Professional Documents
Culture Documents
Kendati bidang usaha penerbitan pers mempunyai risiko tinggi, bagi Surya Paloh,
bidang itu tetap merupakan lahan bisnis yang menarik. Ia memohon SIUPP baru, namun,
setelah dua tahun tak juga keluar. Minatnya di bisnis pers tak bisa dihalangi, ia pun
kerjasama dengan Achmad Taufik Menghidupkan kembali Majalah Vista. Pada tahun 1989,
Surya Paloh bekerja sama dengan Drs. T. Yously Syah mengelola koran Media Indonesia.
Atas persetujuan Yously sebagai pemilik dan Pemrednya, Surya Paloh memboyong Media
Indonesia ke Gedung Prioritas. Penyajian dan bentuk logo surat kabar ini dibuat seperti
Almarhum Prioritas. Kemajuan koran ini, menyebabkan Surya Paloh makin bersemangat
untuk melakukan ekspansi ke berbagai media di daerah. Disamping Media Indonesia dan
Vista yang terbit di Jakarta, Surya Paloh bekerjasama menerbitkan sepuluh penerbitan di
daerah.
Pada umurnya yang masih muda, 33 tahun, Surya Paloh berani mempercayakan
bisnis cateringnya pada manajer yang memang disiapkannya. Pasar catering sudah
dikuasainya, dan ia menjadi the best di bisnis itu. Lalu, ia mencari tantangan baru, masuk ke
bisnis pers. Padahal, bisnis pers adalah dunia yang tidak diketahuinya sebelum itu.
Kewartawanan juga bukan profesinya, tetapi ia berani memasuki dunia ini, memasuki pasar
yang kelihatannya sudah jenuh. Ia bersaing dengan Penerbit Gramedia Group yang dipimpin
oleh Yakob Utama, wartawan senior. Ia berhadapan dengan Kartini Grup yang sudah puluhan
tahun memasuki bisnis penerbitan. Ia tidak segan pada Pos Kota Group yang diotaki
Harmoko, mantan Menpen RI. Bahkan, ia tidak takut pada Grafisi Group yang di-back up oleh
pengusaha terkenal Ir. Ciputra, bos Jaya Group.
Kendati kondisi pasar pers begitu ramai dengan persaingan. Surya Paloh sedikit pun
tak bergeming. Bahkan ia berani mempertaruhkan modal dalam jumlah relatif besar, dengan
melakukan terobosan-terobosan baru yang tak biasa dilakukan oleh pengusaha terdahulu.
Dengan mencetak berwarna misalnya. Ia berani menghadapi risiko rugi atau bangkrut. Ia
sangat kreatif dan inovatif. Dan, ia berhasil.
Surya Paloh menghadirkan koran Proritas di pentas pers nasional dengan beberapa
keunggulan. Pertama, halaman pertama dan halaman terakhir di cetak berwarna. Kedua,
pengungkapan informasi kelihatan menarik dan berani. Ketika, foto yang disajikan dikerjakan
dengan serius. Faktor-faktor itulah yang menyebabkan koran ini dalam waktu singkat,
berhasil mencapai sirkulasi lebih 100 ribu eksemplar. Tidak sampai setahun, break event
point-nya sudah tercapai.
Ancaman yang selalu menghantui Prioritas justru bukan karena kebangkrutan, tetapi
pencabutan SIUPP oleh pemerintah. Terbukti kemudian, ancaman itu datang juga. Koran
Prioritasnya mati dalam usia yang terlalu muda. Pemberitaannya dianggap kasar dan
telanjang. Inilah risiko terberat yang pernah dialami Surya Paloh. Ia tidak hanya kehilangan
sumber uang, tetapi ia juga harus memikirkan pembayaran utang investasi.
Dalam suasana yang sangat sulit itu, ia tidak putus asa. Ia berusaha membayar gaji
semua karyawan Prioritas, sambil menyusun permohonan SIUPP baru dari pemerintah.
Namun permohonan itu tidak dikabulkan pemerintah. Beberapa wartawan yang masih sabar,
tidak mau pindah ke tempat lain, dikirim Surya Paloh ke berbagai lembaga manajemen untuk
belajar.
Pers memang memiliki kekuatan, di negara barat, ia dikenal sebagai lembaga
keempat setelah legislatif, yudikatif dan eksekutif. Apalagi kebesaran tokoh-tokoh dari
berbagai disiplin ilmu atau tokoh-tokoh dalam masyarakat, sering karena peranan pers yang
mempublikasikan mereka. Bagaimana seorang tokoh diakui oleh kalangan masyarakat
secara luas, kalau ia di boikot oleh pers. Dengan demikian, bisnis pers memang prestisius,
memberi kebanggaan, memberi kekuatan dan kekuasaan. Dan, itulah bisnis Surya Paloh.