Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
kerabat seorang kepala masyarakat, dan juga dapat didasarkan atas harta
(kekayaan) dengan alasan-alasan tertentu. (Soekanto, Soerjono, 1982: 221).
Tentunya pelapisan sosial atau stratifikasi sosial terjadi karena adanya
segmentasi atau pembagian kelas-kelas sosial di dalam masyarakat. Kelas sosial
dapat didefinisikan sebagai suatu strata (lapisan) orang-orang yang
berkedudukan sama dalam kontinum (rangkaian kesatuan) status sosial (Horton,
Paul B., Chester L. Hunt, 1999:5). Kelas sosial merupakan suatu realitas sosial
yang penting, bukan sekedar suatu konsep teoritis, karena manusia memang
mengklasifikasi orang lain ke dalam kelompok orang sederajat, orang yang
lebih tinggi derajatnya, dan orang yang lebih rendah derajatnya. Paul B. Horton
memberikan determian kelas sosial sebagai berikut:
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
suaminya. Dalam kata lain, peranan merupakan perwujudan dari status apa yang
ia sandang. Soerjono Soekanto mendefinisikan status atau kedudukan sebagai
tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan
orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak
serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, Soerjono, 1982: 233). Ada tiga
macam kedudukan antara lain:
1.
Ascribed status, yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Semisal
seorang pangeran ketika dewasa ia menggantikan ayahnya sebagai raja, tentu ia
dapat melakukannya karena faktor keturunan, bukan karena usaha yang ia
lakukan untuk menjadi seorang raja.
2.
Achieved status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usahausaha yang disengaja. Sebagai contoh bolehlah kita ambil seorang pemuda yang
berkuliah di sebuah perguruan tinggi negeri untuk mendapatkan gelar S-1
bidang ilmu tertentu. Ketika lulus dan ia menyandang gelar sarjana maka ia
memperolehnya karena usahanya sendiri.
3.
Assigned status, yaitu kedudukan yang diberikan. Semisal baru-baru ini
SISKS Pakoe Boewono X dinobatkan sebagai pahlawan nasional RI.
Disandangnya gelar pahlawan nasional di diri beliau bukan karena usaha
ataupun keturunan, melainkan karena pemberian oleh badan atau instansi yang
berwenang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
pengetahuan, (5) kesalehan dalam agama dan, (6) keturunan dari keluarga yang
terhormat (Soekanto, Soerjono, 1982: 219). Menurutnya pula, bentuk-bentuk
konkret dari lapisan-lapisan di dalam masyarakat memang tidak sedikit, namun
secara garis besar setidaknya bermacam bentuk tersebut dapat diklasifikasikan
ke dalam tiga jenis kelas; ekonomis, politis, dan jabatan atau kedudukan. Ketiga
bentuk tersebut pada dasarnya dapat saling berhubungan erat, akan tetapi
kesemuanya kembali lagi pada sistem nilai-nilai yang berlaku serta berkembang
dalam masyarakat yang bersangkutan (Soekanto, Soerjono 1982: 221)
Jika Soerjono Soekanto memberi batasan definisi stratifikasi sosial
sebagai pelapisan dalam masyarakat berdasarkan sesuatu yang dihargai, filsuf
ternama Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa tiap-tiap negara memiliki tiga
unsur pelapisan sosial yaitu mereka yang kaya sekali, mereka yang melarat, dan
mereka yang berada di tengah-tengahnya.
Lain halnya dengan pendapat dari Pitrim A. Sorokin. Sosiolog terkemuka
ini mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis) dan diwujudkan
melalui pembagian ke dalam kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah
(Soekanto, Soerjono, 1982: 220).
B.
4.
1.
2.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
1)
2)
3)
4)
D.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
a)
b)
1)
2)
3)
4)
5)
c)
1)
2)
3)
d)
e)
1)
2)
b.
c.
d.
e.
b)
a.
b.
