You are on page 1of 21

Pendahuluan

Vertigo berasal dari kata latin vertere yang berarti memutar. Vertigo di dalam
kamus bahasa diterjemahkan dengan pusing; untuk dizzy/ dizziness dan giddy/
giddiness diterjemahkan ganar atau gayang. Diantara keluhan-keluhan penderita yang
dikemukakan kepada dokter, pusing merupakan keluhan yang umum setelah nyeri
kepala dan batuk. Penulis lain menunjukkan 15% di antara penderita yang
dikonsultasikan ke ahli saraf atau ahli THT, mengemukakan keluhan vertigo atau
ganar.
Pusing dalam arti sehari-hari mencakup pengertian yang

luas di dalam

masyarakat kita, sehingga bila pengertian ini ikut diperhitungkan maka pusing
mungkin menduduki deretan pertama di antara keluhan yang sering kita dengar. Kali
ini akan membahas pusing/ vertigo dalam proposi yang sebenarnya.

Definisi
Berbagai macam definisi vertigo dikemukakan oleh banyak penulis, tetapi
yang paling tua dan sampai sekarang nampaknya banyak dianut ialah yang
dikemukakan oleh Gowers pada tahun 1893 : vertigo adalah setiap gerakan atau rasa
gerakan tubuh penderita atau obyek-obyek di sekitar penderita yang bersangkutan
dengan kelainan sistem keseimbangan (ekuilibrium).
Sedikit berbeda definisi dikemukakan oleh penulis-penulis lain, misalnya:

Vertigo adalah disorientasi (gangguan pengamatan) terhadap ruangan atau


halusinasi gerakan, yang dapat berupa rasa berputar atau rasa gerakan linier.

Vertigo adalah suatu kesadaran subyektif gangguan sistem ekuilbirium,


terutama bilamana sistem vestibular yang terganggu; bila sistem vestibular
yang terganggu, vertigo yang timbul akan berupa rasa seperti diputar atau
dimiringkan, dan sering seakan-akan obyek disekitarnya bergerak.

Ada juga yang mengatakan kalau vertigo adalah ilusi bergerak. Dan sering pula
disebut

sebagai

halusinasi

gerakan.

Penderita

merasakan

atau

melihat

lingkungannya bergerak, padahal lingkungannya diam, atau penderita merasakan


dirinya bergerak, padahal tidak.

Gerakan pada vertigo umumnya gerakan

berputar, namun sesekali dijumpai kasus dimana gerakan bersifat linear (garis
lurus). Tubuh seolah-olah didorong atau ditarik menjauhi bidang vertikal.

Ganar lebih mencerminkan keluhan rasa gerakan yang umum (tidak spesifik), rasa
goyah (unstable, un steadiness), atau rasa dis-orientasi ruangan yang dapat dirasakan
sebagai putaran (turning) atau pusingan (whirling).
Gayang (giddiness) dikatakan sama dengan gamar atau merupakan suatu
bentuk vertigo yang intensif atau vertigo yang singkat.

Patofisiologi
Setiap orang tinggal di ruangan dan mampu berorientasi terhadap sekitarnya
berkat adanya informasi-informasi yang datang dari indera. Didalam orientasi ruangan
ini indera yang penting perananya adalah sistem vestibular (statokinetik), sistem
penglihatan (visual/optik) dan rasa dalam (proprioseptik).
Ada yang menambah lagi satu indera yaitu, rasa raba (taktil). Indera-indera
tersebut di atas membentuk satu unit fungsional yang bertugas mengadakan orientasi
terhadap ruangan, atau satu unit yang berfungsi mengatur keseimbangan/ ekuilirium.
Untuk bekerja secara wajar, unit ini memerlukan normalitas fungsi fisiologi
indera-indera tersebut sehingga infomasi yang ditangkap dari sekitarnya adalah
proposional dan adekuat. Informasi ini dari sisi kanan dan kiri masing-masing indera
dipertukarkan dan diproses lebih lanjut di dalam oleh suatu unit pemroses sentral dan
selanjutnya proses yang berlangsung di dalam sistem saraf pusat akan bekerja secara
reflektorik.
Apabila segalanya berjalan dengan normal, hasil akhir yang didapat ialah
timbulnya adaptasi tonus otot-otot, yaitu :

Otot mata menyesuaikan diri, menyesuaikan lapangan pandang (visiual field)


agar bayangan benda yang dilihat selalu berada di bintik terang mata
bilamana kepala dalam keadaan bergerak.

Otot ekstremitas menyesuaikan diri mempertahankan keseimbangan tubuh


bilamana tubuh bergerak atau berdiri.

