You are on page 1of 30

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA
A Penyakit Akibat Kerja
1 Definisi
Menurut WHO, Penyakit akibat kerja atau occupational disease
the relationship to specific causative factors at work has been fully
established and the factors concerned can be identified, measured and
eventually controlled(keterkaitan dengan faktor penyebab spesifik dalam
pekerjaan, sepenuhnya dipastikan dan faktor tersebut dapat diidentifikasi,
diukur, dan dikendalikan).
Menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
PER. 01/MEN/1981 (pasal 1) penyakit akibat kerja adalah setiap penyakit
yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Definisi yang
digunakan

dalam

keputusan

Menteri

Tenaga

Kerja

No.KEPTS.333/MEN/1989 tentang Pelaporan Penyakit Akibat Kerja


merujuk

pada

ketentuan

Permen

Nakertrans

No.PER.01/MEN/1981.Sedangkan menurut Keputusan Presiden Nomor 22


Tahun 1993 (Pasal 1) tentang Penyakit yang Timbul karena Hubungan Kerja
adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja
(Keppres No.22 Tahun 1993).
Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang
disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja (Pasal 1, Keputusan
Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang Timbul karena
Hubungan Kerja (Keppres No.22 Tahun 1993).Menurut WHO, Penyakit
yang timbul karena hubungan kerja atau work related disease adalah
maybe partially caused by adverse working conditions. They maybe
aggravated, accelerated or exacerbated by workplace exposures and may
impair working capacity. Personal characteristic, environmental and socio
cultural factors usually play a role as risk factors and are often more
common than occupational disease. (Mungkin sebagian disebabkan oleh
kondisi kerja yang kurang baik. Penyakit dapat diperberat, dipercepat atau
12

kambuh oleh pemaparan di tempat kerja dan dapat mengurangi kapasitas


kerja. Sifat perorangan, lingkungan dan faktor sosial budaya umumnya
berperanan sebagai faktor resiko dan lebih umum dari pada penyakit akibat
kerja).
Terdapat 3 istilah untuk suatu kelompok penyakit yang sama yaitu
penyakit yang timbul karena hubungan kerja, penyakit yang disebabkan
karena pekerjaan atau lingkungan kerja dan penyakit akibat kerja. Ketiga
istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama dan masing-masing
memiliki dasar hukum perundang-undangan yang menjadi landasannya.
Pada dasarnya penyakit akibat kerja dengan penyakit yang timbul
karena hubungan kerja adalah sama. Perbedaan keduanya terdapat pada
penyakit akibat kerja diatur oleh keputusan meteri No.01/MEN/1981,
meliputi 30 jenis penyakit dengan dasar kesehatan kerja, sedangkan
penyakit

hubungan

kerja

diatur

dalam

keputusan

presiden

No.22/KEPRES/1993, meliputi 31 jenis penyakit dengan dasar dapat


kompensasi ganti rugi.
Pada umumnya faktor penyebab dapat dikelompokkan dalam 5 golongan:
1

Golongan fisik
Contohnya: suara (bising), radiasi, suhu (panas/dingin), tekanan yang
sangat tinggi, vibrasi, penerangan lampu yang kurang baik.
Golongan kimiawi
Bahan kimiawi yang digunakan dalam proses kerja, maupun yang
terdapat dalam lingkungan kerja, dapat berbentuk debu, uap, gas,

larutan dan kabut.


Golongan biologis
yaitu berupa bakteri, virus atau jamur.
4 Golongan fisiologis
dimana biasanya disebabkan oleh penataan tempat kerja dan cara kerja.
5 Golongan psikososial
Lingkungan kerja yang mengakibatkan stress.
3

Faktor Penyebab terjadinya Penyakit Akibat Kerja dan Kecelakaan


Akibat Kerja antara lain faktor manusia (pekerja), jenis pekerjaan yang
dilakukan dan proses kerja (bahan baku, peralatan kerja dan lingkungan
tempat kerja).

13

Kondisi yang Berhubungan dengan Penyakit Akibat Kerja


Kondisi yang berhubungan dengan penyakit akibat kerja antara lain :
a

Peraturan perundang-undangan mengenai penyakit akibat kerja telah


cukup banyak. Ketentuan tersebut terdapat dalam undang-undang
yang mengatur keselamatan kerja dan undang-undang yang
mengatur jaminan sosial tenaga kerja beserta peraturan-peraturan
pelaksanaannya. Substansi yang diatur mencakup hal-hal mendasar
seperti pengertian penyakit akibat kerja, cara diagnosis serta
penggolongan penyakit dan ketentuan-ketentuan yang dengan tegas
wajib dilaksanakan yaitu kewajiban melapor penyakit akibat kerja,
jaminan sosial terhadap penyakit dimaksud, sanksi-sanksi, dan lainlain. Masalah yang dihadapi adalah kepatuhan melaksanakan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Upaya sosialisasi telah sering dilakukan, berbagai upaya penyuluhan


dan pendidikan telah dilakukan. Upaya ini masih terbatas dan
hasilnya tidak serta merta menjadikan perusahaan, pengusaha dan
pekerja sepenuhnya patuh kepada ketentuan yang berlaku. Program
sosialisasi bukan aktivitas sesaat melainkan harus terus dilaksanakan
secara berkelanjutan. Masih banyak institusi yang bisa berpartisipasi
dalam program sosialisasi serta demikian pula aneka media masih
terbuka luas guna dimanfaatkan. Dari semua potensi dapat dipilih
cara yang lebih efektif agar diraih hasil upaya yang sebaik-baiknya.

