You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

Individu sebagai makhluk sosial tentu tidak bisa dihindarkan dengan


interaksi sosial beserta bentuk-bentuk interaksi sosial yang biasa berlangsung
dalam kehidupan masyarakat. Implikasi panjang dari sifat sosial manusia
tersebut adalah ketergantungan individu kepada situasi lingkungan tempat ia
tinggal, dan situasi inilah nanti yang akan memengaruhi pembentukan sebuah
kelompok.
Tentunya, gejala-gejala sosial dalam masyarakat akan menimbulkan
suatu dinamika baik yang bersifat asosiatif maupun disosiatif. Lain hal,
dinamika dalam sebuah masyarakat ternyata tidak terbatas pada apa-apa yang
bersifat asosiatif maupun disosiatif. Ada satu hal penting dalam masyarakat
yang kadangkala tidak disadari keberadaannya, yakni pembagian atau pelapisan
dalam masyarakat itu sendiri. Akan tetapi keberadaan kita di tengah situasi kemodern-an ternyata tidak bisa digunakan sebagai alasan untuk mengatakan
bahwa semua masyarakat memiliki pelapisan sosial. Paul B. Horton dalam
bukunya, Sosiologi Jilid 2, menyatakan bahwa dalam masyarakat yang paling
sederhana tidak memiliki adanya pelapisan atau lebih jamak disebut
stratifikasi- sosial. Semua orang yang berusia dan berjenis kelamin sama
melakukan pekerjaan yang juga kurang lebih sama. Beberapa orang bisa saja
mendapatkan penghormatan karena pengaruhnya yang lebih besar ketimbang
orang lain, namun tidak terdapat kelompok atau kategori orang yang menduduki
jabatan yang lebih memiliki prestise atau hak-hak istimewa daripada kelompok
yang lain (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1999:1).
Sehingga, dari apa yang telah diungkap Horton tersebut, setidaknya dapat
ditarik suatu penyimpulan bahwa dalil yang berlaku umum berkaitan dengan
stratifikasi sosial adalah, semakin modern atau semakin kompleks suatu
masyarakat, maka akan semakin kompleks pula stratifikasi sosialnya dan
berlaku sebaliknya. Hal ini menandakan bahwa stratifikasi sosial merupakan
sesuatu yang fungsional dalam perkembangan masyarakat dan nantinya akan
ditandai oleh semakin kompleks stratifikasi sosialnya (Purwanto, 2007: 94).
Sistem stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat terjadi dengan
sendirinya ataupun tanpa sengaja dibuat atau diciptakan secara sengaja dan
terrencana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Lebih lanjut Soerjono
Soekanto dalam bukunya Sosiologi Suatu Pengantar mengatakan bahwa
stratifikasi sosial yang terjadi dengan sendirinya memiliki dasar pelapisan
berdasarkan kepandaian, tingkat umur (senioritas), sifat keaslian keanggotaan

kerabat seorang kepala masyarakat, dan juga dapat didasarkan atas harta
(kekayaan) dengan alasan-alasan tertentu. (Soekanto, Soerjono, 1982: 221).
Tentunya pelapisan sosial atau stratifikasi sosial terjadi karena adanya
segmentasi atau pembagian kelas-kelas sosial di dalam masyarakat. Kelas sosial
dapat didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan) orang-orang yang
berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status sosial (Horton,
Paul B., Chester L. Hunt, 1999:5). Kelas sosial merupakan suatu realitas sosial
yang penting, bukan sekedar suatu konsep teoritis, karena manusia memang
mengklasifikasi orang lain ke dalam kelompok orang sederajat, orang yang
lebih tinggi derajatnya, dan orang yang lebih rendah derajatnya. Paul B. Horton
memberikan determian kelas sosial sebagai berikut:
1.
2.

