You are on page 1of 3

Cara Pandang Konspiratif

Kamis, 04 Desember 2014, 06:00 WIB


Komentar : 1

Republika/Daan

Azyumardi Azra
A+ | Reset | AREPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Azyumardi Azra
Tidak ragu lagi, salah satu warisan (legacy) Islam yang berkembang pesat dalam masa
setengah abad terakhir adalah lembaga pendidikan Islam (PTAI), baik negeri (PTAIN)
maupun swasta (PTAIS). Bermula dari Sekolah Tinggi Islam (STI), kemudian Fakultas
Agama Islam Universitas Islam Indonesia (UII) menjelang proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945, PTAIN secara sederhana berawal dengan pendirian pendidikan kedinasan
Kementerian Agama berupa Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Ciputat dan
PerguruanTinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta pada 1957.
Cerita selanjutnya adalah ekspansi PTAIN ketika ADIA dan PTAIN meninggalkan status
pendidikan kedinasan menjadi IAIN sejak 1960. Sepanjang tahun-tahun akhir pemerintahan
Orde Lama dan awal Orde Baru satu persatu IAIN didirikan di banyak ibukota provinsi
dengan fakultas cabang di sejumlah kota kecil. Berikutnya, pada 1997 seluruh fakultas
cabang tersebut memperoleh peningkatan status menjadi STAIN.
Terakhir sejak 2002 sampai 2014. 10 IAIN dan satu STAIN menjadi UINsebuah
nomenklatur baru dalam pendidikan tinggi Islam. Dalam waktu yang sama sejumlah STAIN
menjadi IAIN. Hasilnya, kini terdapat 56 PTAIN yang terdiri dari 11 UIN, 24 IAIN dan 21
STAIN. Kini juga terdapat perguruan tinggi agama negeri Kristen (STAKN) dan Hindu
(STAHN dan IAHN).
Mengamati perkembangan PTAIN, riwayatnya seolah menjadi pembuktian argumen Harry J.

Benda dalam The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese
Occupation, 1942-1945 (1958). Meminjam argumennya, sejak masa Jepang dan
kemerdekaan, sejarah Islam Indonesia tak lain riwayat ekspansi kaum santri dengan proses
santrinisasi lewat IAIN khususnya.
Hal yang sama juga ditegaskan MC. Ricklefs, sejarawan Australia terkemuka. Dalam karya
terakhirnya, Islamization and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and
Religious History, C. 1930 to the Present (2012), Ricklefs menyimpulkan, IAIN memainkan
peran penting dalam proses Islamisasi yang menurut dia tidak bisa dihentikan atau
dimundurkan.
Karena itu, perkembangan PTAIN dan kajian Islam yang menyertainya perlu dirayakan
secara reflektif dan evaluatif agar dapat memberi kontribusi lebih besar lagi bagi negarabangsa Indonesia. Terkait dengan hal itu, penulis Resonansi ini beruntung dapat turut
merayakan sebagai narasumber dalam beberapa konperensi tentang kajian Islam pada
Program PascaSarjana UIN Yogyakarta (18/11/2-14), Program PascaSarjana UIN Surabaya
(20/11), Konperensi Internasional Tahunan Kajian Islam (AICIS XIV, IAIN Samarinda, 2124/11/2014), dan IAIN Banjarmasin (25/11).
Dalam merayakan PTAIN dan Kajian Islam, juga sepatutnya penghargaan diberikan kepada
mereka yang telah ikut mengasuhnya baik sarjana dan praktisi pendidikan dari lingkungan
PTAIN sendiri, maupun kalangan luar yang turut mengabdikan diri dalam pengembangan
PTAIN khususnya sejak masa IAIN sampai STAIN dan UIN.
Di antara sarjana asing yang turut membantu pengembangan IAIN adalah Karel Steenbrink
dan Martin van Bruinessen, keduanya asal Belanda, yang masing-masing pada 1970an dan
1980an mengajar dan membantu pengembangan Program PascaSarjana di IAIN Yogyakarta
dan IAIN Jakarta. Mereka memberikan kontribusi tidak hanya dalam penguatan pendekatan
baru dalam kajian Islam yang lebih bersifat historis, antropologis dan sosiologis, tetapi juga
menghasilkan lulusan S2 dan S3 yang kemudian memainkan peran penting dalam
pengembangan IAIN dan Program PascaSarjananya.
Meski banyak kemajuan PTAIN dan kajian Islam, masih ada kalangan yang tidak bisa
menggunakan nalar obyektifnya, dan sebaliknya menggunakan cara pandang konspiratif.
Misalnya, dalam konperensi internasional Dynamics of the Studies on Indonesian Islam:
Tribute to Karel Steenbrink and Martin van Bruinessen di Program PascaSarjana UIN Sunan
Kalijaga seorang audiens dalam kesempatan tanya jawab menyatakan tentang adanya
konspirasi jahat untuk meminggirkan Islam dan Muslim di Indonesia.
Lebih jauh dengan cara pandang konspiratif, dia mengutip kembali dikotomi usang tentang
minna dan minhum terkait politik dan pemerintahan. Dengan oposisi biner ini,
pemerintahan yang ada bukanlah pemerintahan umatbukan dari kita (minna).
Cara pandang konspiratif jelas sangat merugikan. Pertama, menciptakan majority with a
minority complex, ungkapan sosiolog Belanda, W.F. Wertheim ketika mengamati sosiologi
umat Islam Indonesia di masa Presiden Soekarno. Cara pandang seperti ini sempat bertahan
dalam psikologi sebagian umat Islam Indonesia pada masa Orde Baru. Akibatnya, mereka
terhinggapi perasaan menjadi tamu di rumahnya sendiri.
Meski cara pandang konspiratif sebagian besarnya memudar sejak 1990an, masih ada saja

yang menyanyikan lagu lama ini. Cara pandang seperti itu sepatutnya diganti dengan
kacamata lebih positif; bersyukur dengan kemajuan yang telah dicapai, mengoreksi hal-hal
yang belum pada tempatnya dan turut melakukan apa yang bisa dilakukan untuk lebih
memajukan umat dan negara-bangsa Indonesia.

You might also like