You are on page 1of 6

faktor-faktor yang mempengaruhi efek toksik, yang dalam catatan ini yang dibahas adalah

interaksi kimia sebagai salah satu faktornya. Terkait interaksi kimia, ada berbagai macam jenis
interaksi kimia antara lain:
1.
Aditif
2.

Sinergistik

3.

Potensiasi

4.

Antagonisme kimia

5.

Antagonisme fungsional

6.

Antagonisme kompetitif

7.

Antagonisme nonkompetitif

Aditif merupakan, interaksi kimia antara dua atau lebih senyawa toksik yang menghasilkan efek
toksik yang saling menambahkan (efek toksiknya menjadi lebih besar, yaitu 1+1 = 2). Misalnya
suatu senyawa dengan dosis tertentu apabila digunakan secara tunggal tidak mencapai efek
toksik, namun ketika dikonsumsi bersama senyawa dengan efek yang sama, menjadi
meningkatkan efek toksiknya sehingga bisa mencapai toksisitasnya. Contohnya adalah senyawa
organofosfat, yang dikonsumsi secara tunggal dengan dosis biasanya tidak toksik, ketika
digunakan bersama dengan senyawa organofosfat yang lain dengan dosis biasanya juga
menjadi toksik.
Sinergistik merupakan interaksi dengan konsep yang sama seperti aditif, hanya saja, efek toksik
yang ditimbulkan dapat lebih besar, karena 1+1 > 2. Contohnya adalah efek toksik yang
dihasilkan akibat interaksi CCl4 dengan etanol pada hepar. Etanol dalam interaksi tersebut
bertindak dalam meningkatkan absorpsi dari CCl4, etanol sendiri sudah bersifat toksik pada hati,
adanya CCl4, menyebabkan etanol meningkatkan absorpsinya sehingga menyebabkan kadar
CCl4 yang toksik semakin meningkat dalam tubuh sehingga efek toksik kombinasi menjadi lebih
besar.
Potensiasi merupakan interaksi kimia yang menyebabkan suatu senyawa dengan efek yang
berbeda tapi mampu membuat senyawa yang lain berpotensi menimbulkan efek toksik.
Contohnya adalah CCl4 dengan isopropanol. Adanya isopropanol menyebabkan CCl4
berpotensi menimbulkan hepatitis.
Antagonisme kimia, merupakan interaksi kimia antara dua senyawa yang menghasilkan suatu
efek yang saling berlawanan sehingga akibatnya jika dua senyawa toksik berinteraksi dan
menghasilkan antagonisme kimia ini, maka efek toksiknya menjadi saling ditiadakan sehingga
tidak jadi memberikan efek toksik. Contohnya interaksi antara Dimerkaprol dengan logam-logam
toksik. Adanya interaksi menyebabkan logam-logam toksik menjadi terkelasi oleh Dimerkaprol
sehingga efek toksiknya menjadi tiada atau menurun. Meskipun demikian, suatu senyawa yang
tadinya tidak toksik, ketika berinteraksi dengan senyawa lainnya dapat juga menyebabkan efek
toksik. Contohnya adalah interaksi antara enzim dengan suatu logam. Yang seharusnya enzim
dapat berikatan dengan senyawa endogen untuk mempertahankan fisiologis tubuh, ketika
berinteraksi dengan logam, enzim tersebut dapat terkompleks, sehingga tidak ada yang dapat
berikatan dengan senyawa endogen. Akibatnya terjadi penumpukkan atau akumulasi senyawa
endogen sehingga akhirnya menimbulkan efek toksik. Contohnya adalah interaksi antara enzim
kolinesterase dengan senyawa organofosfat. Interaksi tersebut dapat terjadi akibat adanya

