.
Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling dengan
pendekatan purposive sampling. Adapun variabel-variabel yang diuji adalah
Pendapatan Asli Daerah (X1) dan Dana Alokasi Umum (X2) sebagai variabel
independen dan Belanja Modal (Y) sebagai variabel dependen. Data tersebut akan
dianalisis melalui uji asumsi klasik untuk memakasimalkan keakuratan dalam hasil
pengolahan data. Sedangkan untuk menguji hipotesis digunakan uji signifikansi dan
analisis regresi linear berganda.
Hasil pengujian hipotesis secara parsial diperoleh kesimpulan bahwa PAD
bepengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal begitu pula dengan DAU
berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Pengujian hipotesis secara
simultan disimpulkan bahwa PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap belanja
modal.

Kata kunci : Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Belanja Modal

iv

ABSTRACT

This study aims to provide empirical evidence about the effect of the Local
Own Revenue (PAD) and the General Allocation Fund (DAU) on the Capital
Expenditure City of Bandung.
The method used in this research is descriptive method. To obtain the
necessary data in this study, the means used is the study documentation, done by
collecting documents relating to Government Financial Statements with the
necessary data in this research activity.
Sampling technique used was non-probability sampling with a purposive
sampling approach. The variables were tested Local Own Revenue (X1) and The
General Allocation Fund (X2) as independent variables and Capital Expenditures (Y)
as the dependent variable. Data will be analyzed through the classical asumption test
for maximalize accuracy in the data processing. While the hypothesis used to test the
significance test and multiple linear regression analysis.
Partial results of hypothesis testing concluded that PAD have a positive and
significant effect on capital expenditure as well as the DAU has positive and
significant effect on capital expenditure. Simultaneously hypothesis testing concluded
that PAD and DAU significant effect on capital expenditure.

Keywords : Local Own Revenue, General Allocation Fund, Capital Expenditure

KATA PENGANTAR

Assalammulaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul : PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA
ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL (Studi Pada Pemerintah Kota
Bandung Tahun Anggaran 2005-2011) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar strata satu di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Pasundan
Bandung.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Untuk itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1.

Dr. R. Abdul Maqin, SE., MP selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas


Pasundan Bandung.

2.

Bapak H. Sasa Suratman, SE., M.Sc selaku Ketua Program Studi Akuntansi
Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan Bandung.

3.

Ibu Ifa Ratifah, SE., M.Si selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing saya dalam mengerjakan skripsi ini serta telah
memberikan banyak masukan kepada saya.

vi

4.

Ibu Justinia Castellani, SE., Msi., Ak selaku dosen walii.

5.

Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan yang
telah memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis selama proses
perkuliahan.

6.

Kedua orang tua tercinta (A. Kamidjo dan Yety Megawati) yang penulis
sayangi. Penulis menghaturkan sembah sujud sebagai ucapan terima kasih
yang tentunya penulis belum mampu menbalas pengorbanan Ayahanda dan
Ibunda, yang telah membesarkan, mendidik dan akan selalu memberikan doa
restu, perhatian, kasih sayang, serta dukungan yang tidak ternilai harganya
demi kelancaran dan keberhasilan penulis dalam segala hal.

7.

Kakak serta Adik (Rianti Megasari dan Rahayu Wandani) yang telah memberi
dukungan moral dan materiil. Terima kasih atas dukungannya.

8.

Lilis Lisnawati SE. Terima kasih untuk semangat, doa, dan motivasi yang
diberikan dalam proses penyusunan skripsi hingga akhirnya skripsi
terselesaikan.

9.

Teman-teman Akuntasi angkatan 2008. Moch. Zaky, Bingky Aresia Landarica


SE., dan Annisa Desty, Ihwan Hari, Yusuf Nursyamsudin SE., Muhammad
Ikhsan Al-fikri SE, Rachmawati Rahayu SE, Nikeu Martina Mugirahayu SE.,
Helena Mayer, Ferintina Rahayu SE., dan semua teman-teman yang tidak bisa
disebutkan satu persatu. Sukses selalu untuk kalian semua.

vii

10.

Teman-teman kelembagaan, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Periode 20112012, Mutdiyanti, Anita, Anggun, Fanny, Jovi, Sammy, Reni dan yang
lainnya. Terima kasih, sukses buat kalian semua.

11.

Seluruh sahabat seperjuangan Adhnan, Dadan, Reyza, Ryan Eka, Irfan,


Agung, Egi, Kiki, Ardi, Indra, Dany Saddak, Abdul Rozak dan lainnya.
Terima kasih atas bantuan, semangat, dan doanya. Sukses buat kalian.

12.

Seluruh karyawan SBAP yang telah membantu penulis dalam urusan


administrasi.

13.

Bapak dan Ibu Bagian Dokumentasi dan Data BPK RI Perwakilan Jabar,
terima kasih atas bantuan datanya.

14.

Perpustakaan FE UNPAS yang telah menyediakan materi-materi yang


diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

15.

Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk
semuanya.
Berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Semoga Alloh SWT, melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta membalas segala
kebaikan semua pihak yang memberikan bantuan kepada penulis.
Wassalammualaikum Wr.Wb
Bandung, Oktober 2012

Penulis

viii

DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN.
LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................
MOTTO....
ABSTRAK....
ABSTRACK.........................
KATA PENGANTAR.........
DAFTAR ISI........................
DAFTAR TABEL................
DAFTAR GAMBAR...........
DAFTAR LAMPIRAN........

i
ii
iii
iv
v
vi
ix
xiv
xv
xvi

BAB I PENDAHULUAN.......

1.1 Latar Belakang Masalah.........

1.2 Rumusan Masalah...........

11

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian.........

12

1.3.1 Maksud Penelitian......

12

1.3.2 Tujuan Penelitian........

12

1.4 Kegunaan Penelitian........

12

1.4.1 Kegunaan Teoritis......

12

1.4.2 Kegunaan Praktis............................................................

13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN


HIPOTESIS........

14

2.1 Kajian Pustaka......

14

2.1.1 Keuangan Daerah.......

14

ix

2.1.1.1 Konsep Keuangan Daerah......

14

2.1.1.2 Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah........

15

2.1.2 Anggaran Pemerintah Daerah..........

18

2.1.3 Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia..

19

2.1.4 Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)....

20

2.1.4.1 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja


Daerah (APBD)....

21

2.1.5 Konsep Pendapatan Daerah..

22

2.1.5.1 Pengertian Pendapatan Daerah....

22

2.1.5.2 Sumber Pendapatan Daerah..

23

2.1.6 Kebijakan Atas Pendapatan Daerah..

25

2.1.6.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD)....

25

2.1.6.2 Dana Alokasi Umum (DAU).................................

28

2.1.7 Konsep Belanja Daerah.....................................................

30

2.1.7.1 Pengertian Belanja Daerah....................................

30

2.1.7.2 Kebijakan Belanja Daerah....................................

31

2.1.7.3 Belanja Modal......................................................

33

2.2 Kerangka Pemikiran...........................................................................

35

2.2.1 Penilitan Terdahulu..........................................................

38

2.2.2 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap


Belanja Modal..................................................................

40

2.2.3 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja


Modal...............................................................................

41

2.2.4 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum


terhadap Belanja Modal.....................................................

43

BAB III METODE PENELITIAN.................................................................

44

3.1 Objek Penelitian...............................................................................

44

3.2 Metode Penelitian.............................................................................

44

3.2.1

Definisi dan Operasionalisasi Variabel..........................

45

3.2.1.1 Definisi Variabel..................................................

45

3.2.1.2 Operasionalisasi Variabel....................................

47

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.........................................................

49

3.3.1 Populasi............................................................................

49

3.3.2 Sampel..............................................................................

49

3.4 Teknik Pengumpulan Data.................................................................

50

3.4.1 Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis................

50

3.4.1.1 Teknik Analisis Data...........................................

50

3.4.2 Statistik Deskriptif...........................................................

51

3.4.3 Uji Asumsi Klasik............................................................

51

3.4.3.1 Uji Multikolinearitas............................................

51

3.4.3.2 Uji Normalitas......................................................

52

3.4.3.3 Uji Autokorelasi...................................................

53

3.4.3.4 Uji Heterokedastisitas..........................................

53

xi

3.4.4 Metdoe Regresi Linear Berganda.....................................

54

3.4.5 Pengujian Hipotesis..........................................................

55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN..................................

60

4.1 Hasil Penelitian..................................................................................

60

4.1.1 Gambaran Umum Kota Bandung.....................................

60

4.1.1.1 Profil Daerah.........................................................

60

4.1.1.2 Sejarah Singkat Pemerintah Kota Bandung..........

61

4.1.1.3 Visi Pemerintah Kota Bandung............................

64

4.1.1.4 Misi Pemerintah Kota Bandung...........................

65

4.1.2 Deskripsi Data Variabel Penelitiana................................

67

4.1.2.1 Gambaran PAD, DAU dan Belanja Modal


Pemerintah Kota Bandung...................................

67

4.1.2.1.1 Gambaran PAD Pemerintah Kota


Bandung..............................................

67

4.1.2.1.2 Gambaran DAU Pemerintah Kota


Bandung..............................................

73

4.1.2.1.3 Gambaran Belanja Modal Pemerintah


Kota Bandung....................................

77

4.1.3 Analisis Data...................................................................

83

4.1.3.1 Pengujian Asumsi Klasik.....................................

84

4.1.3.2 Pengujian Hipotesis.............................................

89

xii

4.1.3.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah


terhadap Belanja Modal.....................

94

4.1.3.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum


terhadap Belanja Modal.....................

95

4.1.3.2.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan


Dana Alokasi Umum terhadap Belanja
Modal...............................................

97

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN........................................................... .....

99

5.1 Kesimpulan.......................................................................................

99

5.2 Saran.................................................................................................

100

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1.1

Ringkasan Permasalahan Belanja Modal Kota Bandung.......

Tabel 1.2

Ringkasan Permasalahan PAD Kota Bandung......................

Tabel 2.1

Ringkasan Penelitian Terdahulu..

38

Tabel 3.1

Operasionalisasi Variabel Penelitian...

48

Tabel 4.1

Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota


Bandung

Tabel 4.2

68

Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Pemerintah Kota


Bandung

74

Tabel 4.3

Pertumbuhan Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung....

78

Tabel 4.4

Data Pengamatan Untuk Pengujian Statistik

83

Tabel 4.5

Hasil Uji Multikolinearitas

84

Tabel 4.6

Hasil Uji Normalitas..

85

Tabel 4.7

Hasil Uji Autokorelasi

87

Tabel 4.8

Hasil Uji Statistik t.

90

Tabel 4.9

Hasil Uji Statistik F

92

Tabel 4.10

Hasil Perhitungan Koefisien Determinasi..

94

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1

Kerangka Pemikiran

38

Gambar 4.1

Kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah.

69

Gambar 4.2

Kontribusi DAU terhadap Pendapatan Daerah.

75

Gambar 4.3

Kontribusi Belanja Modal terhadap Belanja Daerah

79

Gambar 4.4

Hasil Uji Normalitas : Normal P-Plot of Regression


Standarized Residual..

86

Gambar 4.5

Hasil Uji Heterokedastisitas: Scatterplot

88

Gambar 4.6

Persentase Pengaruh Variabel

98

xv

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
SK Dosen Pembimbing........................................................................
LAMPIRAN 2
Surat Izin Penelitian..............................................................................
Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2005
LAMPIRAN 3
Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2006
LAMPIRAN 4
Ringkasan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2007
LAMPIRAN 5
Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2008
LAMPIRAN 6
Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2009

xvi

LAMPIRAN 7
Ringkasan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2010
LAMPIRAN 8
Ringkasan Laporan Realisasi Anggaran Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2011
LAMPIRAN 9
Lembar Perbaikan .......
LAMPIRAN 10
Curicculum Vitae .......

xvii

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah


Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi

suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini


menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi hal
penting dalam pengelolaan pemerintah termasuk di bidang pengelolaan keuangan
negara maupun daerah. Pengamat ekonomi, pengamat politik, investor, hingga rakyat
mulai memperhatikan setiap kebijakan dalam pengelolaan keuangan.
Pembiayaan penyelengaraan pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi
dilakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, daerah diberi
kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola sumber daya alam.
Sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan
(DBH, DAU, dan DAK) dan Pinjaman Daerah. Tiga sumber tersebut langsung
dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, melalui kerjasama dengan
Pemerintah Pusat ( Halim, 2009).
Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah yang
1

berlaku di Indonesia didasarkan pada UU No. 22 tahun 1999 yang telah direvisi
menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa
pemerintah daerah memisahkan

fungsi eksekutif dengan

fungsi legislatif.

Berdasarkan fungsinya, pemerintah Daerah (eksekutif) dengan Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah (legislatif) terjadi hubungan keagenan (Halim, 2001; Halim &
Abdullah, 2006). Secara implisit, peraturan perundang-undangan merupakan
perjanjian antara eksekutif, legislatif, dan publik.
Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman
Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan publik. Di Indonesia, anggaran
daerah biasa disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Seluruh penerimaan dan pengeluaran Pemerintah Daerah baik dalam bentuk uang,
barang dan jasa pada tahun anggaran yang harus dianggarkan dalam APBD (Kawedar
dkk. 2008). Menurut PP Nomor 58 tahun 2005 dalam Warsito Kawedar (2008),
APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah (Perda).
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 proses penyusunan anggaran melibatkan
pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) dan pihak legislatif (DPRD), dimana kedua
pihak tersebut melalui panitia anggaran. Eksekutif berperan sebagai pelaksana
operasionalisasi daerah yang berkewajiban membuat rancangan APBD. Sedangkan
legislatif bertugas mensahkan rancangan APBD dalam proses ratifikasi anggaran.