Famili sentries. Sikap famili sentreis terlihat dalam beberapa kebijakan yang
seharusnya dapat dinikmati oleh penduduk secara merata kadangkala hanya
dinikmati oleh sekelompok kerabat saja. Hal ini sering terjadi dan menimbulkan
konflik di tingkat bawah. Demikian pula pada kepemimpinan yang kurang
mendapat dukungan dari keluarga lain jika yang memimpin desa bukan anggota
keluarganya. Inilah sikap yang harus diubah menjadi kesadaran berkelompok
baik melalui pertalian darah maupun perluasan pertanian wilayah.
Apatis. Kehidupan desa sebenarnya lebih individualis dalam hal kepedulian
terhadaplingkungan apalagi kegiatan-kegiatan dimana seseorang tdak
diuntungkan karenanya. Gotong royong dianggap sebagai suatu kewajiban saja
agar dapat diterima lingkungan dan bukan karena kesadaran. Apatis sangat
buruk bagi perubahan, karen tanpa kehendak dan keyakinan yang kuat, mustahil
pembaruan desa dapat tercapai. Oleh karen itu mereka perlu dibimbing lebih
serius atau dimasukkan ke dalam golonganLagard atau tidak dihitung dalam
program.
Orientasi pada masa lampau. Orientasi masa lalu terlihat dengan tidak
berkembangnya teknologi pertanian dalam masyarakat dan selalu menganggap
warisan nenek moyang adalah sesuatu yang sempurna. Orientasi pada masa lalu
ini menyebabkan kemandekan dalam inovasi dan perubahan masyarakat dan
tentu akan menghambat proses penyuluhan. Ini juga sangat menghambat
perkembangan karena orientasi ini berprinsip bahwa masa depan tidak akan
lebih baik dari masa lalu. Demikian pula trauma masa lalu yang selalu
menghantui untuk berubah harus dihapuskan.
Menyerah pada takdir. Menyerah pada takdir adalah sikap pesimis dan
kurang tekad yang rata-rata dimiliki oleh petani. Petani sebagai orang yang
selalu menyerah pada takdir seharusnya selalu dipahamkan dengan kondisi
bahwa setiap jengkal usaha akan mendapatkan hasil sejengkal juga.
Pendamping sebagai bagian integral dalam pembarun desa memegang peranan
sentral disini.
Sikap yang Mendukung, terdiri atas:
Sikap gotong royong. Sikap gotong royong masyarakat desa dapat dikatakan
sangat tua setua adanya desa itu sendiri. Perkembangan selanjutnya gotong
royong di desa mengalami pergeseran baik motivasi maupun bentuknya. Potensi
gotong royong yang perlahan tidak dilakukan sebagai kewajiban lagi harus
dipupuk dan diarahkan untuk mendukung program pembaruan. Keberadaan
gotong royong merupakan aset dalam kehidupan modern dimana dalam
tantangan global kerjasama mutlak diperlukan. Oleh karena itu kerjasama akan
tetap menjadi isu sentral dalam pembaruan desa.
Kepemimpinan desa. Pada beberapa kasus kepemimpinan memang
menghambat proses pembangunan terutama apabila proses itu akan
menggoncangkan tatanan sosial terutama struktur sosial masyarakat. Oleh
karena itu kepemimpinan ini diarahkan sebagai penanggungjawab dan
c.
d.
a)
b)
c)
d)
e)
2)
3)
BAB III
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Horton, Paul B., Chester L. Hunt. 1999. Sosiologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Kuntowidjoyo. 2008. Penjelasan Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Santosa, Slamet. 2006. Dinamika Kelompok. Jakarta: Bumi Aksara.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV Rajawali.
Purnomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa : Mencari Bentuk Penataan
Produksi Desa.
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
Purwanto. 2007. Sosiologi Untuk Pemula. Yogyakarta: Media Wacana.
Tim Penyusun Viva Pakarindo. 2010. Strategi Khusus Menghadapi Ujian
Nasional
Sosiologi SMA/MA. Klaten: Viva Pakarindo.