Tetapi bila oleh sesuatu sebab terjadi hal-hal yang menyimpang, maka unit
pemroses sentral tidak lagi dapat memroses informasi-informasi secara wajar/ biasa,
melainkan menempuh jalan luar biasa. Hasil akhir yang didapat selain
ketidaksempurnaan adaptasi otot-otot tersebut di atas juga akan memberikan tanda/
peringatan kegawatan. Tanda ini dapat dalam bentuk yang disadari ataupun yang tidak
disadari oleh penderita.

Yang disadari :

Bersumber dari pusat vertibular ialah vertigo.

Bersumber dari sistem saraf otonom ialah mual, muntah, berpeluh dll.

Bersumber dari sistem motorik ialah rasa tidak stabil.

Yang tidak disadari:


Terutama bersumber dari otot mata yaitu timbulnya nistagmus.
Penyimpangan proses yang wajar tersebut di atas dapat sebagai akibat
abnormalitas fungsi fisiologik salah satu atau lebih indera, atau akibat informasiinformasi yang datang dari indera-indera ekuilirium. Biasanya, bila abnormalitas itu
bersumber dari sistem visual akan menimbulkan rasa ringan di kepala, sedangkan bila
bersumber dari sistem vestibular, menimbulkan rasa gerakan. Dikatakan dari semua
indera itu, sistem vestibularlah pegang andil paling besar terhadap ekuilibrium.
Disamping ikut andil dalam orientasi ruangan, sistem vestibular merupakan organ
penting yang bekerja otomatis mempertahankan dan menstabilkan posisi dan
penglihatan. Sistem ini dapat membangkitkan refleks otomatis, involutar, gerakan
paksaan yang hanya bergantung pada kesadaran (wakefullness) seseorang. Termasuk
gerakan bola mata involuntar/ nistagmus dan refleks penyesuaian terhadap posisi
miring (titling refleks).
Di dalam praktek memang kita lebih mudah membandingkan gejala-gejala
nistagmus, mual muntah dan rasa tidak stabil dan lain-lain dengan jalan merangsang
sistem vestibular daripada merangsang indera yang lain. Misalnya memutar tubuh kita
sendiri dengan tubuh sebagai sumbunya, dengan alat pemusing atau di dalam
peristiwa mabuk karena gerakan (motion sickness). Di dalam hal yang terakhir ini
diduga timbulnya peringatan kegawatan tersebut bersangkutan dengan serat-serat di
formasio retikularis batang otak yang bersangkutan dengan aktivitas sistem kolinergik
dan adrenergik di situ. Peningkatan kegawatan sesuai dengan peningkatan aktivitas
sistem kolinergik, sedangkan penurunan tanda kegawatan bersangkutan dengan
aktivitas sistem adrenergik. Karena aparatus vestibular dihubungkan dengan pusat
otonom dalam formasio retikularis batang otak, maka mungkin terdapat mual, muntah
dan mungkin keringat yang berlebihan serta pucat. Sudah terbukti selama percobaan,
impuls yang berasal dari kanalis semisirkularis mencapai nukleus motorik otot-otot
mata (nistagmus), medula spinalis (rasa tidak mantap dan kecendrungan untuk jatuh
pada waktu berjalan dan berdiri) dan pusat otonom dalam formasio retikularis

(berkeringat, pucat). Meskipun data itu diperoleh terutama dari percobaan/ kondisi di
laboratorium yaitu dengan alat pemusing, tetapi banyak data farmakologik dan
histologik mendukung dugaan tersebut.

Penyebab Vertigo
Vertigo hanya gejala yang dapat ditimbulkan oleh berbagai macam penyakit.
Penyebab vertigo dapat berasal dari beberapa disiplin sehingga diusahakan membagi
penyebabnya, yaitu menurut anatomi atau lokasi penyakitnya dan menurut gejalagejalanya yang menonjol atau klinisnya. Berdasarkan anatomi penyebab vertigo dapat
dibedakan atas 2 betuk vertigo.
Vertigo non-sistematis yaitu vertigo yang disebabkan oleh kelainan sistem saraf
pusat, bukan oleh kelainan sistem vestibular perifer.
1.

Mata :

Paresis otot mata

Kelainan refraksi

glaukoma

2.

3.

Proprioseptik :

Pelagra

Anemia Pernisiosa

Alkoholisme

Tabes Dorsalis
Sistem saraf pusat :

a. Hipoksia serebri :

Hipertensi kronis

Arteriosklerosis

Anemia

Hipertensi kardiovaskular

Fibrilasi atrium paroksismal

Stenosis aorta & insufisiensi

Sindrom sinus karotis

Sinkope

Hipotensi ortostasik
4

Blok jantung

b.

Infeksi :

Meningitis

Ensefalitis

Abses

Lues

c.

Trauma

d.

Tumor

e.

Migren

f.

Epilepsi

g.