Data mengenai penyakit akibat kerja yang bersumber kepada


aktivitas pengawasan dan juga pelaksanaan jaminan sosial terhadap
penyakit akibat kerja sebagai suatu aspek dari jaminan kecelakaan
kerja relatif sangat minim. Pertahun tercatat sekitar 100.000
kecelakaan kerja, angka kecelakaan ini pada umumnya terus
meningkat, korban meninggal sebagai akibat kecelakaan kerja
pertahunnya berkisar antara 1500 sampai 2000 orang. Data penyakit

14

kerja relatif sangat minim yaitu kurang dari 1% dari jumlah kasus
kasus kecelakaan kerja. Hal ini berbeda dengan temuan penelitian
yang menunjukkan angka sakit dan keparahan yang jauh berbeda
dengan data statistik operasional.
d

Profesi kedokteran kerja adalah dengan kompetensi khusus terhadap


penyakit akibat kerja, yaitu okupasi. Kedokteran okupasi memiliki
kolegium yang mempunyai mengatur kedokteran okupasi.

Penyakit akibat kerja masih sangat jarang dilaporkan karena


keengganan pihak perusahaan atau pengurus perusahaan untuk
melaporkannya. Perusahaan juga kuatir akan konsekuensi hukum
yang mungkin dihadapi apabila yang bersangkutan melaporkan
penyakit akibat kerja yang dialami oleh tenaga kerja atau pekerja di
perusahaan tersebut.

Perlunya koordinasi antara otoritas pengawasan yang menjalankan


penegakan hukum (law enforcement) dan institusi atau organisasi
yang melakukan fungsi-fungsi pelayanan, penyuluhan, pelatihan,
pendidikan dan penelitian sehubungan dengan penyakit akibat kerja.
Pencegahan terhadap penyakit akibat kerja dan semua ketentuan

yang berlaku bagi penyakit akibat kerja agar dapat diselenggarakan


dengan baik serta penyelenggaraan jaminan kecelakaan kerja yang
berkaitan dengan penyakit yang disebabkan karena pekerjaan atau
lingkungan kerja dapat terlaksana dengan baik pula, perlu terwujud
kesepahaman dan pemahaman secara benar mengenai pengertian
penyakit akibat kerja, metoda diagnosis penyakit yang disebabkan
karena pekerjaan atau lingkungan kerja, jenis penyakit akibat kerja,
deteksi

dini

terhadap

penyakit

dimaksud,

pencegahan

serta

penatalaksanaannya.

15

Selain itu sangat penting peranan koordinasi yang sebaik-baiknya


diantara unsur pengawasan dan penelitian yang bersangkutan. Di atas
segalanya pendekatan inovatif dari semua pihak terkait dituntut untuk
meningkatkan perannya dalam upaya promotif, preventif, kuratif,dan
rehabilitatif medis terhadap penyakit akibat kerja serta juga dalam upaya
sehubungan dengan pelaksanaan jaminan kecelakaan kerja yang
penyakit akibat kerja termasuk dalam cakupannya.
Upaya sosialisasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit akibat kerja kepada semua pihak yang bersangkutan dan juga
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tentang penyakit aibat kerja
terutama bagi dokter pemeriksa atau dokter yang merawat tenaga kerja
yang terkena penyakit akibat kerja, dokter penasehat dan pegawai
pengawas ketenagakerjaan merupakan syarat mutlak guna mencapai
sukses penanganan penyakit akibat kerja.
Juga sangat penting masuknya penyakit akibat kerja dalam
pendidikan dokter dan berkembangnya profesi kedokteranyang secara
khusus berfokus kepada efek pekerjaan dan lingkungan kerja terhadap
kesehatan. Peran penelitian atau survei lapangan merupakan pintu masuk
bagi diketahuinya problema penyakit akibat kerja yang sebenarbenarnya, temuan yang dihasilkan oleh penelitian/survei perlu
dimanfaatkan seefektif mungkin bagi penatalaksanaan penyakit akibat
kerja.
2

Penggolongan Penyakit Akibat Kerja


Penggolongan Penyakit Akibat Kerja menurut Keputusan Presiden
Nomor 22 tahun 1993 diatur menurut jenis Penyakit Akibat Kerja.
Secara teoritis penggolongan Penyakit Akibat Kerja dapat pula dibuat
atas

dasar

faktor

penyebab

yaitu

faktor

fisik,

biologis,

fisiologis/ergonomis dan mental psikologis.


Keputusan Presiden RI No. 22 tahun 1993 tentang penyakit yang timbul
akibat hubungan kerja:

16

Pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentuk


jaringan parut (silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan siliko
tuberkulosis yang silikosisnya merupakan faktor utama penyebab
cacat atau kematian.

Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronchopulmoner) yang


disebabkan oleh debu logam keras.

Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronchopulmoner) yang


disebabkan oleh debu kapas, vlas, hennep dan sisal (bissinosis).

Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan


zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan.

Alvolitis allergika yang disebabkan faktor dari luar sebagai akibat


penghirupan debu organik.

Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang


beracun.

Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya


yang beracun.

Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang


beracun.

Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang


beracun.

10 Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang


beracun.
11 Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang
beracun.
12 Penyakit yang disebabkan oleh air raksa atau persenyawaannya yang
beracun.
13 Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang
beracun.
14 Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawaannya yang
beracun.
15 Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida.

