You are on page 1of 8

Latar belakang

Menyusul krisis keuangan global yang menghantam hampir semua sektor


industri termasuk industri makanan, industri mie instan juga terkena
imbasnya. Ditambah lagi pada 2008 lalu terjadi kenaikan harga bahan baku
utama yaitu tepung terigu akibat penyesuaian terhadap kenaikan harga
bahan bakar.
Disamping itu kenaikan harga komoditas di pasar internasional
mengakibatkan inflasi yang tinggi dan melemahnya daya beli masyarakat.
Sehingga mempengaruhi pertumbuhan industri makanan termasuk industri
mie instan. Penurunan terjadi terutama pada segmen bawah karena
kenaikan harga jual mie instan seiring dengan kenaikan harga tepung terigu
sebagai bahan baku utama. Akibatnya sebagian produsen dari mie instan
segmen bawah untuk sementara tidak berproduksi, karena anjloknya
permintaan konsumen dari kalangan ini.
Sedangkan permintaan mie instant dari segmen menengah atas tidak
mengalami perubahan. Sehingga industri mie instan segmen menengah atas
tetap bersaing ketat. Namun demikian, persaingan di segmen menengah
atas tersebut sekarang berlangsung secara lebih sehat. Sebab tidak lagi
terjadi perang harga secara terbuka antara dua produsen besar yaitu Grup
Indofood dengan Grup Wings, seperti yang terjadi tiga tahun belakangan ini.
Semua produsen mie instan segmen menengah atas tersebut serentak
menaikkan harga jual produknya menyesuaikan dengan kenaikan biaya
produksi yang tinggi.
Ketatnya persaingan di dalam pasar mie instan, menjadikan penguasaan
pasar oleh Grup Indofood melalui PT. Indofood Sukses Makmur dengan merk
Indomie berkurang menjadi sekitar 77% dari sebelumnya 90%. Hal ini
terutama disebabkan munculnya pesaing terbesarnya yaitu PT. Prakarsa
Alam Segar (Group Wingsfood) dengan produknya Mie Sedaap yang berhasil
merebut sebagian pasar Indofood. Wingsfood kini menguasai sekitar 12%
pangsa pasar.
Sejak lima tahun terakhir hingga saat ini praktis pasar mie instan hanya
menjadi arena pertarungan antara Indomie (Grup Indofood) dengan Mie
Sedaap (Grup Wings), keduanya menguasai sekitar 89% dari seluruh pasar
mie instan di Indonesia. Sementara sejumlah pemain lainnya
memperebutkan sisa pangsa pasar yang sangat kecil hanya 11%.
Meski terjadi krisis global, namun pada 2008 lalu produksi mie instan tetap
mengalami pertumbuhan produksi sekitar 6,9% menjadi sekitar 1.544.072
ton dibandingkan 1.443.686 ton pada tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan
karena imbas krisis global yang juga berdampak pada sektor industri