ikatan kovalen atara gugus fosfat dengan gugus hidroksi enzim. Akibatnya senyawa endogennya
yaitu asetilkolin mengalami penumpukkan dan menyebabkan efek toksik berupa stimulasi saraf
kolinergik yang berlebihan dengan gejala kejang-kejang dan sekresi air liur yang berlebihan.
Untuk informasi saja, senyawa organofosfat memiliki kecenderungan untuk berinteraksi lebih
tinggi dengan 2-PAM (pralidoxim) sehingga apabila terdapat 2-PAM, ikatannya dengan
kolinesterase akan dilepas, sehingga kolinesterase dapat tetap berikatan dengan asetilkolin.
Antagonisme fungsional, merupakan interaksi kimia yang menghasilkan efek yang berlawanan
secara fungsinya. Misalnya suatu senyawa depresan dan stimulan SSP. Depresan tersebut
biasanya menyebabkan depresi sehingga konsumen menjadi mengantuk, dengan diberikan
stimulan SSP, maka efek mengantuk menjadi tiada. Biasanya depresan ini ada dalam obat batuk
yang berkhasiat sebagai antihistamin sehingga efek sampingnya adalah depresi, dengan
diberikan zat tambahan yaitu kafein yang memiliki khasiat sebagai stimulan SSP, maka efek
mengantuk menjadi tiada.
Antagonisme kompetitif, merupakan interaksi kimia antara dua senyawa yang memiliki reseptor
yang sama sehingga menghasilkan efek yang saling meniadakan. Contohnya adalah interaksi
antara nikotin dengan penghambat ganglionik. Keduanya memiliki reseptor yang sama. Ketika
nikotin yang berikatan, maka efek nikotin adalah menstimulasi saraf kolinergik khsusunya pada
ganglionik sehingga efek penghambat ganglionik tidak dapat bekerja sama sekali.
Antagonis non kompetitif, merupakan interaksi yang juga saling meniadakan efeknya, namun
masing-masing memiliki reseptor yang berbeda pada sisi aktif yang berbeda pula. Misalnya
interaksi antara atropin dengan antikolinesterasi (organofosfat), ketika organofosfat berinterkasi
maka terjadi inaktivasi kolinesterase sehingga terjadi perangsangan yang berlebihan dari
asetilkolin. Di sisi lain, atropin berikatan dengan reseptor yang berbeda dan memberikan efek
yang dapat mengatasi asetilkolin yang berlebihan tersebut. Dengan demikian efeknya menjadi
saling meniadakan.
Mekanisme kerja interaksi kimia dapat terjadi dengan beberapa cara, antara lain:
1.
Secara langsung. Contohnya seperti senyawa nitrat yang berinteraksi dengan mirkroba
dalam usus senyawa tersebut dimodifikasi menjadi nitrit lalu dengan adanya asam lambung dan
senyawa lain diperoleh nitrosamin yang mana jika kadarnya berlebihan dapat menyebabkan
interaksi dengan hemoglobin sehingga ikatannya dengan oksigen menjadi terganggu.
2.
Menggser ikatan protein plasma. Contohnya adalah ikatan protein plasma dengan
Tolbutamid dan golongan Sulfa, lebih lengkap telah dijelaskan di catatan sebelumnya bagian
distribusi.
3.
Persaingan dalam sistem transport ginjal. Contohnya, ekskresi penisilin mengalami
pengurangan akibat adanya probenesid.
4.

Ikatan kimia-reseptor (agonis/antagonis)

5.
Perubahan biotransformasi (induksi/inhibisi). Adanya suatu senyawa yang dapat
menginduksi senyawa tertentu yang awalnya tidak toksik, apabila ada senyawa tersebut, maka
enzim pemetabolisme dapat teraktivasi dan menyebabkan senyawa yang tadinya tidak toksik
menjadi toksik. Contohnya adalah Kodein yang diinduksi metabolismenya oleh fenobarbital.