17

16 Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan


hidrokarbon alifatik atau aromatik yang beracun.
17 Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang
beracun.
18 Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena
atau homolognya yang beracun.
19 Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat
lainnya.
20 Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol dan keton.
21 Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau
keracunan seperti karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen
sulfida atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.
22 Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23 Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan
otot, urat tulang, persendian, pembuluh darah tepi atau saraf tepi).
24 Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang
bertekanan lebih.
25 Penyakit yang disebabkan oleh radiasi mengion.
26 Penyakit yang disebabkan oleh penyebab-penyebab fisik, kimiawi
atau biologis.
27 Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, bitumen,
minyak mineral, antrasena atau persenyawaan produk atau residu
dari zat tersebut.
28 Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29 Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit
yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki resiko
kontaminasi khusus.
30 Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas
radiasi atau kelembaban udara tinggi.
31 Penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia lainnya termasuk bahan
obat.

18

Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan


Penyakit Akibat Kerja
Penegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu
dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi
yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan
tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai
pedoman:
1

Tentukan diagnosis klinisnyaDiagnosis klinis harus dapat ditegakkan


terlebih dahulu, dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang
yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu
penyakit.Setelah diagnosis klinis ditegakkan baru dapat dipikirkan
lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan
atau tidak.

Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini


Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga
kerja adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit
dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesis
mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang
mencakup:
o Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh
penderita secara kronologis
o Lama menekuni pekerjaan tersebut
o Bahan yang diproduksi
o Materi (bahan baku) yang digunakan
o Jumlah pajanannya
o Pemakaian alat perlindungan diri
o Pola waktu terjadinya gejala
o Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang
mengalami gejala serupa)
o Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang
digunakan (Material Safety Data Sheet/MSDS), label, dan
sebagainya.
19

Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan


penyakit

tersebut.Apakah

terdapat

bukti-bukti

ilmiah

dalam

kepustakaan yang mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami


menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaantidak
ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas,
maka tidak dapat ditegakkan diagnosis penyakit akibat kerja. Jika
dalam kepustakaan terdapat data yang mendukung diagnosis, perlu
dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga
dapat mendukung hipotesis bahwa pajanan tersebut memang
menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi, jumlah, lama, dan
4

sebagainya).
Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk
dapat mengakibatkan penyakit tersebut. Jika penyakit yang diderita
hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan
yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti
lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada
untuk dapat menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.

Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat


mempengaruhi.Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit
maupun riwayat pekerjaan yang dapat mengubah keadaan pajanan
misalnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD), riwayat adanya
pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat.Apakah
pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang
mengakibatkan penderita lebih rentan atau lebih sensitif terhadap

pajanan yang dialami.


Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab

penyakit.
Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab-penyakit.
Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat
merupakan penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya

20

penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan


penyebab di tempat kerja. Buat keputusan apakah penyakit tersebut
disebabkan oleh pekerjaannya.Sesudah menerapkan ke enam
langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan berdasarkan informasi
yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah
B. Luka
Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit ( Taylor,
1997). Luka adalah kerusakan kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang
atau organ tubuh lain (Kozier, 1995).
C. Mekanisme Terjadinya Luka
Menurut Taylor (1997) Klasifikasi luka berdasarkan mekanismenya
dibedakan menjadi:
1

Abrasi
Merupakan perlukaan paling superfisial, dengan definisi tidak menebus

lapisan epidermis. Abrasi yang sesungguhnya tidak berdarah karena pembuluh


darah terdapat pada dermis. Kontak gesekan yang mengangkat sel keratinisasi
dan sel di bawahnya akan menyebabkan daerah tersebut pucat dan lembab oleh
karena cairan eksudat jaringan.

Kontusio atau memar


Meskipun sering bersamaan dengan abrasi dan laserasi, memar murni

terjadi karena kebocoran pada pembuluh darah dengan epidermis yang utuh
oleh karena proses mekanis. Ekstravasasi darah dengan diameter lenih dari
beberapa millimeter disebut memar atau kontusio, ukuran yang lenih kecil

21

disebut ekimosis dan yang terkecil seukuran ujung peniti disebut petekie. Baik
ekimosis dan petekie biasanya terjadi bukan karena sebab trauma mekanis.
Kontusio disebabkan oleh kerusakan vena, venule, arteri kecil.
Perdarahan kapiler hanya dapat dilihat melalui mikroskop, bahkan petekie
berasal dari pembuluh darah yang lebih besar dari kapiler.

Luka gores/Laserasi
Luka robek (laceration) adalah jenis kekerasan benda tumpul (blunt force

injury) yang merusak atau merobek kulit (epidermis & dermis) dan jaringan
dibawahnya (lemak, folikel rambut, kelenjar keringat & kelenjar sebasea). Cara
terjadinya laserasi, yaitu :
Arah kekerasan tegak lurus terhadap kulit sedangkan jaringan dibawah
kulit terdapat tulang misalnya kepala yang terbentur pada sisi meja. Hal ini
disebut luka retak (harus kita bedakan dengan luka iris (incissed wound).
Arah kekerasan miring (tangensial) sehingga luka robek (laceration) dan
terkelupas.
Benda yang berputar menyebabkan luka yang sirkuler misalnya gilasan
mobil.
Patah tulang yang menembus kulit.
Penyembuhan luka robek (laceration) sama dengan penyembuhan luka
lecet (abrasion) & luka memar (contussion) tergantung dari 4 faktor, yaitu :
1. Vaskularisasi.
2. Keadaan umum penderita.
3. Ukuran luka.
4. Ada tidaknya komplikasi.
Perbedaan antara antemortem dengan post mortem yaitu antemortem
mengeluarkan

banyak

darah

sedangkan

post

mortem

hanya

sedikit

22

mengeluarkan darah. Kadang kita dapat menentukan arah kekerasan dengan


memperhatikan bibir luka (flap).
Berbeda dengan luka iris dimana pada luka gores jaringan yang rusak
menyobek bukan mengiris.
Laserasi dapat dibedakan dari luka iris :
1

