You are on page 1of 3

TUGAS REVIEW ARTIKEL

GD4102 SISTEM KADASTER


Dini Aprilia Norvyani
15112027
Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
dinorvyani@students.itb.ac.id
IMPLEMENTASI LAND ANDMINISTRATION DOMAIN MODEL (LADM) DAN KONSEP 3D CADASTRE PADA
MANAJEMEN DATA KADASTER DI INDONESIA
Sitarani Safitri, S.T., M.T.
Sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan merupakan hal besar yang saat ini ingin dicapai oleh
semua pihak dalam bidang apa pun. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang sangat mementingkan
keberlanjutan baik proses maupun hasil di masa yang mendatang dan mencakup pembangunan ekonomi, lingkungan,
sosial, dan pemerintahan. Indonesia pun saat ini sedang meningkatkan pembangunan nasional dengan konsep
pembangunan yang berkelanjutan.
Salah satu aspek pembangunan adalah pertanahan yang terdiri dari kepemilikan, nilai, penggunaan, dan
pengembangan. Kepemilikan merupakan hak seseorang atas tanah. Manajemen kepemilikan tanah akan sangat sulit
dilakukan jika tidak tersedia basis data yang baik karena secara ideal, keempat unsur pertanahan tersebut harus
dikelola secara bersama-sama dan terintegrasi dalam satu basis data spasial sehingga diperlukan sarana atau alat
untuk berbagi data satu sama lain antar pihak-pihak yang saling berkaitan dan membutuhkan data dari pihak
lainnnya.
Selama ini, data kepemilikan tanah yang didaftarkan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya dalam bentuk
persil saja (dua dimensi) yang belum mampu mengakomodasi aspek ruang. Padahal, aspek ruang sangat lah penting
dalam menentukan nilai atas kepemilikan tersebut, dan sebagainya. Atas dasar tersebut, diperlukan pendekatan
kadaster tiga dimensi untuk mengoptimalkan manajemen pertanahan di Indonesia.
Untuk pengembangan sistem, manajemen kualitas data, komunikasi antara profesional, dan pertukaran data,
diperlukan suatu standar. Land Administration Domain Model (LADM) merupakan standar internasional model
kadaster 3D, yang mencakup semua informasi yang terkait komponen dasar dari administrasi pertanahan. Empat hal
dasar LADM, antara lain berkaitan dengan (1) pihak (individu dan organisasi); (2) hak, tanggung jawab, dan
pembatasan (hak kepemilikan); (3) unit administratif dasar; dan (4) unit spasial (bidang, bangunan dan jaringan).
LADM terdiri dari beberapa kelas, di antaranya party, administrative, spatial unit, surveying and representation, dan
external yang masing-masing kelas tersebut memiliki kode tersendiri.
Informasi kadaster dan informasi data spasial tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena dalam penyediaan
informasi kadaster diperlukan infrastruktur data spasial. Standar LADM memungkinkan Sistem Informasi Geografis
dan Sistem Manajemen Basis Data, penyedia, dan masyarakat untuk mengembangkan produk dan aplikasi untuk
keperluan administrasi pertanahan.
Dalam mewujudkan manajemen pertanahan yang baik ini terdapat beberapa aspek yang harus dipenuhi, antara lain
standar, teknologi, akses jaringan, dan organisasi. Dalam aspek standar, diperlukan standar lain untuk mendukung
pengembangan manajemen kadaster berbasis LADM. Kemudian, teknologi harus dipersiapkan untuk keperluan
desain arsitektur aplikasi, perangkat keras dan lunak, serta teknologi servis data spasial, termasuk SIG. Akses jaringan
dibutuhkan untuk menjalin hubungan dengan kantor-kantor lokal yang lebih luas. Aspek organisasi juga penting
untuk diperhatikan dalam hal kapabilitas sumber daya manusianya untuk mengimplementasikan LADM dan
peningkatan sinergi antar pemangku kepentingan.
Penerapan multipurpose 3D cadaster memberikan berbagai manfaat, di antaranya untuk penyediaan properti,
pelaksanaan proyek dan pemantauan, manajemen utilitas, perkiraan populasi, manajemen infrastruktur, pemetaan
sensus, pembangunan perkotaan dan pedesaan, dan lain-lain. Untuk itu, diharapakan semua pihak dapat mendukung
dalam pegimplementasian manajemen kadaster ini.

