You are on page 1of 7

PNEUMOKONIOSIS

1. Pendahuluan
Dengan adanya perkembangan zaman yaitu salah satunya industri dan teknologi
membawa dampak pada kesehatan kita. Industri menimbulkan polusi udara baik di dalam
maupun di luar lingkungan kerja sehingga mempengaruhi sistem respirasi. Berbagai
kelainan saluran napas dan paru dapat terjadi akibat pengaruh debu, gas ataupun asap
yang timbul dari proses industri.
Pneumokoniosis merupakan salah satu penyakit utama akibat lingkungan kerja, terjadi
hampir di seluruh dunia dan merupakan masalah yang mengancam para pekerja.
Pneumokoniosis sudah dikenal lama sejak manusia mengenal proses penambangan
mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis. Debu asbes
dan silika serta batubara merupakan penyebab utama pneumokoniosis. Debu mineral
lainnya dapat juga menyebabkan pneumokoniosis. Pneumokoniosis baru tampak secara
klinis dan radiologis setelah pajanan debu berlangsung 20-30 tahun.
Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu pneumo berarti paru dan
konis berarti debu. Terminologi pneumokoniosis pertama kali digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan inhalasi debu mineral.
Pneumokoniosis seringkali hanya dihubungkan dengan inhalasi debu anorganik.
Definisi pneumokoniosis adalah deposisi debu di dalam paru dan terjadinya reaksi
jaringan paru akibat deposisi debu tersebut. International Labour Organization (ILO)
mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan
debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama
akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis. Istilah pneumokoniosis ini dibatasi pada
kelainan reaksi non-neoplasma akibat debu tanpa memasukkan asma, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) dan pneumonitis hipersensitif walaupun kelainan tersebut dapat
terjadi akibat pajanan debu dalam jangka lama.

2. Etiologi
Pneumokoniosis disebabkan karena inhalasi (biasanya) debu anorganik di tempat
kerja, seperti:
Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis),
asbes (asbestosis) dan timah (stannosis).

Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara.


Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis).
Silikosis, pneumokoniosis pekerja batubara, asbestosis, berylliosis dan talcosis adalah
contoh dari pneumoconiosis fibrosis. Siderosis, stannosis dan baritosis adalah bentuk nonfibrosis pneumokoniosis yang dihasilkan dari inhalasi oksida besi, timah oksida, dan
barium sulfat partikel.
3. Epidemiologi
Data prevalensi pneumokoniosis bervariasi pada tiap negara di dunia. Data SWORD
di Inggris tahun 1990-1998 menunjukkan kasus pneumokoniosis sebesar 10%. Di
Kanada, kasus pneumokoniosis pada tahun 1992-1993 sebesar 10%, sedangkan data di
Afrika Selatan tahun 1996-1999 sebesar 61%. Jumlah kasus kumulatif pneumokoniosis di
Cina dari tahun 1949-2001 mencapai 569 129 dan sampai tahun 2008 mencapai 10 963
kasus. Di Amerika Serikat, kematian akibat pneumokoniosis tahun 1968-2004 mengalami
penurunan, pada tahun 2004 ditemukan sebanyak 2 531 kasus kematian.
Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara merupakan jenis pneumokoniosis
terbanyak. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan, terdapat >1000 kasus
pneumokoniosis terdiri atas 56% asbestosis, 38% silikosis dan 6% pneumokoniosis
batubara. Prevalensi pneumoko-niosis batubara di berbagai pertambangan di Amerika
Serikat dan Inggris bervariasi (2,5-30%) tergantung besarnya kandungan batubara pada
daerah pertambangan tersebut.
Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia belum ada. Data yang ada
adalah penelitian-penelitian berskala kecil pada berbagai industri yang berisiko terjadi
pneumokoniosis. Dari beberapa penelitian tersebut ditemukan prevalensi pneumokoniosis
bervariasi 0,5-9,8%. Penelitian Darmanto et al.di tambang batubara tahun 1989
menemukan prevalensi pneumokoniosis batubara sebesar 1,15%. Data penelitian di
Bandung tahun 1990 pada pekerja tambang batu menemukan kasus pneu-mokoniosis
sebesar 3,1%.
Penelitian oleh Bangun et al.tahun 1998 pada pertambangan batu di Bandung
menemukan kasus pneumokoniosis sebesar 9,8%. Kasmara (1998) pada pekerja semen
menemukan kecurigaan pneumokoniosis 1,7%. Penelitian OSH centertahun 2000 pada
pekerja keramik menemukan silikosis sebesar 1,5%.Penelitian Pandu et al.di pabrik pisau
baja tahun 2002 menemukan 5% gambaran radiologis yang diduga pneumoko-niosis.
Damayanti et al.pada pabrik semen menemukan kecurigaan pneumokoniosis secara
radiologis sebesar 0,5%.
4. Patogenesis Pneumokoniosis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu
dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut. Komposisi
kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi
pneumokoniosis. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar memegang
peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Debu berbentuk quartz lebih
sitotoksik dibandingkan yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan partikel debu yaitu
aktivitas radikal bebas dan kandungan besi juga merupakan hal yang terpenting pada
patogenesis pneumokoniosis.
Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap debu
yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses
selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan terhadap
debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik
cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah
pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan
saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang
secara klinis tidak diketahui.
Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam
jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal. Debu inertakan tetap
berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena umurnya, selanjutnya
debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di
dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan
melalui saluran napas. Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang
difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti
dengan fibrositosis.
Partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang
merupakan mediator suatu respons peradangan dan memulai proses proliferasi fibro-blast
dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak berperan pada patogenesis
pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor(TNF)-, Interleukin(IL)-6, IL-8, platelet
derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-. Sebagian besar mediator
tersebut sangat penting untuk proses fibrogenesis.
Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan,
pengum-pulan sel dan stimulasi pertumbuhan fibroblast adalah:
Radikal oksigen/spesies oksigen reaktif dan protease.
Leukotrien L TB4 dan IL-8 yang bersifat kemotaksis terhadap leukosit.
Sitokin IL-1, TNF-, fibronektin, PDGF dan IGF-1 yang berperan dalam
fibrogenesis.

Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis pneumokoniosis. Sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespons partikel debu yang masuk ke paru yang
selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas
faktor fibrogenesis seperti TNF-, PDGF , IGF-1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi
seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag
alveolar, yang lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut.
Bila partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem
mukosilier maka proses pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan
berhasil. Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag
alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel
debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial,
difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi
sekresi me-diator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial
seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah
pneumokoniosis.
Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada pneumokoniosis.
Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim dapat
berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan
pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat debu batubara. Gambaran fibrotik
campuran dan tidak beraturan terjadi pada pajanan debu campuran. Empat gambaran
respons patologi terlihat pada pneumokoniosis yaitu fibrosis interstisial, fibrosis nodular ,
fibrosis nodular dan interstisial serta emfisema fokal dan pembentukan makula.

5. Diagnosis
Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Ada
tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama,
pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan
pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung. Oleh karena itu,
diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan
dan penggunaan alat pelindung diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di
lingkungan kerja.
Gejala seringkali timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang
menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah

pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat
membantu menen-tukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta
abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumoko-niosis tetapi tidak spesifik untuk
mendiagnosis pneumoko-niosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang
menyerupai pneumokoniosis.
Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti
sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau inter-stitial lung disease (ILD) yang
berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular. Beberapa pemeriksaan penunjang
diperlukan untuk membantu dalam diagnosis pneumokoniosis yaitu pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu penyebab.
Pemeriksaan Radiologi seperti foto toraks pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi
standar menurut International Labour Organization(ILO) untuk interpretasi gambaran
radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan
epide-miologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk mem-bantu interpretasi
klinis. Perselubungan pada pneumoko-niosis dibagi dua golongan yaitu perselubungan
halus dan kasar.
Sedangkan menggunakan Computed Tomography (CT) scan bukan merupakan bagian
dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat
bermanfaat secara indi-vidual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang
terjadi, menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya
nekrosis atau abses yang bersamaan dengan opasiti yang ada.
High resolution CT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi konvensional untuk
evaluasi abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya.
Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau
high attenuationpada area percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis
interstisial mungkin bermanifestasi bron-kiektasis traksi, sarang tawon/ honey comb atau
hyperattenuation. Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis batubara
dan asbestosis adalah terdapat opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan
pada zona paru atas (upper zone). Asbestosis menunjukkan gambaran garis penebalan
interlobular dan in-tralobular, opasitas subpleura atau