Garis tepi memar dan kerusakan memiliki area yang sangat kecil
sehingga untuk pemeriksaanya kadang dibutuhkan bantuan kaca
penbesar.

Keberadaan rangkaian jaringan yang terkena terdapat pada daerah

bagian dalam luka, termasuk pembuluh darah dan saraf .


Tidak adanya luka lurus yang tajam pada tulang dibawahnya,terutama

jika yang terluka daerah tulang tengkorak.


Jika area tertutup oleh rambut seperti kulit kepala, maka rambut
tersebut akan terdapat pada luka.

Luka Iris (Incisi)


Adalah luka yang disebabkan oleh objek yang tajam, biasanya mencakup

seluruh luka akibat benda-benda seperti pisau, pedang, silet, kaca, kampak
tajam dll. Ciri yang paling penting dari luka iris adalah adanya pemisahan yang
rapih dari kulit dan jaringan dibawahnya, maka sudut bagian luar biasanya bisa
dikatakan bersih dari kerusakan apapun.

23

Luka potong
Adalah luka iris yang kedalamannya lebih panjang. Luka potong tidak

lebih berbahaya dibandingkan tikaman, sebagaimana ketidakdalaman luka


tidak akan terlalu mempengaruhi organ vital, khususnya target utama nya
adalah tangan dan muka.
6

Luka tikam dan luka yang berpenetrasi


Menikam biasanya dengan pisau, sering terjadi pada kasus pembunuhan

dan pembantaian.
Karakteristik dari alat tikam:
i Panjang, lebar dan ketebalan pisau
ii Satu atau dua sisi
iii derajat dari ujung yang lancip
iv
bentuk belakang pada pisau satu sudut (bergerisi/kotak)
v
Bentuk dari pelindung pangkal yang berdekatan dengan mata pisau
vi Adanya alur, bergerigi atau cabang dari mata pisau
vii Ketajaman dari sudut dan khususnya ujung dari mata pisau
Karakteristik luka tikam, dapat menerangkan tentang:
i Dimensi senjata
ii Tipe senjata
iii Kelancipan senjata
iv
Gerakan pisau pada luka
v
Kedalaman luka
vi Arah luka
vii Banyaknya tenaga yang digunakan

24

.Luka tusuk (Punctured Wound)


Luka terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang
masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.

Luka Bakar (Combustio),


Adalah luka yang disebabkan oleh trauma panas, listrik, kimiawi,
radiasi atau suhu dingin yang ekstrim.

D. Jenis-Jenis Luka
Luka diklasifikasikan berdasarkan berbagai pertimbangan. Meskipun
luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu
dan menunjukkan derajat luka (Taylor, 1997). Selain itu jenis luka bisa
dibedakan berdasarkan :
1. Berdasarkan tingkat kontaminasi
a. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah takterinfeksi yang mana
tidak terjadi proses peradangan (inflamasi) dan infeksi pada sistem
pernafasan, pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka bersih
biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika diperlukan dimasukkan

25

drainase tertutup (misal; Jackson Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi


pada luka jenis ini adalah luka sekitar 1% - 5%.
b.Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka
pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau
perkemihan dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi,
kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3% - 11%.
c. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh,
luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan
teknik aseptic atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga
termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka
10% - 17%.
d. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya
mikroorganisme pada luka.
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka
a. Stadium I : Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka
yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b. Stadium II : Luka Partial Thickness : yaitu hilangnya lapisan kulit
pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka
superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang
yang dangkal.
c. Stadium III : Luka Full Thickness : yaitu hilangnya kulit keseluruhan
meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas
sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya.
Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak
mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang
dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d. Stadium IV : Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot,
tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas.
3. Berdasarkan Ada/Tidaknya hubungan dengan dunia luar
Jenis-jenis luka dapat dibagi atas dua bagian, yaitu luka terbuka dan luka
tertutup
a. . Luka terbuka; terbagi pada luka tajam dan luka tumpul
i) Luka tajam
- Vulnus scissum adalah luka sayat atau luka iris yang ditandai dengan
tepi luka berupa garis lurus dan beraturan.
- Vulnus ictum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing
yang biasanya kedalaman luka lebih daripada lebarnya.