Kelainan endokrin :

Hipotiroidi

Hipoglikemi

Hipoparatiroidi

Tumor medula adrenalis

Keadaan menstruasi-hamil-menopause

h.

Kelainan psikoneurosis

Vertigo yang sistematis,

yaitu vertigo yang disebabkan oleh kelainan sistem

vestibular (yaitu labirin, nervus VIII atau inti vestibularis):


1.

Telinga :
a.

Bagian luar :

Serumen

Benda asing

b.

c.

Bagian tengah :

Retraksi membran timpani

Otitis media purulenta akuta

Otitis media dengan efusi

Labirintitis

Kolesteatoma

Rudapaksa dengan perdarahan


Bagian dalam :

2.

Labirintitis akuta toksika

Trauma

Serangan vaskular

Alergi

Hidrops labirin (morbus meniere)

Mabuk gerakan

Vertigo postural

Nervus VIII :
a.

Infeksi :

Meningitis akuta

Meningitis TB

Meningitis basilaris luetika

b.

Trauma

c.

Tumor

3.

inti vestibulum (batang otak) :


a.

Infeksi :

Meningitis

Encefalitis

Abses otak

b.

Trauma

c.

Perdarahan

d.

Trombosis arteria serebeli pstero-inferior

e.

Tumor

f.

Sklerosis multipleks

Berdasarkan gejalanya yang menonjol/ klinis, vertigo dapat dibagi atas beberapa
kelompok penyakit :

Vertigo yang paroksismal

Vertigo yang kronis

Vertigo yang serangannya mendadak/ akut berangsur-angsur mengurang.

Masing-masing kelompok tersebut dibagi lagi menurut gejala penyertanya


menjadi 3 (tiga) kelompok :
Vertigo yang paroksimal: yaitu vertigo yang datangnya serangan mendadak
berlangsung selama beberapa menit atau hari kemudian menghilang sempurna, tetapi
satu ketika nanti serangan tersebut muncul lagi, diantara serangan-serangan itu
penderita sama sekali bebas dari keluhan vertigo.
Vertigo jenis ini dibedakan lagi atas gejala penyertanya, yaitu :
1.

Yang disertai dengan keluhan telinga :


Kelompok penyakit ini memiliki kumpulaan gejala/sindrom yang sama, yang
disebut sindrom meniere, termasuk di dalam kelompok ini ialah :

Morbus Meniere

Araknoiditis ponto-serebelaris

Sindrom Lermoyes

Serangan iskemia sepintas arteria vertebralis

Sindrom Cogan

Tumor fosa kranii posterior

Kelainan gigi/ odontogen

2.

Yang tanpa disertai keluhan telinga; termasuk di sini :

Serangan iskemia sepintas arteria vertebro-basilaris

Epilepsi

Vertigo akibat lesi lambung

Ekuivalen migren

Vertigo pada anak (Vertigo de Lenfance)

Labirin picu (Trigger Labyrinth)

3.

Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi; termasuk disini :

Vertigo posisional paroksismal yang laten.

Vertigo posisional parksismal benigna.

Vertigo Kronis : yaitu Vertigo yang menetap lama, keluhannya konstan tidak
membentuk serangan-serangan akut.
Berdasarkan gejala penyertanya, disini juga dibedakan tiga kelompok :
1.

Yang disertai dengan keluhan dari telinga :

Otitis media kronika

Meningitis TB

Labirintitis kronika

Lues serebri

Lesi labirin akibat bahan ototoksik

2.

Yang tanpa disertai dari telinga :

Kontusio serebri

Ensefalitis pontis

Sindrom pascakomosio

Arteriosklerosis serebri

Sindrom hiperventilasi

Pelagra

Siringobulbi

Hipoglikemi

Sklerosis multipleks

Kelainan okular

Intoksikasi obat-obatan

Kelainan psikis

Kelainan kardiovaskular

Kelainan endokrin

3.

Vertigo yang timbulnya di pengaruhi perubahan posisi :

Hipotensi ortostatik

Vertigo servikalis
Vertigo yang serangannya akut, berangsur-angsur mengurang, tetapi

penderita tidak pernah bebas sama sekali dari keseluruhan.


Berdasarkan gejala penyertanya yang menonjol dibedakan atas dua kelompok :
1.

Disertai dengan keluhan telinga :

Trauma labirin

Herpes zoster otikus

Labirintitis akuta

Perdarahan labirin

Neuritis nervus VIII

Cedera pada arteria auditiva interna/ arteria vestibulokoklearis

2.

Tanpa disertai keluhan telinga :

Neuronitis vestibularis

Neuritis vestibularis

Sindrom arteria vestibularis anterior

Ensefalitis vestibularis

Vertigo epidemika

Sklerosis multipleks

Hermatobulbi

Sumbatan arteria serebeli inferior posterior.