makanan termasuk industri mie instan, dimana sebagian produsen


mengurangi produksi karena permintaan berkurang.
Industri mie instan memiliki nilai pasar yang cukup besar, pada 2008 lalu
diperkirakan mampu menembus Rp 15 triliun. Disamping itu, potensi pasar
masih cukup besar dengan populasi 225 juta jiwa pada 2008, konsumsi mie
instan per kapita baru sekitar 63 bungkus per orang setiap tahun. Ini masih
lebih kecil dibandingkan dengan Korea Selatan yang konsumsi mie instannya
cukup tinggi yaitu 70 bungkus per orang per tahun.
Besarnya pasar mie instan di dalam negeri menarik minat beberapa pemain
diluar Grup Indofood dan Grup Wings, yang berhasil mengisi ceruk pasar
yang ada seperti Mie Gaga, Mie 100 (Mie Cepek) yang mulai diproduksi oleh
PT. JakaranaTama.
Kapasitas produksi meningkat
Secara umum kapasitas produksi mie instan dalam periode lima tahun
terkahir mengalami pertumbuhan rata-rata 18,6% per tahun. Kapasitas
produksi mengalami peningkatan cukup tinggi yaitu mencapai 72,6%
menjadi 1.691.588 ton pada 2005 dari sebelumnya hanya 979.628 ton. Hal
ini dipicu oleh tingginya tingkat permintaan mie instan dibandingkan tahun
sebelumnya yang relatif masih rendah.
Kenaikan kapasitas yang cukup pesat tersebut didukung oleh adanya
perluasan kapasitas dari beberapa pemain yang sudah memiliki pasar cukup
baik seperti merek ABC, Mie Gaga, Salam Mi, Alhami dan terutama produk
dari Grup Indofood (Indomie, Supermie dan Sarimi). Pada 2006 tidak terjadi
penambahan, sebab kapasitas produksi yang ada masih mencukupi
kebutuhan.
Pada 2007 kapasitas produksi hanya mengalami peningkatan sekitar 1,0%
yaitu menjadi sekitar 1.708.504 ton per tahun. Terutama karena adanya
perluasan dari produsen besar yaitu PT. Indofood Sukses Makmur. Sekitar Rp
400 miliar dari total belanja modal tahun 2007 digunakan untuk
meningkatkan kapasitas produksi mie instant sebanyak 1 miliar bungkus.
Sampai akhir 2006 perseroan memiliki kapasitas produksi terpasang
sebanyak 13,5 miliar dan akan ditingkatkan menjadi 14,5 miliar bungkus
tahun 2007.
Seiring dengan krisis global yang terjadi pertengahan 2008, beberapa
produsen menghentikan produksinya terutama produksi untuk segmen
bawah. Namun kondisi ini tidak mempengaruhi industri mie instan nasional.
Sebab beberapa produsen besar mampu menambah kapasitas produksinya.
Kapasitas produksi mie instan nasional meningkat relatif kecil hanya 0,9%
menjadi sekitar 1.725.589 ton per tahun.

Pada 2009 ini seiring dengan mulai membaiknya kondisi ekonomi, kapasitas
produksi mie instan diperkirakan akan meningkat menjadi 1.880.892 ton per
tahun, atau akan meningkat sekitar 8,9%. Hal ini didukung oleh Grup
Indofood sebagai produsen mie instan terbesar yang merencanakan akan
melakukan penawaran obligasi untuk membiayai ekspansi usahanya
termasuk meningkatkan kapasitas produksi.
Produsen dan kapasitas produksinya
Saat ini produsen mie instan tercatat sekitar 20 perusahaan baik perusahaan
berskala besar maupun kecil. Industri mie kering yang dikemas bersama
bumbunya atau yang lebih populer dengan sebutan instant noodle, relatif
cukup lama berdiri di Indonesia yaitu dimulai sekitar tahun 1969. Yang
dianggap perintis di bidang industri ini adalah PT Supermie Indonesia yang
beroperasi sejak tahun 1969.
Grup Indofood
Pada tahun 1979 berdiri PT Sarimi Asli Jaya, sebagai divisi food dan
consumer product dari pengembangan usaha Grup Salim di pengolahan
terigu. Perusahaan yang memproduksi mie instan merk Sarimi ini, pada
awalnya tidak terlalu berhasil dalam pemasarannya.
Mie instan mulai berkembang pesat setelah Grup Salim, dengan anak
perusahaannya PT Sanmaru Food Manufacturers Co. Ltd. melakukan swap
share dengan produsen mie instan merk Indomie yaitu Jangkar Sakti Grup,
sehingga merek tersebut memasyarakat di pasar domestik. Terlebih lagi
setelah Grup Salim mengambil alih PT Supermi Indonesia tahun 1986 lalu,
menjadikan mie instan produksi Grup Salim mendominasi pasar di dalam
negeri.
Salah satu anak perusahaan Grup Salim yang berdiri tahun 1990, yaitu PT
Panganjaya Inti Kusuma, pada awal Februari 1994 berubah nama menjadi PT
Indofood Sukses Makmur (ISM). Perusahaan ini kemudian menjadi cikal bakal
Group Indofood yaitu sub-group dari Salim Group yang menggabungkan 18
perusahaan dari devisi industri makanan olahan group Salim maupun anak
perusahaan ISM lainnya. Penggabungan (merger) tersebut melibatkan 6
perusahaan yang memproduksi mie instan yaitu PT Sanmaru, PT Pangan Jaya
Abadi, PT Karyapangan Inti Sejati, PT Lambang Insan Makmur dan PT
Sarimie Asli Jaya. Sejumlah mie instan produksi Indofood yang beredar di
pasar dengan merk Indomie, Supermie, Sarimie dan Popmie.
Pada 1994 ISM go public dengan menawarkan sebanyak 21 juta lembar
saham senilai Rp 21 milyar kepada masyarakat, sehingga modal yang
ditempatkan dan modal yang disetor perusahaan meningkat dari Rp 742