26

ii) Luka tumpul


- Luka tusuk tumpul
- Vulnus sclopetorum atau luka karena peluru (tembakan).
- Vulnus laceratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak
beraturan, biasanya oleh karena tarikan atau goresan benda tumpul.
- Vulnus penetratum
- Vulnus avulsi
- Fraktur terbuka
- Vulnus caninum adalah luka karena gigitan binatang.
b. Luka Tertutup
- Ekskoriasi atau luka lecet atau gores adalah cedera pada permukaan
epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau
runcing.
- Vulnus contussum ( luka memar ); di sini kulit tidak apa-apa, pembuluh
darah subkutan dapat rusak, sehingga terjadi hematom. Bila hematom
kecil, maka ia akan diserap oleh jaringan sekitarnya. Bila hematom
besar, maka penyembuhan berjalan lambat.
- Bulla akibat luka bakar
- Hematoma
- Sprain ; kerusakan (laesi) pd ligamen- ligamen / kapsul sendi
- Dislokasi ; terjadi pada sendi- sendi, hubungan tulang - tulang di sendi
lepas / menjadi tdk normal sebagian
- Fraktur tertutup
- Laserasi organ interna/ Vulnus traumaticum; terjadi di dalam tubuh,
tetapi tidak tampak dari luar. Dapat memberikan tanda-tanda dari
hematom hingga gangguan sistem tubuh. Bila melibatkan organ vital,
maka penderita dapat meninggal mendadak.
4. Berdasarkan waktu penyembuhan luka
a. Luka akut : yaitu merupakan luka trauma yang biasanya segera
mendapat penanganan dan biasanya dapat sembuh dengan baik bila
tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak
dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan Contoh :
Luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury. Luka operasi dapat
dianggap sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli bedah. Contoh : luka
jahit, skin grafting. .

27

Gambar luka akut


b. Luka kronis yaitu : luka yang berlangsung lama atau sering timbul
kembali (rekuren) dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan
yang biasanya disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita,
dapat karena faktor eksogen dan endogen. Pada luka kronik luka gagal
sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap
terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali. Contoh : Ulkus
dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous, luka bakar dll.

Gambat luka kronis


5. Berdasarkan Penampilan Klinis
a.Nekrotik (hitam): Eschar yang mengeras dan nekrotik, mungkin
keringatau lembab.
b.Sloughy (kuning): Jaringan mati yang fibrous.
c.Terinfeksi (kehijauan): Terdapat tanda-tanda klinis adanya infeksiseperti
nyeri, panas, bengkak, kemerahan dan peningkatan eksudat.
d.Granulasi (merah): Jaringan granulasi yang sehat.
e.Epitelisasi (pink): Terjadi epitelisasi.
E. Penyembuhan Luka

28

Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan


memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak,
membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari
proses penyembuhan. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa
bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk
mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka
bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan
penyembuhan jaringan (Taylor, 1997).
Dalam proses penyembuhan luka, Terdapat 3 macam tipe penyembuhan
luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah jaringan yang
hilang.
a. .Primary Intention Healing (penyembuhan luka primer) yaitu
penyembuhan yang terjadi segera setelah diusahakan bertautnya tepi
luka biasanya dengan jahitan.
b. Secondary Intention Healing (penyembuhan luka sekunder) yaitu
luka

yangtidak

mengalami

penyembuhan

primer.

Tipe

ini

dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas dan hilangnya jaringan


dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan
lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
c. Tertiary Intention Healing (penyembuhan luka tertier) yaitu luka
yang

dibiarkanterbuka selama beberapa hari setelah tindakan

debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7 hari).


Luka

ini

merupakan

tipe

penyembuhanluka

yang

terakhir(InETNA,2004:6).
1. Prinsip Penyembuhan Luka
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka, yaitu:
a

Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh

b
c
d
e

luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang.


Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga,
Respon tubuh secara sistemik pada trauma,
Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka,
Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama

untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme,


Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing
tubuh termasuk bakteri (Mansjoer,2000).

2. Fase Penyembuhan Luka

29

Penyembuhan luka adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringan hal


ini juga berhubungan dengan regenerasi jaringan. Fase penyembuhan luka
digambarkan seperti yang terjadi pada luka pembedahan (Kozier,1995).
Menurut Kozier(1995), fase penyembuhan luka dapat dibagi menjadi :
a. Fase Inflamatori
Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 4 hari. Dua proses
utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan pagositosis. Hemostasis
(penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di
daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan
jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Bekuan darah
dibentuk oleh platelet yang menyiapkan matrik fibrin yang menjadi
kerangka bagi pengambilan sel. Scab (keropeng) juga dibentuk
dipermukaan luka. Bekuan dan jaringan mati, scab membantu hemostasis
dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab
epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu sebagai
barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya
mikroorganisme. Fase inflamatori juga memerlukan pembuluh darah dan
respon seluler digunakan untuk mengangkat benda-benda asing dan
jaringan mati. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa
bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan.
Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama
sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial.
Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama
lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan
mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut pagositosis.
Makrofag juga

mengeluarkan

faktor

angiogenesis

(AGF)

yang

merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah.


Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan.
Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.
b. Fase Proliferatif
Fase kedua ini berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21
setelah pembedahan. Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) yang
berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan.
Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut
30

proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah


substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah
kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga
kecil kemungkinan luka terbuka. Selama waktu itu sebuah lapisan
penyembuhan nampak dibawah garis irisan luka. Kapilarisasi tumbuh
melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan
nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan. Fibroblast berpindah dari
pembuluh darah ke luka membawa fibrin. Seiring perkembangan
kapilarisasi jaringan perlahan berwarna merah. Jaringan ini disebut
granulasi jaringan yang lunak dan mudah pecah.
c. Fase Maturasi
Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah
pembedahan. Fibroblast terus mensintesis kolagen. Kolagen menjalin
dirinya , menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi
kecil,

kehilangan

elastisitas

dan

meninggalkan

garis

putih(Mansjoer,2000; InETNA, 2004).


F. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis
karena merupakan suatu kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi
saling berkesinambungan. Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada
proses regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi pula
oleh faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik(InETNA, 2004).
Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat
berpengaruh dalam proses penyembuhan meliputi : usia, status nutrisi dan
hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan penyakit
penyerta (hipertensi, DM,Arthereosclerosis).
Faktor Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita
yang dapat berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi :
pengobatan, radiasi,stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan
(InETNA, 2004).
1. Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang
tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat
mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah.
31

2. Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien
memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan
mineral seperti Fe, Zn. Klien

kurang nutrisi memerlukan waktu untuk

memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien


yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena
supply darah jaringan adipose tidak adekuat.
3. Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan.
4. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi
Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya
sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit
pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat
karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama
untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada
orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau
diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita
anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume
darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan
oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka.
5. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara
bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat
bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi
tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka.
6. Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan
terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul
dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang
membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (Pus).
7. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah
pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi

32

akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor
internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.
8. Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula
darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan
terjadi penurunan protein-kalori tubuh.
9. Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas
penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
10. Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti
neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang
lama dapat membuat seseorang rentan terhadap infeksi luka.
a. Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap
cedera
b. Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
c. Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri
penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan
tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi intravaskular.
G. Komplikasi Luka
Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang
berbeda-beda.Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak
adekuat,

keterlambatan pembentukan

jaringan

granulasi,

tidak

adanya

reepitalisasi dan juga akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah : hematoma, nekrosis
jaringan lunak,dehiscence, eviserasi, keloids, formasi hipertropik scar dan juga
infeksi luka, perdarahan.
1. Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul
dalam 2 7 hari setelah pembedahan. Gejalanya berupa infeksi termasuk
adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di
sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Perdarahan

33

Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit


membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh
benda asing (seperti drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda.
Sehingga balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering
dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah
itu.Jika perdarahan berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka
steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan
mungkin diperlukan.
3. Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling
serius. Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau total.
Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah
faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk
menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi
resiko klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 5
hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika
dehiscence dan eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan
steril yang lebar, kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk
segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
H. Perawatan Luka
Penyembuhan luka yang terbaik adalah dengan membuat lingkungan
luka tetap kering. Perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940 hingga
tahun 1970, tiga peneliti telah memulai tentang perawatan luka. Hasilnya
menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab lebih baik daripada lingkungan
kering. Winter (1962) mengatakan bahwa laju epitelisasi luka yang ditutup
poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial
lebih cepat pada suasana lembab daripada kering, dan ini merangsang
perkembangan balutan luka modern (Potter P. 1998).
Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya
tingkat infeksi pada semua jenis balutan lembab adalah 2,5 %, lebih baik
dibanding 9 % pada balutan kering(Thompson J, 2000). Rowel (1970)
menunjukkan bahwa lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke
34

pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep
penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka
dan memberikan rangsangan bagi perkembangan balutan lembab (Potter P,
1998).
Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan tidak hanya berdasarkan
kebiasaan, melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka.
Penggunaan antiseptic hanya untuk yang memerlukan saja karena efek
toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya menggunakan
normal saline (Dewi, 1999).
Citotoxic agent seperti povidine iodine, asam asetat, seharusnya tidak
secara sering digunakan untuk membersihkan luka karena dapat menghambat
penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris
dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium
klorida dan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan.
Tepi luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi
luka. Tepi luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang
kira-kira satu minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka
menyatu. Dugaan tanda dari penyembuhan luka bedah insisi :
1. Tidak ada perdarahan dan munculnya tepi bekuan di tepi luka.
2. Tepi luka akan didekatkan dan dijepit oleh fibrin dalam bekuan selama satu
atau
beberapa jam setelah pembedahan ditutup.
3. Inflamasi (kemerahan dan bengkak) pada tepi luka selama 1 3 hari.
4. Penurunan inflamasi ketika bekuan mengecil.
5. Jaringan granulasi mulai mempertemukan daerah luka. Luka bertemu dan
menutup selama 7 10 hari. Peningkatan inflamasi digabungkan dengan panas
dan drainase mengindikasikan infeksi luka. Tepi luka tampak meradang dan
bengkak.
6. Pembentukan bekas luka.
7. Pembentukan kollagen mulai 4 hari setelah perlukan dan berlanjut sampai 6
bulan atau lebih.
8. Pengecilan ukuran bekas luka lebih satu periode atau setahun. Peningkatan
ukuran bekas luka menunjukkan pembentukan kelloid (Walker D,1996).
Dalam manajemen perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan
yaitu evaluasi luka, tindakan antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka,
penutupan luka, pembalutan, pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan.

35

Evaluasi luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan


eksplorasi).
Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk mensuci hamakan kulit. Untuk
melakukan pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau
larutan antiseptik seperti:
a

Alkohol, sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif dalam 2

b
c

menit).
Ha l o g e n d a n s e n y a w a n y a
Y odium , merupakan antiseptik yang sangat kuat, berspektrum

luas dan dalamkonsentrasi 2% membunuh spora dalam 2-3 jam.