Pemeriksaan Penderitaan Dengan Vertigo


Anamnesis :
Meskipun di negara-negara yang telah maju peralatannya, anamnesis tetap
merupakan bagian yang penting bahkan untuk penderita vertigo merupakan bagian
pemeriksaan yang paling penting. Oleh karenanya perlu dilakukan anamnesis yang
cermat serta banyak memerlukan waktu.
1. Suruh penderita melukiskan keluhannya dengan kata-katanya sendiri apa yang ia
maksudkan dengan pusing tersebut.
2. Anamnesis khusus mengenai vertigonya :
a.

Adakah kekhususan sifat vertigo yang timbul, keparahan vertigonya.

Rasa gerakan palsu dari tubuh atau sekitarnya (rasa berputar,


rasa terapung)

Rasa tidak enak di kepala : kepala ringan, hubungannya


dengan penglihatan dan kesadaran.

Apakah vertigonya mempunyai pola gejala tertentu sistematis


atau non sistematik atau vertigo yang kabur.

b.

Kecenderungan untuk jatuh.


Intensitas timbulnya vertigo bersangkutan dengan perjalanan waktu,

bagaimana vertigo itu dimulai timbul dan bagaimana ia berakhir :

Jenis paroksismal atau vertigo yang konstan, atau vertigo yang


serangannya akut yang kemudian berangsur-angsur melemah. Berapa
detik, hari, minggu atau bulan ?
Apakah di antara serangan itu penderita bebas sama sekali dari keluhan ?

c.

Pengaruh lingkungan atau situasi :

Adakah suatu posisi perubahan posisi tubuh dan atau kepala menyebabkan
timbulnya serangan atau meningkatkan keluhan ?

Apakah stres psikis mengawali timbulnya serangan ?

Apakah serangan didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas ?

d.

Keluhan dari telinga :

Rasa tertutupnya telinga, penekanan pada telinga.

Tinitus : subyektif atau obyektif, sebelah kanan atau sebelah kiri. Atau
ditengah-tengah.

Tuli : terutama yang progresif di dalam beberapa bulan. Hubungan tuli


dengan timbulnya vertigo: apakah sewaktu vertigo tulinya membaik
(Lemoyes) ataukah kian memburuk (Meniere).
Tidak adanya keluhan tuli tidak menyingkirkan adanya tuli, karena saat
serangan penderita tidak merasakannya, dan lagi tulinya kadang-kadang
selektif hanya pada nada tinggi.

Diplakusis (distorsion in pitch), fenomena pengerahan (recruitment


phenomenom atau distortion of loundness), yang dikeluhkan penderita
timbulnya rasa nyeri pada saat mendengarkan suara keras. Sindrom
Meniere mempunyai empat gejala, tuli, tinitus, rasa penuh ditelinga dan
vertigo.

3. Anamnesis umum :
Termasuk disini anamnesis untuk menilai bentuk kepribadian, keluhan-keluhan
lain (drop-attack, gangguan penglihatan, disartria, disfagia, gangguang pergerakan
atau sensibilitas), bilamana keluhan ini ada dan bersama-sama dengan penurunan
kesadaran ingat kelainan serebrovaskular. Keluhan mata yang timbul bersama
keluhan telinga, sindrom Cogan.
4. Anamnesis intoksikasi/ pemakaian obat-obatan :

Streptomisin/ dihidrostreptomisin

Antikonvulsan

10

Gentamisin/ garamisin

Anti hipertensi

Kanamisin

Penenang

Neomisin

Alkohol

Fenilbutason/ Salisilat

Kinin

Asam etakrinik

Tembakau

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan mata: mata bergerak atau dalam posisi netral.
1.

Mencari adanya strabismus, bila ada keluhan diplopia perlu diperiksa dengan
kaca maddox.

2.

Mencari adanya nistagmus:


Pada saat mata dalam posisi netral, bila ada nistagmus disebut

mistagmus spontan.
Pada saat mata melirik ke kiri, kanan, atas dan bawah, bila ada

nistagmus disebut nistagmus tatapan.


Nistagmus yang disebabkan oleh kelainan sistem saraf pusat

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:


a.

Nistagmus pendular : nistagmus yang tidak mempunyai fase


cepat atau fase lambat.

b.

Nistagmus vertikal yanng murni : nistagmus itu gerakannya


ke atas dan ke bawah.

c.

Nistagmus rotatori yang murni : gerakannya berputar.

d.

Gerakan nistagmoid : gerakan bola mata yang bukan


nistagmus sebenarnya tetapi mirip dengan nistagmus.

11

e.

Nistagmus tatapan yang murni : nistagmus yang berubah


arahnya bila arah lirikan mata berubah.

3.