milyar menjadi Rp 763 milyar. Pemegang saham ISM saat ini terdiri dari Cab
Holding Ltd (46,53%), lai-lain (9,6%) dan publik (43,78%)
Kapasitas produksi terpasang mencapai 15,0 miliar bungkus per tahun pada
2008, meningkat dari sebelumnya 14,5 miliar bungkus per tahun. Sedangkan
tingkat utilisasi mencapai 80% pada 2008, ISM merupakan produsen mie
instant terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara.
Saat ini pabrik ISM bertambah menjadi 16 unit dari sebelumnya 14 unit
pabrik mie instan yang tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan
Sulawesi. Industri mie instan milik ISM didukung oleh pabrik bumbu yang
semuanya berlokasi di Pulau Jawa, yaitu PT. Indosentra Pelangi.
Selain itu, ISM juga memiliki dua pabrik pengolahan gandum di Jakarta dan
Surabaya melalui PT. ISM Bogasari dan 1 pabrik kemasan karung tepung di
Citereup. Pada 2007 ini, ISM akan menambah lagi dua unit mesin produksi
untuk mencapai target penjualan mencapai 17 juta bungkus per minggu.
Saat ini kapasitas produksi Indofood dengan delapan unit mesin produksi
terpasang yakni 3.500 dos (isi 40 bungkus/dos) per mesin per shif.
Sementara dalam sehari dibagi atas tiga shif. Sehingga, rata-rata
menghasilkan sekitar 3.360.000 bungkus per hari.
ISM merupakan produsen mie instan terbesar di Indonesia. Selama ini sekitar
2% produknya diekspor ke lebih dari 50 negara di seluruh dunia.
Nissin Mas
PT. Nissin Mas merupakan perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing)
didirikan oleh Roda Mas dan Nissin Food Product Co. Ltd, Jepang pada 1992
dengan kapasitas 16.000 ton per tahun dan menelan investasi US$ 10 juta.
Nissin sebagai mitra dari Jepang, merupakan salah satu produsen mie instan
terbesar di negara itu.
PT. Nissin Mas melakukan terobosan baru dengan memproduksi mie instan
dalam kemasan mangkok (bowl noodles) merek "Noodles". Selain itu
Noodles juga disajikan secara one touch cooking, artinya konsumen tidak
perlu membuka kantung bumbu, karena semuanya sudah dicampur menjadi
satu. Untuk pasar cup noodle, Nissin Mas bersaing dengan produk ISM yaitu
Pop Mie.
Pada Juli 1996 ISM membentuk aliansi strategis dengan Nissin Food Product
Co. Ltd, produsen mie instant terbesar di Jepang, serta Nissho Iwai
Corporation, perusahaan dagang terkemuka di negara tersebut. Ketiga
perusahaan itu akan memperkuat modal PT Nissin Mas, dimana Indofood
akan menyertakan sahamnya sebanyak 49% di PT Nissin Mas. Sehingga 51%
sisa saham, masing-masing akan dimiliki oleh PT Nissin (49%) dan Nissho
Iwai (2%).