TUGAS REVIEW ARTIKEL


GD4102 SISTEM KADASTER
Dini Aprilia Norvyani
15112027
Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
dinorvyani@students.itb.ac.id
EKSISTENSI HAK ULAYAT DI INDONESIA
Rosalina dalam Jurnal Sasi Vol.16. No.3 Bulan Juli September 2010
Setiap manusia yang hidup di Bumi membutuhkan ruang. Tanah pun menjadi tempat berlangsungnya berbagai
kegiatan di permukaan bumi yang sangat memengaruhi hidup karena menyangkut hajat hidup manusia. Di Indonesia,
pertanahan tidak terlepas dari hak ulayat yang sudah dikenal jauh sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan telah menjadi sumber daya penting dan strategis
yang memiliki hubungan erat dengan manusia. Perkembangan zaman tentunya menyebabkan adanya perbedaan
hubungan antar tanah dan masyarakat dalam kaitannya dengan hak ulayat. Artikel ini membahas mengenai
bagaimana eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia dan batasan-batasannya dalam hukum pertanahan
Indonesia.
Hak ulayat merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat hukum adat, karena tanah memiliki kedudukan sangat
penting dan merupajkan satu-satunya kekayaan yang bersifat tetap dan menguntungkan. Hak ulayat pada mulanya
diciptakan oleh nenek moyang atau kekuatan gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanahyang
bersangkutan kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu (Harsono, 1999). Menurut Ter Haar (dalam
Farida Patittingi) hak ulayat adalah hak untuk mengambil manfaat dari tanah, perairan, sungai, danau, perairan
pantai, laut, tanaman-tanaman dan binatang yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Hak
Ulayat adalah nama yang diberikan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara
masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah wilayahnya, yang disebut tanah ulayat. Hak Ulayat masyarakat
hukum adat mempunyai unsur
1. hak kepunyaan bersama atas tanah bersama anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata;
2. kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya,
yang termasuk dalam hukum publik.
Terdapat dua jenis hak atas tanah pada masyarakat hukum adat, yaitu hak perseorangan dan hak persekutuan hukum
atas tanah. Anggota persekutuan hukum berhak untuk mengambil hasil tumbuh-tumbuhan dan binatang liar dari
tanah persekutuan hukum tersebut. Selain itu mereka berhak mengadakan hubungan hukum tertentu dengan tanah
serta semua isi yang ada di atas tanah persekutuan hukum sebagai objek (Salle, 2007).
Murninya, hukum tanah adat berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong royong dan
kekeluargaan, yang diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah bersama kelompok territorial atau genealogik.
Hak-hak perorangan atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bersama tersebut. Oleh
karena, itu biarpun sifatnya pribadi, dalam arti penggunaannya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Sifat
komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota masyarakat hukum adat atas tanah, yang dalam
kepustakaan hukum disebut Hak Ulayat (Harsono, 1999).
Menurut Rosalina (2010), pola hidup tradisional masyarakat berubah menjadi modern seiring perkembangan zaman
dan mengakibatkan mengakibatkan tergerusnya secara perlahan nilai-nilai yang terkandung dalam hak ulayat.
Dewasa ini masyarakat tidak lagi mengedepankan kebersamaan tetapi cenderung untuk berpikir individualistik.
Proses lahirnya hak individu yang merupakan awal kepemilikan atas tanah menurut hukum adat, pada dasarnya
meliputi unsur
1. penguasaan secara individu dan turun temurun;
2. penguasaan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya;
3. pemanfaatan tanah dengan tetap memelihara keselarasan kepentingan individu dan masyarakat;
4. memeroleh pengakuan dari penguasa adat dan dihormati oleh tetangga berbatasan dan masyarakat adat lainnya
5. penguasa adat memunyai kewenangan mengatur peruntukan dan penguasaan tanah;
6. ada hubungan yang bersifat magis religius antara manusia dan tanah.
Sihombing (dalam Nur, 2005) membagi hukum tanah adat ke dalam dua jenis, yaitu hukum tanah adat masa lalu dan
hukum tanah adat masa kini. Hukum adat masa lalu memiliki ciri berupa tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh
seseorang dan/atau kelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara
tetap maupun berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun temurun
masih berada di lokasi daerah tersebut, dan atau memunyai tanda fisik berupa sawah, hutan, symbol-simbol makam,
dan bahasa daerah sesuai yang ada di Negara Republik Indonesia. Sementara itu, hukum tanah adat masa kini
menyatakan tanah-tanah yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat adat sesuai dengan daerah suku