3.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kekayaan dan penghasilan. Bahwa uang memang merupakan determinan


kelas sosial yang penting disebabkan oleh perannya dalam memberikan
gambaran tentang latar belakang keluarga dan cara hidup seseorang.
Pekerjaan. Jenis-jenis pekerjaan menyadarkan orang-orang bahwa ada
pekerjaan tertentu yang lebih terhormat ketimbang pekerjaan lainnya atau dalam
kata lain, jenis pekerjaan memiliki nilai prestise yang tinggi. Hal ini disebabkan
pekerjaan berprestise tinggi pada umumnya memberi penghasilan yang lebih
tinggi. Pekerjaan juga merupakan salah satu indikator terbaik untuk mengetahui
cara hidup seseorang, sehingga secara tidak langsung pekerjaan merupakan
indikator terbaik untuk mengetahui kelas sosial seseorang.
Pendidikan. Kelas sosial dan pendidikan saling memengaruhi skurangkurangnya dalam dua hal. Pertama, pendidikan yang tinggi memerlukan uang
dan motivasi. Kedua, jenis dn tinggi-rendahnya pendidikan memengaruhi
jenjang kelas sosial. Dalam beberapa hal pendidikan bahkan lebih penting
dibanding pekerjaan karena pendidikan tidak hanya melahirkan keterampilan
kerja melainkan juga melahirkan perubahan mental, selera, minat, etiket, tujuan,
cara berbicara dan perubahan dalam keseluruhan cara hidup seseorang (Horton,
Paul B., Chester L. Hunt, 1999: 7-11)
Sementara Soerjono Soekanto merumuskan kriteria kelas sosial secara
sederhana. Kriteria kelas sosial tersebut antara lain:
besarnya atau ukuran jumlah anggota-anggotanya
kebudayaan yang sama, yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
warganya
kelanggengan
tanda atau lambang-lambang yang merupakan ciri yang khas
batas-batas yang tegas (bagi satu kelompok dan kelompok lain)
antagonisme tertentu (Soekanto, Soerjono, 1982: 230).
Selain dikenal adanya kelas-kelas sosial dalam masyarakat, terdapat pula
unsur-unsur yang membentuk lapisan-lapisan masyarakat. keua unsur tersebut
adalah status dan peranan. Sebagai analogi, jika status seorang wanita adalah
seorang ibu, maka perannya tentu sebagai ibu dari anak-anaknya dan istri bagi

suaminya. Dalam kata lain, peranan merupakan perwujudan dari status apa yang
ia sandang. Soerjono Soekanto mendefinisikan status atau kedudukan sebagai
tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan
orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak
serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, Soerjono, 1982: 233). Ada tiga
macam kedudukan antara lain:
1.
Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Semisal
seorang pangeran ketika dewasa ia menggantikan ayahnya sebagai raja, tentu ia
dapat melakukannya karena faktor keturunan, bukan karena usaha yang ia
lakukan untuk menjadi seorang raja.
2.
Achieved status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usahausaha yang disengaja. Sebagai contoh bolehlah kita ambil seorang pemuda yang
berkuliah di sebuah perguruan tinggi negeri untuk mendapatkan gelar S-1
bidang ilmu tertentu. Ketika lulus dan ia menyandang gelar sarjana maka ia
memperolehnya karena usahanya sendiri.
3.
Assigned status, yaitu kedudukan yang diberikan. Semisal baru-baru ini
SISKS Pakoe Boewono X dinobatkan sebagai pahlawan nasional RI.
Disandangnya gelar pahlawan nasional di diri beliau bukan karena usaha
ataupun keturunan, melainkan karena pemberian oleh badan atau instansi yang
berwenang.

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Definisi Stratifikasi Sosial


Soerjono Soekanto menyatakan, selama dalam masyarakat ada sesuatu
yang dianggap berharga dan setiap masyarakat memiliki sesuatu yang
dihargainya, maka hal itu kan menjadi bibit yang menumbuhkan adanya sistem
berlapis-lapisan dalam masyarakat itu. Apa saja sesuatu yang dihargai itu?
Soerjono menyatakan bahwa sesuatu yang dihargai itu antara lain (1) uang atau
benda-benda yang bernilai ekonomis, (2) tanah, (3) kekuasaan, (4) ilmu