Pemeriksaan dengan rangsangan perubahan posisi kepala dan tubuh :


Cari

kemungkinan

adanya

posisi

tertentu

yang

membangkitkan nistagmus atau vertigo.


Test baring terlentang, baring miring ke kiri, ke kanan

dan test baring terlentang dengan kepala menggantung.


Tiap-tiap tes dilakukan selama satu menit, dengan kecepatan gerakan perubahan
posisi 900 dalam 5 detik sehingga pengaruh daya gravitasi ditiadakan.
Ada tiga jenis nistagmus yang dapat ditimbulkan oleh test tersebut di mana
nistagmusnya disebut nistagmus posisional :
Tipe I

: Nistagmus berubah arah (Direction-changing nystagmus), nistagmus


yang arahnya selalu berubah pada setiap ada perubahan posisi
kepala.

Tipe II

: Nistagmus arah tetap (Direction-fixed nystagmus), arah nistagmus


tetap saja meskipun ada perubahan-perubahan posisi kepala.

Tipe III

: Nistagmus tak menentu (Irregular nystagmus), respons nistagmus


yang timbul pada tipa-tiap perubahan posisi kepala berubah-ubah,
bergantian tipe I dan tipe II, meskipun rangsangannya tetap sama.

Dari tes ini dapat dibedakan apakah nistagmus posisional itu bersumber dari kelainan
sistem saraf pusat (Tipe I atau Tipe III). Ataukah perifer (Tipe II). Peminum alkohol
sering pada test posisi ini menunjukkan nistagmus, terutama pada posisi berbaring
miring kekanan dan kekiri.
4.

Manuver Hallpike : ialah pemeriksaan untuk mencari adanya vertigo/


nistagmus posisional paroksismal oleh karena itu untuk menbangkitkannya
diperlukan rangsangan perubahan posisi secara cepat.

Penderita duduk di meja periksa kemudian disuruh cepat-cepat berbaring


terlentang dengan kepala tergantung (disangga dengan tangan pemeriksa) di
ujung meja dan cepat-cepat kepala disuruh menengok ke kiri (10-20o).
Pertahankan sampai 10-15 detik. Lihat adanya nistagmus, kemudian kembali
ke posisi duduk dan lihat adanya nistagmus (10-15 detik).

Ulangi pemeriksaan tersebut tetapi kali ini kepala menengok ke kanan.


Orang normal dengan manuver tersebut tidak timbul vertigo atau nistagmus.

12

Vertigo/ nistagmus yang timbul dengan arah tertentu pada seseorang penderita
selama pemeriksaan ini, pada saat posisinya kembali sering timbul nistagmus
dengan arah yang berlawanan.
Sifat-sifat nistagmus paroksisimal akibat kealinan perifer :

a.

Onsetnya terlambat, terdapat periode laten 2-20 detik setelah


perubahan posisi dilakukan.

b.

Masa timbulnya nistagmus sebentar (2 menit).

c.

Disertai vertigo sebentar.

d.

Respons nistagmus ini mudah lelah, yaitu bila diulang-ulang


responsnya kian lemah.

Tes ini sangat penting oleh karena dapat menunjukkan latralisasi ke telinga yang
sakit, yaitu arah nistagmus selalu berlawanan dengan lokalisasi telinga yang sakit.
Nistagmus yang timbul akibat kelainan SSP memberi ciri :
a.

Tidak ada periode laten, nistagmus seketika timbul setelah ada


rangsangan perubahan posisi.

b.

Masa timbulnya nistagmus lama (2 menit).

c.

Tidak atau hanya sedikit disertai keluhan vertigo.

d.

Tidak mudah lelah.

5.

Tes gerakan halus mata.

6.

Tes nistagmus optokinetik.

7.

Pemeriksaan dengan E.N.G (Elektronistagmografi).

Pemeriksaan Keseimbangan
Berdiri tegak, berjalan di atas jari kaki, berjalan di atas tumit dan berjalan secara
tandem.
Duduk di kursi dan angkat kedua lengan serta kedua kaki dengan mata tertutup:
a.

Bila ada kelemahan otot terjadi penurunan


lengan atau dan kaki

b.

Bila ada gangguan proprioseptif terjadi kenaikan


lengan atau kaki.
Diadokokinesis, test jari-hidung, test tumit-tibia dan test salah tunjuk.
Membedakan gangguan keseimbangan akibat kelainan labirin dan serebelum:

13

Penderita disuruh berdiri dengan mata tertutup, lengan ke depan, bila ada
gangguan labirin kiri akan terjadi suatu posisi sebagau berikut :
a.

Mata melirik ke arah kiri (perlahan-lahan


= fase lambat), kemudian diikuti dengan gerakan cepat bola mata ke arah
kanan. Ini merupakan suatu nistagmus kekanan.

b.