curvilinierdan

honey comb,

predominan terdistribusi pada basal paru. Gambaran HRCT pada jenis pneumokoniosis
lainnya bervariasi dan tidak spesifik, masing-masing mempunyai karakteristik sendiri.
Pada pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi
pekerja yang terpajan debu dan diagno-sis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan faal
paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan kapasitas

difusi (DLco), namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga diperlukan untuk
menilai hendaya yang telah terjadi.
Pada pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi
obstruksi, restriksi ataupun campuran. Sebagian besar penyakit paru difus yang
disebabkan debu mineral ber-hubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di
parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang luas umumnya terjadi
penurunan kapasitas difusi. Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan
konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada beberapa kondisi.
Karena tingginya prevalensi perokok pada populasi pekerja industri, sering sulit
dibedakan apakah obstruksi yang terjadi karena efek debu terinhalasi atau efek rokok.
Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan kerja
dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi transbronkial
atau biopsi paru terbuka) untuk melihat debu mineral atau produk metabolismenya.
Pemeriksaan BAL membantu menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan BAL dapat
terlihat debu di dalam makrofag dan jenis debu kemungkinan dapat diidentifikasi
menggunakan mikroskop elektron. Pada kasus asbestosis dapat ditemukan serat asbes dan
asbestos body(AB) pada pemeriksaan BAL. AB adalah bahan yang terbentuk secara
intraselular dan berasal dari satu atau lebih makrofag alveolar yang bereaksi dengan serat
asbes. Penemuan AB menjadi stndar baku emas penegakkan diagnosis asbestosis.
Pada silikosis, makrofag yang ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang
semakin lama riwayat pajanan terhadap debu granit maka akan semakin banyak
ditemukan makrofag tersebut. Selain itu, nodul silikotik dapat ditemukan pada
pemeriksaan histopatologi silikosis.
6. Tatalaksana
Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berkurang
progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis umumnya terbatas
hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang efektif yang dapat
menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan progesivitas pneumokonio-sis.
Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting.
Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama
terutama di negara industri dan terus dilakukan dengan perbaikan-perbaikan. Pada bentuk
pneumokoniosis subakut dengan manfaat yang didapat untuk efek jangka panjangnya
terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga kesehatan dapat dilakukan
seperti berhenti merokok, pengobatan adekuat dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) dan pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan.

7. Penutup
Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposisi
debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat pajanan debu tersebut. Reaksi utama
akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis. Faktor utama yang berperan pada patogenesis
pneumokoniosis adalah karakteristik partikel debu, jumlah, lama pajanan dan respons saluran
napas terhadap partikel debu. Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar
memegang peranan penting dalam patogenesis pneumokoniosis. Mediator inflamasi yang paling banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor(TNF), Interleukin-(IL)-6, IL-8,

platelet derived growth factor

dan

transforming growth

factor(TGF)-. Silikosis, asbestosis dan pneumokoniosis batubara merupakan jenis


pneumokoniosis terbanyak di seluruh dunia.
Ada tiga kriteria mayor dalam diagnosis pneumokoniosis: pajanan yang signifikan
dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis disertai dengan
periode laten, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi, dan tidak dapat
diidentifikasi

penyakit

lain

sebagai

penyebab.

Klasifikasi

International

Labour

Organization(ILO) digunakan untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus.


Tatalaksana pneumokoniosis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada
pengobatan yang efektif untuk mengurangi kelainan ataupun menghentikan progresivitas
pneumokoniosis. Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting.
DAFTAR PUSTAKA

You might also like