Kodein dimetabolisme dapat dihasilkan senyawa morfin yang bersifat toksik. Dapat pula interaksi
inhibisi menyebabkan efek toksik. Misalnya interaksi fenitoin yang diinhibisi metabolismenya oleh
INH. Ketika enzim pemetabolismenya diinaktivasi oleh INH, maka fenitoin tidak termetabolisme
menyebabkan kadarnya menjadi meningkat dan meningkatkan toksisitasnya.
Selanjutnya, selesai membahas seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi efek toksik, materi
beralih ke Teratogen.
Teratogen adalah zat atau sesuatu yang dapat menyebabkan atau meningkatkan kejadiaan
cacat bawaan atau congenital defects (CD). Cacat bawaan adalah ketidaknormalan bayi baru
lahir (neonatus) baik secara morfologi maupun biokimia, yang disebabkan karena adanya
gangguan perkembangan normal, baik embrio maupun fetus dalam rahim (uterus) menyebabkan
ketidaknormalan. Malformasi bawaan (congenital defects) adalah ketidaknormalan anatomi bayi
baru lahir, jadi ini yang dimaksud cacat secara morfologi.
Kejadian cacat bawaan telah dicatat ratusan tahun yang lalu, di antaranya oleh:
1.
Murphy, tahun 1928, tercatat 14 bayi dari 320 wanita hamil yang menjalani radiasi di
awal kehamilan mengalami lingkar kepala kecil dan cacat mental. Oleh karena itu, saat ini, untuk
wanita yang sedang hamil tidak diperbolehkan dirontgen.
2.
Hale, 1933, diketahui adanya bayi babi yang mengalami anoftalmia atau tidak memiliki
mata akibat induknya mengalami kekurangan vitamin A apda sebelum dan bulan ke-1
kehamilan. Penemuan ini, membuat ibu-ibu yang sedang hamil atau yang akan hamil untuk
menjaga gizinya agar jangan sampai kekurangan vitamin yang dibutuhkan oleh perkembangan
janin.
3.
Warkenji dan Schraffenberger, 1944, tercatat adanya janin akibat kekurangan gizi,
sehingga untuk ibu hamil diminta untuk menjaga pola makannya, jangan sampai malas makan
karena akibatnya dapat melahirkan bayi yang cacat.
4.
Gregg, 1941, dicatat adanya bayi yang mengalami kebutaan, ketulian, bahkan kematian
akibat ibunya yang menderita penyakit rubela. Oleh karena itu, penting untuk menjaga
kesehatan bagi ibu hamil, jangan sampai terinfeksi.
5.
Lanz dan Knapp, 1962. Kurang lebih 1000 bayi mengalami fokomelia atau cacat anggota
badan yang lahir dari ibu yang menggunakan talidomid sebagai obat mual di awal kehamilan.
Kejadian cacat inilah yang penting bagi perkembangan ilmu kefarmasian karena kejadian
tersebut diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan. Oleh karena itu, sejak kejadian tersebut,
setiap obat-obatan perlu untuk diuji potensi teratogeniknya. Meskipun bayi dalam kandugan
diselimuti oleh sawar plasenta, namun sesungguhnya tidak sepenuhnya sawar plasenta tesebut
melindungi embrio atau fetus dari zat kimia atau obat yang digunakan oleh ibu.
Cacat bawaan merupakan malapetaka seumur hidup bagi anak itu dan bisa juga untuk
keturunannya sehingga perlu untuk dicegah. Semua obat, zat makanan, pestisida, bahan
pencemar lingkungan dan zat kimia lain, harus diuji teratogeniknya. Pemberian obat pada wanita
hamil, khususnya pada trimester pertama hendaknya dihindari. Jika terpaska harus minum obat,
diberikan obat yang benar-benar terbukti tidak memiliki efek teratogenik.
Berikut adalah etiologi cacat bawaan:

Penjelasannya
adalah
sebagai
berikut:
Penyebab dari cacat bawaan antara lain mutasi genetik, penyimpangan kromosom dan
pengaruh luar baik eksogen maupun multifaktorial. Adanya mutasi genetik dan penyimpangan
kromosom dapat menyebabkan terganggunya informasi genetik pada perkembangan normal,
sehingga apabila terjadi mutasi genentik terjadi perkembangan abnormal berupa gangguan
dominan maupun resesif (contohnya akan dijelaskan setelah ini), sementara pada
penyimpangan kromosom dapat menyebabkan gangguan perkembangan abnormal berupa
sindrom
kelainan
kromosom.
Sementara penyebab yang berasal dari luar, untuk yang pengaruh eksogen dapat menyebabkan
gangguan perkembangan normal berupa organogenesis biasanya terjadi pada trimester pertama
(saat perkembangan organ). Untuk yang penyebab dari multifaktorial dapat mempengaruhi
perkembangan normal yaitu fetus yang biasanya terjadi setelah trimester pertama. Keempat
penyebab di atas pada akhirnya agar berujung kecacatan pada neonatus.
Mutasi
Genetik
dan
Penyimpangan
Kromosom.
Cacat bawaan yang disebabkan oleh mutasi genetik pada sel benih dan penyimpangan
kromosom terjadi sebanyak 25% dari kejadian cacat. Mutasi genetik dapat berupa mutasi yang
dominan maupun resesif. Jika dominan maka akan diekspresikan secara langsung. Sementara
untuk yang resesif, akan diekspresikan setelah keadaannya homozigot, contohnya adalah
penyakit hemofilia dan talasemia. Hemofilia merupakan gangguan berupa sulitnya darah
membeku sementara talaseima adalah adanya darah merah yang tidak normal sehingga masa
hidup
darah
merah
tersebut
menjadi
pendek.
Terkait dengan penyimpangan kromosom, diketahui bahwa manusia terdiri dari 46 kromosom
yaitu 22 pasang otosom dan 2 kromosom seks yaitu XX (wanita) dan XY (pria). Penyimpangan
dapat terjadi misalnya akibat adanya penambahan atau pengurangan kromosom. Kecacatan
yang diakibatkan adanya penyimpangan kromosom ini antara lain:
1.
Sindrom Turner, terjadi pada wanita akibat kekurangan satu kromosom X sehingga
kromosom seksnya menjadi XO. Terjadi degenerasi ovarium dan gangguan ciri seks sekunder.