pengetahuan, (5) kesalehan dalam agama dan, (6) keturunan dari keluarga yang
terhormat (Soekanto, Soerjono, 1982: 219). Menurutnya pula, bentuk-bentuk
konkret dari lapisan-lapisan di dalam masyarakat memang tidak sedikit, namun
secara garis besar setidaknya bermacam bentuk tersebut dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga jenis kelas; ekonomis, politis, dan jabatan atau kedudukan. Ketiga
bentuk tersebut pada dasarnya dapat saling berhubungan erat, akan tetapi
kesemuanya kembali lagi pada sistem nilai-nilai yang berlaku serta berkembang
dalam masyarakat yang bersangkutan (Soekanto, Soerjono 1982: 221)
Jika Soerjono Soekanto memberi batasan definisi stratifikasi sosial
sebagai pelapisan dalam masyarakat berdasarkan sesuatu yang dihargai, filsuf
ternama Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa tiap-tiap negara memiliki tiga
unsur pelapisan sosial yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan
mereka yang berada di tengah-tengahnya.
Lain halnya dengan pendapat dari Pitrim A. Sorokin. Sosiolog terkemuka
ini mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis) dan diwujudkan
melalui pembagian ke dalam kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah
(Soekanto, Soerjono, 1982: 220).
B.

Cakupan Stratifikasi Sosial


Paul B. Horton mengemukakan contoh pelapisan sosial berserta gejala
sosialnya dalam proses penggolongan orang-orang Amerika yang
membedakannya atas diri mereka sendiri dan diri orang lain. Golongangolongan tersebut antara lain:
1.
Golongan orang-orang yang telah benar-benar berhasil
Orang awam membagi golongan elit ini ke dalam empat kelompok yakni, orang
kaya lama (seperti keluarga Rockefeller), orang kaya yang terkenal (seperti Paul
Newman dan Chris Evert), orang kaya yang tidak dikenal (seperti pemborong ,
jutawan), dan orang kaya biasa (setingkat orang-orang yang berprofesi sebagai
dokter)
2.
Golongan orang-orang yang sangat berhasil
Indikator dari golongan ini adalah profesionalisme karir seseorang, semisal
dokter gigi, penasehat hukum atau pengusaha. Indikator dalam materi adalah
termiliknya rumah besar dan sekurang-kurangnya memiliki dua mobil,
ditambah dengan plesiran ke Eropa dan menjadi anggota klub setempat yang
semi eksklusif. Anak-anaknya disekolahkan ke perguruan tinggi swasta maupun
negeri yang terbaik.
3.
Golongan orang-orang yang telah mencapai impian kelas sosial menengah
Indikator dari golongan ini adalah kekayaan yang jauh lebih banyak ketimbang
barang-barang mewah mereka sendiri. Keluarga ini biasa menempati rumah
berkamar tidur tiga dan sebuah ruang keluarga. Indikator yang menarik adalah
kegiatan selama musim panas mereka. Selama musim panas mereka
meluangkan waktu untuk berlibur ke pegunungan atau ke pantai.

4.

Golongan orang-orang yang berkehidupan nyaman


Indikator dari golongan ini adalah kemampuan melunasi tagihan atau hutang
secara tepat waktu dan kepemilikan rumah sederhana berkamar enam yang
berlokasi di daerah pinggiran kota.
5.
Golongan orang-orang yang berkehidupan sedang
Indikator dari golongan ini adalah profesi suami maupun istri. Umumnya, sang
suami berprofesi sebagai pekerja pabrik dan istrinya sebagai pelayan atau jurutulis toko. Mereka menyewa rumah kecil atau aprtemen besar, memiliki sebuah
mobil keluaran enam tahun lalu, dua televisi hitam putih dan sebuah mesin cuci.
6.
Golongan orang-orang yang hidupnya benar-benar sulit
Indikator dari golongan ini adalah tempat tinggal mereka yang berada di
apartemen tua tanpa lift. Profesi suami sebagai satpam dan istri sebagai tukang
bersih gedung.
7.
Golongan orang-orang miskin
Indikator dari golongan ini adalah penghidupan mereka yang bergantung pada
tunjangan pengangguran dan menetap di perkampungan yang kumuh. Untuk
pergi ke tempat kerja mereka biasa menggunakan bus kota (Horton, Paul B.,
Chester L. Hunt, 1999:4).
Pencetus teori konflik , Karl Marx, menyatakan bahwa kelas sosial
utama terdiri atas golongan kapitalis (borjuis), dan golongan menengah atau
yang kerap disebut borjuis rendah yang menurutnya- ditakdirkan untuk diubah
menjadi golongan proletariat. Lebih jauh, bapak ekonomi, Adam Smith,
membagi masyarakat ke dalam orang-orang yang hidup dari hasil penyewaan
tanah, orang-orang yang hidup dari upah kerja, dan orang-orang yang hidup dari
keuntungan perdagangan. Thorstein Veblen juga mengajukan pendapatnya
mengenai segmentasi sosial masyarakat ke dalam golongan pekerja, yang
berjuang untuk mempertahankan hidup, dan golongan yang mempunyai banyak
waktu luang.
C.