Proses penyusunan APBD dimulai dengan kedua belah pihak yaitu antara
eksekutif dan legislatif membuat kesepakatan tentang kebijakan umum APBD yang
menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Pihak
eksekutif bertugas membuat rancangan APBD yang sesuai kebijakan tersebut,
kemudian pihak legislatif menetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda) yang
sebelumnya dirapatkan. Dalam teori keagenan, peraturan daerah menjadi alat
legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran yang dijalankan oleh pihak
eksekutif.
Dalam era desentralisasi fiskal diharapkan terjadinya peningkatan pelayanan
diberbagai sektor terutama sektor publik. Peningkatan layanan publik ini diharapkan
dapat meningkatkan daya tarik bagi investor untuk membuka usaha di daerah.
Harapan ini tentu saja dapat terwujud apabila ada upaya pemerintah dengan
memberikan berbagai fasilitas untuk investasi. Konsekuensinya, pemerintah perlu
memberikan alokasi belanja yang lebih besar untuk tujuan ini. Desentralisasi fiskal
disatu sisi memberikan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan daerah,
tetapi disisi lain memunculkan persoalan baru, dikarenakan tingkat kesiapan fiskal
daerah yang berbeda-beda (Harianto dan Adi, 2007).
Peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diperbaiki melalui perbaikan
manajemen kualitas jasa (service quality management), yakni upaya meminimalisasi
kesenjangan (gap) antara tingkat layanan dengan harapan konsumen (Bastian, 2006).
Dengan demikian, Pemerintah Daerah harus mampu mengalokasikan belanja modal
dengan baik karena belanja modal merupakan salah satu langkah bagi Pemerintah

Daerah untuk memberikan pelayanan kepada publik. Darwanto dan Yustikasari


(2007) menyatakan bahwa pemanfaatan anggaran belanja seharusnya dialokasikan
untuk hal-hal produktif, misalnya untuk pembangunan. Penerimaan pemerintah
daerah seharusnya dialokasikan untuk program-program layanan publik. Kedua
pendapat tersebut menyatakan bahwa belanja modal untuk kepentingan publik
sangatlah penting.
Belanja modal disesuaikan dengan kebutuhan daerah akan sarana dan
prasarana baik untuk kelancaran tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik
(Halim & Abdullah,2006:19). Menurut Halim (2002:72) bahwa dengan melakukan
belanja modal akan menimbulkan konsekuensi berupa penambahan biaya yang
bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan.
Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan
pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan tingkat kepercayaan publik.
Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap,
yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Semakin tinggi
tingkat investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik,
karena asset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan
prasyarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah,
khususnya di lingkungan Pemerintah Kota Bandung.
Permasalahan yang terjadi di lingkungan Pemerintah Kota Bandung saat ini
yaitu seiring bertambahnya anggaran belanja daerah Kota Bandung namun tidak
diikuti dengan bertambahnya belanja modal. Dampak yang dialami Pemerintah Kota

Bandung sebagai fasilitator dan katalisator tidak berjalan dengan optimal, karena
masih banyak infrastrukur, serta fasilitas pelayanan publik yang belum memadai.
Pemerintah Kota Bandung lebih banyak mengalokasikan belanjanya pada sektorsektor yang kurang diperlukan dan lebih banyak digunakan untuk belanja rutin,
dibandingkan untuk meningkatkan pelayanan publik, sebab dari 100% anggaran
belanja daerah rata-rata hanya 11,32% yang digunakan untuk belanja modal dalam
rangka pengadaan asset untuk investasi dalam meningkatkan pelayanan publik (Dutakita.com, 7 Maret 2012).
Adapun beberapa permasalahan mengenai belanja modal di Kota Bandung
selama kurun waktu tujuh tahun terakhir dapat dilihat secara ringkas dari tabel berikut
ini:
Tahun
2005

Permasalahan
Pembangunan

infrastruktur

Sumber
jalan

serta

Tribun News

perbaikannya tidak merata di Kota Bandung.


2006

Perbaikan

jalan

secara

bertahap,

yang

Tribun News

semestinya dapat diselesaikan selama tahun


2006.
2007

Perbaikan tanggul sungai citarum 1,2M

Karawangnews

terbukti sia-sia
2008

Pertumbuhan kendaraan bermotor di Kota


Bandung tidak diikuti perbaikan jalan.

Pikiran Rakyat Online

2009

Penyimpangan pembangunan selter Trans

Pikiran Rakyat Online

Metro Bandung (TMB)


2010

Dana perbaikan jalan hanya sebesar Rp.54M, Penelusurankorankaskus


tak cukup.
Tabel 1.1
Ringkasan Permasalahan Belanja Modal Kota Bandung

Sejalan dengan Saragih (2003) yang menyatakan bahwa pemanfaatan belanja


hendaknya dialokasikan untuk hal-hal produktif, misal untuk melakukan aktivitas
pembangunan. Stine (1994) menyatakan bahwa penerimaan pemerintah hendaknya
lebih banyak untuk program-program layanan publik. Kedua pendapat tersebut
menyiratkan pentingnya mengalokasikan belanja untuk berbagai kepentingan publik.
Untuk dapat meningkatkan pengalokasian belanja modal, maka perlu
diketahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap belanja modal, seperti
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU).
Dalam pengelolaan anggaran, asas kemandirian dijadikan dasar Pemerintah
Daerah untuk mengoptimalkan penerimaaan dari daerahnya sendiri yaitu sektor
PendapatanAsli Daerah (PAD). Menurut UU No. 32 tahun 2004, Pendapatan Asli
daerah merupakan sumber penerimaan Pemerintah Daerah yang berasal dari daerah
itu sendiri berdasarkan kemampuan yang dimiliki.
Pajak daerah dan retribusi daerah selama ini merupakan sumber pendapatan
daerah yang dominan, oleh karena itu perlu ditingkatkan penerimaannya. Berdasarkan

alur pikir teori keuangan daerah, penerimaan pajak pada umumnya digunakan untuk
membiayai jasa layanan yang bersifat murni publik (public goods), sedangkan
penerimaan retribusi umumnya digunakan untuk membiayai jasa pelayanan yang
bersifat semi publik (semi public goods) di mana komponen manfaat individunya
relatif lebih besar.
Anggiat (2009:4) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif
dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi
untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tetapi alokasi untuk belanja
modal justru mengalami penurunan. Abdullah dan Halim (2004:10) menemukan
bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh
terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya
sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian
angaran cukup besar.
Pemerintah Kota Bandung berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) melalui pajak daerah, sebagai sumber pendapatan daerah dalam meningkatkan
belanja modal. Kontribusi pajak daerah sangat berpengaruh terhadap pendapatan
daerah, hal ini menyimpulkan bahwa peningkatan Pendapatan Asli Daerah mampu
meningkatkan belanja modal. Tetapi kenyataannya kontribusi Pendapatan Asli
Daerah terhadap pendapatan dan belanja daerah masih kecil, terutama belanja modal.
Selama ini dominasi sumbangan pemerintah pusat kepada daerah masih besar. Oleh
karenanya untuk mengurangi ketergantungan kepada pemerintah pusat, pemerintah

daerah perlu berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang salah
satunya dengan penggalian potensi daerah.
PAD Kota Bandung sebagian besar dihasilkan dari pajak dan retribusi daerah,
seperti Parkir dan Pajak Restoran. Namun kenyataanya hasil pajak dan retribusi
daerah tersebut tidak mampu dikoleksi secara keseluruhan oleh Pemerintah Kota
Bandung. Hal tersebut diakibatkan pengelolaan lahan parkir potensial yang banyak
dikelola oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan sepihak dengan
cara menggelapkan uang yang seharusnya masuk kas daerah. Penggelapanpengelapan hasil pajak dan retribusi tersebut mengakibatkan Pemerintah Kota
Bandung berpotensi kehilangan PAD dari sektor pajak dan retribusi daerah sebesar
Rp 1,5 Miliar/bulan (Bisnis Jabar, 5 April 2012).
Adapun beberapa permasalahan mengenai PAD di Kota Bandung selama
kurun waktu tujuh tahun terakhir dapat dilihat secara ringkas dari tabel berikut ini:
Tahun

Permasalahan

Sumber

2005

Perpakiran di Kota Bandung dan kontribusinya

Tribun Jabar

terhadap PAD Kota Bandung.


2006

Penyimpangan

Pajak

pada

pelaksanaan

Perda

Tribun News

Pengelolaan Pasar di Kota Bandung.


2007

Masalah Perparkiran kota Bandung yang tak kunjung


selesai.

Pikiran Rakyat
Online

2008

Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Bandung:

Pelita. or.id

kecurigaan, pajak yang belum disetor, terindikasi


penyimpangan.
2009

Peningkatan pajak parker tidak sebanding dengan


penambahan lahan parker yang terus bertambah.

2010

Pajak

parkiraan

di

Kota

Bandung

semakin

membengkak kebocorannya.

Pikiran Rakyat
Online
Pikiran Rakat
Online

Tabel 1.2
Ringkasan Permasalahan PAD Kota Bandung

Dalam

pelaksanaan

kewenangan

Pemerintah

Daerah

dalam

upaya

pembangunan, Pemerintah Pusat akan mentransfer dan perimbangan yang tediri dari
Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil
(DBH). Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah
Daerah. Dana transfer dari Pemerintah Pusat digunakan secara efektif dan efisien oleh
pemerintah Daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada publik.
Setiap daerah mempunyai kemampuan yang tidak sama dalam mendanai
kegiatan operasional didaerahnya masing-masing, hal tersebut menimbulkan
ketimpangan fiskal antar daerah. Untuk mengatasi ketimpangan tersebut Pemerintah
Pusat mentransfer dana perimbangan untuk masing-masing daerah. Salah satu dana
perimbangan yaitu Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Umum merupakan
dana yang berasal dari pemerintah pusat yang diambil dari APBN yang dialokasikan

10

dengan tujuan pemerataan keungan antar daerah untuk membiayai kebutuhan


pengeluaran pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan dana tersebut
pemerintah daerah menggunakannya untuk memberi pelayanan yang lebih baik
kepada publik. Abdullah dan Halim (2004) menyatakan bahwa dana transfer jangka
panjang berupa DAU berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah
dana transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal.
Peningkatan transfer Dana Alokasi Umum di Kota Bandung setiap tahunnya
tidak diikuti dengan peningkatan belanja modal. Hal tersebut mencerminkan bahwa
penggunaan Dana Alokasi Umum untuk belanja modal hanya sedikit sehingga tidak
mampu mengoptimalkan fasilitas pelayanan publik. Meski transfer DAU dari
pemerintah merupakan pendapatan daerah yang paling besar, namum alokasinya
untuk belanja modal tergolong sedikit. Anggaran belanja terkonsentrasi pada belanjabelanja yang bersifat rutin, dan mengesampingkan belanja modal.
Selain terkonsentrasi pada belanja rutin, disinyalir adanya penyalahgunaan
dalam penggunaan DAU. Salah satu praktik yang mencurigakan adalah
penyalahgunaan Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditampung di rekening pribadi,
kerabat dan bahkan diperuntukkan untuk membangun sebuah usaha. PPATK merilis
data tentang 2.258 transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh para pejabat di
Indonesia, dari ribuan transaksi mencurigakan itu justru didominasi oleh pejabat

11

daerah. Jumlah transaksi para pejabat daerah yang patut dicurigai itu antara lain
1.135 transaksi oleh bendahara daerah, 379 transaksi dilakukan bupati, serta 339
transaksi oleh pejabat pemda lainnya, termasuk didalamnya Kota Bandung.
(Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia, 17 Juni 2011).
Berdasarkan uraian diatas penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan
data selama 6 tahun terakhir di Pemerintah Kota Bandung yaitu tahun anggaran 20052011. Adapun judul yang akan diteliti adalah :
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum
(DAU) Terhadap Belanja Modal (Studi Pada Pemerintah Kota Bandung Tahun
Anggaran 2005-2011) .

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah yang akan

dibahas adalah sebagai berikut :


1. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja
Modal pada Pemerintah Kota Bandung.
2. Bagaimana pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Belanja
Modal pada Pemerintah Kota Bandung.
3. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi
Umum (DAU) terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung

12

1.3

Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1

Maksud Penelitian
Maksud dilakukan penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data,
menganalisa, mengetahui, dan menjelaskan mengenai Pengaruh Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Belanja Modal

1.3.2

Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap


Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung.

2.

Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap


Belanja Modal pada Pemerintah Kota Bandung.

1.4
1.4.1

Kegunaan Penelitian
Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk memperluas
pengetahuan mengenai akuntansi sektor publik dalam hal ini yaitu ilmu
pemerintahan mengenai pengelolaan keuangan daerah pada Pemerintah Kota
Bandung khususnya mengenai pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja
modal.

13

1.4.2

Kegunaan Praktis
a. Bagi Pemerintah Kota Bandung, sebagai objek penelitian, dapat
menjadi bahan pertimbangan dalam menganalisis belanja modal
dengan mempertimbangkan PAD dan DAU.
b. Bagi Peneliti, memberikan pengetahuan mengenai pengaruh PAD
dan DAU terhadap belanja modal di lingkungan Pemerintah Kota
Bandung.
c. Bagi Pihak Lain, khususnya akademisi, sebagai bahan referensi dan
data tambahan bagi peneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian
ini.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1

Kajian Pustaka

2.1.1

Keuangan Daerah

2.1.1.1

Konsep Keuangan Daerah


Keuangan Daerah memegang peranan yang sangat penting dalam

menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Oleh karena itu,


dalam pengelolaannya harus dilakukan secara efektif dan efisien agar tepat guna
dan berhasil guna. Berkaitan dengan hal tersebut maka berbagai cara untuk
memperoleh sumber keuangan dan untuk apa saja sumber keuangan tersebut
digunakan menjadi perhatian utama bagi Pemerintah Daerah.
Pengertian keuangan daerah menurut Penjelasan Umum Pasal 156
Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut :
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang
dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
Selanjutnya dalam Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
menyebutkan bahwa :

14

15

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam


rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan
uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan
dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan keuangan daerah adalah segala hak dan kewajiban daerah baik
berupa uang maupun barang yang dapat dinilai dengan uang dan digunakan
dalam rangka menyelenggarakan Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana keuangan negara, keuangan daerah memiliki ruang
lingkup yang terdiri atas keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan
daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan daerah yang dikelola
langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang
inventaris milik daerah, sedangkan yang termasuk dalam keuangan daerah yang
dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

2.1.1.2

Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah


Mahmudi (2006:14) mengungkapkan :
Siklus pengelolaan keuangan daerah adalah tahapan-tahapan yang
harus dilakukan dalam mengelola keuangan yang menjadi wewenang
dan tanggung jawab pemerintah daerah agar pengelolaan keuangan
tersebut memenuhi prinsip ekonomi, efisien, efektifitas, transparansi,
dan akuntabilitas.
Adapun siklus pengelolaan keuangan daerah menurut Mahmudi

(2006:14-15) pada dasarnya terdiri atas tiga tahap :

16

1.

Tahap Perencanaan
Tahap perencanaan merupakan tahap yang sangat krusial. Peran DPRD
dan masyarakat dalam tahap perencanaan ini sangat besar. Kualitas
hasil (outcome) dari pengelolaan keuangan daerah sangat dipengaruhi
oleh seberapa bagus perencanaan yang dibuat. Perencanaan ini sendiri
pada dasarnya juga terdapat proses yang harus dilakukan sehingga
menghasilkan output perencanaan berupa dokumen perencanaan
daerah. Dokumen perencanaan daerah dapat dikategorikan menjadi
dua bentuk, yaitu :
a. Dokumen perencanaan pembangunan daerah berupa Rencana
Pembagunan

Jangka

Panjang

Daerah

(RPJPD),

Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja


Pemeritah Daerah (RKPD), Rencana Strategis Satuan Kerja
Perangkat Daerah (Renstra SKPD), dan Rencana Kerja Satuan
Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang memuat visi, misi,
tujuan, kebijakan, strategi, program, dan kegiatan.
b. Dokumen perencanaan keuangan daerah berupa Kebijakan Umum
APBD (KUA), Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS),
dan RAPBD.
2.

Tahap Pelaksanaan
Output dari tahap perencanaan adalah berupa RAPBD yang telah
disahkan oleh DPRD menjadi APBD. Output dari tahap perencanaan

17

tersebut akan menjadi input

bagi tahap pelaksanaan, yaitu

implementasi anggaran. Dalam tahap pelaksanaan anggaran terdapa


suatu proses berupa Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD).
SAPD ini sangat penting, karena bagaimana pun bagusnya
perencanaan anggaran apabila dalam tahap implemantasi tidak terdapat
SAPD yang memadai, maka banyak hal yang direncanakan tidak akan
mencapai hasil yang diinginkan. SAPD yang buruk akan memicu
terjadinya kebocoran, inefesiensi, dan inaccuracy laporan keuangan.
3.

Tahap Pelaporan, Pengawasan, dan Pengendalian.