Povidon Yodium (Betadine, septadine dan isodine),
merupakan kompleksyodium dengan polyvinylpirrolidone yang
tidak merangsang, mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil

karena tidak menguap.


Yodoform, sudah jarang digunakan. Penggunaan biasanya

untuk antiseptik borok.


Klorhesidin (Hibiscrub, savlon, hibitane), merupakan senyawa
biguanid dengan sifat bakterisid dan fungisid, tidak berwarna,
mudah larut dalam air, tidak merangsang kulit dam mukosa, dan
baunya tidak menusuk hidung.

Oksidansia :
a

Kalium permanganat, bersifat bakterisid dan funngisida agak

lemah berdasarkansifat oksidator.


Perhidrol
(Peroksida
air, H2O2),

berkhasiat

untuk

mengeluarkan kotoran daridalam luka dan membunuh kuman


anaerob.
Logam berat dan garamnya:
a

Merkuri

klorida

(sublimat),

berkhasiat

menghambat

pertumbuhan bakteri dan jamur.


Merkurokrom (obat merah) dalam larutan 5-10%. Sifatnya
bakteriostatik lemah,mempercepat keringnya luka dengan cara
merangsang timbulnya kerak (korts)

Asam borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%). Derivat fenol :


a

Trinitrofenol (asam pikrat), kegunaannya sebagai antiseptik


wajah dan genitaliaeksterna sebelum operasi dan luka bakar.

36

Heksaklorofan (pHisohex), berkhasiat untuk mencuci tangan.

Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin (rivanol), merupakan


turunanaridin dan berupa serbuk berwarna kuning dam konsentrasi 0,1%.
Kegunaannya sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan irigasi luka
terinfeksi(Mansjoer, 2000).Dalam proses pencucian/pembersihan luka
yang perlu diperhatikan adalah pemilihan cairan pencuci dan teknik
pencucian luka. Penggunaan cairan pencuci yang tidak tepatakan
menghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat
danmeningkatkan biaya perawatan. Pemelihan cairan dalam pencucian
luka harus cairanyang efektif dan aman terhadap luka. Selain larutan
antiseptik yang telah dijelaskan diatas ada cairan pencuci luka lain yang
saat ini sering digunakan yaitu Normal Saline. Normal saline atau disebut
juga NaCl 0,9%. Cairan ini merupakan cairan yang bersifatfisiologis, non
toksik dan tidak mahal. NaCl dalam setiap liternya mempunyaikomposisi
natrium klorida 9,0 g dengan osmolaritas 308 mOsm/l setara dengan ionion Na+

154

mEq/l

dan

Cl-

154

mEq/l

(InETNA,2004;

ISO

Indonesia,2000).
I.

Pelaksanaan Perawatan Luka


Merawat luka bertujuan untuk mencegah trauma (injury) pada kulit,
membran mukosa atau jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma,
fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit. Secara khusus
tujuan perawatan luka adalah :
1. Mencegah infeksi dari masuknya mikroorganisme ke dalam kulit dan
membrane mukosa
2. Mencegah bertambahnya kerusakan jaringan
3. Mempercepat penyembuhan
4. Membersihkan luka dari benda asing atau debris
5. Drainase untuk memudahkan pengeluaran eksudat
6. Mencegah perdarahan
7. Mencegah excoriasi kulit sekitar drain.
8. Meningkatkan hemostasis dengan menekan dressing
9. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
Pembersihan Luka
Daerah luka dibersihkan sesudah insisi. Prinsip membersihkan dari
daerah bersih ke daerah yang terkontaminasi karena drainnya yang basah
37

memudahkan pertumbuhan bakteri dan daerah daerah drain paling banyak


mengalami kontaminasi. Jika letak drain ditengah luka insisi dapat
dibersihkan dari daerah ujung ke daerah pangkal kearah drain. Gunakan
kapas yang lain. Kulit sekitar drain harus dibersihkan dengan antiseptik.
Tujuan dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan,
memperbaiki dan mempercepat proses penyembuhan luka; menghindari
terjadinya infeksi; membuang jaringan nekrosis dan debris (InETNA, 2004).
Beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu :
1.Irigasi dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk
membuang jaringan mati dan benda asing.
2.Hilangkan semua benda asing dan eksisi semua jaringan mati.
3.Berikan antiseptik
4.Bila diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian
anastesilokal. Bila diperlukan lakukan penutupan luka (Mansoer, 2000).
Penjahitan luka
Luka bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang
dari 8 jam boleh dijahit primer, sedangkan luka yang terkontaminasi berat
dan atau tidak berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh per sekundam
atau per tertiam.
Penutupan luka adalah mengupayakan kondisi lingkungan yang baik
pada

luka

sehingga

proses penyembuhan

berlangsung

optimal.

Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat tergantung pada


penilaiankondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung terhadap
penguapan, infeksi,mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam
proses penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah
berkumpulnya rembesan darah yang menyebabkan hematom.
Pada prinsipnya pemberian antibiotik pada luka bersih tidak diperlukan
dan pada luka terkontaminasi atau kotor maka perlu diberikan antibiotik.
Pengangkatan jahitan dilakukan bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi.
Waktu pengangkatan jahitan tergantung dari berbagai faktor seperti, lokasi,
jenis pengangkatan luka, usia,kesehatan, sikap penderita dan adanya infeksi
(Mansoer, 2000).
Persiapan alat
1. Set steril yang terdiri atas :
a. Pembungkus

38

b. Kapas atau kasa untuk membersihkan luka


c. Tempat untuk larutan
d. Larutan anti septic
e. 2 pasang pinset
f. Gaas untuk menutup luka.
2. Alat-alat yang diperlukan lainnya seperti : extra balutan dan zalf
3. Gunting
4. Kantong tahan air untuk tempat balutan lama
5. Plester atau alat pengaman balutan
6. Selimut mandi jika perlu, untuk menutup pasien
7. Bensin untuk mengeluarkan bekas plester
Cara kerja
1. Jelaskan kepada pasien tentang apa yang akan dilakukan. Jawab
pertanyaan pasien..
2. Minta bantuan untuk mengganti balutan pada bayi dan anak kecil
3. Jaga privasi dan tutup jendela/pintu kamar
4. Bantu pasien untuk mendapatkan posisi yang menyenangkan. Bukan
hanya pada daerah luka, gunakan selimut mandi untuk menutup pasien jika
perlu.
5. Tempatkan tempat sampah pada tempat yang dapat dijangkau. Bisa
dipasang pada sisi tempat tidur.
6. Angkat plester atau pembalut.
7. Jika menggunakan plester angkat dengan cara menarik dari kulit dengan
hati-hati kearah luka. Gunakan bensin untuk melepaskan jika perlu.
8. Keluarkan balutan atau surgipad dengan tangan jika balutan kering atau
menggunakan sarung tangan jika balutan lembab. Angkat balutan menjauhi
pasien.
9. Tempatkan balutan yang kotor dalam kantong plastik.
10. Buka set steril
11. Tempatkan pembungkus steril di samping luka
12. Angkat balutan paling dalam dengan pinset dan perhatikan jangan
sampai mengeluarkan drain atau mengenai luka insisi. Jika gaas dililitkan
pada drain gunakan 2 pasang pinset, satu untuk mengangkat gaas dan satu
untuk memegang drain.
13. Catat jenis drainnya bila ada, banyaknya jahitan dan keadaan luka.
14. Buang kantong plastik. Untuk menghindari dari kontaminasi ujung
pinset dimasukkan dalam kantong kertas, sesudah memasang balutan pinset
dijauhkan dari daerah steril.
15. Membersihkan luka menggunakan pinset jaringan atau arteri dan kapas
dilembabkan dengan anti septik, lalu letakkan pinset ujungnya labih rendah

39

daripada pegangannya. Gunakan satu kapas satu kali mengoles, bersihkan


dari insisi kearah drain :
a. Bersihkan dari atas ke bawah daripada insisi dan dari tengah keluar
b. Jika ada drain bersihakan sesudah insisi
c. Untuk luka yang tidak teratur seperti dekubitus ulcer, bersihkan dari
tengah luka kearah luar, gunakan pergerakan melingkar.
16. Ulangi pembersihan sampai semua drainage terangkat.
17. Olesi zalf atau powder. Ratakan powder diatas luka dan gunakan alat
steril.
18. Gunakan satu balutan dengan plester atau pembalut
19. Amnkan balutan dengan plester atau pembalut
20. Bantu pasien dalam pemberian posisi yang menyenangkan.
21. Angkat peralatan dan kantong plastik yang berisi balutan kotor.
Bersihkan alat dan buang sampah dengan baik.
22. Cuci tangan
23. Catat penggantian balutan, kaji keadaan luka dan respon pasien.
Bahan yang Sering Digunakan dalam Perawatan Luka
1. Sodium Klorida 0,9 %
Sodium klorida adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh
karena alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari sodium klorida.
Normal saline aman digunakan untuk kondisi apapun(Lilley& Aucker,
1999). Sodium klorida atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang
sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah merah
(Handerson, 1992). Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi,
yang paling sering adalah sodium klorida 0,9 %. Ini adalah konsentrasi
normal dari sodium klorida dan untuk alasan ini sodium klorida disebut juga
normal saline(Lilley& Aucker, 1999). Merupakan larutan isotonis aman
untuk tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering,
menjaga kelembaban sekitar luka dan membantu luka menjalani proses
penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif lebih murah.
2. Larutan povodine-iodine.
Iodine adalah element non metalik yang tersedia dalam bentuk garam
yang dikombinasi dengan bahan lain Walaupun iodine bahan non metalik
iodine berwarna hitam kebiru-biruan, kilau metalik dan bau yang khas. Iodine
hanya larut sedikit di air, tetapi dapat larut secara keseluruhan dalam alkohol
dan larutan sodium iodide encer. Iodide tinture dan solution keduanya aktif

40

melawan spora tergantung konsentrasi dan waktu pelaksanaan(Lilley&


Aucker, 1999). Larutan ini akan melepaskan iodium anorganik bila kontak
dengan kulit atau selaput lendir sehingga cocok untuk luka kotor dan
terinfeksi bakteri gram positif dan negatif, spora, jamur, dan protozoa. Bahan
ini agak iritan dan alergen serta meninggalkan residu(Sodikin, 2002). Studi
menunjukan bahwa antiseptik seperti povodine iodine toxic terhadap
sel(Thompson J, 2000). Iodine dengan konsentrasi > 3 % dapat memberi rasa
panas pada kulit. Rasa terbakar akan nampak dengan iodine ketika daerah
yang dirawat ditutup dengan balutan oklusif kulit dapat ternoda dan
menyebabkan iritasi dan nyeri pada sisi luka (Lilley& Aucker, 1999).

41

You might also like