1.
2.
a.
b.

Proses Terjadinya Stratifikasi Sosial


Seperti telah dijelaskan di Bab I, bahwa menurut Soerjono Soekanto,
stratifikasi sosial dapat terjadi tanpa disengaja. Ukuran-ukuran yang
dipergunakan juga bermacam-macam. Akan tetapi untuk memahami proses
terbentuknya pelapisan sosial secara rinci, Soerjono Soekanto menjabarkannya
dalam pokok-pokok sebagai berikut:
Sistem stratifikasi sosial berpokok pada sistem pertentangan dalam
masyarakat. Sistem demikian hanya mempunyai arti yang khusus bagi
masyarakat-masyarakat tertentu yang menjadi objek penelitian.
Sistem stratifikasi sosial dapat dianalisa dalam unsur-unsur sebagai berikut:
distribusi hak-hak istimewa yang objektif seperti misalnya penghasilan,
kekayaan, keselamatan, dan kesehatan, wewenang, dan sebagainya.
sistem penghargaan yang dicitakan oleh warga masyarakat

c.
d.
e.
f.
1)
2)
3)
4)
D.

1.
2.
3.
4.
5.
6.

kriteria sistem pertentangan, yaitu aakah didapatkan bedasarkan kualitas


pribadi, keanggotan kelompok kerabat tertentu, yang memiliki wewenng atau
kekuasaan
lambang-lambang kedudukan, seperti misalnya tingkah laku hidup, cara
berpakaian, perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi, dan selanjutnya
mudah sukarnya bertukar kedudukan
solidaritas di antara individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang
menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat:
pola-pola interaksi-interaksi (stucture clique, keanggotaan organisasi,
perkawinan dan sebagainya)
kesamaan atau ketidaksamaan sistem kepercayaan, sikap dan nilai-nilai
kesadaran akan kedudukan masing-masing
aktivitas sebagai organ kohesif
Sifat dan Bentuk Stratifikasi Sosial
Pada umumnya stratifikasi sosial memiliki dua sifat pelapisan yakni
stratifikasi sosial terbuka (open social stratification) dan stratifikasi sosial
tertutup (closed social stratification). Stratifikasi sosial terbuka memiliki
keluwesan bagi setiap masyarakat maupun anggota masyarakat untuk meraih
stratifikasi sosial yang diinginkan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
sebelumnya. Dapat juga mereka turun dari stratifikasi yang tinggi ke stratifikasi
yang lebih rendah, atau dalam kata lain setiap orang memiliki kesempatan yang
sama dan terbuka untuk menempati suatu lapisan di dalam masyarakat
(Purwanto, 2007: 97).
Sementara itu stratifikasi sosial tertutup membatasi kemungkinan
pindahnya seseorang dari satu lapisan ke yang lain, baik yang merupakan gerak
ke atas maupun ke bawah. Di dalam sistem ini, satu-satunya jalan untuk
menjadi anggota dari suatu lapisan masyarakat adalah dengan kelahiran. Sistem
stratifikasi bersifat tertutup dapat dilihat dalam masyarakat India yang berkasta.
Ciri-ciri kasta di India adalah:
Keanggotaan pada kasta diperoleh karena kewarisan atau kelahiran. Anak
yang lahir memperoleh kedudukan orang tuanya
Keanggotaan yang diwariskan tadi berlaku untuk seumur hidup, oleh karena
seseorang tak mungkin mengubah kedudukannya, kecuali bila ia dikeluarkan
dari kastanya
Perkawinan bersifat endogen, artinya harus dipilih orang yang sekasta
Hubungan dengan kelompok-kelompok sosial lainnya bersifat terbatas
Kesadaran pada kenggotaan suatu kasta tertentu, terutama nyata dari nama
kasta, identifikasi anggot pada kastanya, penyesuaian diri yang ketat terhadap
norma-norma kastanya dan lain sebagainya
Kasta terikat oleh kedudukan-kedudukan yang seara tradisional telah
ditetapkan

7.