Output dari tahap pelaksanaan berupa laporan pelaksanaa anggaran
akan menjadi input untuk tahap pelaporan. Input tersbut akan diproses
lebih lanjut untuk menghasilkan output berupa laporan keuangan yang
akan dipublikasikan. Proses pelaporan tersebut dilakukan dengan
mengacu pada SAPD yang telah ditetapkan. Setelah disesuaikan
dengan Standar Akuntansi Pemerintahan, maka laporan keuangan
tersebut siap diaudit oleh auditor independent. Selanjutnya setelah
diaudit dapat didistribusikan kepada DPRD dan dipublikasikan kepada
masyrakat, sebagai bahan evaluasi kinerja dan memberikan umpan
balik bagi perencanaan periode berikutnya.

Perencanaan pembangunan daerah disusun berdasarkan jangka waktu


perencanaan, yaitu dua puluh tahun untuk RPJPD, lima tahun untk RPJMD, dan

18

satu tahun untuk RKPD. Sedangkan untuk rencana keuangan daerah yaitu berupa
RAPBD berlaku untuk satu tahun.
Menurut Mahmudi (2006:15) Output dari tahap perencanaan ini
adalah RAPBD. Alasan dari output ini berupa RAPBD, karena bagi Pemda
APBD merupakan tulang punggung (outcome) atau cetak biru (blue print)
pembangunan daerah. APBD memiliki fungsi penting dalam melakukan alokasi,
distribusi dan stabilitas keuangan Pemda. Oleh karena itu, RAPBD menjadi
sangat penting bagi daerah sebagai arah dan orientasi pembangunan.

2.1.2

Anggaran Pemerintah Daerah


Pemerintah Daerah merupakan organisasi sektor publik yang

kegiatannya berkaitan dengan usaha memberikan pelayanan kepada masyarakat.


Dalam menjalankan kegiatannya, pemerintah dituntut untuk dapat memanfaatkan
berbagai sumber daya yang dimilikinya seefektif dan seefisien mungkin serta
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Untuk itu, maka diperlukan
perencanaan yang matang terutama dalam penggunaan keuangan Pemerintah
Daerah, karena pada dasarnya keuangan daerah seluruhnya adalah milik publik.
Perencanaan keuangan daerah ini dituangkan dalam bentuk anggaran.
Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) No 2 Tentang
Laporan Realisasi Anggaran dijelaskan bahwa :
Anggaran merupakan pedoman tindakan yang akan dilaksanakan
pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer, dan

19

pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah, yang disusun menurut


klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode.
Mardiasmo (2002:62) menyebutkan bahwa anggaran sektor publik
didefinisikan menjadi :
Anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan
kondisi keuangan dari suatu organisasi yang meliputi informasi
mengenai pendapatan, belanja, dan aktifitas. Secara singkat dapat
dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu rencana finansial
yang menyatakan : 1) Berapa biaya atas rencana yang dibuat
(pengeluaran/belanja), dan 2) Berapa banyak dan bagaimana caranya
memperoleh uang untuk mendanai rencana tersebut (pendapatan).
Dari pengertian anggaran yang diungkapkan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa anggaran merupakan rencana keuangan yang berisi perkiraan
pengeluaran dan sumber pendapatannya untuk sautu periode tertentu.

2.1.3

Proses Penyusunan Anggaran di Indonesia


Anggaran dapat terlaksana dengan baik apabila anggaran tersebut

disusun secara baik pula. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran merupakan


rangkaian proses anggaran. Ihyaul Ulum (2008:106) mengungkapkan tujuan
proses penyusunan anggaran :
Proses penyusunan anggaran mempunyai empat tujuan, yaitu :
1. Membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal dan meningkatkan
koordinasi antar bagian dalam lingkungan pemerintah.
2. Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam
menyediakan barang dan jasa publik melalui proses pemrioritasan.
3. Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas
belanja.
4. Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah
kepada DPR/DPRD dan masyarakat luas.

20

Selain itu, Ihyaul Ulum (2008:106) mengungkapkan juga apa saja yang
menjadi faktor dominan yang terdapat dalam proses anggaran yaitu :
Faktor dominan yang terdapat dalam proses anggaran adalah :
1. Tujuan dan target yang hendak dicapai.
2. Kesediaan sumber daya (faktor-faktor produksi yang dimmiliki
pemerintah).
3. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan target.
4. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi anggaran, seperti
munculnya peraturan pemerintah yang baru, fluktuasi pasar,
perubahan sosial dan politik, bencana alam, dan sebagainya.

2.1.4

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


Pembahasan keuangan daerah tidak dapat terlepas dari pembahasan

mengenai APBD, oleh sebab itu pembahasan mengenai keuangan daerah disini
bertolak belakang dari pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
yang merupakan program kerja suatu daerah dalam bentuk angka-angka.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pasal 1 menyebutkan bahwa Anggaran
pendapatan dan belanja daerah selanjutnya disebut APBD, adalah rencana
keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
rencana keuangan pemerintah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan oleh
peraturan daerah (Nordiawan, 2007:39). Sehingga produk APBD merupakan
hasil kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan DPRD. Adapun fungsi APBD
adalah sebagai berikut (Halim, 2007:169-170) :

21

1. Fungsi

Otorisasi,

melaksanakan

yaitu

pendapatan

APBD
dan

merupakan
belanja

dasar

pada

untuk

tahunnyang

bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan, yaitu APBD merupakan pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang
bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan, yaitu APBD merupakan pedoman untuk
menilai apakah penyelenggaran pemerintah daerah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi, yaitu APBD harus diarahkan untuk menciptakan
lapangan kerja atau mengurangi pengeluaran dan pemborosan
sumber

daya

dan

meningkatkan

efisiensi

dan

efektifitas

perekonomian.
5. Fungsi Distribusi, yaitu APBD meruupakan kebijakan anggaran
daerag yang harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.
6. Fungsi Stabilisasi, yaitu APBD merupakan anggaran pemerintah
daerah yang menjadi alat untuk memlihara dan mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

2.1.4.1

Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)


Berdasarkan pengertian keuangan daerah menyebutkan bahwa dalam

menyelenggarakan pemerintahan, daerah mempunyai hak dan kewajiban. Oleh

22

karena itu maka Pemerintah Daerah memerlukan suatu rencana keuangan setiap
tahunnya, yaitu dengan menyusun APBD.
Dalam penyusunan APBD, strukturnya mengalami beberapa kali
perubahan sesuai dengan perkembangan pemerintahan dan peraturan yang
mengaturnya. Dilihat dari struktur, maka sesuai dengan ketentuan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, struktur Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dibagi menjadi Pendapatan, Belanja, dan
Pembiayaan. Pendapatan berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan. Belanja diklasifikasikan menjadi
belanja aparatur dan belanja publik. Kemudian dikelompokkan lagi menjadi
belanja administrasi dan umum; belanja operasi dan pemeliharaan; belanja
modal; belanja transfer; dan belanja tidak tersangka. Pembiayaan merupakan
penerimaan daerah yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran daerah yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran bersangkutan maupun tahuntahun anggaran berikutnya.

2.1.5

Konsep Pendapatan Daerah

2.1.5.1

Pengertian Pendapatan Daerah


Di dalam keuangan daerah terapat hak-hak yang dapat dinilai dengan

uang yang tercermin dalam pendapatan daerah. Pendapatan daerah yang dipungut
oleh Pemerintah Daerah dimaksudkan untuk membiayai berbagai pengeluaran

23

pemerintah sehubungan dengan tanggung jawab sebagai pelayan publik (public


service).
Pendapatan daerah pada dasarnya merupakan penerimaan daerah
dalam bentuk peningkatan aktiva atau penurnan utang dari berbagai sumber
dalam perode tahun anggaran yang bersangkutan. Untuk mendapatkan pengertian
yang lebih jelas dan tepat mengenai pendapatan, di bawah ini dikemukakan
beberapa definisi mengenai pendapatan daerah.
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) No. 2 tentang Laporan Realisasi
Anggaran, mendefinisikan : pendapatan sebagai semua penerimaan rekening
Kas Umum Negara/Daerah yang menambah ekuitas dana lancar dalam periode
tahun anggaran bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perluy
dibayar kembali oleh pemerintah. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah, yang dimaksud denga pendapatan daerah adalah Hak Pemerintah
Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
bersangkutan.

2.1.5.2

Sumber Pendapatan Daerah


Penyelenggaraan

otonomi

daerah

membawa

dampak

dalam

pengelolaan keuangan daerah dimana daerah diberi kewenangan untuk mengatur


dan mengurus keuangannya sendiri. Agar pelaksanaan pengelolaan keuangan

24

daerah dapat berjalan lancar maka pemerintah mengaturnya dalam pasal 155
Undang-Undang N0. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagai berikut
:
1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan
belanja daerah.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan
Pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban anggaran
pendapatan dan belanja negara.
3. Administrasi pemdanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara terpisah dari
administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud ayat (2).
Selain itu, dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah
diberikan sumber-sumber keuangan untuk pembiayaan berbagai tugas dan
tanggung jawabnya. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yaitu Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pasal 157 dan 159, sumber-sumber pendapatan bagi daerah terdiri atas :
1. Pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu :
a. hasil pajak daerah;
b. hasil retribusi daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d. lain-lain PAD yang sah.
2. dana perimbangan; dan
3. lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Dana perimbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 157 huruf b
terdiri atas:
1. Dana Bagi Hasil;
2. Dana Alokasi Umum; dan
3. Dana Alokasi Khusus

25

Menurut Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang


Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan daerah pasal
5 menyebutkan bahwa :
1. Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas
Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
2. Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersumber dari :
a. Pendapatan Asli Daerah;
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
3. Pembiayan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) bersumber dari :
a. Sisa lebih perhitungan anggaran daerah;
b. Penerimaan pinjaman daerah;
c. Dana Cadangan Daerah;
d. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

2.1.6

Kebijakan Atas Pendapatan Daerah

2.1.6.1

Pendapatan Asli Daerah (PAD)


Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sumber pendapatan yang harus

selalu terus menerus dipacu pertumbuhannya. Dalam otonomi daerah ini


kemandirian

Pemerintah

Daerah

sangat

dituntut

dalam

pembiayaan

pembangunan daerah dan pelayanan kepada masyarakat.


Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemerintah Daerah sangatlah
penting karena PAD menunjukkan kemampuan daerah dalam menggali sumber
keuangnnya sendiri yang kemudian menjadi sebuah ukuran kinerja bagi
Pemerintah Daerah dalam proses pengembangan ekonomi daerah. Menurut

26

Halim (2004:67), Pendaptan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan


daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.
Pengertian Pendapatan Asli Daerah menurut Ketentuan Umum UU RI
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan : Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya
disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.
PAD dipungut/diperoleh berdasarkan pada ketentuan perundanganundangan Pasal 6 UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengungkapkan bahwa :
1. PAD bersumber dari :
a. Pajak Daerah;
b. Retribusi Daerah;
c. Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
d. Lain-lain PAD yang sah.
2. Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d, meliputi :
a. Hasil penjualan kekayaan Daerah nyang tidak dipisahkan;
b. Jasa giro;
c. Pendapatan bunga;
d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
dan
e. Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
Daerah.
Permendagri No. 13 Tahun 2006 mengklasifikasi PAD menjadi empat
jenis pendapatan sebagai berikut:
1. Pajak Daerah
Pajak hotel, Pajak restoran, Pajak hiburan, Pajak reklame, Pajak
Penerangan jalan, Pajak parkir, Pajak air bawah tanah, Pajak

27

sarang walet, Pajak lingkungan, Pajak pengambilan bahan galian


golongan C.
2. Retribusi Daerah
Retribusi jasa umum, Retribusi jasa usaha, Retribusi perizinan
tertentu.
3. Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Bagian laba bank Pembangunan Daerah (BPD), bagian laba
Perusahaan Daerah, dan hasil investasi pada pihak ketiga.
4. Lain-lain PAD yang sah yaitu semua pendapatan yang bukan
berasal dari pajak daerah, pendapatan retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang ditetapkan
sesuai dengan peraturan daerah dan dipungut serta disetorkan ke
kas daerah dalam tahun anggaran berjalan, antara lain : hasil
penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro,
pendapatan bunga, penerimaan atas tuntuan kerugian daerah,
penerimaan komisi atau potongan akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah, penerimaan
keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing, pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan,
pendapatan denda pajak, pendpatan denda retribusi, pendapatan
hasil eksekusi atas jaminan, pendapatan dari pengembalian,

28

pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan,


pendapatan dari angsuran atau cicilan penjualan.
Menurut undang-undang No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah
merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk
digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai
pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana
dari pemerintah pusat.

2.1.6.2 Dana Alokasi Umum (DAU)


Kebijakan perimbangan keuangan membawa dampak terhadap
semakin besarnya kesenjangan kemampuan antara daerah, khsusnya karena
setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan daerah yang berbeda-beda.
Dengan kata lain daerah yang mempunyai potensi PBB dan SDA yang besar
akan memperoleh penerimaan yang besar, daerah yang potensinya kecil tentu
akan mendapatkan pendapatan yang kecil juga. Pengaturan Dana Alokasi
Umum (DAU) diarahkan untuk mengurangi kesenjangan tersebut, yang
berarti daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang relatif besar akan
memperoleh DAU yang realtif kecil demikian sebaliknya.
Pasal 1 UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa :

29

Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang


bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
Berdasarkan UU tersebut Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurangkurangnya 26% yang kemudian disalurkan kepada provinsi sebesar 10% dan
kabupaten atau kota sebesar 90% dari total DAU. Hal ini sesuai dengan PP
No. 55 Taun 2005 Pasal 37 yaitu :
1. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26%
(dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto.
2. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari
perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi dan kabupaten/kota.
3. Dalam hal penentuan proprosi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara
provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan imbangan 10%
(sepuluh persen) dan 90% (sembilan puluh persen).
4. Jumlah keseluruhan DAU sebagaimana dimaksud ayat (2)
ditetapkan dalam APBN.
Selanjutnya dari jumlah DAU 90% yang ditujukan untuk kabupaten
dan kota, maka setiap kabupaten dan kota akan mendapatkan DAU sesuai
dengan hasil perhitungan Formula DAU yang ditetapkan berdasarkan Celah
Fiskal dan Alokasi Dasar. Hal ini sesuai dengan PP No. 55 Tahun 2005 Pasal
40 yaitu :
1. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang
terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar.
2. Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal.
3. Kebutuhan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diukur
dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah,
Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto
per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia.

30

4. Kapasitas fiskal sebagimana dimaksud pada ayat (1) dihitung


berdasarkan Pendaptan Asli Daerah dan DBH.
5. Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdsarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Ketentuan perolehan DAU untuk Kabupaten/Kota menurut PP No. 55
Tahun 2005 pasal 45 yaitu :
1. Daerah yang memiliki celah fiskal lebih dari 0 (nol), menerima
DAU sebesar alokasi dasar ditambah celah fiskal.
2. Daerah yang memiliki celah fiskal sama dengan 0 (nol),
menerima DAU sebesar alokasi dasar.
3. Daerah yang memiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif
tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, menerima Dau sebesar
alokasi dasar setelah diperhitungkan nilai celah fiskal.
4. Daerah yang memeiliki celah fiskal negatif dan nilai negatif
tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar, tidak menerima
DAU.

2.1.7

Konsep Belanja Daerah

2.1.7.1

Pengertian Belanja Daerah


Di dalam keuangan daerah juga terdapat kewajiban-kewajiban daerah

yang dapat dinilai dengan uang yang tercermin dalam pengeluaran daerah.
Kewajiban-kewajiban tersebut dapat berupa pembangunan berbagai fasilitas
publik dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik. Kewajibankewajiban

Pemerintah

daerah

tersbeut

dapat

terpenuhi

melalui

pengeluaran/belanja daerah.
Pengertian belanja daerah menurut UU RI No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

31

adalah : Semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai


kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersngkutan.