Kepala terputar ke arah kiri.

c.

Tubuh terpilin ke kiri.

d.

Deviasi kedua lengan ke kiri, bersamaan


dengan kenaikan lengan kanan ke atas dan lengan kiri ke bawah.

e.

Cenderung untuk jatuh ke kiri.

f.

Berjalan deviasi ke kiri.

Tes Romberg, baik dengan mata terbuka maupun dengan mata tertutup. Pada kelainan
serebelum tidak ada perbedaan hasil pemeriksaan dengan mata terbuka atau tertutup.
Kelainan labirin dipengaruhi oleh mata.
Berdiri dengan satu kaki diangkat (mata terbuka kemudian tertutup): penderita tetap
tegak selama waktu tertentu, maka fungsi keseimbangan adalah normal.
Penderita dengan gangguan labirin:

Akan jatuh ke arah sesuai dengan fase lambat nistagmusnya.

Bila bersamaan dengan itu disuruh memutar kepala ke kiri dan ke kanan,
kecenderungan jatuh itu akan berubah-ubah tetapi selalu ke arah sesuai dengan
arah fase lambat nistagmusnya.

Tes berjalan :
Disuruh berjalan lurus ke depan dan ke belakang dengan mata tertutup dan terbuka.
Pada kelainan labirin bilateral terjadi sempoyongan ke semua arah.
Tes jari-jari dengan mata terbuka dan tertutup :

Kelainan labirin menunjukkan kelainan tes bilateral.

Kelainan serebelum menunjukkan kelainan unilateral, sesuai dengan lokalisasi


kelainannya.

Tes menulis vertikal : penderita duduk di depan meja, tangan dan tubuhnya tidak
boleh menyentuh meja, tangan yang satu di atas lutut yang lain disuruh menulis A-BC-D disusun ke arah bawah mula-mula dengan mata terbuka kemudian tertutup.

Bila ada deviasi deretan huruf-huruf dari yang paling atas terhadap yang
paling bawah lebih besar dari 10o berarti ada kelainan labirin unilateral.

14

Bila tulisannya tidak karuan (atau bila kian lama huruf yang ditulis kian
besar : makrografi berarti ada kelainan serebelum).

Pemeriksaan Pendengaran
Minimal diperiksa dengan garputala untuk membedakan tuli konduksi ataukah
persepsi, test fistula.
Pemeriksaan neurologi rutin
Pemeriksaaan kardiovaskular rutin
Terutama tensi lengan kanan dan kiri, tensi berbaring dan beberapa saat
setelah berdiri. Auskultasi sepanjang arteria karotis.

Pengobatan
Pengobatan terhadap vertigo dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara
medikamentosa dan latihan fisik.
Cara medikamentosa
Pengobatan cara ini pada umumnya hanya merupakan pengobatan simtomatis.
Dalam hal ini ada beberapa obat yang memberi manfaat, antara lain dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
1. Antikolinergik/ parasimpatolitik
Obat antikolinergik, yang aktif di sentral, dapat menekan aktivitas sistem
vestibuler dan dapat mengurangi gejala vertigo. Untuk maksud ini skopolamin
dapat diberikan. Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau
efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3 mg
0,6 mg, 3 4 X sehari.
Lama terapi obat
Lamanya pengobatan bervariasi. Pada sebagian terbesar kasus terapi dapat
dihentikan setelah beberapa minggu. Penderita yang kurang berespon terhadap
satu obat anti vertigo mungkin akan berespon dengan obat lainnya. Kombinasi
obat dari berbagai golongan (misalnya prometazine 25 mg) dan efedrin (25
mg) dapat mempunyai efek sinergistik dalam menekan vertigo.
2. Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti-vertigo. Menekan gejala
vertigo bukanlah merupakan sifat yang umum daripada obat antihistamin.