1.
2.
a)
b)
1)
2)
3)
4)
5)
c)
1)
2)
3)
d)
e)

1)

2)

Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan (Soekanto, Soerjono, 1982:


225)
Sistem semacam kasta di India juga terdapat di Amerika Serikat. Di sana
didapati pemisahan yang tajam antara golongan kulit putih dengan golongan
kulit berwarna terutama orang Negro. Sistem ini dikenal dengan
nama segregation atau populer di Afrika sebagai apartheid.
Selain sifat terbuka dan tertutup, stratifikasi sosial memiliki beberapa
bentuk sebagai berikut:
Berdasarkan status yang diperoleh secara alami
Meliputi stratifikasi berdasar perbedaan usia, senioritas, jenis kelamin, sistem
kekerabatan, dan keanggotaan dalam kelompok tertentu
Berdasarkan status yang diperoleh melalui serangkaian usaha
Stratifikasi sosial atas dasar pendidikan
Stratifikasi sosial atas dasar pekerjaan yang dapat dibedakan menjadi:
Elite, yaitu orang-orang kaya dan orang-orang yang menempati kedudukan
atau pekerjaan bernilai tinggi
Profesional, yaitu orang yang berijazah atau bergelar kesarjanaan dan
pebisnis yang sukses
Semiprofesional, yaitu para pegawai kantor, pedagang, teknisi berpendidikan
menengah
Tenaga terampil, yaitu orang yang memiliki keterampilan teknik mekanik
Tenaga tidak terdidik, misalnya pembantu rumah tangga dan tukang kebun
Stratifikasi sosial atas dasar ekonomi, dalam al ini yang menjadi kriteria
stratifikasi adalah kekayaan. Masyarakat dibedakan menjadi:
Kaum ekonomi kuat atau kelas atas (upper class)
Kaum ekonomi menengah atau kelas menengah (middle class)
Kaum ekonomi lemah atau kelas bawah (lower class)
Stratifikasi sosial atas dasar kriteria sosial, dalam hal ini orang
diklasifikasikan ke dalam lapisan-lapisan berdasarkan kehormatan atau prestise
Stratifikasi atas dasar kriteria politik, dalam hal ini tolok ukur yang
digunakan untuk menentukan status sosial seseorang adalah kepemilikan
kekuasan karena kekuasaan memiliki keterkaitan yang erat dengan wewenang,
sehingga asemakin tinggi status sosial seerang maka semakin tinggi oula
kekuasaan dan wewenangnya. Menurut Mac Iver, terdapat tiga pola umum
dalam stratifikasi meliputi:
Tipe Kasta, yaitu kekuasaan dengan garis pemisah yang tegas dan kaku serta
tidak memungkinkan terjadinya gerak sosial secara ertikal. Lapisan tertinggi
diduduki raja, kemudian diikuti kaum bangsawan, tentara, pendeta. Lapisan
berikutnya adalah tukang dan pelayan, selanjutnya petani dan buruh tani.
Sedangkan lapisan terrendah adalah budak.
Tipe Oligarkhis, tipe ini masih memiliki garis pemisah yang tegas, namun
kriteria stratifikasi ditentukan oleh kebudayaan masyarakat terutama adanya
kesepakatan yang diberikan kepada warga masyarakat untuk memperoleh