2.1.7.2

Kebijakan Belanja Daerah


Berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang RI Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan


Daerah, belanja daerah diklasifikasikan menurut organsisasi, fungsi, program dan
kegiatan, dan jenis belanja. Selanjutnya dijelaskan dalam PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 27 bahwa :
1. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
organisasi pemerintahan daerah.
2. Klasifikasi belanja menurut fungsi terdiri dari :
a. Klasifikasi berdasarkan urusan pemerintahan; dan
b. Klasifikasi fungsi pengeloalaan keuangan negara.
3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan
dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
4. Klasifikasi belanja menurut jenis belanja terdiri dari :
a. Belanja pegawai
b. Belanja barang dan jasa
c. Belanja modal
d. Bunga
e. Subsidi
f. Hibah
g. Bantuan sosial
h. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan
i. Belanja tidak terduga.
Sedangkan di dalam Permendagri no. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah sebagaimana dirinci menurut
urusan pemerintahan daerah, organisasi, program dan kegiatan, dan kelompok.

32

1. Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri dari


belanja urusan wajib dan belanja urusan pilihan.
a. Belanja menurut urusan wajib mencakup : pendidikan,
kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan
ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkugan
hidup,

pertanahan,

kependudukan

dan

catatan

sipil,

pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga


sejahtera, sosial, tenaga kerja, koperasi dan usaha kecil dan
menengah, penanaman modal, kebudayaan, pemuda dan
olahraga,

kesatuan

bangsa

dan

politik

dalam

negeri,

pemerintahan umum kepegawaian; pemberdayaan masyarakat


dan desa, statistik, arsip, dan komunikasi dan informatika.
b. Belanja

menurut

urusan

pilihan

mencakup:

pertanian,

kehutanan, energidan sumber daya mineral, pariwisata,


kelautan dan perikanan, perdangangan, perindustrian, dan
transmigrasi.
2. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan.
3. Klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan
dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
4. Klasifikasi belanja menurut kelompok belanja terdiri dari belanja
langsung dan belanja tidak langsung.

33

a. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan


tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan. Belanja tidak langsung terdiri dari belanja pegawai,
bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil,
bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.
b. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang
dan jasa, dan belanja modal.

2.1.7.3

Belanja Modal
Sejalan dengan diselenggarakannya otonomi daerah, daerah harus

dapat mengembangkan daerahnya sendiri agar apa yang menjadi tujuan


diselenggarakannya otonomi daerah dapat terlaksana. Untuk itu diperlukan
banyak

dana

yang

harus

dikeluarkan

Pemerintah

Daerah

dalam

menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah, yang salah


satunya adalah belanja modal. Dengan demikian belanja modal merupakan faktor
penting dalam menyelenggarakan pembangunan daerah.
Menurut Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa :
Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian/pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang
mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk

34

digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah,


peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan,
dan aset tetap lainnya.
Dalam PSAP No.2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71
Tahun 2010, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan belanja modal adalah
Pengeluaran anggaran untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Berdasarkan beberapa pengertian belanja modal diatas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran
pemerintah yang ditujukan untuk kelancaran pembangunan di daerah yang
manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah kekayaan daerah
serta selanjutnya akan menambah belanja operasional dan pemeliharaan.
Belanja modal yang dikeluarkan Pemerintah Daerah merupakan
investasi daerah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
manfaatnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dirasakan oleh
masyarakat.
Dalam mengelola belanja modal ini Pemerintah daerah harus
didasarkan

pada

prinsip

dipertanggungjawabkan

efektifitas,

dengan

efisien,

transparan

mempertimbangkan

skala

dan

dapat
prioritas

pembangunan daerah.
Aset tetap merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan
publik oleh

daerah. Untuk menambah aset tetap, pemerintah daerah

mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal dalam APBD. Alokasi belanja

35

modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik
untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik.
Biasanya setiap tahun diadakan pengadaan aset tetap oleh pemerintahan daerah,
sesuai dengan prioritas anggaran dan pelayanan publik yang memberikan
dampak jangka panjang secara finansial.
Adapun jenis belanja modal menurut PSAP No.2 Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010 terbagai ke dalam enam pos,
yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Belanja Jalan, Irigasi, dan lainnya


Belanja aset tetap lainnya
Belanja aset lainnya
Belanja Tanah
Belanja Mesin
Belanja Gedung dan Bangunan.

2.2

Kerangka Pemikiran
Mengingat masih lemahnya kemampuan daerah dalam menggali

sumber pendapatan yang berasal dari daerahnya sendiri maka penggunaan


belanja

modal

harus

difokuskan

pada

program-program

yang

secara

berkesinambungan yang dapat mendukung peningkatan, penyempurnaan maupun


memperbaiki sarana dan prasarana yang dapat menunjang peningkatan
pembangunan, kesejahteraan masyrakat, dan merangsang terciptanya sumber
pendapatan baru.

36

Untuk itu, maka perlu dilakukan pengkajian sejauh mana pemerintah


daerah mengalokasikan pendapatan daerahnya untuk membiayai pengeluaran
modal ini. Hal ini diharapkan berguna sebagai bahan pertimbangan kepada
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya agar dapat tepat guna
dan berhasil guna.
Faktor keuangan merupakan salah satu faktor yang penting dalam
setiap kegiatan pemerintahan. Karena, semakin besar jumlah uang yang tersedia,
semakin banyak pula kemungkinan

kegiatan atau pekerjaan yang dapat

dilaksanakan. Maka, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah berpengaruh


terhadap belanja modal, karena semakin besar kebutuhan daerah untuk kegiatan
pembangunan maka akan semakin besar pula alokasi belanja modal yang
bersumber dari pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan daerah yang
berhasil dipungut oleh pemerintah daerah maka akan semakin besar pula alokasi
belanja modal yang akan dianggarkan oleh pemerintah daerah. Dengan asumsi
bahwa pada dasarnya belanja modal yang dikeluarkan oleh pemerintah
ditetapkan setelah belanja/pengeluaran daerah yang bersifat rutin sudah tertutupi.
Dengan demikian, apabila pendapatan daerah yang berhasil dikumpulkan oleh
pemerintah mengalami kenaikan, dimana pengeluaran pemerintah yang bersifat
rutin seperti belanja administrasi dan umum sudah tertutupi, maka kelebihannya
itu akan dialokasikan kepada belanja modal.
Pemerintah daerah mengalokasikan dana dalam bentuk belanja modal
dalam APBD untuk menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini didasarkan

37

pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran
pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk kualitas pelayanan publik.
Besarnya belanja modal yang dialokasikan pemerintah daerah dalam APBD tentu
sangat dipengaruhi oleh posisi keuangan pada daerah tersebut.
Dalam rangka menjalankan tugasnya pemerintah daerah harus
memiliki sumber keuangan yang cukup memadai, karena untuk melaksanakan
pembangunan daerah diperlukan biaya yang tidak sedikit.
Pendapatan daerah merupakan sarana pemerintah daerah untuk
melaksanakan tujuan maksimalisasi kemakmuran rakyat. Sumber pendapatan
daerah dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pendapatan daerah yang
bersumber dari pendapatan asli daerahnya dan pendapatan daerah yang
bersumber bukan dari pendapatan asli daerahnya.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang
bersumber dari pendapatan asli daerah. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah. Pendapatan daerah yang bukan berasal dari
pendapatan asli daerah diantaranya dana perimbangan dari pemerintah pusat.
Salah satu dana perimbangan yang bersumber dari pemerintah pusat
yaitu Dana Alokasi Umum. DAU diarahkan untuk mengatasi ketimpangan fiskal
yang terjadi di daerah. DAU merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal
dari pendapatan luar daerah atau dana hibah murni, dimana kewenangan
penggunaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah setempat.

38

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat sebuah model penelitian


yang dapat tergambarkan sebagai berikut :

Pendapatan Asli Daerah


(PAD)
Belanja Modal
Dana Alokasi Umum
(DAU)

Gambar 2.1
Model Penelitian

2.2.1 Penelitian Terdahulu


Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) meneliti tentang Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum
terhadap Belanja Modal. Sampel yang digunakan yaitu Kabupaten/Kota di Jawa
dan Bali Tahun 2004-2005 dengan alasan ketersediaan data. Hasil penelitiannya
membuktikan bahwa variabel Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah,
dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
Belanja Modal.
Anggiat Situngkir (2009) meneliti pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
PAD, DAU, dan DAK terhadap Belanja Modal dengan mengambil sampel

39

penelitian di Pemkab Sumatera Utara. Hasil penelitian tersebut variabel


Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.
Sedangkan variabel PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap
Belanja Modal.
Oleh karena itu, dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat
diambil kesimpulan bahwa sumber pendapatan secara keseluruhan baik berupa
Pendapatan Asli Daerah maupun Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap
Belanja Modal.
Penelitian terdahulu di atas kemudian diringkas dalam Tabel 2.1
berikut ini :
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
Ringkasan
penelitian
terdahulu
Peneliti
(tahun)
Darwanto dan
Yulia
Yustikasari
(2007)

Variabel yang Digunakan

Hasil Penelitian

Variabel dependen : belanja


modal
Variabel independen :
pertumbuhan ekonomi,
PAD, DAU

Anggiat
Situngkir
(2009)

Pertumbuhan Ekonomi,
PAD, DAU, DAK, Belanja
Modal

Variabel PAD dan DAU


berpengaruh positif terhadap
belanja modal. Sedangkan
variabel pertumbuhan
ekonomi tidak berpengaruh
terhadap belanja modal.
Pertumbuhan Ekonomi tidak
berpengaruh signifikan
terhadap Belanja Modal,
sedangkan PAD, DAU, DAK
berpengaruh signifikan
terhadap Belanja Modal.

Sumber: Review dari jurnal dan artikel

40

2.2.2

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal


Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya

sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut


dalam menghasilkan pendapatan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah bertujuan
untuk meningkatkan pelayanan publik dengan melakukan belanja untuk
kepentingan yang direalisasikan melalui belanja modal .
Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap
dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Belanja modal meliputi antara lain belanja modal untuk perolehan tanah, gedung
dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud (Halim, 2004).
Abdullah dan Halim (2004:10) menemukan bahwa sumber pendapatan
daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah
secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari
total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian angaran cukup
besar.
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap
belanja modal (Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007). Berdasarkan bukti
empiris tersebut, peningkatan PAD dapat mempengaruhi pemerintah dalam
pengalokasian belanja modal. Selain itu, temuan tersebut mengindikasikan
bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor dalam pengalokasian belanja
modal. Hal ini sesuai dengan PP No. 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa
APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan

41

kemampuan daerah dalam menghasilkan pendapatan. Sehingga apabila Pemda


ingin meningkatkan belanja modal untuk pelayanan publik dan kesejahteraan
masyrakat, maka Pemda harus menggali PAD yang sebesar-besarnya.
Berdasarkan landasan teori dan beberapa hasil penelitian diatas maka
hipotesis pertama dinyatakan sebagai berikut :
H1 :

Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja


Modal

2.2.3

Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal


Sumber pembiayaan pemerintah daerah dalam rangka perimbangan

keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi,


dekonsentrasi, dan pembangunan. Pelaksanaan desentralisasi dilakukan dengan
pemerintah pusat menyerahkan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus sendiri daerahnya. Wujud desentralisasi yaitu pemberian
dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan ini bertujuan
untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerntah
daerah (UU No. 33/2004).
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang
dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan keuangan antar daerah untuk
membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana perimbangan keuangan merupakan konsekuensi adanya penyerahan
kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian,

42

terjadi transfer yang cukup signifikan dalam APBN dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Pemerintah daerah dapat menggunakan Dana Alokasi Umum
untuk memberikan pelayanan kepada publik yang direalisasikan melalui belanja
modal.
Abdullah dan Halim (2004) menyatakan bahwa dana transfer jangka
panjang berupa DAU berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan
jumlah dana transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja
modal.
Prakoso (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja
modal dipengaruhi oleh Dana Alokasi Umum yang diterima dari pemerintah
pusat. Hasil penelitian Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti
empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi
lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan
pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin
tinggi. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah
khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU.
Berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi
belanja modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki
pendapatan daerah berupa DAU yang besar maka belanja modal akan meningkat.
Hipotesis kedua adalah sebagai berikut :
H2 :

Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap


Belanja Modal

43

2.2.4

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum


terhadap Belanja Modal
Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap

belanja modal (Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007). Berdasarkan bukti


empiris tersebut, peningkatan PAD dapat mempengaruhi pemerintah dalam
pengalokasian belanja modal. Selain itu, temuan tersebut mengindikasikan
bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor dalam pengalokasian belanja
modal.
Prakoso (2004) memperoleh bukti empiris bahwa jumlah belanja
modal dipengaruhi oleh Dana Alokasi Umum yang diterima dari pemerintah
pusat. Hasil penelitian Harianto dan Adi (2007) semakin memperkuat bukti
empiris tersebut. Mereka menemukan bahwa kemandirian daerah tidak menjadi
lebih baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya yaitu ketergantungan
pemerintah daerah terhadap transfer pemerintah pusat (DAU) menjadi semakin
tinggi. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah
khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU.
Hipotesis ketiga adalah sebagai berikut :
H3 :

Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum


berpengaruh positif terhadap Belanja Modal

BAB III
METODE PENELITIAN

4.1

Objek Penelitian
Objek penelitian adalah variabel atau apa yang menjadi titik perhatian

suatu peneliti, sedangkan subjek penelitian adalah tempat dimana variabel


melekat (Arikunto 2002:15).
Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai variabel independen dan
Belanja Modal sebagai variabel dependen.

4.2

Metode Penelitian
Berdasarkan variabel-variabel yang diteliti maka metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan


verifikatif.
Menurut Sugiyono (2012:21) menyatakan bahwa Metode deskriptif
adalah metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu
hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih
luas. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran secara sistematis, faktual dan akurat, mengenai fakta-fakta, sifat-sifat,
serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
44

45

Sedangkan verifikatif menurut Hasan (2006: 22) adalah menguji


kebenaran sesuatu dalam bidang yang telah ada dan digunakan untuk menguji
hipotesis yang menggunakan perhitungan-perhitungan statistik. Dalam hal ini
penelitian verifikatif bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendapatan asli
daerah dan dana alokasi umum terhadap alokasi belanja modal pada Pemerintah
Kota Bandung.