15

Sifat anti-vertigo daripada obat antihistamin tidak berkaitan dengan potensinya


sebagai antagonis histamin. Aktivitas antihitamin yang dapat meredakan
vertigo (seperti obat dimenhidrinat, difenhidramin, meklisin, siklisin)
nampaknya khas dan bukan hanya merupakan kemampuan menekan pusat
muntah di batang otak. Banyak obat antiemetik (anti-muntah) yang
mempunyai sedikit saja khasiat dalam meringankan vertigo. Antihistamin
yang mempunyai sifat anti-vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di
susunan saraf pusat. Mungkin sifat anti-kholinergik sentral ini ada kaitannya
dengan kemampuan sebagai obat anti vertigo.
Efek samping antikolinergik, seperti mulut kering dan penglihtan menjadi
kabur, kadang dijumpai dengan obat ini. Efek samping yang umum dijumpai
dengan obat antihistamin ialah sedasi (mengantuk). Pada penderita dengan
vertigo yang berat, efek samping mengantuk memberikan dampak yang
positif. Bagi mereka yang tidak ingin mengantuk dapat dipilih obat yang
mempnyai efek kantuk yang kurang.
Betahistin / betahistine mesylate (merislon) / betahistine di HCL
(betaserc)
Senyawa betahistin (suatu analog histamin), yang dapat meningkatkan
sirkulasi ditelinga dalam, dapat diberikan untuk mengatasi gejala
vertigo. Betahistine mesylate (merislon) dapat diberi dengan dosis 6
mg (1 tablet) 12 mg, 3 kali sehari peroral.
Betahistine di HCL (betaserc) dapat diberi 8 mg (1 tablet) 3 x sehari.
Maksimum 6 tablet dibagi dalam beberapa dosis. Efek samping
betahistin ialah gangguan di lambung, rasa enek, dan sesekali rash di
kulit. Hati-hati menggunakannya pada penderita dengan riwayat tukak
peptik dan asma bronkial.
Dimenhydrinate (Dramamine)
Lama kerja obat ini ialah 4-6 jam. Dapat diberi per oral atau parenteral
(suntikan intramuskular dan intravena). Dapat diberi dengan dosis 25
mg 50 mg (1 tablet), 4 x sehari. Efek samping : mengantuk.
Diphenhydramine HCL (Benadryl)

16

Lama aktivitas obat ini ialah 4-6 jam, diberikan dengan dosis 25 mg (1
kapsul) 50 mg, 4 x sehari per oral. Obat ini dapat juga diberikan
parenteral. Efek samping : mengantuk.
3. Penenang minor dan mayor
Obat penenang minor, seperti lorazepam atau diazepam dapat diberikan
kepada penderita vertigo untuk mengurangi kecemasan yang diderita yang
sering menyertai gejala vertigo. Dosis lorazepam dapat 0,5 mg 1 mg dan
diazepam 2 5 mg, 2 3 x sehari.
4. Simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo. Efedrin merupakan salah
satu obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo. Lama
aktivitasnya ialah 4 6 jam dan dosis yang diberikan dapat 10 25 mg, 4 x
sehari. Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi denga obat antivertigo lainnya. Sifat stimulasi dari pada efedrin dapat mengurangi efek sedasi
obat antivertigo lainnya. Efek samping yang sering dijumpai ialah insomnia,
jantung berdebar (palpitasi) dan menjadi gelisah-gugup.
5. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo dan
puyeng. Obat antagonis kalsium cinnarizine (sturgerone) dan flunarizine
(sibelium) sering digunakan untuk maksud ini. Antagonis kalsium mungkin
merupakan obat supresan vestibular, karena sel rambut vestibular mengandung
terowongan kalsium. Namun, antagonis kalsium sering mempunyai khasiat
lain seperti antikolinergik dan antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini
berperan dalam mengatasi vertigo belum diketahui.
Cinnarizine (Stugerone)
Obat ini mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular. Philipszoon, 1962,
melakukan penelitian buta ganda mengenai khasiat obat ini pada stimulasi
vestibular. Ia mendapatkan bahwa cinnarizine dapat mengurangi respon
terhadap akselerasi angular dan linear.
Dosis cinnarizine biasanya ialah 15-30 mg, 3 x sehari atau 1 x 75 mg sehari.
Bila peru dosis ini dapat ditingkatkan. Efek samping yang dapat terjadi ialah
rasa mengantuk (sedasi), rasa capek, diare atau konstipasi, mulut rasa kering
dan rash kulit.
Fenotiazine
17

Kelompok obat ini banyak yang mempunyai sifat antiemetik (anti muntah).
Namun, tidak semua obat anti-emetik mempunyai khasiat anti-vertigo atau
anti

mabok

kendaraan.

Misalnya,

klorpromazine

(Largactil)

dan

prokhlorperazine (Stemetil) sangat efektif terhadap nausea yang diakibatkan


oleh bahan kimiawi, namun kurang berkhasiat terhadap vertigo dan mabok
kendaraan.
Promethazine (phenergan) merupakan obat dari golongan fenotiazine yang
paling efektif mengobati vertigo dan mabok kendaraan, sama khasiatnya
dengan obat antihistamin yang telah diperbincangkan dahulu. Lama aktivitas
obat ini ialah 4 6 jam. Diberikan dengan dosis 12,5 mg 25 mg (1 draze) 4 x
sehari peroral. Dapat juga diberi parenteral (suntikan intramuskular atau
intravena). Efek samping yang sering dijumpai ialah mengantik (sedasi)
prometathasine lebih sedikit kemungkinannya menyebabkan efek-samping
ekstrapiramidal dibanding dengan obat fenotiazine lainnya.
Khlorpromazine (Largactil) dapat dberikan pada penderita dengan serangan
vertigo yang berat dan akut. Obat ini dapat diberikan peroral, intramuskular
atau intravena. Dosis yang lazim ialah 25 mg (1 tablet) 50 mg dan dapat
diulang 3 -4 x sehari. Efek samping yang sering dijumpai ialah mengantuk
(sedasi).
6. Campuran tersebut di atas