kekuasaan tertentu. Hal yang membedakan dengan tipe pertama hanyalah


adanya kesempatan untuk naik lapisan bagi orang yang pantas, tidak hanya
sekedar ascribed status.
3)
Tipe Demokratis, garis pemisah pada tipe ini bersifat luwes atau fleksibel
atau tidak kaku. Kelahiran bukan faktor penentu, yang mennetukan adalah
kemampuan seseorang untuk mencapai kedudukan tersebut. Pada tipe ini
lapisan tertinggi diisi oleh pemimpin parpol, orang kaya, dan pemimpin
organisasi besar. Di bawahnya ada pejabat administrasi atas dasar keahlian,
berikutnya ahli teknik, petani, pedagang, dan yang terrendah adalah pekerja
rendahan dan petani rendahan.
Bentuk-bentuk stratifikasi tersebut merupakan bentuk-bentuk stratifikasi
secara universal. Di Indonesia, stratifikasi sosial juga menunjukkan adanya
kekhasan yang dimilikinya. Stratifikasi tersebut meliputi:
1)

Sistem Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Petani


Sistem pelapian sosial masyarakat petani tidak terlepas dari ciri khas
kehidupan agraris. Dasar stratifikasi ang digunaan adalah kriteria ekonomi,
politik, dan sosial. Pada masyarakat yang mayoritas anggotanya hidup dengan
mengandalkan tanah sebagai lahan pertanian maka sistem pelapisannya
didasarkan pada hak atas pemilikan tanah, sehingga pemilik tanah memiliki
kedudukan yang tinggi. Sifat pelapisan sosialnya bersifat terbuka dan tertutup.
Pealpisan sosial pun relatif sedikit jumlahnya. Hal tersebut dikarenakan
masyarakat pertanian relatif berifat homogen. Mereka juga kurang memahami
nilai-nilai ekonomis hasil pertanian sehingga jarang ada usaha untuk memupuk
harta kekayaan.Selain itu, nilai-nilai solidaritas, kekeluargaan, gotong royng,
persatuan, dan kesatuan masih dijunjung tiggi sehingga stratifikasi sosial
menjadi tidak tampak. Masyarakat pertanian menggunakan cara pengolahan
pertanian yang bersfat tradisional dan dalam pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari mereka lebih mementingkan kebutuhan pokok daripada prestise.
Menurut Mangku Purnomo dalam bukunya, Pembaruan Desa: Mencari
Bentuk Penataan Produksi Desa, ia mengemukakan dua sifat masyarakat yang
dominan dalam menghadapi era modernisasi. Posisi pembaruan desa dalam
konteks ini mencari beberapa kemungkinan hambatan yang akan didapat
apabila intervensi budaya dilakukan.
a)
Sikap Menghambat, mencakup:
a.
Sikap pasif. Petani dan nelayan pada umumnya sangat kecil sekali
inisiatifnya dalam usaha mengubah kehidupannya. Inisiatif yang selalu dimulai
dari pimpinan atau lembaga pemerintah menyebabkan kaum petani menjadi
kurang agresif dan kebanyakan petani akan sulit untuk mencari alternatf bagi
perbaikan hidupnya.. Skap ini harus dikikis dengan memberikan keyakinan dan
gambaran bahwa hakekat kehidupan adalah ikhtiar yakni dengan cara
mengubah hak dan kewajiban semua orang termasuk petani.

b.

c.

d.

e.

b)
a.

b.