4.2.1

Definisi dan Operasionalisasi Variabel

3.2.1.1

Definisi Variabel
Variabel independen (bebas) yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai variabel X1 dan Dana Alokasi
Umum (DAU) sebagai variabel X2 serta Variabel Dependen (terikat) adalah
Belanja Modal sebagai variabel Y.
Pengertian dari masing-masing variabel di atas adalah sebagai berikut :
1. Variabel Pendapatan Asli Daerah
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, pendapatan Asli Daerah adalah
penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam
daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli
yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal
dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan

46

usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari


pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak
daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Variabel
Pendapatan Asli Daerah diukur dengan rumus :
PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan
Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang
Sah

2. Variabel Dana Alokasi Umum


Dana Alokasi Umum adalah transfer yang bersifat umum dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatasi
ketimpangan

horizontal

dengan

tujuan

utama

pemerataan

kemampuan keuangan antar daerah. Dana Alokasi umum untuk


masing-masing Kabupaten /

Kota dapat dilihat dari pos dana

perimbangan dalam Laporan Realisasi APBD. Dana Alokasi


Umum untuk daerah dapat dinyatakan dengan rumus sebagai
berikut :
DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar

Dimana.
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal Kapasitas Fiskal

47

3. Variabel Belanja Modal


Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya
yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja
modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan dan aset tak berwujud. Variabel belanja modal
dapat diukur dengan :
Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin +
Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan,
Irigrasi, dan Jaringan + Belanja Aset Tetap Lainnya

3.2.1.2

Operasionalisasi Variabel
Operasionalisasi dibutuhkan untuk menjadi acuan dalam penggunaan

instrumen penelitian untuk pengolahan data selanjutnya. Operasionalisasi


variabel dalam penelitian ini diuraikan dalam tabel berikut ini :

48

Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel

Sub
Variabel/Dimensi

Indikator

Realisasi PAD di
dalam Laporan
Realisasi Anggaran
(LRA)

Besarnya jumlah realisasi


PAD yang diperoleh daerah
yang berasal dari :
Pajak Daerah
Retribusi Daerah
Hasil Pengelolaan
kekayaan Daerah
yang dipisahkan
Lain-lain PAD yang
sah
Besarnya jumlah DAU yang
diberikan pemerintah pusat
berdasarkan PP RI No. 55
Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan.

Skala

Independen (X)

Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
(X1)

Dana Alokasi
Umum (DAU)
(X2)

Realisasi DAU di
dalam LRA

Rasio

Rasio

Dependen (Y)

Belanja Modal

Realisasi belanja
modal di dalam
LRA

Besarnya jumlah belanja


modal yang ditetapkan setiap
tahunnya.

Rasio

49

3.3

Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1

Populasi
Sugiyono (2012:115) mengemukakan bahwa Populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan


karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya.
Populasi dari penelitian ini adalah Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
Pemerintah Kota Bandung.

3.3.2

Sampel
Menurut Sugiyono (2012:116), sampel adalah bagian dari jumlah dan

karakterisktik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Adapun teknik yang


digunakan adalah Non Probability Sampling dengan pendekatan Purposive
Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai
dengan objek penelitian.
Sampel dari penelitian ini adalah LRA Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2005-2011. Tujuan penentuan sampel ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pengaruh PAD dan DAU terhadap belanja modal.
Pertimbangan pemilihan sampel tersebut adalah sebagai berikut:
1.

Kemudahan dalam memperoleh data yang berhubungan dengan penelitian.

2.

Laporan keuangan tujuh tahun terakhir akan memberikan gambaran terbaru


mengenai perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi

50

Umum (DAU) dan belanja modal sehingga dapat terlihat pertumbuhan dari
masing-masing variabel tersebut.
3.

Periode tersebut lebih relevan dengan keadaan atau situasi sekarang untuk
dilakukannya penelitian, sehingga hasil penelitian yang didapat lebih
akurat.

4.

Laporan Realisasi Anggaran (LRA) pada periode tersebut teah diaudit.

3.4

Teknik Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, cara

yang

digunakan

adalah

studi

dokumentasi,

dilakukan

dengan

cara

mengumpulkan dokumen-dokumen Laporan Keuangan Pemerintah yang


berkaitan dengan data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian ini.
Data yang digunakan oleh penulis diperoleh dari website resmi Badan
Pemeriksa Keuangan RI di http://www.bpk.go.id dan dari Badan Pemeriksaan
Keuangan RI Perwakilan Jawa Barat Jl. Moh. Toha No. 164.

3.4.1

Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

3.4.1.1

Teknik Analisis Data


Analisis data adalah proses penyederhanaan data dalam bentuk yang

lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Untuk itu, data yang dihimpun dari
hasil penelitian di lapangan akan disusun dan dibandingkan dengan data
kepustakaan, kemudian dilakukan analisis untuk ditarik kesimpulan. Analisis

51

dalam penelitian ini menggunakan statistik parametrik dengan menggunakan


model Regresi Linear Berganda. Untuk masuk ke model regresi tersebut, data
harus diuji asumsi klasik terlebih dahulu. Pengujian asumsi klasik bertujuan
untuk memastikan bahwa data yang diperoleh benar-benar memenuhi syarat,
sebagai asumsi dasar dalam analisis regresi. Uji asumsi klasik terdiri dari uji
multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, dan Heterokedastisitas. Perhitungan
analisis data seluruhnya akan dibantu dengan menggunakan software statistika
yaitu program SPSS 17 for Windows.

3.4.2

Statistik Deskriptif
Penyajian statistik deskriptif bertujuan untuk melihat profil dari data

penelitian tersebut dengan hubungan yang ada antar variabel yang digunakan
dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini variabel yang digunakan adalah
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Belanja Modal.

3.4.3

Uji Asumsi Klasik

3.4.3.1

Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas diperlukan unuk mengetahui apakah ada tidaknya

variabel independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain


dalam satu model (Nugroho, 2005: 58). Selain itu deteksi terhadap
multikolinearitas juga bertujuan untuk menghindari bias dalam proses
pengambilan keputusan mengenai pengaruh pada uji parsial masing-masing

52

variabel independen terhadap variabel dependen. Deteksi multikolinearitas pada


suatu model dapat dilihat jika nilai Variance Inflation Tolerance (VIF) tidak
lebih dari 10 dan nilai Tolerance tidak kurang 0,1, maka model tersebut dapat
dikatakan terbebas dari multikolinearitas. VIF = 1/Tolerance, jika VIF = 10 maka
Tolerance = 1/10 = 0,1.

3.4.3.2

Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam

variabel yang digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak digunakan
dalam penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal (Nugroho, 2005:
18). Untuk menguji apakah distribusi normal atau tidak, dapat dilihat melalui
normal probability plot dengan membandingkan distribusi kumulatif dan
distribusi normal. Data normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan
ploting data akan dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data adalah
normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti
garis diagonalnya (Ghozali, 2005: 10). Selain itu untuk menguji normalitas
residual dengan menggunakan uji statistik non-parametrik Kolmogrov-Smirnov
(K-S). Jika hasil Kolmogrov-Smirnov menunjukkan nilai signifikan diatas 0,05
maka data residual terdistribusi dengan normal. Sedangkan jika hasil KolmogrovSmirnov menunjukkan nilai signifikan di bawah 0,05 maka data residual
terdistribusi tidak normal (Ghozali, 2005: 113).

53

3.4.3.3

Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya

korelasi dalam hal variabel independen. Uji Autokorelasi dapat dilakukan dengan
cara uji Durbin Watson (DW test). Adapun cara mendeteksi terjadinya
Autokorelasi secara umum dapat diambil patokan sebagai berikut :
a.

Angka DW di bawah -2 berarti ada autokorelasi positif.

b.

Angka DW diantara -2 sampai +2 berarti tidak ada autokorelasi.

c.

Angka DW di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif.

3.4.3.4

Uji Heteroskedastisitas
Heterokedastisitas

merupakan

pelanggaran

dari

asumsi

homokedastisitas yang dapat menyebabkan bias dalam perhitungan koefisien


parameter.

Heteroskedastisitas

berarti

variabel-variabel

penjelas

dalam

persamaan regresi memiliki varians eror yang tidak konstan, sehingga


mengakibatkan estimator menjadi tidak efisien (baik pada sampel ukuran kecil
atau ukuran besar). Kondisi ini sering muncul dari data time series (data yang
dikumpulkan dari satu individu dan banyak waktu).
Pengujian situasi Heterokedastisitas dilakukan dengan pendekatan
grafik dan uji statistik. Deteksi melalui grafik dilakukan dengan melihat ada
tidaknya pola tertentu pada grafik tertentu, dimana sumbu Y adalah Y yang telah
diprediksi dan sumbu X adalah residual (Y- Prediksi-Y sesungguhnya). Dasar
pengambilan keputusan Gujarati (2003:402) :

54

Jika pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola
tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit),
maka terdapat situasi heteroskedastis.

Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar diatas dan
dibawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi situasi
heterokedastis.

3.4.4

Metode Regresi Linear Berganda


Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model analisis

regresi berganda bertujuan untuk memprediksi kekuatan pengaruh variabel


independen terhadap variabel dependen. Hubungan antar variabel tersebut dapat
digambarkan dengan persamaan sebagai berikut :
Y = + 1PAD + 2DAU + e
Dimana :
Y

= Belanja Modal

= Konstanta

= Koefisien Regresi

PAD

= Pendapatan Asli Daerah (PAD)

DAU

= Dana Alokasi Umum (DAU)

= error

55

3.4.5

Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang akan diuji dan dibuktikan dalam penelitian ini

berkaitan dengan pengaruh variabel-variabel bebas yaitu Pendapatan Asli Daerah


dan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. Pengujian hipotesis akan
dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi 0,05 (=0,05) atau tingkat
keyakinan sebesar 0,95 karena tingkat signifikansi tersebut umum digunakan
dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan dinggap cukup tepat untuk mewakili
hubungan antar variabel yang diteliti.
Hipotesis yang akan diuji berkaitan dengan ada tidaknya pengaruh
antara variabel yang diteliti. Hipotesis Nol (Ho) adalah hipotesis yang akan diuji
sedangkan hipotesis Alternatif (Ha) merupakan hipotesis pembanding dari
hipotesis Nol. Dalam penelitian ini pengujian hipotesis akan dilakukan secara
parsial dan secara simultan. Komposisi perumusan hipotesis pada penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut :
Hipotesis Pertama :
H01

Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh


negatif dan tidak signifikan terhadap belanja modal
pada Pemerintah Kota Bandung.

Ha1

Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh


positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.

56

Hipotesis Kedua :
H01

Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh


negatif dan tidak signifikan terhadap belanja modal
pada Pemerintah Kota Bandung.

Ha1

Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh


positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.

Hipotesis Ketiga :
H01

Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana


Alokasi Umum berpengaruh negatif dan

tidak

signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah


Kota Bandung.
Ha1

Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana


Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan
terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota
Bandung.

Selanjutnya untuk pengujian masing-masing hipotesis dilakukan


langkah-langkah sebagai berikut :

57

1.

Uji t
Pengujian hipotesis secara parsial dengan uji t bertujuan untuk

mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas X terhadap variabel


terikat Y. uji hipotesis parsial yaitu dengan mengunakan rumus :

2
1

Dimana :
t

= Nilai uji t

= Koefisien korelasi

r2

= Koefisien determinasi

Kriteria uji t adalah :


1. Jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima (variabel bebas X
berpengaruh terhadap variabel terikat Y).
2. Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak (variabel bebas X
tidak berpengaruh terhadap variabel terikat Y).

2.

Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas

(independen) terhadap variabel terikat (dependen) secara simultan atau bersamasama ketentuannya yaitu jika F hitung lebih besar atau sama dengan F tabel maka
tidak terdapat pengaruh antara variabel bebas secara keseluruhan terhadap

58

variabel terikat. Sebelum menghitung nilai F statistik maka terlebih dahulu harus
menghitung nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dengan membagi
jumlah kuadrat regresi (ESS) dengan jumlah kuadrat total (TS) nilai R2 ini
selanjutnya akan digunakan dalam menguji kedekatan variabel bebas dan
variabel terikat
Uji F hitung atau f statistik dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :

/
(1

)/( 1)

Dimana :
F

= Fhitung yang selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel

R2 = Koefisien korelasi yang telah ditentukan


k

= Jumlah variabel independen

= Jumlah anggota sampel

3.

Koefisien Determinasi
Pengukuran koefisien determinasi dilakukan untuk mengetahui

persentase pengaruh variabel independen terhadap perubahan variabel dependen.


Dari ini diketahui seberapa besar variabel dependen mampu dijelaskan oleh

59

variabel independennya, sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain


diluar model. Rumus yang digunakan yaitu :
=

Dimana :
KD = Koefisien determinasi
r

= Koefisien regresi

100%

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.3

Hasil Penelitian

6.1.1

Gambaran Umum Pemerintah Kota Bandung

6.1.1.1

Profil Daerah
Kota Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang tepatnya

terletak di wilayah Jawa Barat. Secara geografis Kota bandung terletak pada 107
Bujur Timur dan 6 55 Lintang Selatan. Dilihat dari lokasinya, kedudukan Kota
Bandung sangat strategis, baik bagi komunikasi, perekonomian maupun
keamanan, sebab :
1.

Kota Bandung terletak pada titik pertemuan poros jalan raya Barat-Timur
yang memudahkan hubungan dengan daerah Jakarta, sedangkan Ke Utara
dan Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang
dan Pangalengan).

2.

Dengan komunikasi yang baik dan tidak terisolir memudahkan geraknya


aparat keamanan ke segala penjuru.
Secara topografis, Kota Bandung terletak pada ketinggian 768 meter di

atas permukaan air laut, titik tertinggi di daerah Utara dengan ketinggian 1050
meter dan terendah di sebelah Selatan adalah 675 meter di atas permukaan air

60

61

laut. Dengan keadaan seperti ini Kota Bandung menjadi suatu kota yang sejuk
dengan temperatur rata-rata 23.2 C.

6.1.1.2

Sejarah Singkat Pemerintah Kota Bandung


Sejak tanggal 1 April 1906, yang kemudian dijadikan sebagai hari jadi

Kota Bandung, Dayeuh Bandung ditetapkan menjadi Geimmeente oleh J.B Van
Heutz sesuai dengan Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 29 februari 1906,
yang menerangkan bahwa Kota Bandung dibentuk sebagai suatu daerah otonom
yaitu daerah yang mempunyai hak untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Adapun isi pokok dari ordonansi pembentukan Geimeente
Bandung adalah sebagai berikut :
1. Bandung dinyatakan sebagai Geimeente yang berpemerintahan sendiri.
2. Untuk menjalankan tugas dan kewajiban pemerintah Geimeente diberikan
modal pertama sebesar F. 46.775,- yang disisihkan dari Anggaran Belanja
Pemerintahan Kolonial.
3. Tugas dan kewajiban yang harus dijalankan berupa :
a) Pembentukan pemeliharaan sarana kota seperti jalan umum, jembatan,
saluran air hujan, dan lain-lain.
b) Pembuangan sampah dari pekarangan, pertamanan, dan jalan.
c) Pencegahan kebakaran termasuk pemeliharaan kuburan-kuburan umum di
dalam atau di luar Geimeente.

62

d) Perangkat pemerintahan Geimeente secara ex officio diketahui oleh


assistant.
e) Cara penyelenggaraan tugas dan kewajiban adalah dengan jlan
pemberitahuan kewajiban dan wewenang dengan membuat peraturanperaturan.
f) Wewenang yang diberikan kepada pemerintahan Geimeente disertai
dengan retrikasi (pembatasan), yaitu tidak boleh mengatur apa-apa yang
telah ditetapkan oleh pemerintah pusat dan tidak bertentangan dengan
yang telah ditetapkan.
Pada waktu itu luas Kota Bandung baru sekitar 1900 Ha dengan dua
ondredistrick (setingkat dengan kecamatan) yang meliputi 14 desa, yaitu :
1. Ondredistrick Bandoeng Koelon meliputi desa Andir, Citepus, Pasar,
Cicendo, Soenaradja, Karanganyar, Astanaanyar dan Regol.
2. Ondredistrick Bandung Wetan terdiri dari desa Baloeboer, Kejaksaan,
lengkong, Kosambi, Cikawao, dan Goemoeroeh.
Sejak dibentuknya Geimeente hingga saat ini Kota Bandung telah
mengalami beberapa kali perubahan dalam status/sebutan, yaitu :
1. Geimeente Bandung (1906-1926).
2. Stadegemeente (mulai 1 Oktober 1926 dengan awal pemerintahan Jepang.
Berdasarkan Keputusan Jenderal tanggal 26 Agustus 1926 No. 3.5.1926 No.
369).
3. Bandung Si (Jaman Pemerintahan Jepang).