dan budaya hukumnya kemudian secara turun temurun atau telah berpindah tangan kepada orang lain dan memunyai
bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki atau dikuasai sendiri dan/atau dikuasi orang/badan hukum. Berdasarkan
pembagian tersebut, dapat dinyatakan bahwa hak ulayat dan hak milik perorangan memiliki hubungan, yaitu semakin
kuat hak ulayat maka semakin lemah hak perorangan dan sebaliknya.
Berikut ini merupakan tata susunan dan hirarki hak-hak penguasaan tanah dalam hukum adat.
1. Hak ulayat masyarakat hukum adat, sebagai hak penguasaan tertinggi, beraspek hukum keperdataan dan
hukum publik.
2. Hak kepala adat dan para tetua adat, yang bersumber pada hak ulayat dan beraspek hukum publik semata.
3. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada
hak ulayat dan beraspek hukum keperdataan.
Hak ulayat diakui dalam Pasal 18B ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sebagai berikut.
1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat
istimewa yang diatur dengan undang-undang.
2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Meski sudah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya secara deklaratif,
Pasal 18B ayat 2 mencantumkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat
dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat beserta hak ulayat yang dapat dinikmatinya secara aman. Persyaratanpersyaratan itu secara kumulatif adalah
1. sepanjang masih hidup;
2. sesuai dengan perkembangan masyarakat;
3. sesuai dengan prinsip NKRI;
4. diatur dalam Undang-Undang.
Persyaratan dalam Pasal 18B ayat 2 beserta dengan serangkaian persyaratan yang dilanjutkan oleh beberapa UndangUndang Sumberdaya Alam menunjukan bahwa walaupun pemerintah bisa mengakui dan menghormati hak ulayat
masyarakat adat secara deklaratif, tetapi belum sampai pada tindakan hukum untuk melindungi dan memenuhi agar
hak ulayat masyarakat adat dapat terpenuhi. Bahkan sama sekali belum menyentuh mekanisme penegakan hukum
nasional bila terjadi pelanggaran terhadap hak ulayat yang sudah dianggap sebagai hak asasi manusia.
Keberadaan hak ulayat sebagai roh dari hukum pertanahan nasional tetap harus dijaga kelestariannya. Tentunya
dengan menerapkan pembatasan-pembatasannya secara konsisten. Hal ini dikarenakan tanah merupakan sumber daya
dan hal penting bagi kehidupan masyarakat baik dipandang secara individu maupun kelompok adat tertentu
seharusnya dilindungi secara pasti melalui hukum.
Referensi:
Harsono, B. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya. Djambatan: Jakarta.
Salle, A. 2007. Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Kreasi Total Media: Yogyakarta.
Sihombing, B.F. 2005. Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia. PT. Gunung Agung: Jakarta.

You might also like