PT ABC
PT ABC President, sebuah PMA sebelumnya dikenal memproduksi berbagai
produk makanan dan minuman (saus, kecap dan sebagainya). Perusahaan ini
merupakan patungan dari PT Aneka Bina Cipta (62%), dengan mitra asing
Nan Gai Investment Co. Ltd, Hongkong (35%) dan Yeuan Yeou Enterprises Co.
Ltd, Taiwan (3%).
Pada 1993 ABC President memproduksi mie instan dengan kapasitas
produksi 48.000 ton per tahun. Untuk pasar menengah dipasarkan dengan
merek ABC dan Presiden, sedangkan untuk segmen pasar kelas bawah
dipasarkan dengan merk Top Rame.
PT Jakarana Tama yang berlokasi di Bogor memproduksi mie instan merk
Michiyo. Produk ini berhasil mengisi ceruk pasar di segmen kelas atas yang
tidak diisi oleh Indomie. Namun ceruk pasar kelas atas ini kemudian diserbu
oleh berbagai merek produk Indofood.
Pemasarannya didukung oleh perusahaan distributor PT Wicaksana Overseas
Internasional. Perusahaan cukup berhasil memasarkan Gaga 100.
PT.Dellifood Sentosa Corporation memasarkan Miduo yang mensiasati ceruk
pasar potensial, karena masih banyak konsumen yang tidak merasa cukup
kenyang dengan mengkonsumsi mie instan kebanyakan yang volumenya
berkisar 75 gram.
PT Nestle yang dikenal sebagai produsen susu bubuk juga memasuki bisnis
mie instant bekerja sama dengan PT Supmi Sakti. Produknya memakai merk
Maggi Mi.
PT Barokah Inkopontren yang berlokasi di Bekasi, Jawa Barat memasarkan
Mie Instant merek Barokah sejak 1999, dengan investasi Rp 24,9 milyar
untuk kapasitas 7.200 ton per tahun.
Grup Wings
Meningkatnya permintaan mie instan, sebagai konsumsi alternatif makanan
pokok, telah mendorong investor baru di antaranya Group Wings. Group
Wings yang berpusat di Surabaya, Jawa Timur awalnya lebih dikenal sebagai
produsen sabun cuci dengan merk Wings Biru.
Pada awal 2003 melalui sub grup-nya Wingsfood langsung sukses
menggebrak pasar mie instan melaui produknya Mie Sedaap. Wingsfood
memiliki dua anak perusahaan yaitu PT. Karunia Alam Segar (KAS) dan PT.
Prakarsa Alam Segar (PAS) dengan total kapasitas produksi sekitar 202 ribu
ton per tahun. KAS yang berlokasi di Gresik (Jawa Timur) sebagai basis
produksi untuk pemasaran wilayah Indonesia bagian Timur, sedangkan PAS
yang berlokasi di Bekasi (Jawa Barat) untuk pemasaran wilayah barat.

Strategi Wingsfood ini berhasil merebut sebagian pasar mie instan yang
selama ini dikusai oleh Indofood. Semua distribusi produk Mie Sedaap milik
Wingsfood ditangani oleh PT. Sayap Mas Utama.
PT Olagafood
PT Olagafood Industri Makanan dan Minuman didirikan pada 1997 di Medan,
Sumatera Utara. Awalnya, perusahaan ini bergerak dalam produksi air kelapa
muda kalengan untuk pasar ekspor terutama untuk pasar Taiwan. Pada 1998,
perusahaan ini memulai produksi mie instan, yang dipasarkan dengan merk
Alhami dengan 12 macam varian rasa. Produk Alhami dipasarkan dengan 2
macam pilihan produk, yaitu Alhami reguler dan Alhami 100.
Pada 2001, Olagafood melakukan ekspansi dengan memproduksi varian baru
dan dipasarkan dengan merk Santremie. Selanjutnya Olagafood juga
memproduksi mie instan khusus bagi vegetarian yang dipasarkan
menggunakan merk Maitri. Sedangkan mie makanan ringan dipasarkan
dengan merk Hola Hole dan Mikka. Serta produk mie instan varian terbaru
dengan merk Alimi mulai diproduksi pada 2006. Olagafood melakukan
diversifikasi produk dengan mulai produksi kecap kedelai, dengan tujuan
untuk digunakan sendiri dalam produksi mie instant. Olagafoodmemasarkan
kecap kedelainya dengan merek Gurumasak.
Olagafood telah meningkatkan kapasitas produksinya pada 2009 menjadi
57.600 ton per tahun dari sebelumnya hanya 36.000 ton per tahun.
Peningkatan kapasitas tersebut untuk memenuhi kebutuhan pasar terutama
di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam.
PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk
PT. Tiga Pilar Sejahtera (TPS) didirikan pada 1992 oleh keluarga almarhum
Tan Pia Sioe. Perusahaan ini bergerak dalam industri pengolahan mie.
Awalnya pada 1959, almarhum Tan Pia Sioe mendirikan bisnis keluarga
yang memproduksi bihun jagung dengan nama Perusahaan Bihun Cap
Cangak Ular di Sukoharjo, Jawa Tengah.
roduksi meningkat 7,7%
Pada periode lima tahun terakhir, produksi mie instan mengalami
peningkatan yang cukup pesat. Hal ini didorong oleh permintaan yang
terus meningkat. Bagi sebagian besar konsumen produk mie sering menjadi
andalan pengganti makanan pokok yang sangat praktis. Di saat harga-harga
makanan lainnya melonjak, maka konsumen beralih ke mie instan yang
relatif lebih murah.
Sampai dengan 2007 produksi mie instan masih mengalami peningkatan
yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Pada 2004 produksi mie instan