63

4. Haminte Kota Bandung (dari tanggal 24 April 1948 sampai dengan 11 Maret
1950 berdasarkan UU No. 22 Tahun 1948 pada masa berlakunya Negara
Pasundan).
5. Kota Besar Bandung (mulai berlaku tanggal 15 Agustus 1950 berdasarkan
UU No. 16 Tahun 1950).
6. Kota Praja Bandung (sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1957 tentang pokokpokok Pemerintahan daerah di Indonesia).
7. Kotamadya Bandung (Sebagai pelaksana UU No. 1 Tahun 1957, Walikota
Kepala Daerah Bandung dengan surat edaran No. 637 tanggal 11 Maret 1966,
sebutan Kotapraja Bandung secara resmi berubah menjadi Kotamadya
Bandung).
8. Kotamadya Daerah Tingkat II (UU No. 5 Tahun 1974, tentang pokok-pokok
Pemerintahan Daerah).
9. Kota Bandung (UU No. 22 Tahun 1999, yang kemudian diubah menjadi UU
No. 32 Tahun 2004).
Landasan pembentukan Pemerintah Kota Bandung di Indonesia pada
dasarnya semenjak tahun 1945, dibentuk atas dasar Pasal 28 Undang-Undang
Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai realisasi dari pasal
tersebut, maka semenjak itu undang-undang yang mengatur tentang Kota
Bandung secara berturut-turut adalah sebagai berikut :
1. UU RI No. 1 Tahun 1945 tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.

64

2. UU RI No. 52 Tahun 1948 tentang Undang-undang Pokok pemerintahan


Daerah.
3. UU RI No. 44 Tahun 1950 tentang Undang-undang atau Peraturan Pokok
Pemerintahan Daerah.
4. UU RI No. 1 tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
5. Ketetapan Presiden No. 6 Tahun 1956 tentang Pemerintah Daerah.
6. UU RI No. 1 Tahun 1965 tentang Praja Daerah.

6.1.1.3

Visi Pemerintah Kota Bandung


Visi Kota Bandung adalah Terwujudnya Kota Bandung sebagai kota

jasa yang bermartabat (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat).


Untuk merealisasikan keinginan, harapan serta tujuan sebagaimana
tertuang dalam visi yang telah ditetapkan, maka pemerintah bersama elemen
seluruh Kota Bandung harus memahami makna dari visi tersebut, yaitu :
1. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus bersih dari sampah dan bersih praktik
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), penyakit masyrakat (judi, pelacuran,
narkoba, premanisme), dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya yang
bertentangan dengan moral, agama, dan budaya masyarakat atau bangsa.
2. Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang memberikan kemakmuran bagi
warganya.

65

3. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus memiliki warga yang taat kepada
agama, hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan untuk menjaga keamanan,
kenyamanan dan ketertiban Kota.
4. Kota Bandung sebagai Kota Jasa harus memiliki warga yang bersahabat,
santun, akrab dan dapat menyenangkan bagi orang yang berkunjung serta
menjadikan Kota yang bersahabat dalam pemahaman Kota yang ramah
lingkungan.
Dengan demikian Kota Jasa yang bermartabat adalah kota yang
menyediakan jasa pelayanan yang didukung dengan terwujudnya kebersihan,
kemakmuran, ketaatan, ketakwaan dan kedisiplinan masyrakat.
Berdasarkan pemahaman tersebut, sangatlah rasional pada kurun lima
tahun kedepan diperlukan langkah dan tindakan pemantapan (revitalisasi,
reaktualisasi, reorientasi dan refungsionalisasi) yang harus dilakukan oleh
Pemerintah Kota Bandung bersama masyarakatnya serta didukung secara politis
oleh pihak legislatif melalui upaya-upaya yang lebih keras, cerdas dan terarah
namun tetap raman dalam meningkatkan akselerasi pembangunan guna
tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

6.1.1.4

Misi Pemerintah Kota Bandung


Misi adalah tugas yang diemban Pemerintah Kota Bandung meliputi :

1. Mengembangkan sumber daya manusia yang handal yang religius, yang


mencakup pendidikan, kesehatan dan moral keagamaan.

66

2. Mengembangkan perekonomian kota yang adil, yang mencakup peningkatan


perekonomian yang tangguh, sehat dan berkeadilan dalam rangka
meningkatkan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja dan
kesempatan berusaha.
3. Mengembangkan Sosial Budaya Kota yang ramah dan berkesadaran tinggi,
serta berhati nurani, yang mencakup peningkatan partisipasi masyarakat
dalam rangka meningkatkan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan
sosial, keluarga, pemuda dan olahraga serta kesetaraan gender.
4. Meningkatkan kesetaraan kota, yang mencakup pemeliharaan serta
peningkatan prasarana dan sarana kota agar sesuai dengan dinamika
peningkatan kegiatan kota dengan tetap memperhatikan tata ruang kota dan
daya dukung lingkungan kota.
5. Meningkatkan kinerja pemerintah kota secara profesional, efektif, efisien,
akuntabel dan transparan, yang mencakup pemberdayaan aparatur pemerintah
dan masyarakat.
6. Mengembangkan sistem keuangan kota, mencakup sistem pembiayaan
pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan komitmen di atas, maka diperlukan faktorfaktor pendukung yang menjadi faktor kunci keberhasilan. Adapun faktor-faktor
kunci keberhasilan tersebut meliputi :
1. Komitmen yang kuat dari seluruh pelaku pembangunan baik unsur eksekutif,
legislatif, maupun komponen masyarakat, termasuk perguruan tinggi dan

67

lembaga-lembaga atau pusat-pusat penelitian dan pembangunan IPTEK untuk


membangun Kota Bandung.
2. Susunan dan situasi keamanan Kota Bandung yang kondusif, baik untuk
aktivitas penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat serta meningkatkan daya tarik investasi kota.
3. Adanya komitmen untuk menegakkan supremasi hukum.
4. Situasi dan kondisi perekonomian di tingkat regional dan nasional yang
cukup baik berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekonomi
kota.

6.1.2

Deskripsi Data Variabel Penelitian

6.1.2.1

Gambaran PAD, DAU dan Belanja Modal Pemerintah Kota


Bandung

6.1.2.1.1 Gambaran PAD Pemerintah Kota Bandung


Sesuai dengan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab, maka pelaksanaan pemerintahan di daerah arus lebih
meningkatkan kemandiriannya dalam mengatur rumah tangganya sendiri.
Dengan demikian Pemerintah Daerah memegang peranan penting dalam
pelaksanaan otonomi daerah ini mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan pengendalian sampai pada pembiayaan dan evaluasi.
Untuk melaksanakan tugas pemerintahan tersebut diperlukan sarana
penunjang yang sangat memadai, dalam hal ini keuangan. Keuangan merupakan

68

salah satu kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam
mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
Gambaran mengenai jumlah realisasi Pendapatan Asli Daerah yang
berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung Tahun Anggaran 2005-2011 dapat
dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut :

Tabel 4.1
Pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2005-2011
(dalam rupiah)
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Sumber

Pendapatan Asli
Daerah
225.596.438.613,00
253.882.919.542,87
263.249.534.044,93
274.627.155.412,00
361.712.964.143,00
441.871.140.944,00
834.595.864.970,00

Total Pendapatan
Kota Bandung
1.123.097.156.370,00
1.397.711.614.415,87
1.685.638.878.892,93
2.018.841.349.189,00
2.403.470.674.178,00
2.440.168.433.364,00
3.115.296.523.907,00
Rata-rata

%
Kontribusi
20,09
18,16
15,62
13,60
15,05
18,10
26,79
18,20

: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2005-2011 (diolah)

Untuk mengetahui gambaran PAD pada Pemerintah Kota Bandung


tahun anggaran 2005-2011 secara lebih jelas, maka dapat dilihat pada gambar 4.1
sebagai berikut :

69

Gambar 4.1
Kontribusi PAD terhadap Pendapatan Daerah
Pemerintah Kota Bandung TA 2005-2011
30
25
20
15
10
5
0
TA2005

TA2006

TA2007

TA2008

TA2009

TA2010

TA2011

PAD

Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa data realisasi Pendapatan Asli
Daerah Pemerintah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami
kenaikan, sedangkan menurut gambar 4.1 kontribusi PAD terhadap Pendapatan
Daerah mengalami penurunan di tahun anggaran 2005-2008 dan mengalami
kenaikan kembali di tahun anggaran 2009-2011. Persentasi kontribusi tertinggi
terjadi pada tahun anggaran 2011 yaitu 26,79% dengan jumlah realisasi sebesar
Rp. 834.595.864.970,00. Sedangkan persentase terendah terjadi pada tahun
anggaran

2008

yaitu

274.627.155.412,00.

13,60%

dengan

jumlah

realisasi

sebesar

Rp.

70

Berdasarkan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pemerintah Kota


Bandung tahun anggaran 2005, jumlah PAD yang berhasil diperoleh Pemerintah
Kota Bandung adalah sebesar Rp. 225.596.438.613. Dari jumlah tersebut
pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp. 143.107.822.781, retribusi
daerah sebesar Rp. 66.280.333.390, hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 2.552.953.482 dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 13.655.328.960.
Pada tahun anggaran 2006, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 253.882.919.542,87. Dari jumlah
tersebut,

pendapatan

yang

berasal

dari

pajak

daerah

sebesar

Rp.

164.781.409.646, retribusi daerah sebesar Rp 76.015.059.933, hasil perusahaan


milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp
3.155.367.154 dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp
9.931.082.809,87.
Pada tahun anggaran 2007, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 287.249.534.044,93. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 190.496.238.611,
retribusi daerah sebesar Rp 76.099.329.030, hasil perusahaan milik daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 3.763.745.190
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 16.890.226.213,93.
Pada tahun anggaran 2008, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 314.617.155.412. Dari jumlah

71

tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 214.397.508.439,


retribusi daerah sebesar Rp 72.901.342.103, hasil perusahaan milik daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 5.447.893.079
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 21.880.411.791.
Pada tahun anggaran 2009, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 374.712.964.143. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 250.613.823.937,
retribusi daerah Rp 82.518.741.347, hasil perusahaan milik daerah dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan sebesar Rp 7.100.658.109 dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 34.479.740.750.
Pada tahun anggaran 2010, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 441.871.140.944. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 301.781.987.749,
retribusi daerah sebesar Rp 86.471.546.547, hasil perusahaan milik daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 15.298.098.935 dan yang
diperoleh dari pos lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp
38.319.509.713.
Pada tahun anggaran 2011, jumlah PAD yang berhasil diperoleh
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 834.595.864.970. Dari jumlah
tersebut, pendapatan yang berasal dari pajak daerah sebesar Rp 667.106.811.687,
retribusi daerah sebesar Rp 71684.532.455, hasil perusahaan milik daerah dan

72

hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 10.328.428.076, dan lainlain pendapatan asli daerah yang sah sebesar Rp 85.476.092.752.
Dalam struktur Pendapatan Daerah Kota Bandung selama tahun
anggaran 2005-2011, dapat dilihat kontribusi realisasi PAD terhadap jumlah
Pendapatan Daerah masih kecil denga rata-rata 18,20%. Hal ini mencerminkan
ketergantungan Pemerintah Kota Bandung terhadap pemerintah pusat masih
cukup besar. Namun kenaikan yang dialami pada tahun anggaran 2009-2011 tiga
tahun berturut-turut telah menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
penggalian sumber-sumber pendapatan daerah. Namun di samping itu,
mengingat kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah yang masih kecil dapat
dikatakan kemampuan keuangan Kota Bandung masih kurang dimana kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih banyak dibiayai dari
dana APBN.
Pendapatan asli daerah merupakan tulang punggung pembiayaan
daerah, oleh karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi di ukur dari
besarnya kontribusi yang diberikan oleh pendapatan asli daerah terhadap total
APBD, semakin besar kontribusi yang dapat diberikan oleh pendapatan asli
daerah terhadap APBD berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah
terhadap bantuan pemerintah pusat sehingga otonomi daerah dapat terwujud.
Dengan tingkat Pendapatan Asli Daerah yang semakin tinggi
Pemerintah Kota Bandung memiliki arah kebijakan dalam mengelola
pendapatannya. Salah satu arah kebijakannya adalah menginvestasikan sebagian

73

pendapatannya terhadap aset-aset pemerintah. Pada akhirnya investasi terhadap


aset-aset pemerintah tersebut mampu meningkatkan pembangunan dan pelayanan
terhadap masyarakat serta dapat merangsang terciptanya sumber pendapatan baru

6.1.2.1.2 Gambaran DAU Pemerintah Kota Bandung


Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersifat hibah murni
(grants) yang kewenangan penggunaan diserahkan penuh kepada Pemda
penerima. UU no. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah memberikan pengertian bahwa :
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Dana ini juga telah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan
dengan Keputusan Presiden. Sehingga setiap Pemda dapat memasukan nilai dari
dana ini dengan tepat pada RAPBD.
Gambaran mengenai jumlah realisasi Dana Alokasi Umum yang
berhasil diperoleh Pemerintah Kota Bandung tahun anggaran 2005-2011 dapat
dilihat pada tabel 4.2 sebagai berikut :

74

Tabel 4.2
Pertumbuhan Dana Alokasi Umum Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2005-2011
(dalam rupiah)
Tahun

Dana Alokasi Umum

Total Pendapatan
Kota Bandung

%
Kontribusi

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

458.072.000.000,00
632.379.000.000,00
828.294.700.000,00
965.518.566.800,00
1.026.745.545.000,00
912.571.834.000,00
1.005.982.541.000,00

1.123.097.156.370,00
1.397.711.614.415,87
1.685.638.878.892,93
2.018.841.349.189,00
2.403.470.674.178,00
2.440.168.433.364,00
3.115.296.523.907,00
Rata-rata

40,79%
45,24%
49,14%
47,84%
42,72%
37,40%
32,31%
42,19%

Sumber

: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2005-2011 (diolah)

Untuk melihat gambaran DAU pada Pemerintah Kota Bandung tahun


anggaran 2005-2011 secara lebih jelas, maka dapat dilihat pada grafik 4.2
sebagai berikut :

75

Gambar 4.2
Kontribusi DAU terhadap Pendapatan Daerah
Pemerintah Kota Bandung TA 2005-2011
60
50
40
30
20
10
0
TA2005

TA2006

TA2007

TA2008

TA2009

TA2010

TA2011

DAU

Dari tabel 4.2 data realisasi Dana Alokasi Umum Pemerintah Kota
Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami kondisi yang fluktuatif,
menurut gambar 4.2 kontribusi DAU terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah
Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami penurunan.
Persentase kontribusi tertinggi terjadi pada tahun anggaran 2007, yaitu 49,14%
dengan jumlah realisasi sebesar Rp 828.294.700,00 dan persentase kontribusi
Dana Alokasi Umum terendah terjadi pada tahun 2011, yaitu 32,31% dengan
jumlah realisasi sebesar Rp 1.005.982.541.000,00.
Pada tahun anggaran 2005 jumlah Dana Alokasi Umum yang berhasil
dihimpun oleh Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar Rp 458.072.000.000,

76

kontribusinya sebesar 40,79%,. Kemudian di tahun anggaran 2006, jumlah Dana


Alokasi Umum yang berhasil dihimpun adalah sebesar Rp 632.379.000.000.
Persentase pada tahun anggaran 2007 yaitu sebesar 49,14% dengan jumlah Dana
Alokasi Umum sebesar Rp 828.294.700.
Persentase kontribusi Dana Alokasi Umum pada tahun anggaran 2008
yaitu sebesar 47,84% dengan Jumlah Dana Alokasi Umum sebesar Rp
965.518.566.800,00. Pada tahun anggaran 2009, jumlah Dana Alokasi Umum
Pemerintah Kota Bandung adalah sebesar

1.026.745.545.000,00 dengan

persentase sebesar 42,72%. Dan mengalami penurunan di tahun anggaran 2010


dengan persentase sebesar 37,40% dengan perolehan Dana Alokasi Umum
sebesar Rp 912.571.834.000,00. Di tahun anggaran 2011 kontribusi Dana
Alokasi Umum kembali mengalami penurunan dengan persentase sebesar
32,31% dengan Dana Alokasi Umum yang berhasil diperoleh Pemerintah Kota
Bandung sebesar Rp 1.005.982.541.000,00.
Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer
yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini
apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk
keperluan lain yang tidak penting.