Dosis obat tersebut dalam pemberian per oral dapat dlihat pada daftar 1.
Daftar 1. Dosis obat per oral
Nama kelompok

Nama generik

Dosis sekali

18

Interval pemberian
ulangan

Antikolinergik

Antihistamin

Skopolamin
Atropin

0,2 0,4 mg

3 6 jam
3 6 jam

Difenihidrami

50 100 mg

6 jam
6 jam
24 jam

10 mg
25 50 mg

12 jam
4 6 jam

15 60 mg
5 10 mg

6 - 8 jam
4 6 jam

25 50 mg
10 - 25 mg

4 6 jam
46

n
Simpatomimetik
Penenang

Minor

Mayor

Dimenhidrinat
Sinarizin

d-Amfetamin
Efedrin

Fenobarbital
Diazepam

Prometazin
Klorpromazin

Fisioterapi
Tujuan fisioterapi pada penderita vertigo adalah untuk mempercepat
timbuhnya mekanisme kompensasi/ adaptasi atau habituasi sistem vestibular yang
mengalami gangguan tersebut. Timbulnya mekanisme bisa berasal baik dari sistem
saraf pusat, dalam usaha memperoleh keseimbangan baru sehingga tanda kegawatan
(alarm reaction) yang merupakan sebab terjadinya vertigo akan dihilangkan.
Mekanisme kompensasi ini dapat dipacu tumbuhnya dengan jalan memberikan
rangsangan terhadap alat keseimbangan di telinga bagian dalam (vestibuli),
rangsangan terhadap visus dan juga proprioseptik.
Rangsangan dilakukan secara bertahap namun intensif setiap kali latihan
sehingga timbul gejala nausea, dan dilakukan secara berulang-ulang. Beberapa cara
latihan untuk penderita vertigo yang dapat dikemukakan antara lain :

Latihan gerakan tubuh dengan kepala-leher-mata dalam posisi tetap


(stasioner).

Mata dan kepala bergerak mengikuti obyek penglihatan yang bergerak.

Latihan dengan alat sejenis pembangkit nistagmus.

Latihan keseimangan tubuh di atas papan dinamis.


Masih ada lagi cara pengobatan yang tidak dibicarakan disini, yaitu pengobatan

kausal yang bertujuan menghilangkan penyebab vertigo. Pengobatan cara ini sangat
banyak macamnya mengingat etiologi yang sangat luas tersebut.

19

Neuro-otologi
Neuro-otologi (NO) adalah suatu disiplin baru dibidang kedokteran yang
bersangkutan dengan pengelolaan gangguan alat keseimbangan tubuh. Sebenarnya
disiplin ini mulai berkembang sejak abad 18, tetapi sampai dengan tahun 1960
disiplin ini dianggap hanya mengurusi penderita dengan keluhan vertigo. Setelah
tahun tersebut baru dikenal bahwa NO bersangkutan dengan masalah alat
keseimbangan tubuh yang di bidang klinis bersangkutan dengan :

Pemeriksaan fungsi alat keseimbangan tubuh

Mencari penyebab gangguan vertigo

Mencari penyebab gangguan ketahanan mabuk perjalanan (darat, laut, udara,


ruang angkasa)

Dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA

20

1. Joesoef, AA : Vertigo. In Harsono (ed). Kapita selekta neurologi, edisi 1,


Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2007 : 341 359
2. Lumbantobing, SM. Vertigo tujuh keliling, Jakarta : FKUI. 2003 : 1-72
3. Mardjono, M dan Sidharta Priguna. Neurologi Klinis Dasar, Jakarta: Dian
Rakyat . 2004: 169-173
4. Duus, Peter, Diagnosis topik neurologi : anatomi, fisiologi, tanda, gejala; alih
bahasa, Deby H. Ronardy; editor edisi bahasa Indonesia, Wita J. Suwono.
Edisi 2. Jakarta : EGC, 1996 : 126-127
5. Snell, RS. Neuroanatomi klinik edisi 2. Jakarta: EGC,1996: 454
6. Hartwig, MS : Evaluasi Pasien Neurologik. In : Price SA, Wilson LM, editor.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit, edisi 6, Jakarta : EGC.
2005 : 1051-53
7. Daroff, RB dkk : Dizziness, Syncope and Vertigo. In : Hauser SL, dkk (ed).
Harrisons Neurology in Clinical Medicine, USA, 2006 : 123-128

21

You might also like