2.
Sindrom Kinefelter, terjadi pada pria, akibat kelebihan kromosom X sehingga kromosom
seksnya menjadi XXY. Terjadi gangguan pertumbuhan alat kelamin dan kemandulan.
3.
Sindrom Down, merupakan trisomi kromosom 21, artinya pada kromosom 21 lebih 1
kromosom. Akibatnya terjadi defisiensi mental, mata juling, tengkorak pendek-lebar, tangan
lebar-jari pendek (mongolisme).
4.
Sindrom Prader Will, terjadi kehilangan kromosom 15 (terkait dengan rasa lapar)
sehingga penderita mengalami kesulitan mengatasi rasa lapar akibat hipotalamus yang tidak
berfungsi. Tubuh menjadi gemuk, biasanya jantung akan bekerja lebih keras, akibatnya
menyebabkan rasa letih pada jantung, dan masa hidupnya menjadi tidak lama.
Terkait dengan pengaruh eksogen berupa lingkungan, penyebab ini merupakan kejadian
kecacatan pada 10% yang tercatat. Pada kasus ini, gennya normal, tetapi ekspresinya
terganggu. Contohnya antara lain:
1.
Akibat adanya kuman penyebab infeksi, tanpa adanya kuman, neonatus dapat tumbuh
dengan sehat, namun ketika ada, maka dapat terjadi gangguan. Misalnya penyakit yang
disebabkan oleh virus seperti Rubella, Cytomegalovirus, Herpes Simplex, dan HIV/AIDS yang
memang telah positif diidentifikasi sebagai penyebab malformasi. Contoh lainnya adalah
seorang ibu hamil yang terkena parasit Toxoplasma gondii yang mana dapat
menyebabkan hydrocephalus danocular defects. Contoh lainnya lagi adalah sifilis yang dapat
menyebabkan kecacatan pendengaran dan keterbelakangan mental. Diperkirakan sekarang
hingga 65% anak yang dilahirkan ibu dengan AIDS dan kebanyakan penyakit berkembang
menyebabkan retarded growth, mircocephaly, dan craniofacial dysmorphia.
2.
Akibat radiasi. Sudah ada pengujian yang menemukan bawah pada dosis kecil sinar X
sekitar 5 R pada tikus hamil dapat menyebabkan gangguan saraf dan skeletal yang bervariasi
pada fetus, dan bahkan pada dosis yang lebih kecil dapat menyebabkan mutasi pada sel yang
mana selanjutnya tetap dapat menyebabkan cacat bawaan. Dosis maksimum yang aman untuk
manusia masih belum diketahui, yang jelas diketahui adalah pada dosis 25 R dapat
menyebabkan kerusakan pada SSP. Direkomendasikan untuk ibu hamil untuk tidak
mengkonsumsi lebih dari 0,5 R dosis selama periode kehamilan.
3.
Senyawa teratogen. Banyak senyawa teratogen yang toksik pada embrio. Senyawasenyawa teratogen tersebut antara lain organofosfat (seperti malation), agen antitumor,
metilmerkuri, dan antimetabolit (antagonis asam folat) yang mengganggu metabolisme osidatif
atau sintesis glikoprotein. Contoh lainnya adalah Dietilbestrol, insidensinya rendah, terkait
dengan malformasi congenital dari sistem reproduktif dan peningkatan risiko karsinoma di vagina
dan serviks. Contoh lainnya lagi asam retionat, talidomid, dan asam valproat dengan
mekanismenya tersendiri.
Selain tiga hal yang disebutkan di atas, sudah ada juga zat teratogen lainnya yang ditemukan
dalam uji menggunakan hewan coba yang tentunya tetap perlu diwaspadai dalam
penggunaannya untuk manusia. Zat-zat teratogen tersebut antara lain:
1.
Antagonis vitamin
2.
Kelebihan atau kekurangan hormon kortikoid, tiroksin, vasopresin, insulin, andogen, dan
estrogen.
3.

Zat toksik alam, seperti aflatoksin B, okratoksin A, ergotamin, dan nikotin.

4.
Kekurangan/kelebihan gizi dalam makanan, seperti vitamin A, D, C, nikotinamid, Zn, Mn,
Mg, dan Co.

5.

Zat warna azo seperti biru triptan, biru evans, dan biru niagara.

6.

Antibiotik seperti daktinomisin, penisilin, streptomisin, dan tetrasiklin.

7.
Obat golongan sulfonamida seperti sulfanilamida, antidiabetika, sulfonilurea dan
turunannya, difenilhindantoin, hidroksiurea, imipramin, meklizin, pilokarpin, kinin, reserpin,
talidomid, triparanol, alkaloid veratrum, dan alkaloid vinka.
Sulfonilurea menjadi zat teratogen karena senyawa ini dapat bersaingan dengan PABA yang
mana dibutuhkan dalam pembentukkan asam folat meskipun asam folat dapat diperoleh dari
makanan.

You might also like