77

Sumber pendapatan kabupaten dan kota di Indonesia sebagian besar


berasal dari Dana Perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) Dana
Perimbangan sebagian besar menunjukan kapasitas fiskal suatu daerah.
Peningkatan pendapatan daerah yang signifikan adalah berasal dari proporsi dana
alokasi umum.
DAU yang diterima Pemerintah Kota Bandung semakin menurun dari
tahun ketahun, ini membuktikan bahwa telah ada kemandirian dalam pengelolaan
pendapatan. Ketergantungan terhadap pemerintah pusat semakin menurun.
Menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya
(expenditure) digunakan untuk kepentingan pengeluaran

rutin

maupun

pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang


berkualitas, responsible, dan akuntabel.

6.1.2.1.3 Gambaran Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung


Pendapatan Daerah yang berhasil diperoleh Pemerintah digunakan
untuk membiayai berbagai kegiatan yang berkenaan dengan pelaksanaan tugas
dan kewajibannya, salah satunya untuk membiayai pembangunan daerah, yaitu
berupa belanja modal.
Gambaran mengenai jumlah realisasi belanja modal Pemerintah Kota
Bandung tahun anggaran 2005-2011 dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini :

78

Tabel 4.3
Pertumbuhan Belanja Modal Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2005-2011
(dalam rupiah)
Tahun

Belanja Modal

2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

106.350.309.401,00
81.087.735.651,00
232.007.682.250,00
345.160.822.373,00
390.988.308.073,00
405.699.482.843,00
612.081.890.549,00

Sumber

Total Belanja Kota


Bandung
1.096.592.281.568,00
1.266.047.202.038,00
1,552.886.614.168,00
2.058.920.582.037,00
2.240.317.269.997,00
2.522.680.816.553,00
3.080.355.751.653,00
Rata-rata

%
Kontribusi
9,7%
6,4%
14,94%
16,76%
21,92%
16,08%
19,87%
15,09%

: Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Tahun Anggaran 2005-2011 (diolah)

Untuk melihat gambaran belanja modal pada Pemerintah Kota


Bandung tahun anggaran 2005-2011 secara lebih jelas, maka dapat dilihat pada
grafik 4.3 sebagai berikut :

79

Gambar 4.3
Kontribusi Belanja Modal terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kota Bandung TA 2005-2011
25
20
15
10
5
0
TA2005

TA2006

TA2007

TA2008

TA2009

TA2010

TA2011

DAU

Berdasarkan tabel 4.3 data realisasi belanja modal Pemerintah Kota


Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami kenaikan dan penurunan
begitupun menurut gambar 4.3 kontribusi belanja modal terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kota Bandung selama tahun anggaran 2005-2011 mengalami
kenaikan dan penurunan. Persentase kontribusi tertinggi terjadi pada tahun
anggaran

2009,

yaitu

21.92%

dengan

jumlah

realisasi

sebesar

Rp

390.988.308.073,00 dan persentase kontribusi belanja modal terendah terjadi


pada tahun 2006 dengan persentase sebesar 6,4% denga jumlah realisasi sebesar
Rp 81.087.735.651,00.

80

Pada tahun anggaran 2005 persentase kontribusi untuk belanja modal


yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bandung sebesar 9,7% dengan jumlah
realisasi sebesar Rp 106.350.309.401. Namun pada tahun anggaran 2006
kontribusi untuk belanja modal pemerintah mengalami penurunan, yaitu sebesar
6,4% dengan jumlah realisasi yang menurun juga dari tahun sebelumnya, yaitu
sebesar Rp 81.087.735.651. Kemudian pada tahun anggaran 2007-2009
kontribusi untuk belanja modal Pemerintah Kota Bandung mengalami kenaikan
sebesar 14,94%, 16,76% dan 21,92%.
Pada tahun anggaran 2010 kontribusi belanja modal Pemerintah Kota
Bandung kembali mengalami penurunan, yaitu sebesar 16,08% dengan jumlah
realisasi belanja modal sebesar 405.699.482.843,00. Kemudian di tahun anggaran
2011 mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yaitu dengan persentase
sebesar 19,87% dengan jumlah realisasi sebesar Rp 612.081.890.549,00.
Pada tahun anggaran 2006, Pemerintah Kota Bandung hanya sedikit
mengalokasikan dananya untuk pembangunan daerah dalam bentuk investasi.
Sebab, kecilnya alokasi untuk belanja modal yang manfaatnya dapat dirasakan
langsung oleh masyarakat, jumlah belanja modal yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kota Bandung sebesar Rp 81.087.735.651 atau mengalami
penurunan dari tahun anggaran sebelumnya.
Pada tahun anggaran 2007-2001, Pemerintah Kota Bandung mulai
menaikan kembali alokasi untuk belanja modalnya. Hal ini merupakan tindakan
yang sangat tepat, mengingat dengan meningkatnya pembangunan daerah maka

81

akan meningkatkan juga perekonomian masyarakat sehingga kesejahteraan


masyrakat juga ikut meningkat. Namun pada tahun 2010 belanja modal kembali
menurun, dan di tahun anggaran 2011 anggaran untuk belanja modal kembali
naik demi meningkatkan pembangunan di daerah.
Dilihat dari rata-rata persentase belanja modal tahun anggaran 20052011 yaitu sebesar 15,09% hal ini menunjukkan masih kecilnya alokasi belanja
modal. Untuk itu, kedepannya Pemerintah Kota Bandung diharapkan dapat
menambah dana alokasi belanja modalnya. Mengingat belanja modal ini
merupakan pengeluaran penting dalam melaksanakan pembangunan daerah dan
manfaatnya dapat dirasakan selama beberapa tahun kedepan. Dengan melihat
masih kecilnya alokasi belanja modal maka dalam penggunaannya harus
dilakukan seefektif dan seefisien mungkin dengan memperhatikan prioritas
pembangunan daerah.
Pengelolaan belanja modal sangat erat kaitannya dengan sistem
pengelolaan keuangan daerah, sistem penganggaran maupun akutansi. Sesuai
dengan reformasi dibidang keuangan, masyarakat semakin menuntut adanya
pengelolaan keuangan publik secara transparan dalam rangka mewujudkan
akuntabilitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja
yaitu belanja modal yang berorentasi pada pencapaian hasil atau kinerja.
Anggaran tersebut mencemarkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.
Berdasarkan Belanja Modal di Kota Bandung, dapat diperkirakan
kebutuhan Belanja Langsung dari Tahun 2005-2011. Bila kebutuhan Belanja

82

Langsung tersebut dipersentasekan terhadap perkiraan APBD Kota Bandung


Tahun 2012-2015, maka adanya kecenderungan persentase Belanja Modal
semakin meningkat. Artinya perhatian Pemerintah Kota Bandung terhadap
Pembangunan Kota semakin meningkat.
Kebutuhan Belanja Modal di atas bersifat indikatif dan mensyaratkan
beberapa hal yang penting untuk dipenuhi.
Arah kebijakan Pengelolaan Belanja Modal Kota Bandung adalah
sebagai berikut :
1.

Meningkatkan efektifitas dan efisiensi Belanja Tidak Langsung melalui


perencanaan anggaran dan sistem akuntansi yang baik. Belanja Tidak
Langsung harus sebaik mungkin dapat diprediksi dan dilakukan secara
konsisten sehingga mengurangi percampuran alokasinya dengan Belanja
Langsung ;

2.

Optimalisasi Belanja Langsung. Dilakukan dengan memastikan lokasi dan


sasaran pembangunan, satuan biaya yang tepat, dan secara umum
meningkatkan peran perencanaan, pemantauan program dan kegiatan.

3.

Menetapkan program prioritas dan menggunakan tolak ukur kinerja yang


jelas;

4.

Secara umum dalam setiap aspek selalu berpegang pada prinsip akuntabilitas
transparansi dan upaya yang sungguh-sungguh.

83

6.1.3

Analisis Data
Setelah data diperoleh dan dideskripsikan, diperlukan adanya

pengujian atas data tersebut agar dapat dianalisa lebih lanjut dan dapat digunakan
dalam pengujian hipotesis. Adapun uji yang dilakukan meliputi uji asumsi klasik
(multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, heterokedastisitas) dan uji hipotesis
yang mencakup di dalamnya analisis regresi dan uji koefisien determinasi. Kedua
hasil pengujian tersebut akan dipaparkan pada sub bab selanjutnya.
Berikut disajikan data Pendapatan Asli Daerah (X1), Dana Alokasi
Umum (X2) dan Belanja Modal (Y) pada Pemerintah Kota Bandung tahun
anggaran 2005-2011.

Tabel 4.4
Data Pengamatan Untuk Pengujian Statistik
PAD, DAU, dan Belanja Modal
Pemerintah Kota Bandung
Tahun Anggaran 2005-2011
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

X1
225.596.438.613,00
253.882.919.542,87
263.249.534.044,93
274.627.155.412,00
361.712.964.143,00
441.871.140.944,00
834.595.864.970,00

X2
458.072.000.000,00
632.379.000.000,00
828.294.700.000,00
965.518.566.800,00
1.026.745.545.000,00
912.571.834.000,00
1.005.982.541.000,00

Y
106.350.309.401,00
81.087.735.651,00
232.007.682.250,00
345.160.822.373,00
390.988.308.073,00
405.699.482.843,00
612.081.890.549,00

84

4.1.3.1

Pengujian Asumsi Klasik

1.

Uji Multikolinearitas
Uji Multikolinearitas betujuan untuk mengetahui apakah diantara

beberapa atau semua variabel yang menjelaskan model regresi terjadi hubungan
linear yang sempurna atau pasti. Pendeteksian dilakukan dengan melihat nilai
tolerance (TOL) dan faktor inflasi varians (Variance Inflation Factor, VIF).
Berikut ini disajikan tabel hasil penghitungan TOL dan VIF dengan menggunkan
Software SPSS 17 for Windows.
Tabel 4.5
Coefficients

Unstandardized

Standardized

Collinearity

Coefficients

Coefficients

Statistics
Toleranc

Model

1 (Constant)

Std. Error

-2.684E11

8.064E10

PAD

.496

.111

DAU

.469

.112

Beta

Sig.

VIF

-3.329

.029

.572

4.461

.011

.696 1.437

.537

4.184

.014

.696 1.437

a. Dependent Variable: BelanjaModal

Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat disimpulkan bahwa dari model tidak
mengalami gejala multikolinearitas karena memiliki tolerance yang lebih besar
dari 0,01 dan VIF yang lebih kecil dari 10. Ghozali dalam bukunya Aplikasi

85

Analisis Multivariate dengan Program SPSS, menyatakan bahwa model regresi


yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel-variabel bebas.

2.

Uji Normalitas
Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah data sampel yang diambil

mengikuti sebaran distribusi normal atau tidak. Pengujian dilakukan berdasarkan


uji normalitas Kolmogorov-Smirnov yang ditunjukkan pada tabel 4.6 berikut :

Tabel 4.6
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

PAD
N

DAU
7

a,,b

Normal Parameters

Mean

BelanjaModal
7

3.7879E11 8.3279E11

3.1048E11

Std. Deviation 2.14686E11 2.12992E11 1.86263E11


Most Extreme Differences Absolute

.258

.217

.162

Positive

.258

.181

.162

Negative

-.232

-.217

-.145

Kolmogorov-Smirnov Z

.682

.575

.428

Asymp. Sig. (2-tailed)

.741

.895

.993

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.

86

Dari perhitungan pada tabel 4.6 di atas, terlihat bahwa nilai PAD,
DAU, dan Belanja Modal masing-masing sebesar 0.741, 0.895 dan 0.993
(Asymp.Sig.(2-tailed)). Ketiga nilai tersebut lebih besar dari 0,05 sehingga data
yang digunakan dapat dikatakan berdistribusi normal serta dapat disimpulkan
bahwa PAD, DAU, dan Belanja Modal dapat memenuhi uji normalitas. Untuk
menegaskan hasil dari perhitungan Tes Kolmogorov-Smirnov Sampel Tunggal
diatas, digunakan juga grafik P- Plot of Regression Standardized Residual

Gambar 4.4

87

3.

Uji Autokorelasi
Uji Autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah di dalam model

regresi terdapat korelasi antar variabel-variabel independen itu sendiri atau


berkorelasi sendiri. Pendeteksian gejala autokorelasi dilakukan dengan uji
Durbin-Watson (DW). Berikut adalah hasil pengujian autokorelasi DurbinWatson menggunakan Software SPSS 17 for Windows.

Tabel 4.7
Model Summaryb
Model

R
.977a

R Square

Adjusted R Square

.954

.931

Std. Error of the Estimate


4.88252E10

Durbin-Watson
2.361

a. Predictors: (Constant), DAU, PAD


b. Dependent Variable: BelanjaModal

Dari hasil pengujian autokorelasi D-W di atas diperoleh angka D-W


sebesar 2,361 yang terletak di antara -2 sampai +2. Hal ini berarti dapat
disimpulkan bahwa model penelitian ini bebas dari autokorelasi.

4.

Uji Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan untuk menguji apakah prediktor dalam

penelitian mempunyai kekonsistenan dan memiliki standar error yang tidak

88

terlalu besar. Untuk menguji ada tidaknya gejala heterokedastisitas dilakukan


dengan melihat grafik scatter plot. Berikut ini disajikan grafik scatter plot.

Gambar 4.5

Berdasarkan gambar 4.5 di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi


gejala heterokedastisitas karena titik menyebar secara tidak teratur atau tidak
membentuk suatu pola tertentu serta titik menyebar di atas dan di bawah angka
nol.
Setelah semua asumsi klasik dipenuhi maka dilakukan pemodelan atas
koefisein regresi yang diperoleh. Pemodelan ditentukan dengan persamaan
regresi seperti yang dibawah ini :
Y = + 1PAD + 2DAU + e

89

Dimana :
Y

= Belanja Modal

= Konstanta

= Koefisien Regresi

PAD

= Pendapatan Asli Daerah (PAD)

DAU

= Dana Alokasi Umum (DAU)

= error
Untuk menentukan persamaan regresi maka terlebih dahulu dilakukan

pengujian hipotesis.

4.1.3.2

Pengujian Hipotesis

1.