Famili sentries. Sikap famili sentreis terlihat dalam beberapa kebijakan yang
seharusnya dapat dinikmati oleh penduduk secara merata kadangkala hanya
dinikmati oleh sekelompok kerabat saja. Hal ini sering terjadi dan menimbulkan
konflik di tingkat bawah. Demikian pula pada kepemimpinan yang kurang
mendapat dukungan dari keluarga lain jika yang memimpin desa bukan anggota
keluarganya. Inilah sikap yang harus diubah menjadi kesadaran berkelompok
baik melalui pertalian darah maupun perluasan pertanian wilayah.
Apatis. Kehidupan desa sebenarnya lebih individualis dalam hal kepedulian
terhadaplingkungan apalagi kegiatan-kegiatan dimana seseorang tdak
diuntungkan karenanya. Gotong royong dianggap sebagai suatu kewajiban saja
agar dapat diterima lingkungan dan bukan karena kesadaran. Apatis sangat
buruk bagi perubahan, karen tanpa kehendak dan keyakinan yang kuat, mustahil
pembaruan desa dapat tercapai. Oleh karen itu mereka perlu dibimbing lebih
serius atau dimasukkan ke dalam golonganLagard atau tidak dihitung dalam
program.
Orientasi pada masa lampau. Orientasi masa lalu terlihat dengan tidak
berkembangnya teknologi pertanian dalam masyarakat dan selalu menganggap
warisan nenek moyang adalah sesuatu yang sempurna. Orientasi pada masa lalu
ini menyebabkan kemandekan dalam inovasi dan perubahan masyarakat dan
tentu akan menghambat proses penyuluhan. Ini juga sangat menghambat
perkembangan karena orientasi ini berprinsip bahwa masa depan tidak akan
lebih baik dari masa lalu. Demikian pula trauma masa lalu yang selalu
menghantui untuk berubah harus dihapuskan.
Menyerah pada takdir. Menyerah pada takdir adalah sikap pesimis dan
kurang tekad yang rata-rata dimiliki oleh petani. Petani sebagai orang yang
selalu menyerah pada takdir seharusnya selalu dipahamkan dengan kondisi
bahwa setiap jengkal usaha akan mendapatkan hasil sejengkal juga.
Pendamping sebagai bagian integral dalam pembarun desa memegang peranan
sentral disini.
Sikap yang Mendukung, terdiri atas:
Sikap gotong royong. Sikap gotong royong masyarakat desa dapat dikatakan
sangat tua setua adanya desa itu sendiri. Perkembangan selanjutnya gotong
royong di desa mengalami pergeseran baik motivasi maupun bentuknya. Potensi
gotong royong yang perlahan tidak dilakukan sebagai kewajiban lagi harus
dipupuk dan diarahkan untuk mendukung program pembaruan. Keberadaan
gotong royong merupakan aset dalam kehidupan modern dimana dalam
tantangan global kerjasama mutlak diperlukan. Oleh karena itu kerjasama akan
tetap menjadi isu sentral dalam pembaruan desa.
Kepemimpinan desa. Pada beberapa kasus kepemimpinan memang
menghambat proses pembangunan terutama apabila proses itu akan
menggoncangkan tatanan sosial terutama struktur sosial masyarakat. Oleh
karena itu kepemimpinan ini diarahkan sebagai penanggungjawab dan

c.

d.

a)
b)
c)
d)
e)
2)

3)

dinamisator pembaruan desa. Berbagai kewajiban ideal pemimpin sebagai


pengabdi masyarakat perlu untuk ditekankan.
Kebebasan berbicara. Kebebasan bicara dalam rembuk desa dan pertemuan
terkait pembangunan desa dapat lebih dimantapkan dan terarah guna perbaikan.
Aspirasi ang telah lama berkembang ini perlu untuk dikembangkan guna
menunjang pembaharuan desa.
Kesediaan untuk menerima inovasi. Inovasi baru sebagai contoh akan sangat
diinginkan masyarakat asalkan tidak melanggar norma dan adat serta
kepentingan lain dari salah satu atau seluruh anggota masyarakat. Potensi yang
begitu besar dari penduduk pedesaan untuk menerapkan inovasi baru kiranya
dapat ditingkatkan agar lebih produktif.
Dari uraian tersebut maka dapat diambil beberapa hal penting dari sistem
sosial desa yakni:
Masyarakat desa memiliki corak pandang tersendiri tentang hakekat hidupnya
Masyarakat desa memiliki karakteristik hubungan khusus dengan alam
sekitarnya
Masyarakat desa memiliki pola pandang tersendiri akan perubahan
Masyarakat desa berpikir rasional dan damba akan kemajuan
Hati-hati dan toleran terhadap perubahan (Purnomo, Mangku. 2004: 19-23).
Sistem Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Feodal
Masyarakat feodal adalah masyarakat yang ditandai dengan berkuasanya
golongan aristokrat atau kaum bangsawan. Bangsawan menduduki lapisan
tertinggi pada pelapisan sosial sedangkan rakyat berada pada lapisan bawah.
Sistem pelapisannya bersifat tertutup. Bahkan menurut Kuntowijoyo dalam
bukunya Penjelasan Sejarah, ia menyatakan bahwa stratifikasi, upacara dan
tatakrama semuanya berpunak pada raja sebagai penguasa. Bagi raja ada gelargelar yang meluhur dan memberi weenang raja. Dalam stratifikasi dari raja,
berturut-turut ada Sentana (bangsawan) dan abdi dalem (priyayi) yang dibagi
secara bertingkat-tingkat termasuk hak-hak dan kewajiban seba (menghadp
raja). Pada saat upacara misalnya, raja bertahta di atas dampa (singgasana),
siapa duduk di atas tikar tempat duduk, siapa duduk di atas lantai, dan lantai
depan-belakang. Tatakrama mengatur masing-masing (raja, bangsawan,
priyayi), banyaknya sembah (menyembah, disembah), bahasa kedaton (bahasa
khusus di lingkungan keraton) dan aturan memakai pakaian (kuluk, baju, kain).
Selain itu ada larangan macam-macam bagi kawula atau rakyat. Adapun sebabsebab berkurangnya sistem stratifikasi masyarakat feodal adalah adanya
pencabutan hak milik atas tanah yang pada zaman dahulu banyak dikuasai atau
dimiliki oleh kaum bangsawan, tingkat pendidikan yang semakin maju
membuka jalan bagi anggota masyarakat lain untuk mendapatkan status sosial
yang lebih baik, terjdiny perkawinan antara keturunan bangsawan dengan orang
biasa, proses demokratisasi yang semakin luas, serta pelapisan sosial
masyarakat Indonesia bersifat terbuka.
Sistem Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Kolonial.