tercatat 974 ribu ton atau sekitar 12,9 milyar bungkus. Kemudian terus
meningkat masing-masing menjadi 1,0 juta ton (13,5 miliar bungkus) pada
2005 dan 1,3 juta ton (18 miliar bungkus) pada 2006.
Produksi mie secara nasional pada 2007 tumbuh sekitar 6,7% dibanding
tahun sebelumnya, yaitu mencapai 1,4 juta ton atau dengan jumlah
penjualan mencapai 19,2 miliar bungkus. Pada 2008 industri mie instan terus
meningkat sebesar 7,7% atau menjadi 1,5 juta ton.
Penurunan terutama pada segmen bawah karena peningkatan harga jual mie
instan seiring dengan kenaikan harga bahan baku utama yaitu tepung terigu.
Kenaikan harga menyebabkan permintaan pada segmen bawah merosot, hal
ini mengakibatkan sebagian produsen mie instan segmen bawah
menghentikan produksi.
Pada 2009 seiring dengan mulai membaiknya daya beli masyarakat,
produksi diperkirakan akan meningkat kembali. Produksi diperkirakan akan
mampu meraih pertumbuhan sekitar 20% menjadi 1.880.892 ton.
PT. Indofood sebagai produsen mie instan terbesar, pada tahun ini akan
menawarkan obligasi senilai Rp 1 triliun. Sebagian dari dana tersebut akan
digunakan untuk meningkatkan produksinya.
Suplai bahan baku terigu
Tepung terigu merupakan bahan baku utama dalam memproduksi mie
instan. Disamping terigu, bahan baku lainnya adalah minyak sayur, garam,
natrium polipospat, natrium karbonat dan sebagainya. Selain itu, bahan
penunjangnya berupa kemasan terutama yang terbuat dari OPP (oriented
polypropylene) film. Secara umum bahan baku yang digunakan pada industri
mie instan, sebagian besar dapat dipenuhi dari dalam negeri.
Pada 2006 total produksi terigu nasional sebesar 3,68 juta ton, yang
dikonsumsi oleh industri mie instan mencapai 20% atau sebesar 736 ribu
ton. Pada tahun 2007 konsumsi terigu meningkat menjadi 786 ribu ton dan
tahun 2008 konsumsi terigu oleh industri mie instan sedikit menurun
menjadi 731 ribu ton.
Tepung terigu saat ini seluruhnya sudah dipenuhi dari dalam negeri, antara
lain diproduksi oleh PT ISM Bogasari Flour Mill, milik Indofood Group yang
merupakan sub grup dari Salim Group. Sejak 1998, tata niaga terigu
berdasarkan mekanisme pasar, sehingga dominasi kelompok Salim mulai
terkikis dengan masuknya produsen baru dan dibebaskannya bea masuk
impor terigu......

seperti yang kita ketahui, PT. Indofood terutama produk mie instannya memiliki
keunikan rasa dan promosi iklan yang mengusung tema nusantara. Hal ini yang
mendasari kami bahwa PT. Indofood menggunakan strategi diferensiasi karena
keunikan dan cakupan pasar yang luas terhadap produk mie instannya.
Berdasarkan analisis dari bahan bacaan Sukses PT. Indofood Sukses Makmur Tbk,
tidak hanya untuk Mie instan diatas, kami simpulkan bahwa suatu unit
bisnis/perusahaan dapat mElakukan penerapan strategi generik dengan
memperhatikan beberapa strategi di dalamnya. PT Indofood Tbk, banyak melakukan
diferensiasi produk untuk memenangkan persaingan hingga menguasai pangsa
pasar saat ini. Dengan demikian, didapatkan bahwa strategi generik yang
diterapkan oleh Indofood adalah diferensiasi produk unggulan serta mengakuisisi PT
Lonsum untuk memperluas lahan perkebunan

You might also like