Uji t
Pengujian hipotesis secara parsial dengan uji t bertujuan untuk

mengetahui pengaruh dari masing-masing variabel bebas X terhadap variabel


terikat Y. Pengujian dilakukan dengan membandingkan thitung dengan ttabel.
Penghitungan nilai thitung dilakukan dengan menggunakan Software SPSS 17 for
Windows. Hasil t hitung disajikan dalam tabel 4.8

90

Tabel 4.8
Coefficients a
Standardized
Unstandardized Coefficients
Model
1

B
(Constant)

Std. Error

-2.684E11

8.064E10

PAD

.496

.111

DAU

.469

.112

Coefficients
Beta

Sig.

-3.329

.029

.572

4.461

.011

.537

4.184

.014

a. Dependent Variable: BelanjaModal

Berdasarkan tabel 4.8 diatas maka dapat dibentuk persamaan regresi


yang dapat digunakan untuk memprediksi belanja modal Pemerintah Kota
Bandung sebagai berikut :
= -2.684E11 + 0,496X1 + 0.469X2 + e
Model persamaan regresi berganda di atas bermakna :
1.

Y = Nilai konstanta sebesar -2.684E11 artinya apabila variabel Pendapatan


Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum bernilai nol, maka Belanja Modal
sebesar -2.684E11 (Rp. -268.400.000,00) .

2.

X1 = Variabel Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap belanja


modal dengan nilai koefisien 0,496, artinya setiap pertambahan 1% variabel
PAD akan menaikkan belanja modal sebesar 0,496 satuan dengan asumsi
variabel lain dalam kondisi konstan.

91

3.

X2 = Variabel Dana Alokasi umum berpengaruh positif terhadap belanja


modal dengan nilai koefisien 0,469, artinya setiap pertambahan 1% variabel
DAU akan menaikkan belanja modal sebesar 0,469 satuan dengan asumsi
variabel lain dalam kondisi konstan.

1.

Hipotesis Pertama
Tabel 4.8 menunjukkan thitung untuk PAD sebesar 4,461. Besarnya ttabel

pada = 0,05 adalah sebesar 1,895. Besarnya thitung untuk Pendapatan Asli
Daerah sebesar 4,461 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,011
< 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial Pendapatan
Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.
Ha1

Secara parsial Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif dan


signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota
Bandung.

2.

Hipotesis Kedua
Dari hasil penelitian pada tabel 4.8, Dana Alokasi Umum (X2)

memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Hasil ini dapat
dilihat pada uji t yang memiliki thitung = 4,184 > dari ttabel 1,895 dengan angka
signifikansi 0,014. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial

92

Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal
pada Pemerintah Kota Bandung.
Ha1

Secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan


signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota
Bandung.

2.

Uji F
Pengujian hipotesis secara simultan dengan uji F bertujuan untuk

mengetahui pengaruh secara simultan dari variabel bebas X1, dan X2 terhadap
variabel

terikat

Y.

Pada

penelitian

ini

pengujian

dilakukan

dengan

membandingkan Fhitung dengan Ftabel. Hasil Fhitung disajikan dalam tabel 4.9
dibawah ini :
Tabel 4.9
ANOVAb
Model

Sum of Squares

df

Mean Square

1 Regression

1.986E23

9.931E22

Residual

9.536E21

2.384E21

Total

2.082E23

a. Predictors: (Constant), DAU, PAD


b. Dependent Variable: BelanjaModal

F
41.660

Sig.
.002

93

3.

Hipotesis Ketiga
Berdasarkan tabel 4.9 diatas diperoleh Fhitung sebesar 41,660 > Ftabel

sebesar 6,940 dengan tingkat signifikansi 0,002. Oleh karena itu tingkat
signifikansi 0,002 < 0,05, maka model regresi pada penelitian ini dapat dipakai
untuk memprediksi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel PAD dan DAU
berpengaruh signifikan terhadap variabel belanja modal.
Ha1

Secara simultan Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum


berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.

3.

Koefisien Determinasi
Pengujian koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur garis

regresi atau secara verbal mengukur proporsi total varians dalam Y yang
dijelaskan oleh regresi. Sebelum mengukur koefisien determinasi terlebih dahulu
harus menghitung koefisien korelasi (R). Penghitungan koefisien korelasi pada
penelitian ini menggunakan Software SPSS 17 for Windows Hasil penghitungan
disajikan dalam tabel berikut ini :

94

Tabel 4.10
Model Summary

Model

R
.977a

R Square
.954

Adjusted R

Std. Error of the

Square

Estimate
.931

4.88252E10

a. Predictors: (Constant), DAU, PAD

Tabel 4.10 di atas menunjukkan koefisien korelasi antara PAD dan


DAU terhadap Belanja Modal sebesar 0,977. Artinya terdapat pengaruh yang
sangat kuat antara PAD dan DAU terhadap Belanja Modal, dan koefisien
determinasi sebesar 0,954. Angka-angka ini berarti PAD dan DAU memberikan
pengaruh terhadap Belanja Modal sebesar 95,4% dan sisanya sebesar 4,6%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dihitung dalam penelitian ini.

4.1.3.2.1 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal


Koefisien regresi PAD sebesar 0,496 menunjukkan bahwa setiap
peningkatan nilai variabel PAD sebesar satu satuan sedangkan nilai variabel lain
tetap, maka akan mengakibatkan naiknya nilai variabel belanja modal sebesar
0,496 satuan.
Penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa Pendapatan Asli
Daerah berpengaruh positif terhadap belanja modal yaitu pada penelitian yang

95

dilakukan oleh Darwanto dan Yulia Yustikasari (2007) dan Anggiat Situngkir
(2009).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar Pendapatan
Asli Daerah maka akan semakin besar pula belanja modalnya. Namun, hasil
penelititan ini tidak dapat begitu saja digeneralisasikan dengan penelitianpenelitian di atas karena penelitian ini difokuskan khusus kepada Pemerintah
Kota Bandung. Sedangkan pada penelitian-penelitian sebelumnya berfokus
kepada Pemerintah Daerah dalam satu provinsi. Jadi, hasil penelitian ini dapat
dikatakan masih tergolong baru apabila dilihat dari subyek penelitian yang
diambil.
Tabel 4.8 menunjukkan thitung untuk PAD sebesar 4,461. Besarnya ttabel
pada = 0,05 adalah sebesar 1,895. Besarnya thitung untuk Pendapatan Asli
Daerah sebesar 4,461 > dari ttabel 1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,011
< 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial Pendapatan
Asli Daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal pada
Pemerintah Kota Bandung.

4.1.3.2.2 Pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal


Berdasarkan persamaan regresi pada tabel 4.8 di atas diperoleh
koefisien regresi DAU sebesar 0,469. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap
peningkatan nilai DAU sebesar satu satuan sedangkan nilai variabel lain tetap,
maka akan mengakibatkan naiknya nilai varibel belanja modal sebesar 0,469

96

satuan. Hal ini berarti semakin tinggi Dana Alokasi Umum tahun berjalan maka
semakin besar pula kontribusinya terhadap Belanja Modal di Pemerintah Kota
Bandung.
Besarnya t hitung untuk Dana Alokasi Umum sebesar 4,184 > dari ttabel
1,895 dengan angka signifikansi sebesar 0,014 < 0,05. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa secara parsial Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan
signifikan terhadap belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar jumlah Dana
Alokasi Umum, maka akan semakin besar pula belanja modalnya. Hal ini dapat
kita lihat pada koefisien regresi variabel Dana Alokasi umum dalam persamaan
regresi sebesar 0,469 yang berarti bahwa setiap peningkatan DAU sebesar satu
satuan akan mengakibatkan perubahan pada belanja modal sebesar 0,469.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Anggiat Situngkir (2009) yang menyatakan bahwa variabel DAU memiliki
pengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Dari hasil penelitian pada tabel 4.8, Dana Alokasi Umum (X2)
memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal. Hasil ini dapat
dilihat pada uji t yang memiliki thitung = 4,184 > dari ttabel 1,895 dengan angka
signifikansi 0,014. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial
Dana Alokasi Umum berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja modal
pada Pemerintah Kota Bandung. Artinya semakin besar Dana Alokasi Umum
maka semakin besar pula alokasi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung.

97

Begitupun sebaliknya, semakin kecil Dana Alokasi Umum maka semakin kecil
alokasi belanja modal Pemerintah Kota Bandung. Karena pengaruh Dana Alokasi
Umum berpengaruh signifikan terhadap belanja modal, artinya pengaruh tersebut
besar dan berarti.

4.1.3.2.3 Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum


terhadap Belanja Modal
Berdasarkan tabel 4.9 diatas diperoleh Fhitung sebesar 41,660 > Ftabel
sebesar 6,940 dengan tingkat signifikansi 0,002. Oleh karena itu tingkat
signifikansi 0,002 < 0,05, maka model regresi pada penelitian ini dapat dipakai
untuk memprediksi belanja modal pada Pemerintah Kota Bandung. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel PAD dan DAU
berpengaruh signifikan terhadap variabel belanja modal.
Tabel 4.10 di atas menunjukkan koefisien korelasi antara PAD dan
DAU terhadap Belanja Modal sebesar 0,977. Artinya terdapat pengaruh yang
sangat kuat antara PAD dan DAU terhadap Belanja Modal, dan koefisien
determinasi sebesar 0,954. Angka-angka ini berarti PAD dan DAU memberikan
pengaruh terhadap Belanja Modal sebesar 95,4% dan sisanya sebesar 4,6%
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dihitung dalam penelitian ini.
Berdasarkan hasil pengujian hipotesis pada tabel 4.8 di atas, maka
dapat digambarkan pengaruh dari masing-masing variabel independen (X1 dan
X2) terhadap variabel Y sebagai berikut :

98

Pendapatan Asli Daerah

49,6%

95,4%

Belanja Modal

Dana Alokasi Umum

46,9%

Gambar 4.6
Persentase Pengaruh Variabel

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

6.2

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada Pemerintah Kota Bandung mengenai

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja
modal tahun anggaran 2005-2011, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.

Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Pendapatan Asli Daerah


terhadap

terhadap

Belanja

Modal.

Berdasarkan

hasil

perhitungan

menunjukkan variabel Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap


belanja modal. Akan tetapi pada kenyataannya PAD Pemerintah Bandung
tidak dapat dipungut sepenuhnya oleh Pemerintah Kota Bandung, hal ini
disebabkan karena kebocoran-kebocoran yang terjadi pada pemungutan
PAD. Kebocoran-kebocoran PAD tersebut mengakibatkan kontribusi PAD
terhadap belanja modal tidak optimal.
2.

Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Dana Alokasi Umum


terhadap

terhadap

Belanja

Modal.

Berdasarkan

hasil

perhitungan

menunjukkan variabel Dana Alokasi umum berpengaruh positif terhadap


modal. Akan tetapi pada kenyataanya DAU yang diterima Pemerintah Kota
Bandung disalahgunakan pemakaiannya, DAU cenderung digunakan untuk

99

100

kepentingan-kepentingan pribadi pejabat daerah. Hal ini menyebabkan


kontribusi DAU terhadap belanja modal tidak optimal.
3.

Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara Pendapatan Asli Daerah dan
Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kota
Bandung tahun anggaran 2005-2011.

6.3

Saran
Adapun saran yang penulis ajukan dalam penelitian ini antara lain :

1.

Sebaiknya Pemerintah Kota Bandung lebih mengoptimalkan usaha dalam


meningkatkan pendapatan daerahnya dan memperketat pengawasan agar
tidak terjadi kebocoran terutama pendapatan yang bersumber dari
Pendapatan Asli Daerah. Karena PAD merupakan gambaran dalam
kemandirian daerah.

2.

Pemerintah Kota Bandung diharapkan dapat mengalokasikan belanja


modalnya pada program/kegiatan yang dapat meningkatkan pembangunan
dan pelayanan terhadap masyarakat serta dapat merangsang terciptanya
sumber pendapatan baru.

3.

Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk
melakukan penelitian lanjutan dengan menambahkan sampel yang
digunakan dan memperluas periode pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim. (2007). Seri Bunga Rampai Manajmenen Keuangan daerah


Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Abdullah Syukriy dan Abdul Halim (2006). Studi atas Belanja Modal pada
Anggaran Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja
Pemeilharaan dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintah.
Vol.2No.2 Hal 17-32
Abdullah, Syukriy & Abdul Halim. (2004). Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU)
dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah.
Simposium Nasional Akuntansi VI, hal. 1140-1159.
Darwanto dan Yulia Yustikasari. (2007). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi. Jurnal Akuntansi
dan Keuangan Sektor Publik, Vol 08 No. 01. February 2007. BPFE UGM.
Yogyakarta
Ghozali, Imam. (2006). Statistik Multivariat SPSS. Penerbit BP Universitas
Diponegoro.
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. (2004). Pengaruh Dana Alokasi Umum dan
Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Pemda: Studi Kasus Kabupaten
dan Kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi STEI No.2/Tahun XIII/25.
Halim, Abdul & Syukriy Abdullah. (2006). Hubungan dan Masalah Keagenan di
Pemerintahan Daerah: Sebuah Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi.
Jurnal Akuntansi Pemerintah 2(1): 53-64.
Hari Adi, Priyo. 2006. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja
Pembangunan dan Pendapatan Asli Daerah. Simposium Nasional Akuntansi
IX.
Ihyaul Ulum. (2008). Akuntansi Sektor Publik. Malang: UMM Press

Iqbal Hasan. (2004). Analisis Data Penelitian dan Statistik. Jakarta: Bumi Aksara
Kesit Bambang Prakosa. (2004). Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan
pendapatan Asli Daerah (Study Empirik di Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan
DIY). Desember: Yogyakarta
Mahmudi. (2006). Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Yogyakarta:
Andi
Nugroho, Bhuono, Agung. (2005). Strategi Jitu Memilih Metode Statistik Penelitian
Dengan SPSS, Edisi I. Yogyakarta: Andi
Peraturan Mentri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah republic Indonesia No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 55 tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah
Saragih, Juli Panglima. (2003). Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam
Otonomi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.
Stungkir, Anggiat (2009). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja
Modal (Studi Empiris Pada pemkot/Pemkab Sumatera Utara. Juli. Medan
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Bisnis. Bandung Alfabeta
Suharsimi Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
_____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.
_____________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah,
Departemen Komunikasi dan Informatika. Jakarta.

_______________. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2005


tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah. Departemen Komunikasi dan
Informatika. Jakarta.
_______________. (2010). Penelusuran Koran Kaskus. Dana perbaikan jalan hanya
sebesar
Rp.54M
tak
cukup.
http://penelusurankornkaskus.com/index.php/berita/data-bisnis-dana-perbaikanjalan-hanya-sebesar-Rp.54M-tak-cukup
__________. (2012). Bisnis Jabar. PAD Kota Bandung Berasal dari Pajak Hiburan.
http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/data-bisnis-pendapatan-asli-daerahkota-bandung-dari-pajak-hiburan
_______________. (2012). Bisnis Jabar. Belanja Daerah ditargetkan Konsisten dari
Pajak. http://bisnis-jabar.com/index.php/berita/belanja-daerah-kota-bandungditargetkan-konsisten-dari-pajak
_______________. (2011). Kementerian Dalam Negeri. Mendagri Segera Sisir
Rekening
Pejabat
Daerah.
http://www.depdagri.go.id/news/2011/06/17/mendagri-segera-sisir-rekeningpejabat-daerah
Website BPK RI www.bpk.go.id
Website Departemen Keuangan RI http://www.djpk.depkeu.go.id
Website Tibun Jabar www.tribunnews.com
Website Surat Kabar Karawang www.karawangnews.com
Website Pikiran Rakyat Online www.pikran-rakyat.com

You might also like