Berdasarkan hukum ketatanegaraan Hindia belanda (Indische Staatregelling)


tahun 1927, penduduk Hindia Blanda digolongkan menjadi golongan Eropa dan
yang dipersamakan, golongan Timur Asing, dan yang terrendah adalah
golongan Bumiputera (pribumi). Adapun pada masa penjajahan Jepang,
masyarakat saat itu diklasifikasikan menjadi golongan pertama (bangsa Jepang),
golongan kedua (bangsa Bumiputera), golongan ketiga (bangsa China dan
Eropa).
4)
Sistem Stratifikasi Sosial Masyarakat Industri
Fenomena yang menonjol dari proses industrialisasi adalah spesialisasi
pekerjaan yang didasarkan pada keahlian sehingga pendidikan menjadi kriteria
penting dalam menentukan status seseorang. Dalam sistem ini masyarakat
digolongkan ke dalam kelas atas (upper class) kelas menengah (middle class),
dan kelas bawah (lower class).

BAB III
SIMPULAN

Proses pelapisan sosial atau stratifikasi sosial terjadi melalui interaksi


yang kemudian membentuk menjadi sebuah kelompok. Dalam sebuah
stratifikasi tersusun lapisan-lapisan yang memiliki unsur-unsur status dan
peranan. Stratifikasi sosial berlangsung selama suatu masyarakat masih
memiliki sesuatu yang berharga sebagai patokannya.
Stratifikasi sosial memiliki dua macam sifat yakni stratifikasi sosial terbuka
dan stratifikasi sosial tertutup. Stratifikasi sosial memiliki beberapa macam
bentuk yang terjadi baik karena sengaja maupun tidak disengaja
Dalam perkembangannya, stratifikasi sosial tidak lagi menjadi pembatas
yang rigid dalam masyarakat. Kesadaran akan pentingnya interaksi dan
sosialisasi menjadikan stratifikasi -terutama masyarakat modern- hanya sebatas
pembeda status saja. Hal ini disebabkan stratifikasi seringkali berpatokan pada
jumlah kekayaan atau materi yang dimiliki masing-masing individu.

DAFTAR PUSTAKA
Horton, Paul B., Chester L. Hunt. 1999. Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Kuntowidjoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Santosa, Slamet. 2006. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali.
Purnomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa : Mencari Bentuk Penataan
Produksi Desa.
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Purwanto. 2007. Sosiologi Untuk Pemula. Yogyakarta: Media Wacana.
Tim Penyusun Viva Pakarindo. 2010. Strategi Khusus Menghadapi Ujian
Nasional
Sosiologi SMA/MA. Klaten: Viva Pakarindo.

You might also like